Memiliki pengalaman tinggal di daerah atau negara yang berbeda selain memberi pengalaman menarik juga memberikan tantangan tersendiri yang terkadang membuat kita terkejut, tak nyaman, dan terkadang membuat kita mempertanyakan kembali nilai, dogma dan pemahaman kita akan segala sesuatu.
Bagi kita yang terpapar dengan berbagai agama dan kegiatan keagamaan misalnya, menyaksikan orang beribadah adalah sesuatu yang biasa. Tetapi tidak demikian halnya bila kita pergi ke negara lain dimana agama maupun kegiatan keagamaan bukanlah sesuatu yang gamblang terlihat. Ketika menjalani Ramadan dalam acara pertemuan pemuda di Jepang, peserta yang berpuasa meminta kepada panitia/hotel agar sarapan pagi mereka disiapkan menjelang sahur. Yang oleh mereka diminta dimajukan menjadi jam terakhir restoran buka atau sekitar jam 10 malam.
Begitu jam 10, petugas hotel mengantarkan menu sahur ke kamar peserta, berupa dua tangkup roti, beserta mentega dan selai, sebuah telur rebus, air minum dan sebuah pisang. Ternyata meskipun dijelaskan bahwa peserta yang berpuasa tidak akan makan dan minum sepanjang hari dan meminta menu makan siang, panitia tidak terlalu memusingkan keterangan itu. Pada saat itu terasa sekali bahwa konteks keagamaan yang dijunjung tinggi di tempat asal ternyata tidak begitu dianggap penting di tempat lain, bayangkan kalau kita menginap di hotel di negara sendiri dimana biasanya mudah sekali mendapat makanan saat sahur tiba.
Itulah pertama kali saya menyimpulkan, bahwa menjalankan puasa (beribadah) adalah kepentingan pribadi dan tidak berarti itu penting bagi orang lain. Lumayan, prinsip ini sangat membantu bertahun-tahun setelahnya terutama dengan tinggal di negara asing, dimana bulan puasa tidak terkondisikan secara khusus, semua restoran buka, orang makan dan minum dimana saja, dan terus terang puasa yang seperti ini benar-benar menjadi upaya pribadi, keinginan pribadi tanpa ada kontrol dari lingkungan maupun masyarakat.
Begitupun ketika berkunjung ke Masjid, di pusat kota Washington DC, berpikir bahwa suasananya akan sama seperti di Indonesia, dimana pada saat ibadah berlangsung ada tirai yang membagi ruangan untuk kalangan laki-laki dan perempuan dan ketika berada antar waktu beribadah, tirai terbuka dan ruangnya digunakan untuk berbagai kegiatan, belajar agama, rapat remaja masjid maupun komunitas. Dan kedua gender terlibat aktif dalam agenda pembicaraan. Ternyata kenyataannya tidak demikian, disana perempuan ditempatkan di "kotak kecil" seukuran 2x2 meter disudut ruangan, tertutup dan tak terhubung keluar sama sekali. Waktu itu saya menyayangkan tempat ibadah yang indah itu tak bisa dinikmati perempuan yang harus duduk bersempit-sempitan di kotak kecil tersebut.
Disini, konteks pemisahan gender sangat berbeda dengan yang ada di Indonesia. "Kotak kecil" ini diprotes oleh kalangan perempuan dan meminta agar mereka diperbolehkan menduduki ruang utama yang tentunya mendapat tantangan keras, tetapi mereka tak putus asa, setelah berdemo beberapa kali dan bahkan digiring polisi mereka tetap melakukan aksinya, menurut salah seorang peserta demo tersebut, yang bernama Fatima, belakangan ini mereka dibiarkan saja oleh pengurus dan tidak lagi diusir seperti pada awalnya.
Sebagai minoritas tidak gampang mendirikan tempat ibadah, tentunya menggalang dana dengan jumlah pengikut yang sedikit tidak semudah ketika menjadi mayoritas, untunglah beberapa gereja menyediakan tempat untuk beribadah. Terus terang ini merupakan sesuatu yang baru, United Methodist Church di North Bethesda misalnya.
Kesediaan gereja patut diapresiasi, ternyata perbedaan iman tidak menghambat mereka mengulurkan tangan membantu penganut agama lain menjalankan ibadah agama yang berbeda dari agama mereka. Mereka tidak takut anggotanya atau sanak keluarganya yang terpapar dengan kegiatan ini akan terpengaruh lantas berpindah agama.
Saya kira ada kematangan sikap mereka dalam beragama, tidak berarti bahwa iman mereka sudah kuat, karena tidak ada yang tahu dan bisa mengukur seberapa kuatnya iman seseorang. Tetapi saya pikir sebagaimana mereka menikmati perannya sebagai penganut agama, menikmati hubungan yang ia jalin dengan Sang Pencipta, demikian pulalah kiranya dengan orang lain. Termasuk menghargai mereka yang menikmati hidup tanpa menjalin hubungan tersebut.
Hal yang kontras misalnya jika dibandingkan dengan kedatangan Manji baru-baru ini, dimana ia dihujat, dilarang menyampaikan pemikirannya dan diberi label "menyebarkan lesbianisme" yang cukup saya ragukan. Dalam bukunya yang pertama "Faith Withput Fear" tak sekalipun Manji menjual isu-isu lesbian karena bukan itu yang menjadi tujuannya. Dan beberapa status di laman Facebook ramai oleh cerita mengenai lesbian ini.
Saya tidak paham, bagaimana membaca sesuatu akan membuat kita melakukan sesuatu yang kita baca begitu saja? Atau mendengar seorang lesbian akan membuat perempuan menjadi lesbian? Kalau demikian halnya maka semua laki-laki yang shalat Jumat akan menjadi Kyai dan semua umat Kristen yang pergi ke gereja setiap Minggu akan menjadi pendeta? Lalu semua yang menjadi koruptor siapakah yang mereka dengar?
Tak kalah ramainya setelah Manji adalah isu-isu mengenai liberal. Segala sesuatu yang berbau liberal dicap salah, kafir dan sebagainya. Generalisir yang mirip dengan Manji. Kalau demikian parahnya generalisir ini, kiranya ada yang salah dengan metode pendidikan kita.
Ya, dalam belajar ada unsur, "critical thinking" yang oleh Scriven & Paul ,2001, p.1. didefinisikan sebagai "the intellectually disciplined process of actively and skilfully conceptualising, applying, analysing, synthesising and/or evaluating information gathered from, or generalised by, observation, experience, reflection, reasoning or communication, as a guide to belief or action [or argument], selengkapnya bisa dibaca disini.
Kalau "critical thinking" tak dilatih semasa bersekolah, boleh jadi kita tak memiliki kemampuan untuk menyaring apa yang kita baca, menganalisa, menyimpulkan atau mengevaluasi informasi yang kita dapat dari pengamatan, pengalaman, refleksi, alasan, komunikasi sebagai panduan untuk mempercayai suatu tindakan maupun argumen sebagaimana yang didefinisikan diatas.
Dengan mengaplikasikan kerangka "critical thinking" orang tak perlu takut membaca buku Manji maupun mendengar ulasan seorang tradisionalist maupun liberal, mungkin ada nilanya yang relevan, maupun yang tidak relevan dan tidak berarti terpapar dengan pemikiran seperti itu akan membuat seseorang mengikutinya 100%.
Atau, demi menjaga kehomogenan, tak perlu berpikir kritis, cukup amini dan sebarkan apa saja yang disampaikan sebagian orang tanpa perlu mencari apa maknanya bagi kita, lalu apakah nilai yang dianut tersebut akan bertahan, jika ia keluar dari lingkungannya dan tak lagi disokong oleh kenyamanan mayoritas?
Uskup Afrika Selatan, Desmond Tutu yang juga seorang peraih Nobel Perdamaian menulis dalam artikelnya di Huffington Post," We need so much to work for coexistence, for tolerance, and to say, "I
disagree with you, but I will defend to the death your right to your
opinion." It is only when we respect even our adversaries and see them
not as ogres, dehumanized, demonized, but as fellow human beings
deserving respect for their personhood and dignity, that we will conduct
a discourse that just might prevent conflict. There is room for
everyone; there is room for every culture, race, language and point of
view."
Kurang lebih Ia mengatakan, "Kita perlu banyak berusaha untuk mewujudkan hidup berdampingan, toleransi, dan berkata, "Saya tidak setuju dengan Anda, Tapi saya akan mempertahankan sampai mati hak Anda untuk berpendapat." Hanya ketika kita menghormati musuh kita dan tidak melihatnya sebagai raksasa tidak manusiawi, atau seperti setan (yang mengancam),tetapi sebagai sesama manusia,yang layak dihormati atas kepribadian dan martabatnya sebagai manusia maka kita akan berkata-kata yang akan mencegah terjadinya konflik. Ada (cukup) ruang untuk semua orang, ada ruang untuk setiap, ras bahasa budaya, dan sudut pandang. "
Ya, sah saja untuk tidak setuju dengan pandangan, ucapan seseorang tetapi kita harus menghormati haknya untuk berpendapat.
No comments:
Post a Comment
Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: