Baru-baru ini saya merasa senang dan bersyukur sekali, luka lama yg selama ini terpendam dan saya coba obati sendiri telah berangsur-angsur sembuh. Terlebih lagi ketika seorang teman yang terlibat di dalamnya secara terbuka membicarakan hal itu dan meminta maaf.
Cerita
ini dimulai beberapa tahun lalu tepatnya setelah selesai kuliah dan
mulai bekerja pertama kali. Euforia kerjaan pertama sungguh luar biasa.
Setelah di telpon oleh kantor lama lalu ditempatkan di sebuah pulau
eksotis, rasanya doa dan usaha saya digranted.
Bersama
beberapa teman sejawat kita mendapat training ttg psiko-sosial secara
kita akan menjadi frontline memfasilitasi para pengungsi yang terdampar
di belahan timur. Training yang pada akhirnya membuat kita menjadi dekat
satu sama lainnya dan menjadi sahabat sampai sekarang.
Ternyata
niat dan antusiasme dan profesionalisme saja kadang tak cukup. Berada
di lapangan dan bekerja dengan tim lain dengan target yang sama tetapi
fokus yang berbeda sesekali memunculkan konflik.
Puncaknya
apa saja yang dilakukan selalu salah, performa kerja tak pernah dinilai
tetapi close follow up tentang kehidupan personal mendapat porsi yang
sangat tinggi. Sungguh mengherankan pada awalnya ditempat yang
seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi kemanusiaan justru nilai
kemanusiaan terasa hambar. Tak hanya pandangan personal yang
bersebrangan terhadap pendekatan yang mesti dilakukan tetapi secara
sektoral pola pandang ini juga bersebrangan. Akibatnya jalur komunikasi
tak penting dan illegal report ramai seperti jalanan ramai.
Kondisi
gerah ini terus terang membuat tak nyaman. Sebagai bagian dari tim
pastinya siapa saja ingin dipercaya, diberi kepercayaan, memiliki
hubungan yang baik dengan sesama pekerja. Usaha pun ditempuh
mengorbankan waktu cuti saya terbang ke kantor induk berusaha mengatasi
barrier dengan atasan saya. Komentarnya " ooh gak ada apa-apa. Prestasi
kamu bagus kog, keep the good work"
Tetapi
ternyata masalahnya adem sekitar dua bulan, saja setelah itu ada insiden
kecil pada saat kantor kita mengadakan training. Dengan beberapa teman
kita iuran dan menyewa mobil bermaksud pelesiran selama satu hari
mengunjungi beberapa tempat. Ternyata ada yang ingin ikutan dan oleh
kita diberi tumpangan gratis. Ditengah jalan group baru tersebut meminta
itenerary dibelokkan padahal semuanya sudah terencana rapi dan terang
saja kita menolak. Sesuatu yang dalam beberapa jam kemudian mentrigger
masalah lain lagi, berbagai berita miring muncul, laporan disertai drama
tangisan, pokoknya apa saja alasan yang kita kemukakan intinya "kami
pihak yang menyewa mobil, memberi tumpangan gratis, yang telah
menjelaskan itenerary sebelum berangkat dan disetujui menjadi terdakwa"
karena teman lain yang ikut serta memutuskan tak ingin melanjutkan
perjalanan bahkan setelah "sedikit dirayu"pun masih saja menolak
melanjutkan perjalanan.
Dan tidak hanya itu,
pemberitaan semakin melebar kemana-mana, sebagaimana anak muda pada
jaman itu berada difield office dan berargument dengan imigran yang
lumayan bahlul cukup membuat stress sehingga akhir pekan adalah ajang
bertemu teman-teman dan tentu saja mengekspresikan diri. Ps: kalau liat
anak-anak Federasi Jogja dan Hepapnya seperti kembali ke masa itu:),
berbahagialah mereka dan semoga persahabatan yg terjalin tak lekang oleh
waktu.
Puncaknya, ketika kita lolos seleksi
beasiswa dan mesti cuti karena ujian diadakan di seberang pulau, saat
itu pula teror melanda. Luar biasa sekali perbuatan segelintir oknum
ini. Cuti yang sah diganggu dengan panggilan telepon, sedang dimana?
bersama siapa? apa yg sedang dikerjakan? dan seabreg pertanyaan lainnya
diajukan oleh oknum yang berbeda-beda.Padahal otak kan mesti konsentrasi
dengan ujian yg menganut sistem gugur.
Akhirnya
saya memutuskan inilah saatnya keluar dari tempat ini. Tempat yang saya
sukai karena ini pengalaman tak terlupakan, tempat yang membuat saya
lebih berani menghadapi apa saja, bahkan saya tak takut mengancam
seorang Bapak berbadan besar dari timur tengah sana yang suka memukuli
isterinya, tempat dimana ditengah tekanan demonstrasi, mogok makan,
jahit bibir dan segala macem, dan nyaris setiap bulan disorot media
tetapi ada juga penghibur disana ada juga sih mas-masnya yang cakep dan
berdasi kalo jalan ga tanggung-tanggung cakepnya, bikin konsentrasi
menyetir jadi buyar :)
Mendapat lampu hijau
ditempat baru saya resmi mengundurkan diri. Seminggu yang terasa lambat
dan menyedihkan karena semua pada sedih dan bahkan kita juga
menangis.Saya pergi dari tempat itu, tetapi tingkat kepercayaan saya
terhadap kolega berkurang, saya memaafkan mereka yang menyebar berita
dibelakang dan meminta maaf juga bila ada kesalahan yang telah
dilakukan, bagaimanapun untuk bertahan disana bukan lagi sebuah pilihan.
Tempat itu berjasa besar, tak hanya membuat saya lebih tegar tetapi
juga membuat saya tak lagi sehangat dulu, mampu menjalin pertemanan
dengan mudah dan dalam hitungan menit, pengalaman disitu membuat saya
trauma dan tak mudah menjalin hubungan akrab dengan semua orang. Lucunya
ditempat baru seringkali dalam pertemuan antar lembaga saya bertemu
dengan mantan kolega yang sempat membuat dada ini serasa mau pecah.
Anehnya
pertemuan itu tak hanya sekali, awalnya dari colekan di sebuah bandara
ketika sama-sama ke daerah tsunami sampai saling memalingkan wajah
dimeeting-meeting reguler dan di tahun ketiga, akhirnya saya tak punya
jalan lain, saya memaafkan orang itu hanya dengan beginilah saya bisa
sepenuhnya menerima diri saya, kekurangan saya dimasa lalu dan
menganggap hal itu adalah bagian dari yang sudah terjadi. Akhirnya kita
duduk semeja dan mulai berbicara sedikit demi sedikit menertawakan masa
itu.
Lalu beberapa waktu lalu seorang teman
lama menghubungi, dia yang jadi bagian dari skenario tersebut mengakui
keterlibatannya, menceritakan versi yang ia ketahui dan meminta maaf.
Lalu saya menanyakan apa kesalahan saya? Jawabnya singkat "kamu dan
teman mu sebenarnya pintar dan ada kans untuk maju" oh la..la..maaf ya
ternyata itu menjadi bagian dari masalah:(
Saya
bener-bener lega sekarang, walau bagaimanapun menurut saya pribadi
hubungan baik itu mutlak diperlukan. Hubungan baik kunci kenyamanan
dalam hati. Saya berkata tak perlu minta maaf sebenarnya karena saya
telah memaafkan dan menganggap itu adalah phase dalam pembelajaran hanya
saja pembelajarannya terlalu keras sehingga membuat saya jadi takut
untuk bisa percaya lagi seperti dulu. Tapi siapa tahu dengan berjalannya
waktu saya bisa benar-benar pulih dari trauma tersebut.
Tulisan
ini saya tujukan buat dua anak manis yg dulu menjadi rekan sejawat di
sebuah operasi gempa. Di tengah tekanan akan profesionalitas dan
performa sungguh memiliki sahabat memberi kita kekuatan dalam menjalani
apa saja. Dan seorang teman yang dengannya banyak hal-hal gila yg
dilakukan dari makan malam berkesan di Trawangan sampai insiden ambruk
di Leiden, thanks to be true all of these years.
No comments:
Post a Comment
Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: