Film besutan sutradara Joshua Oppenheimer ini berkisah tentang preman yang terlibat dalam pembunuhan tokoh-tokoh yang terlibat PKI di era tahun 65-an.
Anwar Congo yang merupakan tokoh utama film ini didampingi rekannya sesama pelaku, A Zulkadry serta Herman Koto, tokoh preman yang lebih muda, mengisahkan kembali tindakan pembunuhan yang mereka lakukan, dengan berbagai cara termasuk mengunjungi lokasi pembunuhan, mereka ulang kejadian-kejadian yang berujung pada pembunuhan tersebut termasuk dengan adegan-adegan teatrikal yang disisipkan dalam film ini dimana Herman Koto berperan sebagai waria dengan dandanan yang menyolok.
Film ini juga memberi gambaran betapa para pelaku justru di puji bagai pahlawan justru dengan pembunuhan yang mereka lakukan. Beberapa dekade setelahnya, Anwar Kongo yang mulai memasuki usia sepuh menjadi pentolan organisasi Pemuda Pancasila.
Sekilas film ini juga menyoroti aksi Pemuda Pancasila yang sejatinya berjuang mempertahankan Pancasila tetapi kenyataannya menjadi kanker dalam masyarakat. Tokoh-tokoh pemuda itu yang kebanyakan adalah preman mendatangi kios-kios di pasar Medan yg dimiliki warga keturunan Tionghoa dan meminta sumbangan disertai ancaman. Dan para pedagang itu dengan senyum kecut dan terpaksa harus memberi uang sesuai yang diminta.
Ada juga narsisisme yang kuat tertangkap di dalam film ini, baik dari tuturan Anwar sendiri maupun Herman Koto yang bercita-cita menjadi anggota dewan. "Mengapa tidak mau (nyaleg)?", ujarnya. "Saya sudah pantas menjadi caleg karena sudah dikenal, kalo lolos kan bisa dapat uang dari manapun, bisa dapat sogokan dari mana-mana", sambil memberi contoh bagaimana ia bisa mengeruk uang dengan posisi sebagai anggota dewan. Lalu Anwar sendiri terdengar bijak dengan mengatakan anggota DPR adalah perampok berdasi.
Herman boleh jadi terinspirasi dari Marzuki, tokoh PP yang saat ini menjadi anggota dewan dari partai Golkar. Dengan polosnya Marzuki membeberkan bagaimana organisasi tersebut mengeruk uang dari kegiatan perjudian, illegal logging, illegal fishing, penyelundupan barang, memeras pengusaha. Dengan posisinya sebagai anggota dewan, ia lebih kuat karena orang-orang tersebut (yang ia peras) tahu bahwa ia memiliki jaringan dengan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya.
Dan uniknya lagi, pada acara pertemuan organisasi ini juga dimulai dengan doa, yang membuat mereka terlihat "absurd", mungkin sama halnya dengan berbagai kejahatan lain di negeri ini yang sulit dibedakan karena dibungkus dengan agama.
Ternyata tidak hanya preman yang terlibat dalam pembunuhan ini, yang lebih mengejutkan seorang wartawan senior Medan Pos, (IS) juga terlibat dalam menginterogasi korban dan memutuskan siapa yang pantas dibunuh. Termasuk menyiarkan propaganda seolah-olah korban sangat jahat sehingga mereka memang layak menerima hukuman yang keji tersebut.
Berbeda dengan Anwar yang sedari awal merasa bangga dengan aksinya, Adi justru dengan lugas mengatakan, pihaknya lah yang salah, namun hingga akhir film ia tetap berpegang bahwa ia tak perlu merasa bersalah atas aksinya.
Sementara Anwar sendiri, yang pada awalnya terasa tidak memiliki empati terhadap para korban, pada akhirnya di salah satu adegan menyadari, inilah ketakutan yang dialami korbannya ketika menghadapi maut yang ia hantarkan lewat tangannya sendiri. Ia yang selama ini dihantui mimpi buruk, dan berusaha menutupi kegelisahannya dengan menggembar-gemborkan bahwa ia adalah pahlawan, pada akhirnya dalam satu adegan dimana ia berperan sebagai korban, tampaknya di dera perasaan bersalah.
Film ini menarik bukan karena unsur sejarahnya, yang memang minim tetapi jujur bertutur tentang pembunuhan massal yang terjadi pasca G.30S/PKI lewat pelakunya sendiri. Film ini dalam pandangan saya juga memberi kesempatan penyembuhan bagi Anwar Kongo sendiri dan pelaku lainnya.
Film ini meninggalkan pertanyaan besar bagi saya, apa yang sebenarnya dilakukan oleh gerakan komunis sehingga mereka diganjar hukuman berat tak berperi kemanusiaan seperti ini? Hukuman yang membabi buta, tanpa peradilan dan berdampak pada ribuan nyawa. Informasi tentang gerakan komunis ini tampaknya masih tertutup kabut dan lebih banyak mengandalkan propaganda Orde Baru yang kejujurannya patut dipertanyakan.
Film ini juga membuka kesempatan bagi rekonsiliasi nasional serta
meluruskan kembali sejarah bangsa, dan sudah selayaknya negara meminta
maaf dan memberi kompensasi bagi keluarga korban.
Note: bagi mereka yang tinggal di Indonesia, film ini dapat di unduh di: theactofkilling.com
Showing posts with label Film Review. Show all posts
Showing posts with label Film Review. Show all posts
Monday, October 7, 2013
Tuesday, October 1, 2013
Review film "Blue Jasmine".
Setelah menonton beberapa film besutan Woody Allen sebelumnya seperti Manhattan, Husband and Wife, hingga ke film-filmnya yang lebih baru seperti Vicky Christina Barcelona dan Midnight in Paris, film terakhir ini Woody Allen terasa kembali ke tema-tema yang lebih serius dan dalam.
Kate Blanchet pun sangat apik dalam perannya sebagai Jasmine atau Jeanette, wanita dari kalangan atas yang tinggal di East Side, New York yang pada akhirnya kehilangan segalanya, kekayaan, rumah mewah, perhiasan dan suami yang kaya raya.
Lalu Jasmine yang terbiasa hidup mewah, dengan pergaulan sosialnya mau tak mau harus memulai lagi dari nol. Film ini menceritakan dilema yang dialami Jasmine, dari penyangkalan diri terhadap situasi yang dialaminya, terutama dengan mempertahankan gaya berpakaian yang trendi, terbang ke San Francisco dengan "business class" untuk menumpang hidup dengan saudara perempuannya dan praktis tak memiliki uang serta diserang "nervous breakdown". Lalu mampukah ia melalui semuanya?
Yang jelas Woody Allen, sangat jeli sekali dalam membangun karakter-karakter yang kuat dan kontras antar pemain film ini. Dengan apik ia mengambarkan tingkah polah dan interaksi antar tokoh dalam film tersebut. Kepiawaiannya dalam menangkap gelagat kalangan atas dan bawah terasa sangat menggigit seperti halnya dalam film-film karyanya sebelumnya.
Dengan film ini Kate Blanchet pantas diganjar Oscar.
Kate Blanchet pun sangat apik dalam perannya sebagai Jasmine atau Jeanette, wanita dari kalangan atas yang tinggal di East Side, New York yang pada akhirnya kehilangan segalanya, kekayaan, rumah mewah, perhiasan dan suami yang kaya raya.
Lalu Jasmine yang terbiasa hidup mewah, dengan pergaulan sosialnya mau tak mau harus memulai lagi dari nol. Film ini menceritakan dilema yang dialami Jasmine, dari penyangkalan diri terhadap situasi yang dialaminya, terutama dengan mempertahankan gaya berpakaian yang trendi, terbang ke San Francisco dengan "business class" untuk menumpang hidup dengan saudara perempuannya dan praktis tak memiliki uang serta diserang "nervous breakdown". Lalu mampukah ia melalui semuanya?
Yang jelas Woody Allen, sangat jeli sekali dalam membangun karakter-karakter yang kuat dan kontras antar pemain film ini. Dengan apik ia mengambarkan tingkah polah dan interaksi antar tokoh dalam film tersebut. Kepiawaiannya dalam menangkap gelagat kalangan atas dan bawah terasa sangat menggigit seperti halnya dalam film-film karyanya sebelumnya.
Dengan film ini Kate Blanchet pantas diganjar Oscar.
Wednesday, July 3, 2013
Film-film Terfavorit Sepanjang Masa
Baru-baru ini seorang teman bertanya, kalau kamu harus pergi mengungsi ke pulau terpencil tetapi masih bisa menonton film dan dibolehkan membawa 3 film, maka apa yang kamu bawa?
Hmmm....ding! dong! Setelah mempertimbangkan berbagai kriteria antara lain, emosi yang dirasakan ketika menonton film, rasa penasaran yang tak putus sepanjang film ditayangkan, kemampuan film membuat penonton mengambil beragam interpretasi, serta yg terpenting "awareness" atau kesadaran baru yang timbul dalam pemikiran aka "the moment of truth" yang didapatkan seusai menyaksikan sebuah film, maka "eng", "ing", "eng", inilah pemenangnya.
1. Roshomon (1950) oleh Akira Kurosawa
Roshomon bercerita tentang bagaimana sebuah kejadian atau insiden yang sama dipandang dari tiga sudut yang berbeda oleh orang-orang yang memberi kesaksian. Kesaksian untuk mengungkap kebenaran yang nyatanya terpengaruh dari ego atau kepentingan si pemberi kesaksian itu sendiri. Yang saya sukai dari film ini adalah bagaimana Kurosawa mampu menampilkan berbagai realita dari kejadian yang sama lewat kesaksian-kesaksian tersebut (samurai, bandit, isteri samurai dan penebang kayu) . Dan sebagai perempuan saya menarik kritik dari Kurosawa tentang perempuan dan kesucian perempuan mungkin pada masa itu. Bagaimana isteri sang Samurai yang telah dinodai kesuciannya oleh Tajomaru si bandit, menolak untuk hidup dengan si pemerkosa dan memilih untuk menyelamatkan nyawa sang suami. Suami yang nyawanya ia perjuangkan menolaknya karena kesuciannya yang telah ternoda. Isteri samurai lalu menantang keduanya untuk berkelahi dan mengatakan bahwa keduanya, suaminya dan Tajomaru bukanlah lelaki yang sesungguhnya, karena seorang laki-laki akan berjuang untuk mendapatkan cinta seorang perempuan.
2. Persona (1966) oleh Ingmar Bergman
Fanny dan Alexander adalah titik temu saya denga karya Bergman. Seperti halnya film ini, "Persona" memberi efek yg sama. Yakni interpretasi yang beragam setiap kali saya menonton ulang film ini. Persona berkisah tentang hubungan seorang aktris terkenal, Elisabeth, yang tiba-tiba tidak lagi berbicara sehingga harus dirawat, dengan perawatnya, Alma. Bergman menampilkan tayangan mengenai perang Vietnam, korban holocaust yang tampaknya mempengaruhi aksi diam Elisabet. Disini terjadi pergeseran fungsi, dengan diamnya Elisabet, maka Alma sang perawatlah yang terus berbicara. Sehingga justru Alma menemukan terapi pada Elisabet yang seharusnya ia rawat, dan ia juga mengungkapkan rahasia-rahasia pribadinya. Persona membawa saya pada kesadaran bagaimana kepribadian kita dipengaruhi oleh orang-orang disekitar kita. Meski setiap orang yakin ia adalah unik dan orisinil tetapi pada akhirnya karakter yang kuat akan mempengaruhi karakter yang lemah sehingga terjadilah "copycat", si peniru tidak bisa lagi membedakan antara dirinya dan apa yang ia tiru.
Dalam film-filmnya Bergman, saya sekilas merasakan pertanyaanya tentang keotentikan, tentang kebebasan dan berpikir independen, tentang asumsi yang patut dipertanyakan akan sesuatu yang dianggap kebenaran mutlak, tentang ketakutan-ketakutan dan kegelisahan kita dalam menjalani hidup.
3. The Wizard of Oz (1939) oleh L. Frank Baum
Film satu ini meskipun berlatar musikal dan banyak di tonton anak-anak, tetap asik ditonton berulang kali. Film yang dibintangi Judy Garland ini berkisah tentang pencarian diri, untuk setiap orang yang mencari jati dirinya, ia tak perlu jauh-jauh, karena sesunggunya ia bisa mencari dari dalam dirinya sendiri.
Hmmm....ding! dong! Setelah mempertimbangkan berbagai kriteria antara lain, emosi yang dirasakan ketika menonton film, rasa penasaran yang tak putus sepanjang film ditayangkan, kemampuan film membuat penonton mengambil beragam interpretasi, serta yg terpenting "awareness" atau kesadaran baru yang timbul dalam pemikiran aka "the moment of truth" yang didapatkan seusai menyaksikan sebuah film, maka "eng", "ing", "eng", inilah pemenangnya.
1. Roshomon (1950) oleh Akira Kurosawa
Roshomon bercerita tentang bagaimana sebuah kejadian atau insiden yang sama dipandang dari tiga sudut yang berbeda oleh orang-orang yang memberi kesaksian. Kesaksian untuk mengungkap kebenaran yang nyatanya terpengaruh dari ego atau kepentingan si pemberi kesaksian itu sendiri. Yang saya sukai dari film ini adalah bagaimana Kurosawa mampu menampilkan berbagai realita dari kejadian yang sama lewat kesaksian-kesaksian tersebut (samurai, bandit, isteri samurai dan penebang kayu) . Dan sebagai perempuan saya menarik kritik dari Kurosawa tentang perempuan dan kesucian perempuan mungkin pada masa itu. Bagaimana isteri sang Samurai yang telah dinodai kesuciannya oleh Tajomaru si bandit, menolak untuk hidup dengan si pemerkosa dan memilih untuk menyelamatkan nyawa sang suami. Suami yang nyawanya ia perjuangkan menolaknya karena kesuciannya yang telah ternoda. Isteri samurai lalu menantang keduanya untuk berkelahi dan mengatakan bahwa keduanya, suaminya dan Tajomaru bukanlah lelaki yang sesungguhnya, karena seorang laki-laki akan berjuang untuk mendapatkan cinta seorang perempuan.
2. Persona (1966) oleh Ingmar Bergman
Fanny dan Alexander adalah titik temu saya denga karya Bergman. Seperti halnya film ini, "Persona" memberi efek yg sama. Yakni interpretasi yang beragam setiap kali saya menonton ulang film ini. Persona berkisah tentang hubungan seorang aktris terkenal, Elisabeth, yang tiba-tiba tidak lagi berbicara sehingga harus dirawat, dengan perawatnya, Alma. Bergman menampilkan tayangan mengenai perang Vietnam, korban holocaust yang tampaknya mempengaruhi aksi diam Elisabet. Disini terjadi pergeseran fungsi, dengan diamnya Elisabet, maka Alma sang perawatlah yang terus berbicara. Sehingga justru Alma menemukan terapi pada Elisabet yang seharusnya ia rawat, dan ia juga mengungkapkan rahasia-rahasia pribadinya. Persona membawa saya pada kesadaran bagaimana kepribadian kita dipengaruhi oleh orang-orang disekitar kita. Meski setiap orang yakin ia adalah unik dan orisinil tetapi pada akhirnya karakter yang kuat akan mempengaruhi karakter yang lemah sehingga terjadilah "copycat", si peniru tidak bisa lagi membedakan antara dirinya dan apa yang ia tiru.
Dalam film-filmnya Bergman, saya sekilas merasakan pertanyaanya tentang keotentikan, tentang kebebasan dan berpikir independen, tentang asumsi yang patut dipertanyakan akan sesuatu yang dianggap kebenaran mutlak, tentang ketakutan-ketakutan dan kegelisahan kita dalam menjalani hidup.
3. The Wizard of Oz (1939) oleh L. Frank Baum
Film satu ini meskipun berlatar musikal dan banyak di tonton anak-anak, tetap asik ditonton berulang kali. Film yang dibintangi Judy Garland ini berkisah tentang pencarian diri, untuk setiap orang yang mencari jati dirinya, ia tak perlu jauh-jauh, karena sesunggunya ia bisa mencari dari dalam dirinya sendiri.
Wednesday, June 13, 2012
Film Review Altipplano (2009)
Salah satu yang menyenangkan di Australia bagi pecinta film independent adalah saluran televisi SBS. Di jaringan ini berbagai program menarik dapat dinikmati pemirsa, dari dokumentari BBC mengenai sejarah dunia, kehidupan masyarakat di sekitar perairan/ samudera Hindia, cerita perjalanan sambil belajar memasak hingga penayangan film-film independent. Sejak tinggal disini, kami jarang pergi ke bioskop untuk menonton film independent, ya apalagi kalau bukan karena saluran SBS tersebut.
Minggu ini saya menonton film berjudul Altiplano karya Peter Brosens dan Jessica Woodworth. Altiplano yang dalam bahasa Spanyol berarti dataran tinggi, adalah rangkaian dataran tinggi Andes yang terletak di wilayah Amerika Selatan meliputi sebagian wilayah Chili, Argentina, Bolivia dan Peru.
Adalah Grace, seorang photographer asal Belgia yang berusaha memulihkan kondisinya pasca meliput perang di Irak, dimana ia mendokumentasikan eksekusi guide-nya, Omar. Photo yang menurut Grace tak pantas untuk di ambil maupun diberi penghargaan, kejadian yang membawanya ke dalam depresi.
Sementara, di Turbamba, sebuah desa kecil di pegunungan Andes, Peru, Saturnina sedang bersiap diri menyelenggarakan pesta pernikahannya dengan Ignacio. Upacara persiapan terganggu dengan jatuh dan pecahnya patung Bunda Maria yang diusung karena anak-anak berlarian setelah melihat air berkilauan terkontaminasi merkuri dari pertambangan di dekat desa tersebut.
Merkuri yang mengguncang desa itu, diawali dengan kebutaan, perdarahan dan berakhir dengan kematian beberapa penduduk desa. Grace dan Saturnina, dipertemukan lewat Max, suami Grace, seorang dokter mata yang ditempatkan di klinik Katarak di dekat Turbamba, tragisnya Max meninggal di desa itu akibat kemarahan warga setempat, kematian itu pula yang mendorong Grace untuk pergi ke Turbamba.
Semasa di Belgia, Max mendorong Grace untuk menerima penghargaan fotografi di Irak tersebut, tetapi ia berkilah "sebuah photo tidak pernah menghentikan peperangan". Namun lain halnya dengan Saturnina, pasca kematian Ignacio ia dan penduduk desa berusaha dengan caranya sendiri memprotes pertambangan di wilayah desanya. Menurut Saturnina, "tanpa gambar maka tak akan ada sebuah cerita, dan bahwa ia tidak akan mati diam-diam maupun pergi tak terlihat". Kontras ini tersambung padi bagian akhir cerita ketika Grace terekspos dengan rekaman Saturnina.
Salah satu kekuatan film ini menurut saya adalah sinematografi yang kuat, gambar-gambarnya sangat berkualitas, kontras antara kehidupan Grace dan Saturnina, pemandangan Andes yang indah disertai ritual-ritual masyarakat setempat. Dan meskipun kekuatan gambar-gambar tersebut sangat terasa, film ini tidak kehilangan alur cerita dan termakan oleh gambar-gambar tersebut seperti beberapa film-film lainnya yang terkadang demi visualisasi kehilangan pesan yang ingin disampaikan.
Minggu ini saya menonton film berjudul Altiplano karya Peter Brosens dan Jessica Woodworth. Altiplano yang dalam bahasa Spanyol berarti dataran tinggi, adalah rangkaian dataran tinggi Andes yang terletak di wilayah Amerika Selatan meliputi sebagian wilayah Chili, Argentina, Bolivia dan Peru.
Adalah Grace, seorang photographer asal Belgia yang berusaha memulihkan kondisinya pasca meliput perang di Irak, dimana ia mendokumentasikan eksekusi guide-nya, Omar. Photo yang menurut Grace tak pantas untuk di ambil maupun diberi penghargaan, kejadian yang membawanya ke dalam depresi.
Sementara, di Turbamba, sebuah desa kecil di pegunungan Andes, Peru, Saturnina sedang bersiap diri menyelenggarakan pesta pernikahannya dengan Ignacio. Upacara persiapan terganggu dengan jatuh dan pecahnya patung Bunda Maria yang diusung karena anak-anak berlarian setelah melihat air berkilauan terkontaminasi merkuri dari pertambangan di dekat desa tersebut.
Merkuri yang mengguncang desa itu, diawali dengan kebutaan, perdarahan dan berakhir dengan kematian beberapa penduduk desa. Grace dan Saturnina, dipertemukan lewat Max, suami Grace, seorang dokter mata yang ditempatkan di klinik Katarak di dekat Turbamba, tragisnya Max meninggal di desa itu akibat kemarahan warga setempat, kematian itu pula yang mendorong Grace untuk pergi ke Turbamba.
Semasa di Belgia, Max mendorong Grace untuk menerima penghargaan fotografi di Irak tersebut, tetapi ia berkilah "sebuah photo tidak pernah menghentikan peperangan". Namun lain halnya dengan Saturnina, pasca kematian Ignacio ia dan penduduk desa berusaha dengan caranya sendiri memprotes pertambangan di wilayah desanya. Menurut Saturnina, "tanpa gambar maka tak akan ada sebuah cerita, dan bahwa ia tidak akan mati diam-diam maupun pergi tak terlihat". Kontras ini tersambung padi bagian akhir cerita ketika Grace terekspos dengan rekaman Saturnina.
Salah satu kekuatan film ini menurut saya adalah sinematografi yang kuat, gambar-gambarnya sangat berkualitas, kontras antara kehidupan Grace dan Saturnina, pemandangan Andes yang indah disertai ritual-ritual masyarakat setempat. Dan meskipun kekuatan gambar-gambar tersebut sangat terasa, film ini tidak kehilangan alur cerita dan termakan oleh gambar-gambar tersebut seperti beberapa film-film lainnya yang terkadang demi visualisasi kehilangan pesan yang ingin disampaikan.
Monday, November 29, 2010
Film Review: Fair Game
Film ini diangkat dari kisah nyata seputar kejadian menjelang invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003. Salah satu yang menjadi alasan utama penyerangan AS ke Irak adalah isu-isu seputar pengembangan senjata pemusnah massal seperti senjata kimia ataupun senjata nuklir. Tetapi seperti yang ditemukan kemudian setelah pemerintahan Saddam di gulingkan, bukti-bukti mengenai senjata pemusnah massal ini tak pernah di temukan.
Lalu apakah pemerintah AS awam akan hal ini? Ternyata melalui salah satu agen CIA Valerie Plame (Naomi Watts) terbukti jika informasi tentang ketiadaan senjata ini telah diperoleh oleh CIA. Berawal dari penugasan suami Valerie, Joe Wilson (Sean Penn) ke Nigeria. Duta besar Wilson di anggap memiliki hubungan yang baik dengan perangkat pemerintahan Nigeria, dimana ditenggarai Irak membeli bahan baku untuk senjata nuklir dari Nigeria. Dari kepergiannya ke Nigeria, Duta besar Wilson menyimpulkan dalam laporannya bahwa tidak ada indikasi perdagangan antara kedua negara.
Lalu pada saat Presiden W Bush membuat pidato tahunan State of the Union 2003, terkait invasi ke Irak disana ia kembali mengemukakan tentang transaksi perdagangan antara Irak dan Nigeria. Tentu saja hal ini bertentangan dengan laporan yang dikeluarkan oleh Duta besar Wilson. Lalu disinilah intrik-intrik film ini dimulai.
Fair game dibuat berdasarkan pengalaman Valerie Wilson yang merupakan agen CIA yg terlihat sangat berkompeten menjalankan tugasnya sebagai agen mata-mata yang bertugas menjalankan misi rahasia di berbagai negara di dunia mulai dari dalam negeri AS sampai ke Timur Tengan dan Asia Tenggara. Di kehidupan pribadinya Valerie terlihat seperti wanita pekerja biasa yang tinggal bersama suaminya dan membesarkan dua anak mereka. Dan mengaku bekerja di perusahaan yang mengelola keuangan kepada kerabat dan teman-teman dekatnya.
Lalu sang suami yang merasa bahwa ada yang salah dengan alasan penyerangan ke Irak karena indikasi perdagangan dua negara yg disebutkan diatas, membuat tulisan di NY Post tentang temuannya di Nigeria berjudul "What I did not find in Africa", tak hanya itu ia juga memberi presentasi dan berbicara di televisi mengenai temuannya tersebut.
Hal ini membuat hubungan antara kedua suami isteri ini menjadi terganggu, Duta besar Wilson yg kukuh ingin mengungkapkan apa yg ia ketahui dan pekerjaan isterinya yang terancam karena kekukuhan suaminya dalam menyebarluaskan apa yang ia ketahui. Terjadi dilema dalam diri Valerie, ia yang selama ini merupakan agen yg cerdas dan berdedikasi kepada negaranya berhadapan dengan situasi politik yang membuatnya terlempar dari posisinya serta membuat keamanannya terancam terutama setelah ada kounter berita yg menyebutkan jelas ttg dirinya yang merupakan agen CIA serta alamatnya. Permintaannya agar mendapat perlindungan pun di tolak oleh pemerintah. Disini Valerie bertaruh akankah ia diam saja atau akankah ia juga keluar dan membeberkan apa yg ia ketahui.Nah, tonton aja film ini untuk mengetahui kejadian selengkapnya.
Bagi yang tertarik membaca lebih lanjut dapat diunduh informasinya disini:
http://en.wikipedia.org/wiki/Plame_affair
Lalu apakah pemerintah AS awam akan hal ini? Ternyata melalui salah satu agen CIA Valerie Plame (Naomi Watts) terbukti jika informasi tentang ketiadaan senjata ini telah diperoleh oleh CIA. Berawal dari penugasan suami Valerie, Joe Wilson (Sean Penn) ke Nigeria. Duta besar Wilson di anggap memiliki hubungan yang baik dengan perangkat pemerintahan Nigeria, dimana ditenggarai Irak membeli bahan baku untuk senjata nuklir dari Nigeria. Dari kepergiannya ke Nigeria, Duta besar Wilson menyimpulkan dalam laporannya bahwa tidak ada indikasi perdagangan antara kedua negara.
Lalu pada saat Presiden W Bush membuat pidato tahunan State of the Union 2003, terkait invasi ke Irak disana ia kembali mengemukakan tentang transaksi perdagangan antara Irak dan Nigeria. Tentu saja hal ini bertentangan dengan laporan yang dikeluarkan oleh Duta besar Wilson. Lalu disinilah intrik-intrik film ini dimulai.
Fair game dibuat berdasarkan pengalaman Valerie Wilson yang merupakan agen CIA yg terlihat sangat berkompeten menjalankan tugasnya sebagai agen mata-mata yang bertugas menjalankan misi rahasia di berbagai negara di dunia mulai dari dalam negeri AS sampai ke Timur Tengan dan Asia Tenggara. Di kehidupan pribadinya Valerie terlihat seperti wanita pekerja biasa yang tinggal bersama suaminya dan membesarkan dua anak mereka. Dan mengaku bekerja di perusahaan yang mengelola keuangan kepada kerabat dan teman-teman dekatnya.
Lalu sang suami yang merasa bahwa ada yang salah dengan alasan penyerangan ke Irak karena indikasi perdagangan dua negara yg disebutkan diatas, membuat tulisan di NY Post tentang temuannya di Nigeria berjudul "What I did not find in Africa", tak hanya itu ia juga memberi presentasi dan berbicara di televisi mengenai temuannya tersebut.
Hal ini membuat hubungan antara kedua suami isteri ini menjadi terganggu, Duta besar Wilson yg kukuh ingin mengungkapkan apa yg ia ketahui dan pekerjaan isterinya yang terancam karena kekukuhan suaminya dalam menyebarluaskan apa yang ia ketahui. Terjadi dilema dalam diri Valerie, ia yang selama ini merupakan agen yg cerdas dan berdedikasi kepada negaranya berhadapan dengan situasi politik yang membuatnya terlempar dari posisinya serta membuat keamanannya terancam terutama setelah ada kounter berita yg menyebutkan jelas ttg dirinya yang merupakan agen CIA serta alamatnya. Permintaannya agar mendapat perlindungan pun di tolak oleh pemerintah. Disini Valerie bertaruh akankah ia diam saja atau akankah ia juga keluar dan membeberkan apa yg ia ketahui.Nah, tonton aja film ini untuk mengetahui kejadian selengkapnya.
Bagi yang tertarik membaca lebih lanjut dapat diunduh informasinya disini:
http://en.wikipedia.org/wiki/Plame_affair
Friday, October 22, 2010
Film Review: The secret in their eyes
Cinta, topik yang tak pernah selesai untuk dibahas dan tak pernah menjadi terlalu membosankan untuk selalu dibicarakan. Di film ini yg bertema ttg pembunuhan yg tak terungkap sang sutradara berhasil menjalin kekuatan cinta justru dengan berbagai ironi yg melingkupinya.
How much would you go for love? Pertanyaan tersebut seringkali menjejeri langkah orang2x yang mengalaminya. Demikian juga dengan pemeran-pemeran di film ini. Seorang suami yg kehilangan isteri yg dicintainya, yg telah berbagi hidup dan menikmati kebiasaan dan rutinitas yg mereka miliki, yg telah begitu beruntung mendapatkan cinta dalam hidupnya, seorang sahabat dari masa kecil yg menyimpan cinta begitu dalam, memendamnya dan kecewa dan berusaha merebutnya dengan cara yg tragis, seorang kolega yg rela berkorban demi menyelamatkan hidup koleganya yg telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kemelut hidupnya, seorang perempuan dan laki-laki yg diam-diam saling mencintai tetapi berada diantara tembok yg tinggi berupa latar belakang keluarga dan status yg memisahkan mereka. Lalu pada suatu titik semuanya bertemu dan berbaur, mencari jalan masing-masing. Waktu mungkin terus berjalan, pikiran kita bisa memanipulasi hasrat akan cinta tetapi, pancaran cinta dari hati yg keluar lewat mata menyimpan rahasia yg terdalam, sekarang atau nanti, melupakan atau terus berjalan, melakukan sesuatu atau justru menyimpannya dalam kenangan, cinta hanya terjadi kalau kita berani mengambil kesempatan untuk mewujudkannya, so how much would you go for love?
How much would you go for love? Pertanyaan tersebut seringkali menjejeri langkah orang2x yang mengalaminya. Demikian juga dengan pemeran-pemeran di film ini. Seorang suami yg kehilangan isteri yg dicintainya, yg telah berbagi hidup dan menikmati kebiasaan dan rutinitas yg mereka miliki, yg telah begitu beruntung mendapatkan cinta dalam hidupnya, seorang sahabat dari masa kecil yg menyimpan cinta begitu dalam, memendamnya dan kecewa dan berusaha merebutnya dengan cara yg tragis, seorang kolega yg rela berkorban demi menyelamatkan hidup koleganya yg telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kemelut hidupnya, seorang perempuan dan laki-laki yg diam-diam saling mencintai tetapi berada diantara tembok yg tinggi berupa latar belakang keluarga dan status yg memisahkan mereka. Lalu pada suatu titik semuanya bertemu dan berbaur, mencari jalan masing-masing. Waktu mungkin terus berjalan, pikiran kita bisa memanipulasi hasrat akan cinta tetapi, pancaran cinta dari hati yg keluar lewat mata menyimpan rahasia yg terdalam, sekarang atau nanti, melupakan atau terus berjalan, melakukan sesuatu atau justru menyimpannya dalam kenangan, cinta hanya terjadi kalau kita berani mengambil kesempatan untuk mewujudkannya, so how much would you go for love?
Film Review: Vicky Christina Barcelona
Dua sahabat berlibur di Barcelona, Vicky (Rebeca Hill) seorang mahasiswa yang mempelajari Catalan yang memiliki tunangan di New York dan sebentar lagi akan menikah dan yakin sekali bahwa dalam hidupnya ia selalu tahu apa yang ia inginkan bersama sahabatnya Christina (Scarlett Johansson) yang bertolak belakang kepribadian, menjunjung tinggi kebebasan dan selalu menikmati petualangan dalam hidup dan anti kemapanan yang tidak selalu tahu apa yang diinginkan bertemu seorang pria di pameran lukisan.
Pria tersebut, Javier Bardem baru saja bercerai dari istrinya Maria Elena (penelope Cruz), perceraian yang mengundang perhatian karena dikabarkan dia atau istrinya nyaris saling membunuh. Barden yang belakangan bertemu mereka di sebuah restoran mengajak keduanya menghabiskan weekend bersama, jalan-jalan, makan-makan dan bercinta.
Christina sangat antusias terhadap tawaran tersebut tetapi Vicky sewot karena ia tidak merasa nyaman dengan ide tersebut dan ia akan segera menikah. Christina mengiyakan tetapi tidak menjanjikan acara bercinta. Akhirnya demi misi menyelamatkan Christina ketiganya terbang ke pulau yang juga kampung halaman Barden.
Lalu apa yang terjadi dengan Vicky? Bisakah air dan minyak ini akur demi Christina? Sekembalinya dari liburan bersama Christina memutuskan untuk tinggal dengan Barden, sementara Vicky yang menikah "kejutan" di Barcelona dengan tunangannya tetap tidak bisa menghapus kenangan di pulau bersama Barden.
Kejutan lain muncul pada saat Maria Elena datang ke kediaman Barden dan tinggal bersama, jadilah ketiganya, Barden, Christina dan Maria Elena menjadi tiga kekasih yang hidup akur di bawah satu atap. Christina yang menghargai kebebasan justru menjadi perekat hubungan ketiganya, dan mendalami photography hingga suatu hari, ia mempertanyakan nilai yang kini dianutnya? ada sesuatu yang hilang yang ia rasakan, juga pertanyaan-pertanyaan lain yang melanda hatinya akan hubungan yang ia jalani, Barden dan Maria Elena kembali menjadi sepasang kekasih yang too good to live in peace and harmony dan kembali ke jaman "to love is to kill" dan hengkang dari kediaman Barden.
Vicky akhirnya secara terbuka meluapkan isi hatinya kepada Christina dan dibantu oleh saudaranya yang menjadi host mereka di Barcelona bertemu kembali dengan Barden dalam pameran lukisan. Vicky mulai kehilangan arah antara mempertahankan suaminya atau mengikuti Barden yang bohemian, saat keduanya nyaris bercinta di kediaman Barden, beberapa tembakan meletus dari pistol Maria Elena. Lalu apa yang terjadi?
Hehehe kayanya ga seru kalo diceritakan semua yang pasti akting Penelope Cruz sebagai seniman nyentrik di film ini patut diacungi jempol, demikian juga dengan pertanyaan-pertanyaan batin Christina akan pencarian yang tak pernah berakhir dalam hidupnya.
Yang pasti dua sahabat yang berlibur ini sepertinya akan lebih bijaksana sekembalinya mereka dari Barcelona dan bagi sesiapa yang kangen dengan kota ini view Barcelona ala Gaudy disajikan lengkap difilm ini.
Pria tersebut, Javier Bardem baru saja bercerai dari istrinya Maria Elena (penelope Cruz), perceraian yang mengundang perhatian karena dikabarkan dia atau istrinya nyaris saling membunuh. Barden yang belakangan bertemu mereka di sebuah restoran mengajak keduanya menghabiskan weekend bersama, jalan-jalan, makan-makan dan bercinta.
Christina sangat antusias terhadap tawaran tersebut tetapi Vicky sewot karena ia tidak merasa nyaman dengan ide tersebut dan ia akan segera menikah. Christina mengiyakan tetapi tidak menjanjikan acara bercinta. Akhirnya demi misi menyelamatkan Christina ketiganya terbang ke pulau yang juga kampung halaman Barden.
Lalu apa yang terjadi dengan Vicky? Bisakah air dan minyak ini akur demi Christina? Sekembalinya dari liburan bersama Christina memutuskan untuk tinggal dengan Barden, sementara Vicky yang menikah "kejutan" di Barcelona dengan tunangannya tetap tidak bisa menghapus kenangan di pulau bersama Barden.
Kejutan lain muncul pada saat Maria Elena datang ke kediaman Barden dan tinggal bersama, jadilah ketiganya, Barden, Christina dan Maria Elena menjadi tiga kekasih yang hidup akur di bawah satu atap. Christina yang menghargai kebebasan justru menjadi perekat hubungan ketiganya, dan mendalami photography hingga suatu hari, ia mempertanyakan nilai yang kini dianutnya? ada sesuatu yang hilang yang ia rasakan, juga pertanyaan-pertanyaan lain yang melanda hatinya akan hubungan yang ia jalani, Barden dan Maria Elena kembali menjadi sepasang kekasih yang too good to live in peace and harmony dan kembali ke jaman "to love is to kill" dan hengkang dari kediaman Barden.
Vicky akhirnya secara terbuka meluapkan isi hatinya kepada Christina dan dibantu oleh saudaranya yang menjadi host mereka di Barcelona bertemu kembali dengan Barden dalam pameran lukisan. Vicky mulai kehilangan arah antara mempertahankan suaminya atau mengikuti Barden yang bohemian, saat keduanya nyaris bercinta di kediaman Barden, beberapa tembakan meletus dari pistol Maria Elena. Lalu apa yang terjadi?
Hehehe kayanya ga seru kalo diceritakan semua yang pasti akting Penelope Cruz sebagai seniman nyentrik di film ini patut diacungi jempol, demikian juga dengan pertanyaan-pertanyaan batin Christina akan pencarian yang tak pernah berakhir dalam hidupnya.
Yang pasti dua sahabat yang berlibur ini sepertinya akan lebih bijaksana sekembalinya mereka dari Barcelona dan bagi sesiapa yang kangen dengan kota ini view Barcelona ala Gaudy disajikan lengkap difilm ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)