Showing posts with label Amerika. Show all posts
Showing posts with label Amerika. Show all posts

Thursday, June 13, 2013

Washington DC dan sekitarnya

Homesick, mungkin itulah perasaan yang paling tepat saya rasakan saat ini. Mungkin ini semacam "winter blues" meskipun udara musim dingin di Brisbane tidak terlalu dingin. Winter disini, siangnya masih bisa pake sandal jepit dan baju-baju musim panas, karena udara relatif hangat di seputaran 18C, dan cukup menambah jaket ketika matahari beranjak ke dunia belahan satunya.

Homesick kali ini adalah tentang Washington DC, kota pertama yang saya tempati setelah menikah. Beberapa hari ini, kepala saya mulai membayangkan jalan-jalan di dekat apartemen kami dulu, jalanan yang rapi dengan pohon berjejer di pinggir jalan serta warna-warninya ketika memasuki musim gugur. Derak ranting-ranting kering di hutan kecil di belakang rumah yang dilalui rusa berlarian, serta seekor kelinci kecil yang berdiri di jalan setapak menuju kolam renang yang hanya terlihat pada musim semi dan musim gugur.

Serta ibu-ibu rempong sahabat tersayang, tempat berbagi cerita apa saja di sela-sela acara kumpul-kumpul dan makan-makan yang kami adakan di tempat bergantian. Kumpul-kumpul yang seringkali berasa natal atau lebaran, karena kami merasa seperti saudara sendiri, meskipun latar belakang kami berbeda-beda.

Homesick ini semakin bertambah, ketika salah seorang diantaranya menanyakan informasi jalan-jalan di sekitar Washington DC. Sambil mengetik jawaban di "Whatsapp" mau tak mau saya kembali ke "memory lane" lengkap dengan gambarnya berputar di kepala serasa menonton video :)

Baiklah, bagi yang akan jalan-jalan  ke Washington DC, informasi berikut ini mungkin berguna:



DS Photography
Washington Monument pada musim semi


National Mall dan seputarnya
Kalau kata "Mall" membawa kita ke pusat perbelanjaan besar di Jakarta, tidak demikian halnya   dengan National Mall di DC. Tempat ini lebih mirip alun-alun besar yang dihuni berbagai tempat menarik. Di satu ujung sisinya adalah "the Capitol" yang merupakan tempat bekerja anggota kongres dan senat di Amerika dan tak kalah menarik, dibelakangnya terdapat "Library of Congress" bangunan yg terinspirasi gaya gothic ini merupakan perpustakaan terbesar yang menyimpan begitu banyak koleksi. Disini pengunjung bisa mengikuti walking tour yang diberikan secara gratis dan kita bisa mendapat informasi seputar pembangunan perpustakaan ini. Library of Congress juga memuat penghargaan kepada tokoh-tokoh yang berkontribusi kepada ilmu pengetahuan termasuk kebudayaan Islam yang berjaya di abad pertengahan menjadi jembatan pengetahuan, sehingga tulisan "Islam" tertulis di kubah Library of Congress.

Di kiri dan kanan National Mall berjejer "Smithsonian Museums" 11 dari 19 museumnya berada di National Mall. Dua museum yang menjadi favorit saya adalah National Air and Space Museum dan Museum of American Indian. Di museum yang pertama saya menyaksikan berbagai macam benda yang dipergunakan dalam mengarungi antariksa termasuk kendaraan yang digunakan Neil Amstrong menjelajah bulan, sementara di museum yg kedua, saya belajar banyak mengenai tata cara kehidupan masyarakat Indian, dan tak lupa di lantai dasar terdapat restoran yang menyajikan makanan lezat ala penduduk asli Amerika.

Di tengahnya terdapat "Washington Monumen" yang berdiri menjulang ke angkasa, monumen yang dibangun untuk mengenang presiden pertama Amerika Jenderal George Washington, tak jauh dari monumen itu di seputar tidal basin yang di penuhi bunga sakura yang mekar di musim semi terdapat "Jefferson Memorial" untuk mengenang presiden Thomas Jefferson. Dari sini pengunjung juga bisa menuju " White House" tempat kediaman presiden Amerika.

Di ujung satunya, terdapat Lincoln Memorial, monumen yang memuat patung raksasa Presiden Lincoln yang sedang duduk dengan wajah pemikirnya. Tempat ini sering digunakan sebagai tempat malakukan orasi, Marthin Luther King yang monumennya baru saja dibangun tak jauh dari tempat ini pernah berorasi disini serta Hervey Milk, tokoh politisi pertama di Amerika yang secara terbuka mengaku sebagai gay.

Di taman-taman menuju Lincoln Memorial terdapat makam-makam tentara yang gugur dalam Perang Dunia dan perang Vietnam.

Seorang kenalan saya, perempuan asal Philipina mengatakan, ketika ia rindu akan kampung halamannya maka ia akan pergi ke Lincoln Memorial sambil memandang "reflecting pool" yang merefleksikan Washington Monumen. Tempat itu menjadi "sanctuary" baginya untuk mengobati kerinduan akan negara asal.

Rock Creek Park dan National Zoo
Rock Creek Park dengan beach roadnya yang mempesona dibelah oleh sungai kecil, tempat ini bisa di akses dari Cleveland Park Metro maupun Woodley-zoo park metro, taman ini asik buat tempat piknik maupun sekedar berjalan kaki maupun jogging, salah satu treknya melewati bagian belakang kebun binatang "National Zoo" yang menjadi rumah bagi berbagai macam hewan salah satunya adalah macan tutul Jawa. Penghuni lainnya adalah keluarga panda, beruang merah, orang utan, simpanse serta seekor kuda Nil yang tak berhenti mengejar bola di kolam buatan dekat kandangnya.

United States Botanical Garden

Botanical Garden yang berupa bangunan ini, memuat koleksi tanaman, letaknya tak terlalu jauh dari the Capitol serta tempat saya dulu bekerja. Kunjungan ke tempat ini tak boleh di lewatkan terutama kalau sedang berada di DC pada musim semi.

Historical "George Town"
Tak terhitung berapa kali saya mengunjungi tempat ini, dan belum pernah merasa bosan. Dengan bangunan warna-warni berderet yang dipenuhi toko-toko fashion serta restoran termasuk DC Cupcake yang terkenal itu, tempat ini cocok buat pejalan kaki. Di belakang jalan utamanya terdapat kanal yang dulu digunakan sebagai mode transportasi utama di wilayah ini. George Town juga merupakan rumah bagi George Town university dengan bangunan lama serta towernya yang indah menjulang terlihat dari George Washington Memorial Parkway.

Dupont Circle dan Adams Morgan
Dupont Circle dengan embassy row-nya yang juga menjadi rumah bagi Wisma Indonesia, kedutaan Indonesia di Amerika. Tempat yang juga menjadi tempat nongkrong di kafe dan restoran bersama teman-teman dan merupakan gay capital-nya DC. Adams Morgan tidak terlalu jauh jaraknya dari sini. Adams Morgan memiliki berbagai etnik restoran serta pub-pub yang ramai didatangi anak muda dan metro selalu kosong meninggalkan stasiun ini pada akhir pekan.

Kalau waktunya memungkinkan, ada baiknya pengunjung menyewa kendaraan dan melanjutkan perjalanan ke Gettysburg untuk melihat sejarah perang sipil di Amerika, Mount Vernon yang menjadi kediaman presiden George Washington di tepi sungai Potomac serta Monticello yang menjadi kediaman presiden Thomas Jefferson tentunya sambil piknik di taman rumput yang ada disana.





Sunday, August 19, 2012

Catatan dari Amish County Pennsylvania (03/09/09)

Musim semi yang lalu, saat bepergian ke Chicago di kereta yang saya tumpangi saya berpapasan dengan tiga perempuan muda yg terlihat sangat kontras sekali diantara penumpang lainnya. Ada sesuatu yg khas pada wajah-wajah mereka, ekspresi yang lumayan polos dan cara berpakaian mereka yg sekilas mengingatkan saya akan sosok "Ma" di serial Little House on the Praire.

Ya, ditengah penumpang yg multi gaya, dengan rok panjang, pendek, celana jeans, atasan yg bergaya modern, aksesoris rambut alami, rambut warna warni, yg jelas ketiga perempuan itu menyeruak justru dengan gaya mereka yg lain dari kebanyakan. Ketiganya memakai rok panjang nyaris ke mata kaki, pakaian yg tertutup sepenuhnya dan kap berwarna putih menutupi sanggul di bagian belakang kepala mereka. Melihat ketiga orang ini seolah-olah sedang menonton film dari masa lalu. Ketika balik, dari Indiana saya melihat dua prang penumpang, sepertinya mereka adalah pasangan. Seorang bapak-bapak berumur dan istrinya yg gaya pakaian mereka juga cukup menarik perhatian.

Si lelaki, berpakaian hitam, atas ke bawah, dengan topi hitam, janggut panjang dan wajahnya bersih dari kumis, sementara yang perempuan memakai tutup kepala seperti jilbab, dengan baju dan rok yg menutup sampai ke mata kaki. Ada begitu besar rasa keingintahuan saya terhadap orang-orang ini dan komunitas mereka yg dikenal dengan nama komunitas Amish.

Tapi ternyata saat itu saya tak cukup berani untuk menghampiri dan bertanya, melainkan hanya melihat mereka sekilas-sekilas karena saya pikir mereka juga tak nyaman kalau dipelototi terus menerus. Lalu keingintahuan terhadap orang-orang Amish tersebut membuat saya memulai pencarian informasi ttg mereka.

Ada beberapa komunitas Amish di Amerika, mereka tersebar di Pennsylvania, Ohio dan Indiana. Setelah mengumpulkan beberapa informasi maka kami berdua (dengan suami) meluncur ke utara menuju Lancaster county. Ada sebuah kota kecil bernama Bird in Hand yang menjadi salah satu tujuan kami di Pennsylvania.

Berkendara kira-kira setengah jam dari Central Market Lancaster county, kami akhirnya sampai di tempat yg menyediakan layanan Buggy Ride alias berkendara dengan kereta yg ditarik oleh kuda. Ya, terlalu banyak bayangan yg bermain di kepala saya, mungkin miniatur caravan di museum yg kami kunjungi, serta berbagai macam tenunan, quilts, serta perabot-perabotan buatan komunitas Amish membuat saya semakin penasaran dengan komunitas ini.

Kami disambut oleh pak kusir Amish yg bernama Joe. Sayangnya Joe tak berjenggot panjang dan tak pula berpakaian hitam-hitam, seperti kebanyakan lelaki Amish. Lelaki tua ini menjelaskan program apa saja yg tersedia dan apa saja yang akan kami lihat. Kira-kira beginilah ceritanya:

"Komunitas Amish adalah penganut agama kristen aliran Anna Baptist, aliran ini bermula di Switzerland pada pertengahan abad ke 14. Komunitas Amish ini juga dinamakan Mennonite yg berasal dari pencetus aliran ini Menno Simmons. Komunitas Amish menjalani hidup mereka dengan prinsip sederhana, tak boleh menyombongkan diri dan berserah diri kepada Tuhan.



Pada mulanya dari Swiss mereka menyebar ke utara dan ke barat, kira-kira ke Belanda dan Jerman saat ini, sehingga mereka juga kerap menyebut diri mereka sendiri sebagai Dutch-Amish. Pada masa itu, penduduk suatu kerajaan wajib mengikuti agama yg dianut oleh penguasa, sehingga golongan ini serta merta terancam keberlangsungan beragamanya dan memutuskan pindah ke Amerika.

Ada beberapa hal yg sangat prinsip dianut oleh komunitas ini antara lain bahwa mereka tak terhubung dengan masyarakat luas, sehingga media yg menghubungkan mereka dgn dunia luar serta merta dibatasi atau tidak diperkenankan pemakaiannya dalam lingkungan komunitas ini. Sehingga mereka tak memiliki televisi, jaringan telephone, internet, mobil, dll.

Kereta kuda (buggy ride) yg kami tumpangi memasuki lahan pertanian yg luas dengan rumah-rumah besar di tengah lahan tsb. Kontras sekali melihat bangunan rumah-rumah modern tsb bersanding dengan kereta kuda dihalamannya dan bukannya mobil-mobil seperti layaknya rumah modern, demikian juga kenyataan bahwa tak ada televisi didalamnya. Joe menjelaskan bahwa rumah-rumah tsb memakai teknologi modern seperti mesin cuci, pendingin dll, hanya saja mereka tak memanfaatkan sambungan listrik ataupun sambungan gas. Mereka memanfaatkan energi matahari dan angin dan menjadi mandiri (self sufficient) dalam kebutuhan energinya, ada juga yg memanfaatkan gas prophane (tabung gas individual berukuran besar).



Sejenak imajinasi saya terbang ke desa-desa di pedalaman negeri sendiri, dimana akses terhadap energi ini begitu terbatas bahkan di beberapa kota besar juga mengalami black out, seandainya teknologi matahari berbasis rumah tangga ini bisa kita manfaatkan tentu anak sekolah akan lebih senang belajar dimalam hari dan banyak lagi keuntungan lainnya yg didapatkan.

Baru-baru ini masyarakat Amish diperkenankan memakai cell phone terutama saat mereka bepergian keluar demi alasan keamanan, tetapi cell phone ini harus tinggal di luar saat pemiliknya masuk ke dalam rumah.

Aliran Annabaptist yang mereka anut tidak membolehkan penganut Amish untuk membunuh manusia. Sehingga mereka tak boleh menjadi anggota militer dan lelaki Amish memakai jenggot panjang tetapi tak berkumis, karena konon anggota militer kerapkali memasang kumis :)

Barangkali sesuatu yg paling menarik dari penuturan Joe adalah tradisi Rumpsringa, tradisi dimana remaja Amish yg berumur dari 16 tahun sampai mereka melakukan konfirmasi untuk bergabung dengan komunitasnya atau keluar dari komunitasnya. Berbeda dari agama-agama lainnya dimana konfirmasi terjadi secara otomatis atau turun temurun, komunitas Amish hanya mengakui konfirmasi setelah seseorang dewasa dan mengerti akan pilihan yg dibuatnya. Dalam masa-masa ini remaja-remaja Amish yg beranjak dewasa di perbolehkan mengeksplorasi kehidupan luar dalam istilah mereka kehidupan ala English, tinggal diluar komunitas, berpakaian ala modern "English", mengkonsumsi alkohol, mengendarai kendaraan bermotor, dll. Dari yg melakukan rumpsringa ini hanya sekitar 15% yang benar-benar keluar dari komunitasnya.

Walaupun menolak sebagian dari cara-cara kehidupan modern, anak-anak Amish tetap bersekolah sampai grade 8, setiap kelas dikelola oleh seorang guru dan asistennya yg merupakan anak yg paling cerdas di kelas tsb, selanjutnya si ibu guru akan mengalami masa-masa "courting" alias masa-masa penjajakan dan pengenalan calon pendamping hidupnya dan menikah pada usia 25 tahun. Amish tak mengakui adanya perceraian sehingga setiap pasangan di beri waktu yg cukup lama untuk mengenali calon pendampingnya dan apabila mereka tak merasa sesuai sah-sah saja mencari sosok yg lebih tepat. Ketersediaan pilihan untuk memilih dan mengenali lebih jauh ini menurut pandangan pribadi saya sangat spesial dari komunitas ini, dengan sadar betul akan pilihan yg dibuatnya bisa jadi membuat individual di dalamnya tak sekedar ikut-ikutan tetapi sadar betul akan pilihan yg dibuatnya serta konsekuensi dari pilihan tsb.

Demikian juga untuk urusan kesehatan, mereka tak mengenal istilah asuransi, setiap layanan kesehatan akan dibayar langsung oleh keluarga yg bersangkutan atau ditanggung bersama-sama oleh komunitas ini.

Pertautan dengan komunitas Amish ini terus terang membuat mata saya lebih terbuka terhadap peradaban manusia. Dibalik berbagai warna, agama, lokasi yg berlainan ternyata banyak sekali persamaan-persamaan diantara berbagai peradaban yang ada. Kerapkali kita berpikir seolah-olah kita berbeda sekali dengan yg lain ternyata justru banyak sekali persamaan yg ada yg nyaris tak terpikirkan sebelumnya.

Friday, September 24, 2010

Oleh-Oleh dari Philadelphia

Ya, lebaran yang lalu kami tidak mudik. Kalau dipikir-pikir dalam sepuluh tahun belakangan lebaran kala mudik mungkin bisa dihitung jari. Entahlah, sepertinya lebih asik mudik setelah high season lebaran kelar, dalam artian tidak terlalu pusing dengan urusan tiket yang kadang sulit didapat dan disisi lain, dengan mudik beberapa hari setelah hari 'H' justru waktu bisa dimanfaatkan maksimal untuk berinteraksi dengan anggota keluarga.


Maka, lebaran kali ini pun kami tidak mudik, pagi-pagi bersiap untuk shalat Ied di community center dekat rumah, menikmati ketupat ala KBRI dan komunitas Indonesia, bersalaman sekedarnya dengan teman-teman yg duduk berdekatan dan buru-buru kembali ke rumah untuk open house bagi tetangga dan teman dekat serta mengenalkan makanan ala Indonesia.

Dan diakhir pekan yg dinanti-nanti akhirnya kesampaian juga mudik ke kampung sebelah, Philadelphia.
Berbeda dengan perjalanan yg sudah-sudah, kali ini tidak ada target khusus yg ingin di kunjungi, mungkin karena lokasinya yg cukup dekat sekitar 2.5 jam berkendara dari Washington DC/Maryland sehingga mungkin saja kunjungan ini bisa diulangi lagi di lain waktu.

Menjelang siang, setelah menaruh barang bawaan di penginapan yg berada di city center, kami memutuskan untuk berjalan kaki melihat-lihat kota. Pusat kota Philadelphia sangat nyaman buat pejalan kaki, jalannya yg cenderung sempit diantara variasi gedung tinggi, apartemen dan gedung-gedung yang tingginya tak lebih dari 2-3 lantai di lengkapi dengan trotoar buat pejalan kaki dikiri kanan, membuat acara jalan terasa asik.

Tak terasa kami berjalan lumayan jauh sekitar 15 blok dan sampai di depan Independence Hall. Independence Hall berupa bangunan yg tidak begitu besar dengan berdiri di suatu kompleks lengkap dengan lapangan (square), visitor center dan taman yang lokasinya berada di Old Town (Kota Tua). Disinilah, deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat di godok dan ditandatangani.

Sore itu, udara lumayan cerah dan dari jarak 50 meter terlihat banyak orang bergerombolan di depan Independence Hall. Yang menarik dari orang-orang ini adalah atribut yang mereka pakai. Dari jauh jelas sekali terlihat seorang imam dengan jubahnya yang panjang dan peci putih ala Asia Selatan di kepalanya, lalu terlihat seorang pastor lengkap dengan jubahnya yang berwarna merah muda mendekati ungu, seorang pendeta yg lebih mirip dengan gambar yg saya lihat di film Da Vinci Code dengan jubah (robe) berwarna cokelat mirip dengan pendeta Buddha yg sering saya temui di Thailand, beberapa orang Rabbi dengan topi kecilnya yg khas, seorang laki-laki Sikh dengan sorbannya, beberapa perempuan dengan poster di tangan mereka, seorang ibu tua atau lebih tepatnya nenek membawa poster kecil yg bertuliskan kata "damai" dalam berbagai bahasa, tak ketinggalan seorang mas-mas, yang ini saya yakin pastilah dia orang Indonesia, dengan kaos berwarna putih dan kain sarung pink gelap serta kopiah, tak diragukan lagi saya 100% yakin mas-mas ini mesti dari Indonesia. Sayangnya dia cukup sibuk dengan kameranya sore itu sehingga saya mengurungkan niat untuk menyapa. Belakangan saya mengetahui bahwa moderator pada acara tsb adalah Gubernur Pennsylvania sendiri, Mr. Ed Rendell.



Saya memberanikan diri mendekati ibu tua yang membawa poster dan menanyakan apa gerangan yg membawa mereka berkumpul di Independence Hall pada hari itu. Kebetulan pada hari itu Amerika memperingati kejadian rabu kelabu (9/11) yang merenggut ribuan nyawa orang di beberapa tempat pada tahun 2001.



Ternyata kelompok yang berkumpul saat itu adalah kelompok interfaith. Kelompok yang beranggotakan perwakilan berbagai agama untuk toleransi. Mereka memanfaatkan momen memperingati 9/11 untuk menunjukkan solidaritas bagi kebebasan beragama di Amerika. Terlebih lagi dukungan mereka ditujukan bagi umat muslim yang belakangan ini mendapat banyak tekanan baik domestik maupun secara internasional terutama dalam kaitannya dengan gerakan teroris yg mengatas namakan agama yg cukup tenar belakangan ini.

Pak Gubernur setelah membuka acara sore itu mempersilakan sang Rabbi untuk berbicara. Dalam pesannya Rabbi tersebut mengingatkan mereka yg hadir bahwa belum terlalu lama kiranya genocide (pembunuhan) terhadap yahudi yang dilancarkan oleh NAZI selama perang dunia kedua hilang dari ingatan, sesuatu yg berawal dari hilangnya toleransi terhadap sekelompok orang (suku) dan agama. Rabbi mengingatkan bahwa bila sentimen ini berlanjut tidak mustahil apa yang dulu dialami bangsa yahudi juga akan menimpa kelompok lainnya. Ia mengingatkan bahwa bila hari ini kita menyerang satu golongan agama di lain hari serangan serupa juga bisa menimpa penganut agama-agama lain dan menambahkan bahwa kerukunan antar umat beragama mutlak diperlukan demi menjamin kenyamanan kita beribadah menurut ajaran yg kita yakini.

Ia mengajak semua yg hadir untuk menoleh ke orang-orang di sekitarnya yg berdiri di kiri dan kanan, dan meyakinkan bahwa orang-orang tersebut pun tak berbeda kebutuhannya, orang-orang yg ada di sekeliling anda sama seperti anda ujarnya, mereka adalah anak, ibu, bapak, putra dan putri yang kembali ke rumah, ke keluarganya masing-masing yg berjuang demi keluarganya, yang cinta akan keluarga sama seperti kita semua. Diluar apa yg terlihat pada mereka, warna kulit dan rambut, gaya berpakaian, dll kita semua berjuang untuk hidup masing-masing dan membangun generasi yg lebih baik.

Tak terasa, semua yang hadir secara spontan memeluk mereka yg berada di kiri kanannya. Pemandangan yg indah di sore itu di bawah langit Philadelphia. Sungguh, ketidaksengajaan hadir di acara ini terasa meringankan sedikit beban didada. Pemberitaan ttg agama yg cenderung dikaitkan dengan teror belakangan ini begitu negatif, dan generalisasi yg terjadi terasa begitu kuat. Membaca komentar-komentar pembaca di media terkait artikel ttg agama tsb mau tak mau menimbulkan rasa kuatir. Mendengar perkataan rabbi demi rabbi serta pendeta dan imam tsb tiba-tiba ada rasa aman mengalir. Bahwa ditengah-tengah kekuatiran akan keselamatan diri masih ada orang-orang dan pemimpin-pemimpin agama yg tak terprovokasi dan memberikan dukungan bagi kerukunan antar umat.

Sejenak, saya teringat akan nasib kaum minoritas di berbagai tempat. Mereka yg diserang dan tak dibiarkan hidup nyaman karena agama yg mereka anut. Dari pengungsi Hazara asal Afghanistan, kaum Mandaean dan Baha'i dari Iran yg saya temui saat bekerja mengurus pengungsi beberapa tahun yang lalu, pemeluk Ahmadiyah di tanah air serta mereka-mereka yg termarjinalkan karena apa yg mereka yakini tak sejalan dengan mayoritas. Mereka yang mengkuatirkan keselamatan dirinya dan keluarganya, semoga saja suatu hari tak ada lagi pembunuhan yang mengatasnamakan Tuhan.

Di telinga saya, suara Imam yang membacakan Al Baqarah terdengar begitu menyentuh, dan Rabbi yg berdiri disampingnya membacakan tafsirnya ttg agama yg merupakan kelanjutan dari agama Ibrahim, yang memvalidasi agama-agama sebelumnya. Di kejauhan saya melihat seorang perempuan berkulit putih berdiri agak menjauh bersama bayinya, terlihat mengusap mata, ternyata saya tak sendirian, pelan-pelan saya mengalihkan pandangan ke arah lain,mengalihkan pandangan yg terasa sedikit kabur.

Catatan dari Amish County Pennsylvania

Musim semi yang lalu, saat bepergian ke Chicago di kereta yang saya tumpangi saya berpapasan dengan tiga perempuan muda yg terlihat sangat kontras sekali diantara penumpang lainnya. Ada sesuatu yg khas pada wajah-wajah mereka, ekspresi yang lumayan polos dan cara berpakaian mereka yg sekilas mengingatkan saya akan sosok "Ma" di serial Little House on the Praire.

Ya, ditengah penumpang yg multi gaya, dengan rok panjang, pendek, celana jeans, atasan yg bergaya modern, aksesoris rambut alami, rambut warna warni, yg jelas ketiga perempuan itu menyeruak justru dengan gaya mereka yg lain dari kebanyakan. Ketiganya memakai rok panjang nyaris ke mata kaki, pakaian yg tertutup sepenuhnya dan kap berwarna putih menutupi sanggul di bagian belakang kepala mereka. Melihat ketiga orang ini seolah-olah sedang menonton film dari masa lalu. Ketika balik, dari Indiana saya melihat dua orang penumpang, sepertinya mereka adalah pasangan. Seorang bapak-bapak berumur dan istrinya yg gaya pakaian mereka juga cukup menarik perhatian.

Si lelaki, berpakaian hitam, atas ke bawah, dengan topi hitam, janggut panjang dan wajahnya bersih dari kumis, sementara yang perempuan memakai tutup kepala seperti jilbab, dengan baju dan rok yg menutup sampai ke mata kaki. Ada begitu besar rasa keingintahuan saya terhadap orang-orang ini dan komunitas mereka yg dikenal dengan nama komunitas Amish.

Tapi ternyata saat itu saya tak cukup berani untuk menghampiri dan bertanya, melainkan hanya melihat mereka sekilas-sekilas karena saya pikir mereka juga tak nyaman kalau dipelototi terus menerus. Lalu keingintahuan terhadap orang-orang Amish tersebut membuat saya memulai pencarian informasi ttg mereka.

Ada beberapa komunitas Amish di Amerika, mereka tersebar di Pennsylvania, Ohio dan Indiana. Setelah mengumpulkan beberapa informasi maka kami berdua (dengan suami) meluncur ke utara menuju Lancaster county. Ada sebuah kota kecil bernama Bird in Hand yang menjadi salah satu tujuan kami di Pennsylvania.

Berkendara kira-kira setengah jam dari Central Market Lancaster county, kami akhirnya sampai di tempat yg menyediakan layanan Buggy Ride alias berkendara dengan kereta yg ditarik oleh kuda. Ya, terlalu banyak bayangan yg bermain di kepala saya, mungkin miniatur caravan di museum yg kami kunjungi, serta berbagai macam tenunan, quilts, serta perabot-perabotan buatan komunitas Amish membuat saya semakin penasaran dengan komunitas ini.

Kami disambut oleh pak kusir Amish yg bernama Joe. Sayangnya Joe tak berjenggot panjang dan tak pula berpakaian hitam-hitam, seperti kebanyakan lelaki Amish. Lelaki tua ini menjelaskan program apa saja yg tersedia dan apa saja yang akan kami lihat. Kira-kira beginilah ceritanya:

"Komunitas Amish adalah penganut agama kristen aliran Anna Baptist, aliran ini bermula di Switzerland pada pertengahan abad ke 14. Komunitas Amish ini juga dinamakan Mennonite yg berasal dari pencetus aliran ini Menno Simmons. Komunitas Amish menjalani hidup mereka dengan prinsip sederhana, tak boleh menyombongkan diri dan berserah diri kepada Tuhan.

Pada mulanya dari Swiss mereka menyebar ke utara dan ke barat, kira-kira ke Belanda dan Jerman saat ini, sehingga mereka juga kerap menyebut diri mereka sendiri sebagai Dutch-Amish. Pada masa itu, penduduk suatu kerajaan wajib mengikuti agama yg dianut oleh penguasa, sehingga golongan ini serta merta terancam keberlangsungan beragamanya dan memutuskan pindah ke Amerika.

Ada beberapa hal yg sangat prinsip dianut oleh komunitas ini antara lain bahwa mereka tak terhubung dengan masyarakat luas, sehingga media yg menghubungkan mereka dgn dunia luar serta merta dibatasi atau tidak diperkenankan pemakaiannya dalam lingkungan komunitas ini. Sehingga mereka tak memiliki televisi, jaringan telephone, internet, mobil, dll.

Kereta kuda (buggy ride) yg kami tumpangi memasuki lahan pertanian yg luas dengan rumah-rumah besar di tengah lahan tsb. Kontras sekali melihat bangunan rumah-rumah modern tsb bersanding dengan kereta kuda dihalamannya dan bukannya mobil-mobil seperti layaknya rumah modern, demikian juga kenyataan bahwa tak ada televisi didalamnya. Joe menjelaskan bahwa rumah-rumah tsb memakai teknologi modern seperti mesin cuci, pendingin dll, hanya saja mereka tak memanfaatkan sambungan listrik ataupun sambungan gas. Mereka memanfaatkan energi matahari dan angin dan menjadi mandiri (self sufficient) dalam kebutuhan energinya, ada juga yg memanfaatkan gas prophane (tabung gas individual berukuran besar).

Sejenak imajinasi saya terbang ke desa-desa di pedalaman negeri sendiri, dimana akses terhadap energi ini begitu terbatas bahkan di beberapa kota besar juga mengalami black out, seandainya teknologi matahari berbasis rumah tangga ini bisa kita manfaatkan tentu anak sekolah akan lebih senang belajar dimalam hari dan banyak lagi keuntungan lainnya yg didapatkan.

Baru-baru ini masyarakat Amish diperkenankan memakai cell phone terutama saat mereka bepergian keluar demi alasan keamanan, tetapi cell phone ini harus tinggal di luar saat pemiliknya masuk ke dalam rumah.

Aliran Annabaptist yang mereka anut tidak membolehkan penganut Amish untuk membunuh manusia. Sehingga mereka tak boleh menjadi anggota militer dan lelaki Amish memakai jenggot panjang tetapi tak berkumis, karena konon anggota militer kerapkali memasang kumis :)

Barangkali sesuatu yg paling menarik dari penuturan Joe adalah tradisi Rumpsringa, tradisi dimana remaja Amish yg berumur dari 16 tahun sampai mereka melakukan konfirmasi untuk bergabung dengan komunitasnya atau keluar dari komunitasnya. Berbeda dari agama-agama lainnya dimana konfirmasi terjadi secara otomatis atau turun temurun, komunitas Amish hanya mengakui konfirmasi setelah seseorang dewasa dan mengerti akan pilihan yg dibuatnya. Dalam masa-masa ini remaja-remaja Amish yg beranjak dewasa di perbolehkan mengeksplorasi kehidupan luar dalam istilah mereka kehidupan ala English, tinggal diluar komunitas, berpakaian ala modern "English", mengkonsumsi alkohol, mengendarai kendaraan bermotor, dll. Dari yg melakukan rumpsringa ini hanya sekitar 15% yang benar-benar keluar dari komunitasnya.

Walaupun menolak sebagian dari cara-cara kehidupan modern, anak-anak Amish tetap bersekolah sampai grade 8, setiap kelas dikelola oleh seorang guru dan asistennya yg merupakan anak yg paling cerdas di kelas tsb, selanjutnya si ibu guru akan mengalami masa-masa "courting" alias masa-masa penjajakan dan pengenalan calon pendamping hidupnya dan menikah pada usia 25 tahun. Amish tak mengakui adanya perceraian sehingga setiap pasangan di beri waktu yg cukup lama untuk mengenali calon pendampingnya dan apabila mereka tak merasa sesuai sah-sah saja mencari sosok yg lebih tepat. Ketersediaan pilihan untuk memilih dan mengenali lebih jauh ini menurut pandangan pribadi saya sangat spesial dari komunitas ini, dengan sadar betul akan pilihan yg dibuatnya bisa jadi membuat individual di dalamnya tak sekedar ikut-ikutan tetapi sadar betul akan pilihan yg dibuatnya serta konsekuensi dari pilihan tsb.

Demikian juga untuk urusan kesehatan, mereka tak mengenal istilah asuransi, setiap layanan kesehatan akan dibayar langsung oleh keluarga yg bersangkutan atau ditanggung bersama-sama oleh komunitas ini.

Pertautan dengan komunitas Amish ini terus terang membuat mata saya lebih terbuka terhadap peradaban manusia. Dibalik berbagai warna, agama, lokasi yg berlainan ternyata banyak sekali persamaan-persamaan diantara berbagai peradaban yang ada. Kerapkali kita berpikir seolah-olah kita berbeda sekali dengan yg lain ternyata justru banyak sekali persamaan yg ada yg nyaris tak terpikirkan sebelumnya.