Setelah kurang lebih tiga jam meninggalkan Makassar, pramugari mengumumkan pesawat akan segera mendarat di Sentani. Ini adalah perjalanan pertama saya ke Papua. Bukan untuk liburan tetapi dalam rangka bekerja mengevaluasi proyek LSM internasional yang berkiprah disana.
Saya tak ingat persis kapan terakhir kali saya melihat lautan dibawah sana, sebagian besar dari waktu penerbangan ini saya habiskan untuk tidur, mengingat pagi-pagi sekali saya bergegas menuju bandara di Kuta untuk mengejar sambungan penerbangan dari Makassar setelah sehari sebelumnya mendarat dari Bima, Sumbawa. Yang jelas, sejak saya terbangun beberapa waktu yang lalu, di bawah sana hutan rimbun menutupi permukaan tanah, membentuk kanopi yang luas tak terputus.
Lalu pesawat sedikit demi sedikit menurunkan ketinggian dan danau Sentani terhampar di bawah sana, dan pesawat mendarat dengan mulus di bandara Sentani.
Sekilas, saya melihat ke sekeliling, kebanyakan penumpang yang bergegas mengambil bagasi berwajah Melayu dan hanya dua atau tiga orang berwajah Melanesia. Demikian juga ketika saya berjalan keluar mencari taksi menuju hotel, tak terlihat orang Papua asli menawarkan kendaraan. Sepanjang perjalanan saya berusaha menemukan wajah-wajah penduduk pribumi, tetapi sekali lagi yang terlihat adalah wajah-wajah para pendatang. Memasuki Abepura, kota terlihat lebih ramai, dengan ruko, restoran dan bahkan mall berjejer di sepanjang jalan. Dan satu, dua terlihat wajah-wajah asli menggelar dagangan berupa pinang, ubi-ubian dalam skala yang sangat kecil, yang di gelar di atas tanah di pinggir jalan.
Sangat jelas terlihat, bahwa roda perekonomian umumnya di kuasai oleh pendatang. Demikian juga ketika saya berkunjung ke beberapa sekolah di kota Jayapura, kebanyakan murid-murid berwajah pendatang dan beberapa terlihat berwajah campuran antara penduduk asli dan pendatang.
Dalam perjalanan saat berkendara, saya mengungkapkan keheranan ini kepada teman-teman seperjalanan dan saya mendapat informasi bahwa dengan status otonomi daerah sebenarnya Papua diuntungkan karena mendapat kucuran dana otonomi khusus. Jumlahnya puluhan triliun rupiah dalam satu dekade terkahir. Dengan dana yang begitu besar dan potensi sumber daya alam yang melimpah, dalam kunjungan singkat ini saya melihat sedikit sekali manfaatnya bagi penduduk asli.
Dengan dana yang berlimpah itu sudah sepatutnya banyak yang bisa dilakukan bagi penduduk asli sehingga mereka juga beroleh berkah dan tidak hanya menjadi penonton tetapi juga menjadi aktor perekonomian. Dalam pandangan saya, dengan status otonomi khusus maka tanggung jawab pembangunan sudah berada pada tampuk kepemimpinan lokal, yang notabene di emban putra-putri daerah sendiri. Rasanya kurang relevan menyalahkan pemerintah pusat dengan skema seperti ini. Porsi pemerintah pusat mungkin lebih ditekankan pada fungsi pengawasan kemana dan sejauh mana dana otsus tadi digunakan oleh pemerintah daerah.
Tetapi disisi lain, secara umum infrastruktur disini sudah sangat baik. Jalan-jalan sangat mulus, bahkan hingga ke gang-gang jalanan sudah di beton dan fasilitas air minum tersedia. Untuk ukuran kota yang sekecil ini, SUVs pun berseliweran dimana-mana. Namun siapa pemiliknya, entahlah :)
Keterasingan di tanah sendiri ini tampaknya juga imbas dari program transmigrasi di masa lampau dan juga migrasi yang terjadi karena terbukanya peluang ekonomi di tanah Papua. Berdasar penelitian Jonga dan Dale, 2011 (seperti yang di kutip harian Kompas), perbandingan penduduk asli dan pendatang saat ini 49:51 yang berubah dari angka 96:4 dengan pertumbuhan penduduk asli sebanyak 1.84% pertahun dan penduduk pendatang sebesar 10.82%. Maka tak terelakkan lagi dalam beberapa tahun ke depan, penduduk asli Papua akan semakin terasing di tanah mereka sendiri.