Showing posts with label Living in Amerika. Show all posts
Showing posts with label Living in Amerika. Show all posts

Sunday, March 11, 2012

Semua yang (akan) dirindukan di Washington DC

Setelah melalui proses yang panjang, kami memutuskan untuk melanjutkan petualangan (sedikit terdengar hiperbola) di negara lain. Dari awal kami sadar ada banyak perbedaan selain perbedaan karakter sebagai individu tentunya. Sadar akan ini, kami memutuskan untuk tinggal di tempat baru dengan bahasa yang dapat dimengerti, dengan harapan ini akan memudahkan kami untuk melanjutkan pilihan, minat dan segala sesuatu yang ingin ditekuni.

Ya, semuanya dimulai dari awal lagi. Terkadang, rasanya seperti menulis di buku baru, tetapi tidak semuanya baru tentunya, pengalaman dan memori mengenai hari-hari yang telah dilalui tidak bisa dihapus begitu saja, melekat, membaur, membentur dan menciptakan keseimbangan baru, bagai siklus yang tak pernah berhenti.

Dengan waktu tinggal yang singkat, banyak pengalaman yang tercipta, mengunjungi berbagai tempat, mencoba memahami apa yang dilihat, bertemu teman-teman baru, menciptakan persahabatan di negeri asing, terpapar dengan hal-hal baru dan tentunya mendapat pemahaman yang baru mengenai berbagai hal yang terasa asing sebelumnya.

"Saya akan merindukan berkendara di jalan ini," kata saya pada P yang sedang menyetir. Clara Barton Parkway yang menghubungkan Capital Beltway-495 dengan ibukota Washington DC. Dari arah kami tinggal jalur I-270 di Montgomary County akan tersambung ke I-495 dan keluar pada Exit 40 menuju jalan tersebut, melewati jalan di seputar hutan dan perbukitan disamping sungai Potomac menuju Georgetown. Jalan tersebut merupakan bagian dari George Washington Memorial Parkway yang sebagian besarnya berada di wilayah Virginia, di seberang sungai Potomac. Tak jarang, kami berhenti di beberapa titik untuk sekedar melihat pemandangan alam yang indah di lembah Potomac maupun gedung-gedung tua yang menjulang di perbukitan Georgetown. Maupun bersantai di tepi sungai Potomac pada Minggu petang membawa buku, minuman dan sandwich untuk sekedar menikmati alam.

Georgetown, yang merupakan kota historis yang didirikan tahun 1751 (usianya tentu lebih lama dari Nyonya Meneer yang berdiri sejak tahu 1919 itu ;) merupakan tempat jalan, belanja yang asik, selain menjadi tuan rumah bagi berbagai toko pakaian terkenal, juga tempat asal Georgetown Cupcake yang terkenal, yang sampai saat ini saya belum pernah mencobanya karena malas berdiri di antrian. George town juga memiliki banyak restoran dengan berbagai pilihan dan yang lebih menyenangkan sebagian besar bangunan disana tetap mempertahankan keasliannya termasuk beberapa rumah/ bangunan di sepanjang kanal yang dulu merupakan jalur transportasi utama di kawasan tersebut. Disana juga terletak kedutaan Swedia yang wajib kami kunjungi ketika ada program-program budaya, demi orang Swedia yang ada di rumah kami ;)

Menyusuri Wisconsin Avenue ke arah barat daya Georgetown, tepatnya di 1560 Wisconsin Avenue, terdapat Dolcezza Gelato yang menggugah selera. Gelato dari bahasa Italia yang berarti es krim, yang dijual di sini terasa berbeda, tidak hanya lebih segar karena dibuat sendiri tetapi bahan-bahannya juga memakai produk lokal. Jadi kalau saat berkunjung yang musim buah peach maka akan ada gelato peach, jika saat itu musim berry maka berbagai rasa berry juga akan tersedia. Dolcezza lainnya yang lebih dekat dari tempat tinggal kami terletak di Bethesda.

Bethesda, kota kecil dipinggiran DC cukup sering menjadi tempat nongkrong karena dua hal. Pertama, Penang restoran yang maknyus dan bersuasana Asia serta menjual makanan yang sesuai dengan lidah Melayu. Dari roti canai-nya yang krispi, nasi lemak/ uduk hingga rendang dan laksa. Biasanya kami singgah di tempat ini sebelum maupun sesudah menonton film di teater kesayangan "Bethesda Row Cinema".

Bethesda Row Cinema terasa sangat spesial bagi kami, pecinta film-film independent dari mana saja. Lewat teaternya yang berada di bawah tanah, kami menyaksikan film-film menarik dan bermakna. Dari "Milk" yang dibintangi Sean Penn tahun 2008 yang bercerita mengenai perjuangan kaum gay di San Francisco, The White Ribbon yang menceritakan pergulatan di sebuah desa kecil di Jerman menjelang Perang Dunia-2, (500) Days of Summer yang bercerita tentang dinamika hubungan dua anak muda, The Secret In Their Eyes, film asal Argentina yang memenangkan Oscar 2010, serta Incendies yang menceritakan dua anak kembar yang menyelusuri tanah leluhur mereka di Timur Tengah untuk menguak rahasia masa lalu keluarga. Bethesda Row Cinema menjadi tempat nongkrong nyaris 2-3 kali setiap bulan. Film-film (terutama independen) yang diputar disini sangat berkesan. Alurnya jarang bisa di tebak, bahasanya sederhana, dan setelah selesai menonton, topiknya selalu memicu diskusi yang lebih dalam. Tak jarang penonton yang mayoritas berusia lima puluh tahun keatas, duduk sejenak sekedar bertepuk tangan atau duduk terdiam, berusaha meresap apa yang baru saja mereka saksikan. Dan pada kebanyakan berkesempatan kami berdua terasa sangat muda diantara mereka yang duduk di teater tersebut. Disini juga saya mendapat tips bagi teman-teman yang lajang, terinspirasi dari seorang wanita paruh baya yang duduk di satu kursi dan menaruh tasnya di kursi sebelah, ketika seorang perempuan lain bertanya apakah tempat itu kosong, iya menjawab tidak. Lalu setelah beberapa perempuan lainnya, datanglah seorang lelaki paruh baya yang bertanya hal yang sama, iya segera mengangkat tas-nya dan memberi lelaki itu tempat duduk. Trik yang cerdas! Hahaha!

Salah satu tempat yang paling berkesan lainnya adalah Eastern Market. Yang letaknya tidak jauh dari tempat kerja  di pusat kota DC. Pasar tua yang terletak di 7th street ini merupakan tempat nongkrong wajib di pagi hari tiga kali dalam seminggu. Di samping pasar ini terletak kolam renang kesayangan saya dan mbak Y atau oleh Not-Not teman kami namanya dipanjangkan menjadi MYSarkozy. Hmmm...terdengar pas juga! Pertama kali bertemu ketika ikut rapat hari pertama di kantor, lalu ternyata meja kita bersebelahan. Saya yang sebelumnya tidak pernah bekerja di media/ creative agensi terus terang gagap menjalani pekerjaan yang baru, menyadur berita terasa lebih alami dibanding merekam suara, mencampur dan menimpa dengan suara asal serta proses menyunting, yang membuat keringat dingin bercucuran, apalagi ketika tenggat waktu produksi semakin mendekat. Dengan tenang, cekatan, sabar, tulus, si Mbak telah menjadi guru yang sangat diandalkan di minggu-minggu pertama bekerja. Lalu tercetus ide, berolahraga bareng, ternyata kita sama-sama turunan "ikan pesut" istilah seorang teman bagi pecinta renang. Maka kolam renang Robert H Humprey di Eastern Market menjadi pilihan utama untuk berenang di pagi hari sebelum ke kantor. Berenang yang diawali dari lima, sepuluh hingga akhirnya rata-rata 20-25 laps, bukan karena kami terlalu berdedikasi tetapi karena malas meladeni obrolan opa-opa yang suka sekali mengajak ngobrol. Hingga akhirnya begitu Opa tiba, maka kami terus berenang tak berhenti...hohoho! Maafkan ya Opa!

Kalau dipikir-pikir, persahabatan kami terasa sangat alami,  kebanyakan waktu dihabiskan bersama baik di tempat kerja, sebelum jam kerja, dan terkadang setelah jam kerja kami masih sempat window shopping di seputar Metro Center maupun makan malam di Dupont Circle, tetapi semuanya berjalan mulus, tak ada friksi sedikitpun, dan masih tersisa ruang bagi teman-teman lain untuk berinteraksi. Termasuk Ngeteh sore-sore di kantor dan bercuap-cuap seputar pekerjaan di web. Dan yang lebih parah, sebagai sama-sama food lovers, maka setiap hari ada saja makanan untuk berbagi dan menjadi alasan supaya "mesut" lebih lama lagi keesokan harinya, yeah! Ritual renang dilanjutkan dengan ngupi, ngeteh, ngobrol di Marvelous Cafe membuat kegiatan rutin menjadi terasa lebih menyenangkan. Diselingi candaan segar terhadap rekan-rekan lainnya di dekat cubicle kita, dari MC terbaik di dunia dengan dandanan terbaik, siapa yang akan membuang abu salah seorang editor kita ke Potomac, termasuk gule daun ubi tumbuk dan ikan sale yang digantung ala Mandailing dan bahasa-bahasa ala Medan yang lama tak terdengar di telinga, serta menemani Not-not membeli makan siang sambil bercerita ini-itu.



Dupont Circle, yang menjadi tempat nongkrong, Raku dimana mas-masnya yang baik hati suka memberi kejutan, tempat nongkrong bersama sahabat-sahabat tersayang, Pizzeria Paradisso yang renyah dan konon menjadi tempat makan pizza favorit Obama, Sakana dengan Agedashi Tofu yang maknyus serta tak lupa Teaism yang merupakan kesukaan gurunya, nya-refer to P. Makan malam bersama pada Rabu malam setelah selesai kelas Bahasa di kedutaan selalu menyenangkan. Tentunya karena nongkrong bersama orang-orang yang unik dan maaf "sedikit" gila.

Acara makan-makan bersama ibu-ibu sesekali dipindah ke Dupont Circle. Sebagian besar acara ini diadakan dari rumah ke rumah. Beberapa tahun disini tak terasa kami memiliki keluarga baru, disertai hadirnya ponakan-ponakan baru. Pindah ke tempat yang sama sekali baru bisa membawa rasa sepi apalagi ketika keluarga dan sahabat kita tinggal berjauhan. Dan menjalin persahabatan setelah kita beranjak dewasa rasanya tidak semudah dimasa-masa sebelumnya. Ada yang berdasarkan chemistry, alias pertama kali ngobrol langsung nyambung dan banyak yang menjadi sahabat setelah berkenalan selama beberapa waktu. Demikian halnya ketika saya bertemu sahabat pertama yang dikenalkan oleh teman kami. Tak terasa tiga jam berlalu pada sebuah siang musim dingin dan masih banyak yang ingin kami bicarakan, sementara hari mulai beranjak sore dan si masnya sudah datang menjemput. Ya sejak saat itu, acara nongkrong, memasak, window shopping,  menjadi lebih menyenangkan, terlebih kegiatan yang terakhir. Kami sama-sama mengeluh pergi berbelanja terutama pakaian dengan suami tidak seseru bila pergi bersama sahabat perempuan. Ya wajar saja, mereka tak betah lama-lama di toko pakaian sementara kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam mencoba ini-itu dan (kebanyakan waktu) tak membeli satupun :). Persahabatan kami meluas dan terus meluas dengan hadirnya keluarga-keluarga baru dan disemarakkan dengan acara makan-makan. Sebagian besar acara ini diadakan dari rumah ke rumah. Beberapa tahun disini tak terasa kami memiliki keluarga baru, disertai hadirnya ponakan-ponakan baru.Acara makan biasanya diselingi dengan cerita-cerita terbaru mengenai apa saja, budaya, perjalanan, resep makanan, musik, bahkan agama. Ketika berkumpul, rasanya nyaris seperti "pulang kampung", duduk bersama, ada saja cerita, yang terus mengalir dan rasanya tak ingin beranjak "kalau tak ingat besok hari harus bekerja". Persahabatan kadang sedikit aneh, ada orang yang kita jumpai setiap hari tetapi belum tentu mereka langsung dekat di hati kita, dan ada "mereka" yang kita jumpai di tempat yang jauh bahkan asing, tetapi kita merasa telah saling kenal dalam waktu lama. Ya, seperti kata P, "chemistry", ada misteri di dalamnya.






Wednesday, March 7, 2012

Percakapan di toko Apple

Beberapa bulan lalu, suami dan saya memutuskan mengganti telepon genggam kami . Keinginan tersebut membawa kami bertandang ke toko Apple terdekat. Buat suami, bertandang ke toko elektronik terutama komputer sama halnya seperti seorang anak bermain ke toko yang penuh dengan cokelat dan permen. Mungkin karena ia memiliki sejarah panjang dengan komputer, dari sekedar berkenalan, membuat permainan dan menjadikan adiknya sebagai kelinci percobaan, hingga menjadi bagian yang tak terpisahkan lewat pekerjaan yang ia geluti.

Kami berdua menyukai bagaimana toko Apple ini di tata, rapi, sederhana, meja-meja lebar diatur sedemikian rupa dengan berbagai fitur diatasnya. Kita boleh memandang, mengutak-atik dan bermain sepuas hati dan tidak terintimidasi dengan sapaan staf yang melayani penjualan.

Setelah memutuskan apa yang kami inginkan, seorang staf mendekat dan memberi aba-aba lewat gerakan tangannya untuk mendekat ke komputer terdekat. Setelah beberapa saat saya baru sadar kalau si mbak eh si mas yang cantik dan parasnya sedikit menyerupai Christian Syriano, desainer yang terangkat namanya lewat program televisi "Project Runway" sangat berbeda dari staf penjual umumnya.

Yang lebih menarik lagi, ia sangat percaya diri dengan senyumnya dan matanya yang sangat responsif ketika menanggapi pertanyaan kami. Lalu dengan senyum kami memulai percakapan ini.

A:"Apa anda sudah tahu apa yang diinginkan?"
S:"Ya, kami ingin mengganti versi ini dengan versi xx".
A:"Oh, tapi anda tahu versi terbaru baru saja keluar?", lebih ringan dan ada fitur tambahan."
S:"Ya, tapi saya kurang menyukai modelnya, terlalu maskulin buat saya." (sambil mengernyitkan dahi)
A:"Oh! Sama, saya juga kurang suka," ia tersenyum dan mengeluarkan lipstik dari tas mungilnya dan memasang lipstik di depan kami.
S:"Oh , saya suka warna lipstik itu," dengan cepat saya menyela.
A:"Benarkah? Saya juga suka. Lalu kami sama-sama tersenyum.

Ia selanjutnya menjawab beberapa pertanyaan kami seputar barang yang kami inginkan. Dan memastikan bahwa kami paham akan pilihan kami. Ketika meninggalkan toko itu, suami saya berkata, wah tadi sangat mulus ya percakapannya, sepertinya kalian memiliki "chemistry" alias nyambung. Ya, saya menyukai staf tadi. Terlebih lagi fakta bahwa ia tidak dapat berbicara tidak menghentikannya untuk berkiprah sebagaimana orang lain yang bisa berbicara, terlebih lagi, kebijakan di Amerika yang tidak mendiskriminasi orang yang memiliki kemampuan berbeda untuk mendapat pekerjaan patut diacungi jempol.

Lalu jika ada pertanyaan terlintas, bagaimana orang yang bisu bisa melakukan percakapan diatas, tentu saja, kami berada di toko Apple, percakapan dilakukan di layar MAC komputer ;)

Sunday, February 6, 2011

Ketika tua, semoga dapat memilih untuk menjadi orang yang mandiri dan berlapang dada.

Badai salju yang melanda tempat tinggal saya baru-baru ini mengakibatkan listrik mati di beberapa titik. Bisa dibayangkan betapa sulitnya bertahan di tengah cuaca dingin tanpa pemanas sama sekali. Seperti biasa, dalam kondisi yg jatuh dalam kategori bencana seperti ini, Palang Merah di minta oleh pemerintah lokal (county) untuk membuka tempat penampungan (shelter) bagi mereka yg terkena pemadaman listrik.

Saya menghubungi organisasi tsb untuk membantu di tempat penampungan (shelter), kali ini shelter tsb berlokasi di sebuah sekolah sekelas SMA. Saya mendapat shift kedua, yg berlangsung selama 12 jam dari jam 12 malam ke jam 12 siang, tetapi saya memutuskan untuk menambah 1/2 shift lagi, sehingga menjadi 18 jam. Ketika saya sampai di penampungan semua peralatan dan ruang telah di atur sedemikian rupa, dari tempat pendaftaran dimana mereka mengisi formulir, post medis (yg di operasikan oleh perawat-perawat dari county), hall umum beirisi kursi dan meja tempat duduk, meja yg berisi makanan dan minuman berbagai macam serta area untuk tidur yg di atur berdasarkan jenis kelamin serta dipisahkan lagi untuk mereka yang single dan bekeluarga.

Di pos informasi setelah mengisi formulir, mereka di beri orientasi tentang area shelter serta servis apa saja yg tersedia. Selanjutnya mereka di arahkan ke pos medis untuk mendata informasi kesehatan mereka sebelum mereka memasuki hall umum.

Uniknya pada saat shift tersebut adalah 80% dari mereka yg datang adalah para warga senior yg berumur diatas 60 tahun sampai 90 tahun. Dan 95% dari warga senior tsb berasal dari senior homes yg kebetulan sedang terkena pemadaman listrik. Mereka datang difasilitasi oleh senior homes tersebut sedangkan sisanya datang ke shelter dengan menyetir kendaraan mereka sendiri.

Berinteraksi dengan warga senior ini membawa kesan tersendiri. Tapi yg paling berkesan adalah betapa mandirinya mereka. Sebisanya semua dilakukan sendiri, mengambil makanan dan minuman, membersihkan diri, bahkan menyetir ke tempat penampungan juga dilakoni sendiri.

Hal ini berbeda sekali dengan pengamatan saya dalam budaya asal, dimana orang tua biasanya di layani sepenuh hati oleh anak cucu mereka, dan kalau bisa mereka nyaris tak dibiarkan bahkan mengambil minuman mereka sendiri.

Dulu seringkali terdengar, "ah sudahlah kan sudah masuk usia pensiun, ga usah mikir apa-apa lagi, istirahat saja dan sebaiknya hari tua diisi dengan banyak berdo'a dan rajin-rajin ke rumah ibadah".

Entahlah, saya sendiri berpikiran sebaliknya, justru  setiap orang kapan saja mestinya tetap aktif secara fisik dan berusaha menjaga aktivitas fisik tersebut supaya bertahan sehat dalam waktu yg lama bahkan setelah memasuki usia pensiun. Dan lagipula, rasanya kurang sensitif dengan menyuruh mereka banyak berdo'a dan menghabiskan waktu di rumah ibadah, seolah-olah mengingatkan mereka bahwa usia mereka sudah senja dan waktu untuk hidup pun sudah tak lama lagi. Bukankah tanpa perlu diingatkan pun alam kesadaran kita sering sekali membuat kita memikirkan tentang hal tersebut?

Dan saya percaya, kita adalah apa yg kita pikirkan, apabila kita berpikir positif, antusias terhadap kegiatan kita sehari-hari apapun itu termasuk beribadah, ya mudah-mudahan semangat tersebut akan membuat hari lebih ringan untuk dijalani.

Beberapa dari oma dan opa yg datang ke shelter bahkan terlihat sulit untuk berjalan, mereka dibantu oleh alat bantu yg sekilas terlihat seperti meja tanpa dinding, dimana di dua kakinya yang terdalam di sangga roda sedangkan dua kaki terluar seperti kaki meja biasa, untuk memudahkan tubuh mereka bertumpu saat dalam keadaan istirahat.

Seorang nenek yg terlihat uzur sekali memakai alat ini, kami (beberapa relawan) mengamatinya saat ia berusaha berdiri tetapi kaki serta badannya terlihat sulit untuk digerakkan, dan kami akhirnya membantunya untuk mengambilkan minuman. Ia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan menjelaskan kalau kakinya sering "ngadat" belakangan ini. Melihat fisiknya ia sepertinya berumur diatas 85 tahun. Ia seharian duduk di kursi dan terlihat ceria sekali saat dihampiri oleh relawan.

Lalu ada seorang Opa yg memilih untuk begadang nyaris semalaman, ia terlihat penyendiri dan tak mau bergabung dengan siapapun. Di tangannya ia memegang sekantong plastik penuh berisi snacks yg ia kumpulkan dari meja makanan (snacks tersedia sepanjang waktu dan mereka bebas mengambil berapa saja yg mereka mau). Kemana pun ia pergi kantong plastik ini tak lupa dibawa. Dan sesekali ia menggumam kata-kata yg tak jelas.

Saat saya menonton televisi yg berada di hall utama, setelah kebanyakan dari mereka tertidur, si opa tiba tiba mendekat dan menduduki kursi di kanan saya. Ia tersenyum dan mulai menggumam lagi. Ternyata ia mengatakan bahwa ia berdarah Russia dan menceritakan pengalamannya sewaktu ke Jerman. Karena ia berbahasa Jerman, oleh orang yg ditemuinya ia dikira orang Jerman, ia terkekeh-kekeh sendiri dan saya hanya mengangguk-angguk dan setelah mencoba komunikasi dua arah sepertinya ia tak mampu lagi menangkap pembicaraan. Maka saya hanya mendengarkan saja perkataan-perkataannya termasuk ceritanya sekilas tentang orang tuanya.

Si Opa sekilas mengingatkan saya tentang Douwes, seorang penghuni panti jompo di Singapura yg saya temui saat mengikuti program pertukaran pemuda beberapa tahun yang lalu. Douwes yang lahir di Jakarta berdarah campuran Jawa dan Inggris menceritakan masa mudanya menjadi seorang pelaut yg berlayar ke berbagai tempat di dunia, dan begitu tahu saya dari Indonesia, ia membuka identitasnya yg setengah Indo dan rasa kangennya akan Indonesia. Douwes pun sangat antusias dan mandiri walau saat itu usianya diatas 90 tahun, matanya berkaca-kaca saat saya dan teman saya menyanyikan lagu "Bengawan Solo" yg ia minta dinyanyikan. Ah, andaikan saja Douwes ada di kota saya dan bukannya di Singapura bisa jadi saya akan luangkan waktu untuk mengunjunginya.

Tetapi tak semuanya Opa dan Oma ini ceria dan mudah membaur, seorang Oma bahkan terlihat sedikit kasar dan penuh curiga terhadap kami. Ia mengomel karena saat ia datang tak ada yg menyambutnya di meja registrasi (kebetulan saat itu baru istirahat setelah makan siang) sehingga meja registrasi ditinggalkan sejenak. Dan seorang Oma lagi mengeluh dan menuduh petugas kesehatan mental yg memang didatangkan oleh county secara khusus untuk melayaninya sebagai "stalker", beberapa orang mencoba untuk mendekatinya dan tak ada yg sukses kecuali seorang perawat yang memenangkan hatinya.

Setelah menghabiskan satu malam di shelter, listrik kembali menyala di senior homes mereka, dan mereka tak sabar untuk kembali. Kadang tingkah mereka cukup lucu, misalnya satu jam sebelum bus datang mereka sudah mulai antri, seorang Opa bahkan berkeliling dengan kursi rodanya menggoda Oma-Oma yg ada di shelter dan saat antrian panjang tadi siap-siap naik ke bus yg akan membawa mereka pulang, ia tiba-tiba keluar dari antrian dan maju ke depan seraya berteriak kecil yg menggoda," orang yg berkursi roda diutamakan," katanya, yg terus terang membuat keki Oma-oma yg telah antri duluan.

Ah, tak terasa waktu berjalan terasa cepat, shift saya yg awalnya 12 jam akhirnya berakhir 18 jam, saya memutuskan untuk membantu lebih lama di shelter dan ternyata setelah mendekati 18 jam, stamina dan mata saya memutuskan bahwa saatnya untuk istirahat.

Pengalaman hari itu membuat saya berpikir banyak tentang masa tua, "ah, kalau boleh memilih, saya ingin menjadi orang tua yg bijaksana, mandiri serta berlapang dada"