Sunday, August 19, 2012

62 Tahun Merdeka (Kenangan di Atambua)

Haleluya!

Laki-laki dan perempuan menari bersama, larut dalam kebahagiaan. Sesekali Fredrikus Klau tetua di desa itu melantunkan kata-kata dalam bahasa Timor dan semua yang hadir mengulangi kata-kata yang sama, dan kembali larut, bergerak bersama, diikuti lambaian tenun ikat yang mereka kenakan, mengikuti jejak kaki mereka,maju dan mundur bersama, membentuk lingkaran yang terus bergerak menarikan Tarian Bidu.




Hari itu, setelah 62 tahun Indonesia merdeka, masyarakat dusun Beina di kabupaten Belu NTT yang berseberangan dengan Timor Timur mendapat tetesan air yang dialirkan ke desa mereka. Hari ini upacara besar  pun dilakukan, gendang-gendang adat dikeluarkan dan diseka permukaannya di balai desa. Jangan berharap balai disini berupa gedung pertemuan seperti yang kita lihat dikota besar, balai adat desa Beina berupa lapangan yang ditumbuhi pohon beringin besar dan sebuah berugak beratap ilalang.



Para penari telah bersiap-siap dari pagi. Laki-laki mengenakan pakaian kebanggan mereka, hiasan bulu di kepala, lempengan kulit menghiasi pergelangan kaki serta sebuah cemeti. Perempuan mengenakan tenunan ikat terbaik yang mereka miliki dan menabuh gendang berirama. Tak ada gincu, bedak tabur ataupun polesan pensil alis di wajah mereka. Kebahagiaan terpancar dari wajah-wajah alami perempuan ini. Acara diawali dengan tarian likurai.Tarian Likurai adalah tarian perang yang didendangkan ketika menyambut pahlawan yang kembali dari berperang dengan membawa kepala musuh yang telah dipenggal, tentu saja hal yang terakhir ini sudah tak lagi dipraktekkan. Likurai sendiri berarti menguasai bumi, tarian ini sebagai wujud penghormatan kepada mereka yang menaklukan bumi.

Haleluya!! Hari ini kita harus menari, puji syukur kepada Tuhan, hari ini setelah 62 tahun merdeka ada air mengalir ke desa kita!!! Fredrikus meneriakkan haleluya dan disambut oleh yang hadir.
"Hari ini haleluya, oleh karena itu kita semua harus minum, bapa-ibu, semua yang disini harus minum!" Ia mengedarkan gelas yang telah dituangi soppi, minuman arak lokal berasal dari cairan pohon nira. Kita tidak perlu lagi mendaki perbukitan mencari air karena air su datang ke tempat kita, haleluya!!

Hari itu, hati saya tertaut di Beina.

Menyaksikan keindahan tarian nusantara, meminum soppi yang ditawarkan mereka penuh semangat dan saya tak sanggup menolaknya , mendengarkan lantunan indah yang bersahut-sahutan dan menikmati makan siang dengan bumbu yang sangat sederhana:daging kambing bakar, air, garam,cabai dan kacang ijo.

Yang terindah tentunya merasakan ketulusan, ketulusan Beina berbagi dengan kami, senyum tulus dan kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka.

Air tidak hanya meningkatkan higinis pribadi penduduk Beina, tetapi secara tak langsung membuka akses yang lain, bertanam sayur dan bunga bagi ibu-ibu serta berternak ikan air tawar bagi beberapa keluarga. Air sepertinya benar-benar membuka jalan bagi banyak hal di Beina. Semoga air benar-benar memberi manfaat bagi kehidupan mereka sekarang dan di masa depan.

Sebelumnya, dalam perjalanan menuju Beina, di salah satu desa yang kami lewati, anak-anak sekolah dan guru-guru mereka menghentikan laju kendaraan kami, menyanyikan "Padamu Negeri" di tengah cuaca panas, melambaikan bendera "merah putih" kecil dengan tangan-tangan mungil mereka, dan menyampaikan pesan bahwa mereka berharap, suatu saat kami akan membantu desa mereka seperti halnya Beina sehingga mereka bisa mandi, sebelum berangkat sekolah dan tak perlu lagi berjalan beberapa kilometer untuk mendapat air bersih.

Terima kasih kepada semua yang telah berkontribusi kepada palang merah Indonesia sehingga 300 keluarga di Beina tersentuh oleh air bersih dan fasilitas sanitasi, yang selama ini mereka tunggu selama 62 tahun..


      

No comments:

Post a Comment

Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: