Wednesday, June 13, 2012

Film Review Altipplano (2009)

Salah satu yang menyenangkan di Australia bagi pecinta film independent adalah saluran televisi SBS. Di jaringan ini berbagai program menarik dapat dinikmati pemirsa, dari dokumentari BBC mengenai sejarah dunia, kehidupan masyarakat di sekitar perairan/ samudera Hindia, cerita perjalanan sambil belajar memasak hingga penayangan film-film independent. Sejak tinggal disini, kami jarang pergi ke bioskop untuk menonton film independent, ya apalagi kalau bukan karena saluran SBS tersebut.

Minggu ini saya menonton film berjudul Altiplano karya Peter Brosens dan Jessica Woodworth. Altiplano yang dalam bahasa Spanyol berarti dataran tinggi, adalah rangkaian dataran tinggi Andes yang terletak di wilayah Amerika Selatan meliputi sebagian wilayah Chili, Argentina, Bolivia dan Peru.



Adalah Grace, seorang photographer asal Belgia yang berusaha memulihkan kondisinya pasca meliput perang di Irak, dimana ia mendokumentasikan eksekusi guide-nya, Omar. Photo yang menurut Grace tak pantas untuk di ambil maupun diberi penghargaan, kejadian yang membawanya ke dalam depresi.

Sementara, di Turbamba, sebuah desa kecil di pegunungan Andes, Peru, Saturnina sedang bersiap diri menyelenggarakan pesta pernikahannya dengan Ignacio. Upacara persiapan terganggu dengan jatuh dan pecahnya patung Bunda Maria yang diusung karena anak-anak berlarian setelah melihat air berkilauan terkontaminasi merkuri dari pertambangan di dekat desa tersebut.

Merkuri yang mengguncang desa itu, diawali dengan kebutaan, perdarahan dan berakhir dengan kematian beberapa penduduk desa. Grace dan Saturnina, dipertemukan lewat Max, suami Grace, seorang dokter mata yang ditempatkan di klinik Katarak di dekat Turbamba, tragisnya Max meninggal di desa itu akibat kemarahan warga setempat, kematian itu pula yang mendorong Grace untuk pergi ke Turbamba.

Semasa di Belgia, Max mendorong Grace untuk menerima penghargaan fotografi di Irak tersebut, tetapi ia berkilah "sebuah photo tidak pernah menghentikan peperangan". Namun lain halnya dengan Saturnina, pasca kematian Ignacio ia dan penduduk desa berusaha dengan caranya sendiri memprotes pertambangan di wilayah desanya. Menurut Saturnina, "tanpa gambar maka tak akan ada sebuah cerita, dan bahwa ia tidak akan mati diam-diam maupun pergi tak terlihat". Kontras ini tersambung padi bagian akhir cerita ketika Grace terekspos dengan rekaman Saturnina.

Salah satu kekuatan film ini menurut saya adalah sinematografi yang kuat, gambar-gambarnya sangat berkualitas, kontras antara kehidupan Grace dan Saturnina, pemandangan Andes yang indah disertai ritual-ritual masyarakat setempat. Dan meskipun kekuatan gambar-gambar tersebut sangat terasa, film ini tidak kehilangan alur cerita dan termakan oleh gambar-gambar tersebut seperti beberapa film-film lainnya yang terkadang demi visualisasi kehilangan pesan yang ingin disampaikan.

No comments:

Post a Comment

Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: