Baru-baru saya terlibat diskusi dengan sahabat saya Kak Sari yg tengah
menimba ilmu di Australia. Dia membuat tulisan tentang bagaimana
sensitifnya isu budaya diatur oleh pemerintah kota Adelaide. Dimana
untuk menjadi relawan bagi imigran muslim diwajibkan berpakaian menutup
aurat dan menyesuaikan diri dengan budaya pendatang tersebut.
Tetapi
kali ini, saya tidak menulis tentang relawan melainkan tentang
pengalaman saya dulu mengurus imigran-imigran ini selama dua tahun.
Setelah melalui proses seleksi saya ditempatkan di Lombok dan menangani
imigran asal Timur Tengah (Irak, Iran dan Afghanistan) dan belakangan
disusul oleh imigran asal Vietnam.
Mendengar nama Afghanistan,
saya teringat gambar-gambar kabur di tahun 80, dengan gambar pejuang
Mujahidin di Afghanistan memanggul roket melawan Uni Soviet. Dengan
jubah dan jenggot lusuh, mereka terlihat seperti pahlawan yg berjuang
sangat gigih mengusir pendudukan bangsa asing di tanah airnya. Mungkin
image ini membekas kuat disebagian orang melalui berita-berita yg
ditampilkan di televisi.
Hari pertama bekerja, saya dihadapkan
pada sekeluarga Irak dengan dua anak kecil yang menolak tinggal di kamar
yang telah disediakan lembaga internasional tempat saya bekerja dan
menuntut untuk pindah ke tempat lain. Ia mengurung anak dan isterinya di
dalam kamar dan berbaring diluar kamarnya menutup pintu masuk dan
mengancam apabila ia dan keluarganya tidak dipindahkan maka biarlah
mereka mati kelaparan. Terus terang saya sedikit bertanya-tanya dengan
sikapnya tersebut, sebagai warga Arab yg notabene beragama Islam
bukankah sengaja bunuh diri itu dilarang keras dan tak ada yg berhak
mengakhiri hidup melainkan Dia yang memberi kehidupan?
Lalu pada
saat yang sama, sekumpulan laki-laki Irak ini juga mulai melakukan aksi
protes, teman-teman sejawat sedikit merasa tertekan dengan kondisi ini,
setiap kami turun kelapangan disambut dengan teriakan-teriakan berbahasa
Arab disertai dengan aksi memukul bagian mobil yang kami kendarai, dan
tentu saja postur mereka yang rata-rata jauh lebih besar dan tinggi,
suaranya yang menggelegar dan tampang lusuh tak mandi mereka cukup
menggetarkan hati.
Dibandingkan dengan warga Irak ini,
orang-orang Afghanistan sedikit lebih manis. Mereka bertutur kata
lembut, lebih ekslusif dan tidak begitu solid seperti halnya orang-orang
Irak tersebut dan paras wajahnya campuran dari Arab, Cina dan Pakistan,
kelompok ini didominasi suku Hazara dan beberapa orang Pashtun. Mereka
juga beragama Islam walau beberapa ada yg berpindah agama setelah
beberapa tahun.
Lalu yang ketiga adalah orang-orang Iran, yang
menyebut dirinya orang Mandaean, yg percaya bahwa nabi Yahya (John the
baptist) adalah sang Messiah. Seperti halnya orang-orang Hazara dari
Afghanistan, warga Iran ini juga berbahasa Farsi dan secara umum lebih
berpendidikan dan lebih halus tata bahasanya. Alasan utama mereka
mencari suaka adalah karena mereka merasa terkekang untuk menjalankan
ibadah sesuai dengan agama mereka di negerinya sendiri yang mayoritas
Islam aliran Syiah.
Di minggu pertama, saya berkonsentrasi
mengurusi warga Irak yg rajin mengamuk pada saat kami kunjungi, keluarga
kecil yg melakukan protes telah dipindah ke penampungan lain, dan ini
menyulut kecemburuan mereka yg tinggal di tempat yg sama. Cukup sulit
berhadapan dengan kelompok yg diwakili kaum lelaki ini. Temperamennya
sangat emosional, saat yg satu bicara yg lain juga berbicara dan
menyahuti, dan disertai dengan berbagai teriakan-teriakan berbahasa
Arab. Dalam hati saya sedikit ada rasa gentar menghadapi mereka,
akhirnya saya membuat perjanjian alias aturan main ttg menyampaikan
uneg-uneg sehingga bisa di dengar oleh semuanya dan lebih mudah
ditanggapi dibandingkan apabila semuanya berbicara di saat yg sama
tentunya tak ada yg bisa mendengar, karena tak bisa didengar keluhan
mereka tak bisa dicarikan jalan keluar, sepertinya aturan main ini cukup
ampuh untuk situasi ini.
Dialog minggu itu cukup berhasil untuk
meredam situasi yg memanas, tetapi beberapa hari setelahnya ada kejadian
lain, seorang perempuan Syiria berusia sekitar 35 tahun bersuamikan
warga Irak yg sudah berumur, menangis dan meminta dipulangkan ke Syiria.
Pemulangan tanpa paksaan ini bisa difasilitasi oleh lembaga kami tetapi
ada dua hal yg mengganjal, yang pertama adalah kondisi fisiknya yg
belum fit karena ia baru melahirkan seminggu yang lalu dan kedua sang
suami menentang keras kemauan isterinya tersebut. Ternyata setelah
didalami, ia tak tahan karena suaminya minta dilayani "berhubungan"
sementara kondisi fisiknya belum pulih. Ini menjadi tanda tanya kedua
bagi saya, karena dulu sewaktu belajar di sekolah, jelas sekali
dianjurkan bahwa seorang wanita harus memulihkan dahulu kondisinya pasca
melahirkan atau selesai masa nifas barulah bisa ia di dekati. Akhirnya
setelah beberapa kali konseling, si bapak tua itu akhirnya mau mengerti
dan menuruti permintaan isterinya. Walau ia awalnya bersikeras sebgai
isteri ia wajib patuh kepada suaminya apapun permintaan yg ia ajukan.
Kasus
lain yg cukup meninggalkan rekam jejak adalah kasus KDRT yang dialami
perempuan asal Afghanistan. Disini saya baru mengetahui betapa
mengenaskan jalan hidup yang mereka alami. Begitu menikah, mereka
sepenuhnya menjadi hak milik keluarga suami. Tinggal bersama keluarga
besar dan tidak memiliki ruang pribadi melainkan harus berbagi dengan
saudara ipar, mertua dan keluarga besar lainnya. Mereka tak pernah
mengenal suami tersebut sampai saat mereka menikah, syukur apabila dia
dilamar dengan baik-baik, menurut penuturan mereka tak jarang mereka
harus menjadi tumbal dari rasa "malu" yg timbul oleh perbuatan saudara
laki-laki mereka. Menurut cerita mereka, apabila seorang perempuan
berhubungan dengan laki-laki, misalnya berbicara di jalan, hal tersebut
akan dianggap penghinaan, untuk membalasnya maka saudara perempuan
laki-laki itu diserahkan kepada saudara laki-laki perempuan yg telah
didekatinya tersebut untuk dijadikan isteri. Isteri-isteri yang dinikahi
dengan cara seperti ini tak jarang mengalami siksaan mental maupun
fisik dari keluarga barunya.
Kerapkali perempuan-perempuan ini
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Salah satu kasus yg saya
tangani menimpa seorang wanita (R) yang menangis dan merasa tertekan
akibat mengalami kekerasan fisik dari suaminya, ia memperlihatkan
bilur-bilur merah di beberapa bagian tubuhnya akibat di pukulkan tali
pinggang suaminya. Hal yang sama juga menimpa wanita lain yang merasa
ketakutan karena ia dipukul oleh suaminya karena lambat menghidangkan
makanan. Yang lebih menyedihkan kedua wanita tersebut mengaku bahwa
sejak mereka menikah otomatis mereka tidak punya siapa-siapa lagi
melainkan anak-anak mereka saja. Praktis mereka tak pernah bertemu
dengan keluarganya, oleh berbagai sebab, karena ijin yg tak di berikan,
karena peperangan melanda sehingga seringkali terjadi pergerakan
domisili dan susah dilacak dan lain sebagainya.
Tingginya angka
KDRT ini terus terang meninggalkan pertanyaan besar bagi saya. Observasi
saya terhadap kejadian-kejadian tersebut bukan dimaksudkan bahwa budaya
mereka mengakomodasi KDRT karena KDRT bisa terjadi dimana saja, yang
menjadi pembeda adalah tindakan atau action apa yg tersedia yang bisa
menjadi pilihan mereka untuk keluar dari situasi tersebut. Dengan
situasi yang demikian terkungkung dan boleh dikatakan tidak memiliki
akses ke luar selain keluarga intinya, otomatis tak banyak pilihan yang
mereka miliki. Ketergantungan finansial, emosional, tak memiliki
pendidikan yang memadai untuk modal bertahan hidup, membuat dunia luar
benar-benar tidak ramah bagi mereka.
Terus terang, pengalaman ini
membuat saya mempertanyakan, benarkah tempat perempuan hanya di rumah
saja? seperti yang seringkali terlontar dari beberapa teman-teman
perempuan? karena jika saya tanyakan kepada perempuan pencari suaka
tersebut apa yg mereka harapkan bagi anak perempuannya, semuanya
menginginkan anak-anaknya termasuk anak perempuan bersekolah yang
tinggi, mendapat pendidikan, mampu mengemukakan pendapat dan berargumen
dengan cerdas, menjadi partner bagi pendampingnya dan bukan semata-mata
menjadi pengikut yang hanya mendengarkan dan wajib mematuhi, menjadi
independen sehingga nasib yg saat ini menimpa ibu mereka tidak terulang
lagi.
Jika saya membandingkan dengan perempuan Indonesia yg
mayoritas muslim, terasa sekali bahwa banyak keberuntungan yang mereka
peroleh karena budaya Indonesia secara umum tidak represif terhadap
perempuan. Perempuan di Indonesia bebas untuk mengakses pendidikan,
terbuka peluangnya untuk memilih profesi yang ia inginkan, baik menjadi
ibu rumah tangga, berkarir atau keduanya. Nah, kalau kita seberuntung
itu, kadang-kadang saya suka heran mengapa beberapa diantara perempuan
memilih untuk membelenggu dirinya sendiri dan berniat bersungguh-sungguh
mengadopsi sesuatu diluar kebiasaan yang mungkin kelihatan manis dari
luar tetapi bagi yang langsung mengalaminya merupakan pengalaman yang
pahit.
No comments:
Post a Comment
Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: