Friday, September 24, 2010

Oleh-Oleh dari Philadelphia

Ya, lebaran yang lalu kami tidak mudik. Kalau dipikir-pikir dalam sepuluh tahun belakangan lebaran kala mudik mungkin bisa dihitung jari. Entahlah, sepertinya lebih asik mudik setelah high season lebaran kelar, dalam artian tidak terlalu pusing dengan urusan tiket yang kadang sulit didapat dan disisi lain, dengan mudik beberapa hari setelah hari 'H' justru waktu bisa dimanfaatkan maksimal untuk berinteraksi dengan anggota keluarga.


Maka, lebaran kali ini pun kami tidak mudik, pagi-pagi bersiap untuk shalat Ied di community center dekat rumah, menikmati ketupat ala KBRI dan komunitas Indonesia, bersalaman sekedarnya dengan teman-teman yg duduk berdekatan dan buru-buru kembali ke rumah untuk open house bagi tetangga dan teman dekat serta mengenalkan makanan ala Indonesia.

Dan diakhir pekan yg dinanti-nanti akhirnya kesampaian juga mudik ke kampung sebelah, Philadelphia.
Berbeda dengan perjalanan yg sudah-sudah, kali ini tidak ada target khusus yg ingin di kunjungi, mungkin karena lokasinya yg cukup dekat sekitar 2.5 jam berkendara dari Washington DC/Maryland sehingga mungkin saja kunjungan ini bisa diulangi lagi di lain waktu.

Menjelang siang, setelah menaruh barang bawaan di penginapan yg berada di city center, kami memutuskan untuk berjalan kaki melihat-lihat kota. Pusat kota Philadelphia sangat nyaman buat pejalan kaki, jalannya yg cenderung sempit diantara variasi gedung tinggi, apartemen dan gedung-gedung yang tingginya tak lebih dari 2-3 lantai di lengkapi dengan trotoar buat pejalan kaki dikiri kanan, membuat acara jalan terasa asik.

Tak terasa kami berjalan lumayan jauh sekitar 15 blok dan sampai di depan Independence Hall. Independence Hall berupa bangunan yg tidak begitu besar dengan berdiri di suatu kompleks lengkap dengan lapangan (square), visitor center dan taman yang lokasinya berada di Old Town (Kota Tua). Disinilah, deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat di godok dan ditandatangani.

Sore itu, udara lumayan cerah dan dari jarak 50 meter terlihat banyak orang bergerombolan di depan Independence Hall. Yang menarik dari orang-orang ini adalah atribut yang mereka pakai. Dari jauh jelas sekali terlihat seorang imam dengan jubahnya yang panjang dan peci putih ala Asia Selatan di kepalanya, lalu terlihat seorang pastor lengkap dengan jubahnya yang berwarna merah muda mendekati ungu, seorang pendeta yg lebih mirip dengan gambar yg saya lihat di film Da Vinci Code dengan jubah (robe) berwarna cokelat mirip dengan pendeta Buddha yg sering saya temui di Thailand, beberapa orang Rabbi dengan topi kecilnya yg khas, seorang laki-laki Sikh dengan sorbannya, beberapa perempuan dengan poster di tangan mereka, seorang ibu tua atau lebih tepatnya nenek membawa poster kecil yg bertuliskan kata "damai" dalam berbagai bahasa, tak ketinggalan seorang mas-mas, yang ini saya yakin pastilah dia orang Indonesia, dengan kaos berwarna putih dan kain sarung pink gelap serta kopiah, tak diragukan lagi saya 100% yakin mas-mas ini mesti dari Indonesia. Sayangnya dia cukup sibuk dengan kameranya sore itu sehingga saya mengurungkan niat untuk menyapa. Belakangan saya mengetahui bahwa moderator pada acara tsb adalah Gubernur Pennsylvania sendiri, Mr. Ed Rendell.



Saya memberanikan diri mendekati ibu tua yang membawa poster dan menanyakan apa gerangan yg membawa mereka berkumpul di Independence Hall pada hari itu. Kebetulan pada hari itu Amerika memperingati kejadian rabu kelabu (9/11) yang merenggut ribuan nyawa orang di beberapa tempat pada tahun 2001.



Ternyata kelompok yang berkumpul saat itu adalah kelompok interfaith. Kelompok yang beranggotakan perwakilan berbagai agama untuk toleransi. Mereka memanfaatkan momen memperingati 9/11 untuk menunjukkan solidaritas bagi kebebasan beragama di Amerika. Terlebih lagi dukungan mereka ditujukan bagi umat muslim yang belakangan ini mendapat banyak tekanan baik domestik maupun secara internasional terutama dalam kaitannya dengan gerakan teroris yg mengatas namakan agama yg cukup tenar belakangan ini.

Pak Gubernur setelah membuka acara sore itu mempersilakan sang Rabbi untuk berbicara. Dalam pesannya Rabbi tersebut mengingatkan mereka yg hadir bahwa belum terlalu lama kiranya genocide (pembunuhan) terhadap yahudi yang dilancarkan oleh NAZI selama perang dunia kedua hilang dari ingatan, sesuatu yg berawal dari hilangnya toleransi terhadap sekelompok orang (suku) dan agama. Rabbi mengingatkan bahwa bila sentimen ini berlanjut tidak mustahil apa yang dulu dialami bangsa yahudi juga akan menimpa kelompok lainnya. Ia mengingatkan bahwa bila hari ini kita menyerang satu golongan agama di lain hari serangan serupa juga bisa menimpa penganut agama-agama lain dan menambahkan bahwa kerukunan antar umat beragama mutlak diperlukan demi menjamin kenyamanan kita beribadah menurut ajaran yg kita yakini.

Ia mengajak semua yg hadir untuk menoleh ke orang-orang di sekitarnya yg berdiri di kiri dan kanan, dan meyakinkan bahwa orang-orang tersebut pun tak berbeda kebutuhannya, orang-orang yg ada di sekeliling anda sama seperti anda ujarnya, mereka adalah anak, ibu, bapak, putra dan putri yang kembali ke rumah, ke keluarganya masing-masing yg berjuang demi keluarganya, yang cinta akan keluarga sama seperti kita semua. Diluar apa yg terlihat pada mereka, warna kulit dan rambut, gaya berpakaian, dll kita semua berjuang untuk hidup masing-masing dan membangun generasi yg lebih baik.

Tak terasa, semua yang hadir secara spontan memeluk mereka yg berada di kiri kanannya. Pemandangan yg indah di sore itu di bawah langit Philadelphia. Sungguh, ketidaksengajaan hadir di acara ini terasa meringankan sedikit beban didada. Pemberitaan ttg agama yg cenderung dikaitkan dengan teror belakangan ini begitu negatif, dan generalisasi yg terjadi terasa begitu kuat. Membaca komentar-komentar pembaca di media terkait artikel ttg agama tsb mau tak mau menimbulkan rasa kuatir. Mendengar perkataan rabbi demi rabbi serta pendeta dan imam tsb tiba-tiba ada rasa aman mengalir. Bahwa ditengah-tengah kekuatiran akan keselamatan diri masih ada orang-orang dan pemimpin-pemimpin agama yg tak terprovokasi dan memberikan dukungan bagi kerukunan antar umat.

Sejenak, saya teringat akan nasib kaum minoritas di berbagai tempat. Mereka yg diserang dan tak dibiarkan hidup nyaman karena agama yg mereka anut. Dari pengungsi Hazara asal Afghanistan, kaum Mandaean dan Baha'i dari Iran yg saya temui saat bekerja mengurus pengungsi beberapa tahun yang lalu, pemeluk Ahmadiyah di tanah air serta mereka-mereka yg termarjinalkan karena apa yg mereka yakini tak sejalan dengan mayoritas. Mereka yang mengkuatirkan keselamatan dirinya dan keluarganya, semoga saja suatu hari tak ada lagi pembunuhan yang mengatasnamakan Tuhan.

Di telinga saya, suara Imam yang membacakan Al Baqarah terdengar begitu menyentuh, dan Rabbi yg berdiri disampingnya membacakan tafsirnya ttg agama yg merupakan kelanjutan dari agama Ibrahim, yang memvalidasi agama-agama sebelumnya. Di kejauhan saya melihat seorang perempuan berkulit putih berdiri agak menjauh bersama bayinya, terlihat mengusap mata, ternyata saya tak sendirian, pelan-pelan saya mengalihkan pandangan ke arah lain,mengalihkan pandangan yg terasa sedikit kabur.

No comments:

Post a Comment

Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: