Showing posts with label Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Indonesia. Show all posts

Wednesday, November 20, 2013

"Boiling Hot" Hubungan Australia-Indonesia

Hubungan Australia-Indonesia sedikit memanas dalam beberapa hari terakhir. Kejadian ini dipicu oleh bocornya informasi intelijen Australia yang menyadap telepon beberapa tokoh penting Indonesia. Informasi ini pada awalnya diberitakan oleh harian the Guardian dan ABC news.

Di Australia sendiri ada pro dan kontra mengenai tindakan yang harus diambil perdana menteri Abbott terkait masalah ini. Sementara Indonesia meminta penjelasan Australia mengenai aksi ini seperti yang disampaikan oleh Menlu Marty Natalegawa maupun dari akun Twitter presiden SBY. Tetapi PM Abbott masih belum bergeming, jika sebelumnya ia mengatakan sadap-menyadap adalah hal biasa yang dilakukan antar negara, pada prescon (19/11) ia mengatakan penyesalan yang mendalam atas rasa malu yang diderita presiden SBY akibat pemberitaan di media mengenai aksi tersebut.

Sementara di parlemen Australia sendiri, pemimpin oposisi Bill Shorten menyarankan agar perdana menteri meniru langkah yang diambil presiden Obama terhadap kanselir Jerman, Angela Merkel dan berjanji Amerika akan menghentikan kegiatan tersebut. Hal senada disampaikan mantan menlu Australia, Bob Carr, agar pemerintah Australia meminta maaf.

Pernyataan PM Abbott yang kurang sensitif ini bukan baru sekali ini saja terdengar. Pada masa pre-pemilu Agustus-September 2013, ia menggemborkan "buy boat policy" yang ditujukan untuk membeli kapal-kapal sejenis yang biasa digunakan untuk membawa imigran ke Australia untuk dihancurkan serta "turning boat policy" seperti yang diterapkan Australia pada era kepemimpinan PM Howard satu dekade yang lalu. Pesan-pesan yang tampaknya sangat signifikan bagi audiens dalam negeri untuk memenangkan pemilu.

Belum jelas, langkah yang akan diambil PM Abbott, tampaknya ia masih menunggu surat protes resmi yang akan dikirim Presiden SBY dan mengindikasikan bahwa ia akan menanggapi surat tersebut dengan sopan dan sepenuh hati.

Monday, October 7, 2013

Film Review: The Act of Killing

Film besutan sutradara Joshua Oppenheimer ini berkisah tentang preman yang terlibat dalam pembunuhan tokoh-tokoh yang terlibat PKI di era tahun 65-an.

Anwar Congo yang merupakan tokoh utama film ini didampingi rekannya sesama pelaku, A Zulkadry serta Herman Koto, tokoh preman yang lebih muda, mengisahkan kembali tindakan pembunuhan yang mereka lakukan, dengan berbagai cara termasuk mengunjungi lokasi pembunuhan, mereka ulang kejadian-kejadian yang berujung pada pembunuhan tersebut termasuk dengan adegan-adegan teatrikal yang disisipkan dalam film ini dimana Herman Koto berperan  sebagai waria dengan dandanan yang menyolok.

Film ini juga memberi gambaran betapa para pelaku justru di puji bagai pahlawan justru dengan pembunuhan yang mereka lakukan. Beberapa dekade setelahnya, Anwar Kongo yang mulai memasuki usia sepuh menjadi pentolan organisasi Pemuda Pancasila.

Sekilas film ini juga menyoroti aksi Pemuda Pancasila yang sejatinya berjuang mempertahankan Pancasila tetapi kenyataannya menjadi kanker dalam masyarakat. Tokoh-tokoh pemuda itu yang kebanyakan adalah preman mendatangi kios-kios di pasar Medan yg dimiliki warga keturunan Tionghoa dan meminta sumbangan disertai ancaman. Dan para pedagang itu dengan senyum kecut dan terpaksa harus memberi uang sesuai yang diminta.

Ada juga narsisisme yang kuat tertangkap di dalam film ini, baik dari tuturan Anwar sendiri maupun Herman Koto yang bercita-cita menjadi anggota dewan. "Mengapa tidak mau (nyaleg)?", ujarnya. "Saya sudah pantas menjadi caleg karena sudah dikenal, kalo lolos kan bisa dapat uang dari manapun, bisa dapat sogokan dari mana-mana", sambil memberi contoh bagaimana ia bisa mengeruk uang dengan posisi sebagai anggota dewan. Lalu Anwar sendiri terdengar bijak dengan mengatakan anggota DPR adalah perampok berdasi.

Herman boleh jadi terinspirasi dari Marzuki, tokoh PP yang saat ini menjadi anggota dewan dari partai Golkar. Dengan polosnya Marzuki membeberkan bagaimana organisasi tersebut mengeruk uang dari kegiatan perjudian, illegal logging, illegal fishing, penyelundupan barang, memeras pengusaha. Dengan posisinya sebagai anggota dewan, ia lebih kuat karena orang-orang tersebut (yang ia peras) tahu bahwa ia memiliki jaringan dengan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya.

Dan uniknya lagi, pada acara pertemuan organisasi ini juga dimulai dengan doa, yang membuat mereka terlihat "absurd", mungkin sama halnya dengan berbagai kejahatan lain di negeri ini yang sulit dibedakan karena dibungkus dengan agama.

Ternyata tidak hanya preman yang terlibat dalam pembunuhan ini, yang lebih mengejutkan seorang wartawan senior Medan Pos, (IS) juga terlibat dalam menginterogasi korban dan memutuskan siapa yang pantas dibunuh. Termasuk menyiarkan propaganda seolah-olah korban sangat jahat sehingga mereka memang layak menerima hukuman yang keji tersebut.

Berbeda dengan Anwar yang sedari awal merasa bangga dengan aksinya, Adi justru dengan lugas mengatakan, pihaknya lah yang salah, namun hingga akhir film ia tetap berpegang bahwa ia tak perlu merasa bersalah atas aksinya.

Sementara Anwar sendiri, yang pada awalnya terasa tidak memiliki empati terhadap para korban, pada akhirnya di salah satu adegan menyadari, inilah ketakutan yang dialami korbannya ketika menghadapi maut yang ia hantarkan lewat tangannya sendiri. Ia yang selama ini dihantui mimpi buruk, dan berusaha menutupi kegelisahannya dengan menggembar-gemborkan bahwa ia adalah pahlawan, pada akhirnya dalam satu adegan dimana ia berperan sebagai korban, tampaknya di dera perasaan bersalah.

Film ini menarik bukan karena unsur sejarahnya, yang memang minim tetapi jujur bertutur tentang pembunuhan massal yang terjadi pasca G.30S/PKI lewat pelakunya sendiri. Film ini dalam pandangan saya juga memberi kesempatan penyembuhan bagi Anwar Kongo sendiri dan pelaku lainnya.

Film ini meninggalkan pertanyaan besar bagi saya, apa yang sebenarnya dilakukan oleh gerakan komunis sehingga mereka diganjar hukuman berat tak berperi kemanusiaan seperti ini? Hukuman yang membabi buta, tanpa peradilan dan berdampak pada ribuan nyawa. Informasi tentang gerakan komunis ini tampaknya masih tertutup kabut dan lebih banyak mengandalkan propaganda Orde Baru yang kejujurannya patut dipertanyakan.

Film ini juga membuka kesempatan bagi rekonsiliasi nasional serta meluruskan kembali sejarah bangsa, dan sudah selayaknya negara meminta maaf dan memberi kompensasi bagi keluarga korban.

Note: bagi mereka yang tinggal di Indonesia, film ini dapat di unduh di: theactofkilling.com


Sunday, September 8, 2013

Gili air surganya leyeh leyeh

Udara hangat dan deburan ombak di pasir putih menyambut kedatangan kami di Gili Air. Di sisi kanan jalan utama pulau itu, banyak turis yang berjemur di pantai, sebagian lagi ber-snorkeling. Sekilas saya melihat beberapa kapal menaikkan dan menurunkan penumpang untuk kegiatan snorkeling ini di pantai di depan restoran Scallywags. Tampaknya lokasi ini menjadi tujuan utama pengunjung yang ingin bersnorkeling di pulau ini.


Sementara di jalan yang kecil tersebut, cidomo berlalu lalang menawarkan angkutan kepada pejalan kaki maupun turis yang menuju hotel atau pelabuhan. Beberapa cidomo berhenti dibeberapa hotel dan melanjutkan perjalanan, mencari akomodasi yang sesuai bagi penumpangnya. Namun di kebanyakan penginapan tertulis "No Vacancy", mengingat ramainya pengunjung di bulan-bulan musim panas terutama Juli-Agustus.



Kami beruntung telah membooking dari beberapa bulan sebelumnya, dan mendapat kamar di timur laut yang jauh dari keramaian tetapi masih nyaman untuk berjalan kaki ke restoran di bagian selatan maupun utara. Dan hanya berjarak sekitar 15 meter dari bibir pantai.

Segera saja, kami memutuskan untuk berjalan mengelilingi pulau dan mencari titik untuk menyaksikan matahari tenggelam. Jalan kaki keliling pulau dengan mengikuti jalan utama yang mengitari Gili Air hanya makan waktu kurang lebih satu jam.


Pada kesempatan lainnya, kami memutuskan berjalan kaki menyusuri bagian dalam pulau, melewati cottages-cottages sederhana, villa besar, maupun perumahan masyarakat lokal, mencicipi masakan asli yang rasanya lebih pas buat lidah Indonesia dibanding berbagai kafe dan resto yang berjejer di sepanjang pantai, dan terkejut sekaligus bangga ketika mendapati fasilitas pembangkit listrik tenaga surya di pulau sekecil itu. Dan berharap semoga setiap kecamatan di Indonesia memiliki fasilitas yang sama sehingga "mati lampu" yang telah menjadi kegiatan rutin di berbagai kota tidak perlu lagi terjadi. Dan yang terpenting tidak perlu membuang dana besar untuk sumber energi ini karena matahari lumayan "generous" dengan lokasi Indonesia yang di ekuator.


Tinggal di Gili Air dalam pengamatan saya mendapat berkah ganda. Dari pulau ini pengunjung dapat menyaksikan matahari terbit dengan latar belakang gunung Rinjani yang indah dan matahari tenggelam dengan latar belakang Gunung Agung.


Dan sebagaimana dua Gili lainnya merupakan tempat yang pas untuk menghilangkan lelah dan menenggelamkan diri dalam ekstasi keindahan tiada henti. Dimulai dari ritual bangun pagi disambut kicauan burung, menunggu matahari terbit, dilanjutkan sarapan, beraktivitas di pantai, tidur siang diatas pasir, menyeruput segelas jus jeruk nipis di udara terik, bermalas-malasan di berugak setelah makan siang sambil membaca buku, hingga menikmati aneka ikan bakar sajian restoran lokal pada malam hari dan masih dimanjakan deburan ombak pengantar tidur.

Baru saja, menginjakkan kaki ke atas kapal cepat Samayya menuju Bali, kami berdua mulai berbincang untuk kembali lagi ke sini. Ahh Gili, keindahanmu selalu membuat kami ingin segera kembali.


Tips:
Informasi tentang gili bisa diunduh dari website ini:
http://www.gili-paradise.com/

Akomodasi:
Casa Mio
Sejuk Cottages
Orong Village
Damai Homestay

Restoran:
Chill Out restaurant
Restoran disamping Casa Mio- lupa namanya (ikan bakar dan sambalnya paling yummy)
Scallywags (snorkeling spot di depannya)
Biba beach
The beach front
Mangkune (cafe strategis untuk melihat matahari tenggelam)








Thursday, September 5, 2013

Pulang ke kotaku 3: Lombok menuju Gili Air

Setelah menghabiskan nyaris dua pekan di Medan, bersilaturahmi dengan keluarga besar dan teman-teman lama, saatnya melanjutkan perjalanan edisi mudik tahun ini.

Pelabuhan Gili Air
Pulang ke kota selajutnya adalah berkunjung ke pulau Lombok, tempat bekerja dalam kurun 2002-2004. Diantara kota-kota yang pernah saya tinggali dan kunjungi di Indonesia, Mataram mendapat tempat yang istimewa. Kota Mataram yang tidak terlalu besar bagi saya sangat ideal menjadi tempat tinggal. Jalanan yang masih jauh dari kemacetan, pasar tradisional yang masih berfungsi, sebuah mall dengan supermarket di lantai dasar yang menjual berbagai kebutuhan, taman-taman kota yang mudah dijumpai serta jaraknya yang relatif dekat ke berbagai objek wisata seperti Suranadi, taman Narmada, dan pantai Senggigi.

Penerbangan yang mengalami "delay" selama tiga jam dari bandar udara Juanda membuat kedatangan di Lombok Praya lumayan telat. Saya berasumsi akan makan waktu yang lama untuk tiba di Mataram mengingat bandara yang baru ini berada di Lombok Tengah yang justru dekat dengan pantai Kuta di Lombok Selatan.

Kenyataan bahwa kami berkendara pada malam hari dimana tidak begitu banyak kendaraan di jalan dan ditambah lagi dengan jalanan yang rapi dan lebar membuat perjalanan tersebut terasa nyaman dan ditempuh kurang lebih satu jam. Mudita, teman kerja di organisasi kemanusiaan dulu saat ini telah beralih ke bisnis travel pasca ditutupnya kantor tersebut pada akhir tahun 2010.

Malam telah cukup larut ketika kami tiba di Lombok Raya, tempat bermalam sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya ke tujuan utama kami, Gili Air.

Pagi-pagi sekali, saya menyempatkan diri berjalan keluar dari hotel dan menyusuri pasar oleh-oleh khas Lombok yang ada disamping Mataram Mall. Dulu, toko-toko dikawasan (Jl. Cilinaya) ini adalah tempat belanja oleh-oleh "cepat" ketika terbang dari Lombok. Berbagai macam produk asli Lombok bahkan Sumbawa dapat di temui di tempat ini, mulai dari berbagai motif kain tenunan, perhiasan dari mutiara hingga makanan kecil khas daerah ini. Saya mendapat sepasang anting-anting mutiara dengan harga yang sangat murah di tempat ini.

Tepat pada waktu yang disepakati, Mudita menjemput kami dari hotel menuju pelabuhan Bangsal. Pelabuhan yang menjadi titik keberangkatan ke tiga gili: Trawangan, Meno dan Air. Tetapi sebelumnya, kami singgah di hotel Wisata (Jl. Koperasi-Ampenan), bertemu dengan si pemilik ibu Erlina, yang dulu menjadi rekanan kantor dalam mengurus pengungsi. Ibu masih tetap enerjik meski sepuluh tahun telah berlalu. Ia masih mengelola sendiri hotel tersebut dan baru saja melakukan renovasi pasca ditinggalkan pengungsi yang dulu kami tempatkan disana.

Tak lama, kami sudah kembali ke jalan, kali ini melewati Senggigi, berhenti sejenak di Malimbu dan Kerandangan, menikmati pemandangan pantai yang indah dengan pasir putih dan air laut berwarna turquoise, biru kehijau-hijauan. Sementara jika melihat ke arah utara, akan terlihat ketiga gili dari kejauhan.

Tiba di Bangsal, kami membayar tiket masuk dan mobil langsung mengarah ke kantor pelabuhan. Terkadang tidak mudah untuk bisa langsung ke kantor pelabuhan, biasanya penumpang disuruh turun dan naik cidomo yang nangkring di dekat pos tersebut meski jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Beberapa tahun yang lalu, saya dipaksa turun dari kendaraan didudukkan di toko terdekat dan dipaksa membeli barang-barang kerajinan. Perlakuan ini membuat banyak orang akhirnya menghindari Bangsal dan langsung menuju Gili lewat pelabuhan Padang Bai, Bali.

Di kantor pelabuhan kami mendapat informasi bahwa kapal publik yang ke Gili Air hanya hingga jam 10 pagi. Wah! Lenyap deh harapan membayar kapal seharga 8000,- rupiah saja. Mau tidak mau harus menyewa kapal sendiri atau mencari "traveller" lain yang ingin menyeberang kesana sehingga bisa "sharing cost". Oleh mbak-mbak petugas tiket kami diarahkan ke bagian timur alias kantor yang berseberangan, menurut dia ada beberapa orang yang akan menyeberang dari sana.

Kami ditawarkan menyeberang dengan harga 250.000,-. Sedikit lebih murah dari harga sewa kapal resmi pelabuhan. Tapi dari pengalaman-pengalaman sebelumnya saya paham, bahwa kami bukan satu-satunya yang akan naik ke kapal tersebut. "Tetapi tidak ada penumpang lain di kapal kan, dengan harga segitu?" jawab saya. Si Mas senyum mesem-mesem, lalu menjawab," baiklah 150.000,- saja buat berdua. Yah namanya juga subsidi silang, dan benar saja, begitu kapal akan berangkat maka munculah sekitar 40 orang penumpang lagi dengan berbagai barang bawaan mereka. Tak berapa lama kapal mulai meninggalkan pelabuhan dan sesaat sebelum mencapai Gili Air, ombak terasa cukup besar dan membuat kapal naik turun di tengah gelombang. Lalu laut kembali tenang ketika mendekati pelabuhan Gili Air. Tips: pakailah celana pendek dan sandal jepit ketika menyeberang karena mau tidak mau kita akan terciprat air laut untuk naik dan turun dari kapal.

Wednesday, December 5, 2012

Perjalanan ke Flores 7: Taman Nasional Rinca dan Komodo


Hari ini,  hari terakhir kami di Flores dan Labuhan Bajo, pagi-pagi sekali Amsterdam,mobil yang kami sewa,  menjemput kami untuk belanja snack dan minuman sebelum bertolak ke P. Rinca dan P. Komodo. Jam sepuluh pagi kapal kecil yang kami tumpangi bergerak meninggalkan Labuhan Bajo  menuju Pulau Rinca. Saatnya mengucapkan terima kasih kepada pak supir dan Amsterdam yang telah mengantarkan kami beberapa hari ini.

Dalam perjalanan selanjutnya, ke taman nasional Rinca dan Komodo dan selanjutnya berlayar ke Lombok, kami kedatangan dua anggota baru, sepasang orang Perancis, sehingga total ada empat orang Perancis dalam kelompok kami. Kalau teman jalan kami adalah sepasang Perancis akademisi yang malu-malu dan suka senyum kalau yang dua ini sangat senang berbicara dan terlihat percaya diri. Dalam perjalanan menuju Taman Nasional, awak kapal mengantarkan kami snorkeling di sebuah pulau kecil dengan pantainya yang berwarna kemerahan.

Segera saja semuanya terjun ke laut berenang dan ber-snorkeling sepuas-puasnya. Tak jarang,  kami yg sedang asik ger-snorkelling  terkaget-kaget merasakan gigitan ikan-ikan kecil yg berenang di dekat kami. Ternyata ukuran besar bukan berarti menjadi jaminan keselamatan, ha ha.

Pantai merah diselimuti pasir putih yang bercampur dengan butir pasir merah yang berasal dari pecahan koral berwarna merah yang banyak terdapat disana. Kami berenang cukup jauh menuju pantai karena awak kapal tidak mau membuang jangkar terlalu dangkal dan merusak koral, kesadaran yang cukup mendalam bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dari parawisata bahari ini. (Bagi teman-teman yang kurang mahir berenang ada baiknya membawa pelampung ketika turun dari kapal mengingat jaraknya yang cukup jauh ke pantai.)

Koralnya sendiri sangat indah, membentuk bunga-bunga yang berwarna-warni dan bahkan beberapa titik didominasi warna hijau dan merah, dan tentunya banyak sekali ikan yg berenang dengan berbagai ukuran. Keindahan ini mengingatkan saya ketika  ber-snorkelling di Gili Nanggu di Lombok beberapa waktu lalu. Ada perasaan takjub yang luar biasa saat menikmati keindahan karang dan berenang bersama ikan-ikan, seolah-olah kita menjadi bagian dari habitat disekitar pantai tersebut.

Naik kembali ke kapal dan berlayar meninggalkan pantai merah menjelang senja,  makan malam sudah menunggu, hmm,.. menu ikan bakar segera ludes dalam sekejap. Malam itu kami menginap diatas kapal yang berhenti di balik pulau kelelawar untuk melanjutkan perjalanan esok harinya.



DS Photography
Jembatan panjang dari sandaran kapal

Pagi-pagi sekali, pelayaran dilanjutkan dan kami menginjakkan kaki di Pulau Rinca. Jembatan kayu panjang menjadi tempat sandaran dan pintu utama memasuki kawasan Taman Nasional Komodo. Setelah membeli karcis masuk kami dikawal oleh ranger setempat mulai berjalan kaki di seputar taman nasional, melewati sarang komodo berupa timbunan tanah dan dedaunan yang menjadi tempat komodo ngadem, melihat bayi komodo dipucuk pohon, serta bertemu dua ekor kerbau liar, rusa dan akhirnya sampai di atas bukit dengan pemandangan yang "ruarrr biasa"


Mejeng sejenak di Pulau Komodo
Selanjutnya kami berlayar  menuju ke Pulau Komodo dan di kejauhan terlihat Kampung Komodo "yang terletak memanjang ditepi pantai". Memasuki gerbang Pulau Komodo, kami disambut tiga ekor komodo remaja, kami yang sedikit was-was, satu persatu memanjat gapura,..kayanya semuanya pada takut kalo sampe digigit oleh si Komo, ditempat ini banyak komodo berjalan-jalan disekitar rumah-rumah yang menjadi bagian dari Komodo Nasional Park. Berbeda dengan Rinca yang hanya ada satu ekor komodo yang kami lihat dari jauh di jembatan menuju Rinca.

Setelah puas berjalan kaki mengitari kawasan di dekat pos penjaga dan sedikit mengeksplorasi kawasan di sekitarnya, kami naik lagi ke kapal dan perlahan lahan bergerak menuju laut Sumbawa.

DS Photography
Komodo remaja menyambut kami di Pulau Komodo


Kapal kami terus bergerak menantang ombak  melewati Pulau Sangiang dan "somewhere in the ocean" menjelang malam, sang kapitan menanyakan apa kita mau mandi, yang tentu saja kami sambut dengan gembira,..ia lalu mengurangi kecepatan dan mengarahkan kapal pada sebuah area yang penuh koral dan lebih dangkal, gelombang membentuk riak-riak kecil seperti lingkaran dengan warna hijau turqoise didalam lingkarannya. Sepertinya acara mandi sore itu tidak bisa singkat,  Pak Kapitan telah meneriaki kita untuk segera naik tapi tak ada satupun yang mau beranjak sehingga mau tak mau dia menyalakan mesin kapal dan berpura-pura me ninggalkan kita, akhirnya dengan berat hati semuanya naik kembali ke kapal menuju pulau Satonda.

Pagi harinya saya bangun pagi-pagi dan "luckily" melihat sepasang lumba-lumba yang berenang berputar dalam harmoni, sayang yang lain belum pada bangun, tak berapa lama  kita sampai di Satonda. Pulau ini memiliki danau air tawar ditengah-tengahnya, pemandangannya cukup bagus, dan ada jalan setapak mendaki menuju danau, terdapat pura kecil yang digunakan umat Hindu bersembahyang, setelah berenang dilautan sepertinya minat untuk berenang di danau drastis berkurang.

Kru kapal menurunkan sampan kecil dan mengantar kami ke pantai Satonda, sekilas Satonda terlihat seperti sebuah bukit, kami mendaki menuju puncaknya lalu berjalan turun menuju danau, di jalan kami berpapasan dengan beberapa orang, diantaranya perempuan memakai kebaya, persis seperti perempuan-perempuan Bali yang pergi bersembahyang. Ketika kembali ke kapal, tak seorangpun tampaknya tertarik menaiki sampan, kami menceburkan diri ke pantai dan berenang ke kapal,  hanya kamera-kamera kami yang naik sampan.

Kapal terus berlayar dilaut Sumbawa yang tidak ada ramah-ramahnya, ditengah laut kami diombang-ambingkan ombak, terkadang sedikit bergidik melihat langit yang dipenuhi awan gelap, untungnya penumpangnya lumayan kuat, buktinya tak ada seorangpun yang sampai mabuk berat,  puyeng sedikit iya, kita menghabiskan hari dengan berjemur, ngobrol, main kartu dan membaca buku.

DS Photography
Kapal-kapal yang mengantarkan pengunjung ke Taman Nasional Komodo.


Sang kapitan menunjuk kearah pulau Medang, tempat asal kapal yang kami tumpangi. Mereka seluruhnya berasal dari pulau yang terletak di laut Sumbawa ini. 

Malam terakhir di kapal, kami menghabiskan waktu dengan "telling the story of ourselves" apa aja termasuk yang malu-maluin, and "everyone seemed to enjoy it". Dari kejauhan terlihat lampu-lampu berkerlap-kerlip dari daratan Sumbawa yang tak terlihat karena tertutup malam pekat.

Keesokan harinya kapal merapat di Pulau Moyo, disini kami berjalan kaki meninggalkan pantai menuju sungai dan air terjun. Hmm...lumayan asik seger-segeran di air tawar, setelah beberapa hari ini, kami hanya bersinggungan dengar air asin. Segera saja kami berloncatan dari tebing disekitar air terjun, dan berpuas-puas berenang di lubuk sungai itu, namun, kesegaran air tawar pulau Moyo jadi tak bersisa, begitu kami kembali berenang menuju kapal meninggalkan Pantai Moyo.

Sore harinya, kapal kami akhirnya sampai di Labuan, Lombok, akhirnya "4 days 3 night trips of being anak buah kapal" pun berakhir. Ada rasa yang campur aduk antara sedih dan gembira, ketika mengucapkan perpisahan, mengingat pengalaman beberapa hari belakangan ini menciptakan semacam ikatan diantara kami. Beberapa teman melanjutkan "adventure" mereka mendaki Rinjani, lainnya menuju Gili-gili di Lombok.

Sementara kami bertiga akan menginap semalam di Mataram, "the city where I used to live for 2 years", puas-puasin makan ayam taliwang di resto 2M di Cakranegara, selanjutnya kami terbang dan menghabiskan satu hari lagi di Bali sebelum bertolak ke Jakarta.


DS Photography
Kapal  kami beserta kru-nya, muchas gracias!

"Thanks to the boat crews" atas keramahan dan pelayanan yang sangat baik!! Dalam hati saya "make a wish" semoga suatu saat bisa kembali lagi ke Flores, menikmati keindahannya dan mengalami perjalanan yang berbeda, mungkin "overland" dari Flores, melewati daratan Sumbawa melintas ke Lombok dan bermalas-malasan di Gili Meno atau Gili Nanggu, pulau favorit saya (amin).

Ps: Bagi teman-teman yg ingin mencari tahu ttg wisata Flores bisa dilihat disini : www.floresexplore.com