Monday, February 16, 2015

To love is to let go

"To love is to let go", demikian saya pernah membaca tulisan itu di tempat yang berbeda. Di dinding sebuah kafe, pada sebuah sticker yang menempel di meja belajar warisan sepupu saya. Sticker yang saya baca ketika berumur sepuluh tahun. Tentu saja dahi saya selalu mengernyit ketika tak sengaja mata saya tertumbuk pada tulisan itu. Ternyata perlu waktu belasan tahun bagi saya untuk paham maksudnya.

Sebagai seorang anak pada masa itu, tentu saja segala sesuatu yang memberi rasa aman adalah kepastian. Bahwa setiap pagi saya akan dibangunkan, lalu sarapan dan mandi kemudian berangkat ke sekolah. Pulang sekolah makan siang, mengerjakan pe-er, bermain, belajar, shalat lalu tidur. Dan orang tua serta saudara-saudara selalu menemani.

Lalu sedikit demi sedikit "kepastian" tadi mengalami gangguan. Pertama kepindahan kami ke kota tetangga di bagian utara pulau Sumatera membuat saya tercerabut dari teman bermain, sepupu, sawah, sungai dan kebun tempat bermain. Kedua, teman-teman yang saya temui di tempat baru dan telah mengalami ikatan erat pun berpisah seiring naiknya kami ke tingkatan selanjutnya. Lucunya, di setiap perpisahan, kami selalu terbawa perasaan dan berjanji akan menjadi orang yang sama bagi satu sama lain. Dan tentu saja puncaknya adalah ketika kehilangan orang-orang terkasih, yang kepergiannya menyisakan lubang pada jiwa dan tak ada yang bisa mengisinya kembali selain waktu, waktu bagi saya adalah obat terampuh untuk menerima situasi apapun.

Seiring berjalannya waktu, saya semakin paham, bahwa yang paling penting adalah bagaimana menghargai setiap momen yang sedang berlangsung. Dari bangun tidur, menikmati tumis jamur diatas roti panggang, percakapan di sela-sela makan malam dengan suami, sesi-sesi memasak bersama teman-teman dan memuji-muji rasa racikan tangan sendiri (memang agak narsis), bersenda gurau diantara batagor dan kopi, menikmati jutaan bintang dilangit di atas tikar di padang rumput tempat berkemah, mendengar ponakan bercerita tentang konstelasi bintang diiringi desir angin malam, hingga bekerja dengan jam-jam yang panjang demi deadline yang harus dipenuhi (sigh). Dan sebisa mungkin berkontribusi untuk menciptakan momen tersebut.

Dan tentunya berusaha berpikir dan fokus ke hal-hal yang positif diantara berbagai masalah yang datang silih berganti. Sehingga ketika melihat ke belakang saya bisa merayakan kebahagiaan yang pernah saya alami saat itu. Dan tentu saja, karena adalah mustahil segala sesuatu akan sempurna, maka ketika berinteraksi sosial berusaha fokus terhadap "kebaikan-kebaikan" yang diterima dibanding sebaliknya.

Begitulah, dengan kesadaran akan hal positip itu juga saya juga mulai berhenti memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang dalam pengalaman sebelumnya sering berimbas sebaliknya, sehingga tak lagi mau untuk"keep things together for the sake of whatever" dan tak lagi berusaha mentolerir hal-hal yang terjadi selama ini yang saya pilih untuk "to look at the other way" dengan berbagai pertimbangan yang menyesakkan dada.

Saya paham bahwa apapun dalam hidup ini bisa berubah setiap saat, perubahan adalah kepastian karena situasi yang berubah dan adaptasi harus terjadi. Sama halnya dengan rambut hitam legam saya yang mulai berangsur-angsur di selingi helai-helai keperakan.

So, to live is to "expect less and to let go", akhirnya saya paham apa maksud sticker yang selalu saya baca belasan tahun silam. Tak banyak berharap, berusaha mandiri semaksimal mungkin, memaafkan berbagai hal yang tak berkenan, berharap tak terperosok ke dalam kesalahan yang sama serta terus melangkah ke depan.














No comments:

Post a Comment

Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: