Showing posts with label Community Development. Show all posts
Showing posts with label Community Development. Show all posts

Friday, March 7, 2014

Oleh-oleh dari Papua: terasing di tanah sendiri



Setelah kurang lebih tiga jam meninggalkan Makassar, pramugari mengumumkan pesawat akan segera mendarat di Sentani. Ini adalah perjalanan pertama saya ke Papua. Bukan untuk liburan tetapi dalam rangka bekerja mengevaluasi proyek LSM internasional yang berkiprah disana.

Saya tak ingat persis kapan terakhir kali saya melihat lautan dibawah sana, sebagian besar dari waktu penerbangan ini saya habiskan untuk tidur, mengingat pagi-pagi sekali saya bergegas menuju bandara di Kuta untuk mengejar sambungan penerbangan dari Makassar setelah sehari sebelumnya mendarat dari Bima, Sumbawa. Yang jelas, sejak saya terbangun beberapa waktu yang lalu, di bawah sana hutan rimbun menutupi permukaan tanah, membentuk kanopi yang luas tak terputus.

Lalu pesawat sedikit demi sedikit menurunkan ketinggian dan danau Sentani terhampar di bawah sana, dan pesawat mendarat dengan mulus di bandara Sentani.



Sekilas, saya melihat ke sekeliling, kebanyakan penumpang yang bergegas mengambil bagasi berwajah Melayu dan hanya dua atau tiga orang berwajah Melanesia. Demikian juga ketika saya berjalan keluar mencari taksi menuju hotel, tak terlihat orang Papua asli menawarkan kendaraan. Sepanjang perjalanan saya berusaha menemukan wajah-wajah penduduk pribumi, tetapi sekali lagi yang terlihat adalah wajah-wajah para pendatang. Memasuki Abepura, kota terlihat lebih ramai, dengan ruko, restoran dan bahkan mall berjejer di sepanjang jalan. Dan satu, dua terlihat wajah-wajah asli menggelar dagangan berupa pinang, ubi-ubian dalam skala yang sangat kecil, yang di gelar di atas tanah di pinggir jalan.

Sangat jelas terlihat, bahwa roda perekonomian umumnya di kuasai oleh pendatang. Demikian juga ketika saya berkunjung ke beberapa sekolah di kota Jayapura, kebanyakan murid-murid berwajah pendatang dan beberapa terlihat berwajah campuran antara penduduk asli dan pendatang.

Dalam perjalanan saat berkendara, saya mengungkapkan keheranan ini kepada teman-teman seperjalanan dan saya mendapat informasi bahwa dengan status otonomi daerah sebenarnya Papua diuntungkan karena mendapat kucuran dana otonomi khusus. Jumlahnya puluhan triliun rupiah dalam satu dekade terkahir. Dengan dana yang begitu besar dan potensi sumber daya alam yang melimpah, dalam kunjungan singkat ini saya melihat sedikit sekali manfaatnya bagi penduduk asli.

Dengan dana yang berlimpah itu sudah sepatutnya banyak yang bisa dilakukan bagi penduduk asli sehingga mereka juga beroleh berkah dan tidak hanya menjadi penonton tetapi juga menjadi aktor perekonomian. Dalam pandangan saya, dengan status otonomi khusus maka tanggung jawab pembangunan sudah berada pada tampuk kepemimpinan lokal, yang notabene di emban putra-putri daerah sendiri. Rasanya kurang relevan menyalahkan pemerintah pusat dengan skema seperti ini. Porsi pemerintah pusat mungkin lebih ditekankan pada fungsi pengawasan kemana dan sejauh mana dana otsus tadi digunakan oleh pemerintah daerah.

Tetapi disisi lain, secara umum infrastruktur disini sudah sangat baik. Jalan-jalan sangat mulus, bahkan hingga ke gang-gang jalanan sudah di beton dan fasilitas air minum tersedia. Untuk ukuran kota yang sekecil ini, SUVs pun berseliweran dimana-mana. Namun siapa pemiliknya, entahlah :)

Keterasingan di tanah sendiri ini tampaknya juga imbas dari program transmigrasi di masa lampau dan juga migrasi yang terjadi karena terbukanya peluang ekonomi di tanah Papua. Berdasar penelitian Jonga dan Dale, 2011 (seperti yang di kutip harian Kompas), perbandingan penduduk asli dan pendatang saat ini 49:51 yang berubah dari angka 96:4 dengan pertumbuhan penduduk asli sebanyak 1.84% pertahun dan penduduk pendatang sebesar 10.82%. Maka tak terelakkan lagi dalam beberapa tahun ke depan, penduduk asli Papua akan semakin terasing di tanah mereka sendiri.



Sunday, August 19, 2012

62 Tahun Merdeka (Kenangan di Atambua)

Haleluya!

Laki-laki dan perempuan menari bersama, larut dalam kebahagiaan. Sesekali Fredrikus Klau tetua di desa itu melantunkan kata-kata dalam bahasa Timor dan semua yang hadir mengulangi kata-kata yang sama, dan kembali larut, bergerak bersama, diikuti lambaian tenun ikat yang mereka kenakan, mengikuti jejak kaki mereka,maju dan mundur bersama, membentuk lingkaran yang terus bergerak menarikan Tarian Bidu.




Hari itu, setelah 62 tahun Indonesia merdeka, masyarakat dusun Beina di kabupaten Belu NTT yang berseberangan dengan Timor Timur mendapat tetesan air yang dialirkan ke desa mereka. Hari ini upacara besar  pun dilakukan, gendang-gendang adat dikeluarkan dan diseka permukaannya di balai desa. Jangan berharap balai disini berupa gedung pertemuan seperti yang kita lihat dikota besar, balai adat desa Beina berupa lapangan yang ditumbuhi pohon beringin besar dan sebuah berugak beratap ilalang.



Para penari telah bersiap-siap dari pagi. Laki-laki mengenakan pakaian kebanggan mereka, hiasan bulu di kepala, lempengan kulit menghiasi pergelangan kaki serta sebuah cemeti. Perempuan mengenakan tenunan ikat terbaik yang mereka miliki dan menabuh gendang berirama. Tak ada gincu, bedak tabur ataupun polesan pensil alis di wajah mereka. Kebahagiaan terpancar dari wajah-wajah alami perempuan ini. Acara diawali dengan tarian likurai.Tarian Likurai adalah tarian perang yang didendangkan ketika menyambut pahlawan yang kembali dari berperang dengan membawa kepala musuh yang telah dipenggal, tentu saja hal yang terakhir ini sudah tak lagi dipraktekkan. Likurai sendiri berarti menguasai bumi, tarian ini sebagai wujud penghormatan kepada mereka yang menaklukan bumi.

Haleluya!! Hari ini kita harus menari, puji syukur kepada Tuhan, hari ini setelah 62 tahun merdeka ada air mengalir ke desa kita!!! Fredrikus meneriakkan haleluya dan disambut oleh yang hadir.
"Hari ini haleluya, oleh karena itu kita semua harus minum, bapa-ibu, semua yang disini harus minum!" Ia mengedarkan gelas yang telah dituangi soppi, minuman arak lokal berasal dari cairan pohon nira. Kita tidak perlu lagi mendaki perbukitan mencari air karena air su datang ke tempat kita, haleluya!!

Hari itu, hati saya tertaut di Beina.

Menyaksikan keindahan tarian nusantara, meminum soppi yang ditawarkan mereka penuh semangat dan saya tak sanggup menolaknya , mendengarkan lantunan indah yang bersahut-sahutan dan menikmati makan siang dengan bumbu yang sangat sederhana:daging kambing bakar, air, garam,cabai dan kacang ijo.

Yang terindah tentunya merasakan ketulusan, ketulusan Beina berbagi dengan kami, senyum tulus dan kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka.

Air tidak hanya meningkatkan higinis pribadi penduduk Beina, tetapi secara tak langsung membuka akses yang lain, bertanam sayur dan bunga bagi ibu-ibu serta berternak ikan air tawar bagi beberapa keluarga. Air sepertinya benar-benar membuka jalan bagi banyak hal di Beina. Semoga air benar-benar memberi manfaat bagi kehidupan mereka sekarang dan di masa depan.

Sebelumnya, dalam perjalanan menuju Beina, di salah satu desa yang kami lewati, anak-anak sekolah dan guru-guru mereka menghentikan laju kendaraan kami, menyanyikan "Padamu Negeri" di tengah cuaca panas, melambaikan bendera "merah putih" kecil dengan tangan-tangan mungil mereka, dan menyampaikan pesan bahwa mereka berharap, suatu saat kami akan membantu desa mereka seperti halnya Beina sehingga mereka bisa mandi, sebelum berangkat sekolah dan tak perlu lagi berjalan beberapa kilometer untuk mendapat air bersih.

Terima kasih kepada semua yang telah berkontribusi kepada palang merah Indonesia sehingga 300 keluarga di Beina tersentuh oleh air bersih dan fasilitas sanitasi, yang selama ini mereka tunggu selama 62 tahun..