Showing posts with label Volunteer. Show all posts
Showing posts with label Volunteer. Show all posts

Tuesday, November 13, 2012

Lelaki Lusuh di Toko Kami

Sudah beberapa bulan ini saya menjadi relawan di lembaga palang merah di kota tempat saya tinggal. Kalau sebelumnya saya menjadi relawan di bagian respon bencana di DC, disini saya beralih ke bidang bisnis/retail.

Lembaga Palang Merah disini memiliki beberapa toko retail yang menjadi salah satu penopang dalam menggalang dana untuk membantu kegiatan kemanusiaan. Produk yang dijual adalah produk fashion, serta berbagai macam barang-barang lainnya seperti peralatan makan, buku-buku serta CD film dan musik.
Lelaki tunawisma di distrik Trevastere, Roma.

Kebanyakan pakaian maupun barang-barang yang dijual di toko ini merupakan barang-barang bekas pakai, walau tidak semuanya. Ada juga beberapa barang yang dibeli toko dengan harga diskon lewat kerjasama dengan beberapa toko terkenal. Karenanya, harga-harga yang ditawarkan di toko Palang Merah jauh lebih murah dibanding toko-toko lainnya. Barang-barang baru tersebut seperti tas dan sepatu bisa dibeli dengan harga 40% dari harga yang ditawarkan di toko asal. Sementara itu untuk pakaian bekas yang masih layak pakai maupun baru ditawarkan dengan harga yang sangat ramah kantong, rata-rata seharga $8 dan pakaian yg berlabel designer terkenal sekitar $15-19.

Dulu sebelum menjadi volunteer di toko ini, saya pikir pembelinya adalah kalangan menengah ke bawah, tetapi setelah beberapa bulan melayani pembeli, pendapat saya keliru.

Memang kebanyakan yang datang berbelanja adalah mahasiswi yang berburu pakaian-pakaian dengan model terkini dan model vintage/ retro. Dan mereka sangat pandai mengkombinasikan warna serta model sehingga terlihat sangat gaya ketika di kenakan, beberapa pelanggan tetap adalah ibu-ibu yang mengejar asesori untuk disandingkan dengan busana mewah mereka. Sementara pekerja kantoran lebih cenderung membeli rok atau kemeja yang bisa dipakai ke tempat kerja.

Biasanya, kami mulai menutup toko 15 menit sebelum jam 5. Dimulai dengan memasang tiang untuk menurunkan pintu yang diturunkan dan dikunci di lantai, lalu diikuti dengan menurunkan sepenuhnya salah satu pintu masuk dan membiarkan yang satunya separuh tertutup. Dengan begitu, calon konsumen tidak lagi masuk di toko sementara yang sudah berada di dalam masih bisa leluasa berbelanja hingga toko ditutup pada hari itu.

Banyak hal baru yang saya pelajari dalam menjalankan bisnis, dari mengelola barang yang masuk maupun keluar, menetapkan harga, merchandising,alias memajang barang sehingga kelihatan menarik di mata konsumer, dan mengganti temanya dalam periode waktu tertentu hingga mengelola keuangan. Tak lupa, memasang mata dan melihat gerak gerik konsumen yang mencurigakan serta sesekali memeriksa tas mereka, yang merupakan praktek wajar disini.

Sesuatu yang sama sekali baru buat saya dan terus terang dalam skala yang jauh lebih besar dari sekedar bisnis kecil-kecilan membuat kue-kue kecil pada masa kuliah dulu.

Minggu lalu, seorang konsumen masuk ke toko tepat sebelum kami mulai memasang tiang penyangga, dia berdiri di depan rak buku dan dengan tekun memilih CD yang di pajang di atas rak. Dia berjalan ke arah saya dan menanyakan apa saya bisa memberi diskon bagi CD -CD tersebut dan mengatakan bahwa ia akan menyumbangkan keseluruhan keping CD tersebut ke senior homes atau panti jompo.

Sekilas, kalau dilihat dari penampilannya, siapapun akan ragu dengan ucapannya tersebut. Tetapi tugas saya bukan menilai si pembeli melainkan melayani mereka. Dengan ramah saya tegaskan kita tidak bisa memberi diskon karena memang harganya sudah sangat murah, dan toko ini misinya membantu fundrising palang merah sehingga mereka bisa menjalankan misi kemanusiaan.

Ia lalu meminta berbicara dengan manejer kami, lalu saya memanggil Jenny dan ia mengatakan hal yang sama. Tetapi lelaki tadi terus berbicara seolah-olah ia tidak menghiraukan ucapan kami. Dia berbicara mengenai panti jompo, mengenai musik dan berbagai hal. Jam telah menunjukkan pukul 5 dan belum ada tanda-tanda ia akan selesai. Seandainya ia terlihat rapi tentu saya sudah meninggalkan Jenny begitu jam menunjukkan pukul 5, terlebih lagi seorang teman saya menyampiri ke toko dan mengajak ngopi di cafe sebelah begitu toko di tutup. Tetapi pakaiannya yang lusuh dan kecendrungannya yang berbicara banyak membuat saya mengkhawatirkan keselamatan Jenny, untungnya teman saya juga salah seorang relawan disana sehingga kami memutuskan menunggu hingga laki-laki itu selesai berbelanja.

Tepat pukul 5:30 ia berjalan menuju kasir, saya pun segera bersiap-siap berpamitan pada Jenny, manejer kami. Ketika membayar, laki-laki itu mengatakan pada Jenny untuk memotong $40 dari kartu kreditnya dan memberikan pada kami untuk membeli kopi. Saya dengan halus menolak dan mengatakan padanya, kalau ia mau sumbangkan saja uang itu untuk palang merah, saya tekankan, kami senang menjadi relawan di tempat itu dan tidak perlu dibayar atas waktu kami. Ia tersenyum lebar dan sedikit bercanda memuji kami yang dengan sabar menungguinya.

Seminggu berlalu, ketika saya kembali bertugas sesuai jadwal saya, Jenny bertanya apa saya ingat dengan lelaki lusuh yang mengganggu jadwal kepulangan saya minggu lalu. Tentu saja saya ingat, dan Jenny mengatakan, wah untunglah kita tidak menilai dia dari penampakannya, sambil tertawa. Ia orang baik, lanjutnya lagi, ia membantu panti-panti jompo, dan....Jenny menggantung ucapannya...dan, saya mengulangi kata itu sambil mengernyitkan dahi...dan kamu telah membawa perubahan katanya, "You have made a change" ujarnya. Karena kamu sabar menunggu dan melayani dia dengan baik, kemarin ia kembali kesini dan mendonasikan $2000 untuk Palang Merah ujar Jenny. Wah kalau begitu,"we have made a change" ujar saya.

Saya bertanya bagaimana mungkin ia bisa menyumbangkan sebanyak itu, melihat penampilannya yang lusuh dan jauh dari kesan orang mampu. Ternyata setelah bercerita panjang lebar, Jenny mengatakan lelaki itu datang dari salah satu keluarga terkaya di kota kami, dan keluarganya aktif terlibat membantu lembaga sosial yang bergerak bagi kemanusiaan. Sekilas cerita mengenai kakek peminta-minta, kembali hadir ke kepala saya, tetapi tidak ada hal yang mistis disini.

Hmmmm...walau sampai saat ini saya masih suka "judge the magazine based on its cover", saya harus setuju dengan pepatah lama, jangan menilai orang dari penampakan luar mereka.



Sunday, February 6, 2011

Ketika tua, semoga dapat memilih untuk menjadi orang yang mandiri dan berlapang dada.

Badai salju yang melanda tempat tinggal saya baru-baru ini mengakibatkan listrik mati di beberapa titik. Bisa dibayangkan betapa sulitnya bertahan di tengah cuaca dingin tanpa pemanas sama sekali. Seperti biasa, dalam kondisi yg jatuh dalam kategori bencana seperti ini, Palang Merah di minta oleh pemerintah lokal (county) untuk membuka tempat penampungan (shelter) bagi mereka yg terkena pemadaman listrik.

Saya menghubungi organisasi tsb untuk membantu di tempat penampungan (shelter), kali ini shelter tsb berlokasi di sebuah sekolah sekelas SMA. Saya mendapat shift kedua, yg berlangsung selama 12 jam dari jam 12 malam ke jam 12 siang, tetapi saya memutuskan untuk menambah 1/2 shift lagi, sehingga menjadi 18 jam. Ketika saya sampai di penampungan semua peralatan dan ruang telah di atur sedemikian rupa, dari tempat pendaftaran dimana mereka mengisi formulir, post medis (yg di operasikan oleh perawat-perawat dari county), hall umum beirisi kursi dan meja tempat duduk, meja yg berisi makanan dan minuman berbagai macam serta area untuk tidur yg di atur berdasarkan jenis kelamin serta dipisahkan lagi untuk mereka yang single dan bekeluarga.

Di pos informasi setelah mengisi formulir, mereka di beri orientasi tentang area shelter serta servis apa saja yg tersedia. Selanjutnya mereka di arahkan ke pos medis untuk mendata informasi kesehatan mereka sebelum mereka memasuki hall umum.

Uniknya pada saat shift tersebut adalah 80% dari mereka yg datang adalah para warga senior yg berumur diatas 60 tahun sampai 90 tahun. Dan 95% dari warga senior tsb berasal dari senior homes yg kebetulan sedang terkena pemadaman listrik. Mereka datang difasilitasi oleh senior homes tersebut sedangkan sisanya datang ke shelter dengan menyetir kendaraan mereka sendiri.

Berinteraksi dengan warga senior ini membawa kesan tersendiri. Tapi yg paling berkesan adalah betapa mandirinya mereka. Sebisanya semua dilakukan sendiri, mengambil makanan dan minuman, membersihkan diri, bahkan menyetir ke tempat penampungan juga dilakoni sendiri.

Hal ini berbeda sekali dengan pengamatan saya dalam budaya asal, dimana orang tua biasanya di layani sepenuh hati oleh anak cucu mereka, dan kalau bisa mereka nyaris tak dibiarkan bahkan mengambil minuman mereka sendiri.

Dulu seringkali terdengar, "ah sudahlah kan sudah masuk usia pensiun, ga usah mikir apa-apa lagi, istirahat saja dan sebaiknya hari tua diisi dengan banyak berdo'a dan rajin-rajin ke rumah ibadah".

Entahlah, saya sendiri berpikiran sebaliknya, justru  setiap orang kapan saja mestinya tetap aktif secara fisik dan berusaha menjaga aktivitas fisik tersebut supaya bertahan sehat dalam waktu yg lama bahkan setelah memasuki usia pensiun. Dan lagipula, rasanya kurang sensitif dengan menyuruh mereka banyak berdo'a dan menghabiskan waktu di rumah ibadah, seolah-olah mengingatkan mereka bahwa usia mereka sudah senja dan waktu untuk hidup pun sudah tak lama lagi. Bukankah tanpa perlu diingatkan pun alam kesadaran kita sering sekali membuat kita memikirkan tentang hal tersebut?

Dan saya percaya, kita adalah apa yg kita pikirkan, apabila kita berpikir positif, antusias terhadap kegiatan kita sehari-hari apapun itu termasuk beribadah, ya mudah-mudahan semangat tersebut akan membuat hari lebih ringan untuk dijalani.

Beberapa dari oma dan opa yg datang ke shelter bahkan terlihat sulit untuk berjalan, mereka dibantu oleh alat bantu yg sekilas terlihat seperti meja tanpa dinding, dimana di dua kakinya yang terdalam di sangga roda sedangkan dua kaki terluar seperti kaki meja biasa, untuk memudahkan tubuh mereka bertumpu saat dalam keadaan istirahat.

Seorang nenek yg terlihat uzur sekali memakai alat ini, kami (beberapa relawan) mengamatinya saat ia berusaha berdiri tetapi kaki serta badannya terlihat sulit untuk digerakkan, dan kami akhirnya membantunya untuk mengambilkan minuman. Ia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan menjelaskan kalau kakinya sering "ngadat" belakangan ini. Melihat fisiknya ia sepertinya berumur diatas 85 tahun. Ia seharian duduk di kursi dan terlihat ceria sekali saat dihampiri oleh relawan.

Lalu ada seorang Opa yg memilih untuk begadang nyaris semalaman, ia terlihat penyendiri dan tak mau bergabung dengan siapapun. Di tangannya ia memegang sekantong plastik penuh berisi snacks yg ia kumpulkan dari meja makanan (snacks tersedia sepanjang waktu dan mereka bebas mengambil berapa saja yg mereka mau). Kemana pun ia pergi kantong plastik ini tak lupa dibawa. Dan sesekali ia menggumam kata-kata yg tak jelas.

Saat saya menonton televisi yg berada di hall utama, setelah kebanyakan dari mereka tertidur, si opa tiba tiba mendekat dan menduduki kursi di kanan saya. Ia tersenyum dan mulai menggumam lagi. Ternyata ia mengatakan bahwa ia berdarah Russia dan menceritakan pengalamannya sewaktu ke Jerman. Karena ia berbahasa Jerman, oleh orang yg ditemuinya ia dikira orang Jerman, ia terkekeh-kekeh sendiri dan saya hanya mengangguk-angguk dan setelah mencoba komunikasi dua arah sepertinya ia tak mampu lagi menangkap pembicaraan. Maka saya hanya mendengarkan saja perkataan-perkataannya termasuk ceritanya sekilas tentang orang tuanya.

Si Opa sekilas mengingatkan saya tentang Douwes, seorang penghuni panti jompo di Singapura yg saya temui saat mengikuti program pertukaran pemuda beberapa tahun yang lalu. Douwes yang lahir di Jakarta berdarah campuran Jawa dan Inggris menceritakan masa mudanya menjadi seorang pelaut yg berlayar ke berbagai tempat di dunia, dan begitu tahu saya dari Indonesia, ia membuka identitasnya yg setengah Indo dan rasa kangennya akan Indonesia. Douwes pun sangat antusias dan mandiri walau saat itu usianya diatas 90 tahun, matanya berkaca-kaca saat saya dan teman saya menyanyikan lagu "Bengawan Solo" yg ia minta dinyanyikan. Ah, andaikan saja Douwes ada di kota saya dan bukannya di Singapura bisa jadi saya akan luangkan waktu untuk mengunjunginya.

Tetapi tak semuanya Opa dan Oma ini ceria dan mudah membaur, seorang Oma bahkan terlihat sedikit kasar dan penuh curiga terhadap kami. Ia mengomel karena saat ia datang tak ada yg menyambutnya di meja registrasi (kebetulan saat itu baru istirahat setelah makan siang) sehingga meja registrasi ditinggalkan sejenak. Dan seorang Oma lagi mengeluh dan menuduh petugas kesehatan mental yg memang didatangkan oleh county secara khusus untuk melayaninya sebagai "stalker", beberapa orang mencoba untuk mendekatinya dan tak ada yg sukses kecuali seorang perawat yang memenangkan hatinya.

Setelah menghabiskan satu malam di shelter, listrik kembali menyala di senior homes mereka, dan mereka tak sabar untuk kembali. Kadang tingkah mereka cukup lucu, misalnya satu jam sebelum bus datang mereka sudah mulai antri, seorang Opa bahkan berkeliling dengan kursi rodanya menggoda Oma-Oma yg ada di shelter dan saat antrian panjang tadi siap-siap naik ke bus yg akan membawa mereka pulang, ia tiba-tiba keluar dari antrian dan maju ke depan seraya berteriak kecil yg menggoda," orang yg berkursi roda diutamakan," katanya, yg terus terang membuat keki Oma-oma yg telah antri duluan.

Ah, tak terasa waktu berjalan terasa cepat, shift saya yg awalnya 12 jam akhirnya berakhir 18 jam, saya memutuskan untuk membantu lebih lama di shelter dan ternyata setelah mendekati 18 jam, stamina dan mata saya memutuskan bahwa saatnya untuk istirahat.

Pengalaman hari itu membuat saya berpikir banyak tentang masa tua, "ah, kalau boleh memilih, saya ingin menjadi orang tua yg bijaksana, mandiri serta berlapang dada"

Monday, October 18, 2010

Pengalaman menjadi relawan di negeri paman Sam.

Menjadi relawan bukanlah hal yang baru buat saya. Terlepas dari apa yang menjadi definisi formal dari relawan tersebut, ingatan saya tentang melakukan sesuatu secara sukarela kembali ke masa kecil, saat dimana saya menemani Ibu saya berkunjung ke rumah kerabat jauhnya yang rata-rata berusia lanjut, yang tinggal lumayan jauh buat kaki kecil saya dari rumah kami. Tak jarang rumah mereka di tempuh dengan berjalan kaki 30 menit dari tempat kami tinggal, menapaki jalan kampung yang menanjak dan melewati areal persawahan.

Ingatan saya yang samar-samar, melihat ibu saya membawa makanan yang telah disiapkannya dari rumah, memindahkan makanan tsb dengan cekatan lalu memandikan kerabatnya tersebut, memotong kuku bahkan rambut mereka, dan membereskan ruangan yg tak seberapa luas sebelum menarik saya beranjak dari sana untuk pulang ke rumah.

Kegiatan tersebut, dilakukannya secara berkala, mengunjugi kerabatnya yg berusia lanjut, sampai akhirnya kami pindah ke kota besar dan ia disibukkan dengan kegiatan mengajar di sekolah.

Pengalaman pertama menjadi relawan adalah saat saya terlibat mengajar anak jalanan di sebuah stasiun bus di kota saya. Lembaga sosial yang menaungi anak-anak tersebut mengijinkan saya dan beberapa teman untuk mengajar mereka hal yang sangat sederhana yaitu membaca dan berhitung. Anak-anak usia sekolah ini menghabiskan waktunya di terminal bekerja apa saja untuk mengumpulkan rupiah. Tak jarang, saat kami sedang berkonsentrasi mengeja sebuah kata, tiba-tiba bus datang beruntun dan mereka berlarian mengejar penumpang menawarkan jasa mereka, sehingga kelas yang tadi penuh oleh anak-anak seketika kosong melompong dan saya hanya bisa menunggu mereka kembali untuk melanjutkan pelajaran tadi.

Sesekali, kami para relawan membawa makanan seadanya untuk dibagi bersama anak-anak tersebut, entahlah ada krisis dalam pikiran saya antara meminta mereka untuk tertib atau membiarkan mereka larut dalam kegembiraan mereka, berlarian kesana kemari mengejar temannya yang melarikan kantung makanan yang kami bawa. Sayang sekali kesibukan mencari kerja setelah menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah menyebabkan kegiatan sukarela ini tak dapat lagi dilanjutkan.

Empat tahun setelahnya, relawan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di dunia kerja. Sebagai bagian dari organisasi kepalangmerahan dunia, partner lokal kami bertumpukan pada relawan dalam setiap kegiatannya. Relawan disini lebih terorganisir, mereka diberi orientasi tentang organisasi, di berikan berbagai macam training serta dukungan biaya sesuai standard yang di terapkan organisasi. Relawan ini juga di latih untuk memiliki spesialisasi tertentu sesuai kebutuhan masyarakat yang mereka layani dan servis yang di berikan organisasi. Dan kebanyakan dari relawan-relawan ini adalah mereka yg masih di bangku sekolah. Dan tak jarang, mereka dikirim ke berbagai pelatihan di berbagai tingkat, mulai dari lokal hingga internasional.

Lalu, di tempat yang baru saya tinggali beberapa tahun ini, saya mulai kembali berkecimpung di dunia kesukarelaan ini. Dengan menjadi relawan di sebuah organisasi yang ada di county tempat tinggal saya. Tak jauh berbeda dengan pengalaman sebelumnya, relawan disini mendapat orientasi selama dua hari di akhir pekan, untuk mengenalkan para relawan terhadap organisasi, misi dan visi yg mereka emban serta servis yang di berikan. Tetapi yang membedakannya adalah, semua kegiatan sepertinya di pusatkan untuk memaksimalkan efisiensi.

Training biasanya dilakukan di akhir pekan, atau dimalam hari setelah jam kerja, dipandu oleh satu atau dua fasilitator yang juga sebagian besar adalah relawan, dan jarang sekali di sediakan makanan/ snacks kalaupun disediakan menunya sangat simple dan sederhana jauh sekali bedanya dari training-training dimana saya pernah terlibat di tempat asal saya.

Dan yang paling menarik dalam training ini adalah bahwa fasilitator bukanlah mutlak sebagai narasumber tetapi ia dengan lihainya menstimulasi peserta untuk berdiskusi dan berbagi pertanyaan, pengalaman serta pemahaman mereka, disini saya kembali mengalami sebuah "students centered learning" yang berpijak pada asas "knowledge construction" sesuatu yang saya pelajari pada saat mendalami studi master beberapa saat yang lalu dan bukan sekedar "rote memory learning", yang berfokus pada mengingat pada apa yg dipelajari. Mereka yang telah menjadi relawan selama dua tahun boleh mengikuti training untuk menjadi fasilitator.

Mengamati sesama relawan, terlihat sekali bahwa tenaga sukarela ini di dominasi oleh para professional di berbagai bidang serta banyak sekali yang berasal dari mereka yg usia pensiun. Tetapi kemampuan mereka dalam bekerja, berdiskusi saat training ataupun pertemuan berkala tak diragukan lagi.

Sesekali, saya terlibat dalam kegiatan advokasi/sosialisai untuk organisasi dalam berbagai acara di komunitas. Biasanya untuk event sepanjang hari terdiri dari dua shift pagi dan siang. Salah satu relawan akan membawa kendaraan organisasi yang telah dilengkapi dengan berbagai material untuk keperluan advokasi maupun sosialisasi. Untuk acara-acara seperti ini, koordinaror program mengirimkan informasi lewat email beserta daftar events/ acara di komunitas yang akan di ikuti oleh organisasi selama 1-2 bulan ke depan dan menyatakan kebutuhan akan relawan termasuk spesialisasinya jika di butuhkan. Mereka yang memiliki waktu luang, tinggal mendaftarkan diri dan beberapa hari sebelum hari H koordinator tadi akan mengirimkan lists yang akan menjadi poin-poin pembicaraan yang akan disampaikan kepada publik yang menghampiri stand organisasi di event-event tsb.

Partisipasi dalam kegiatan-kegiatan ini 100% sukarela, tanpa adanya biaya yang di berikan oleh organisasi, para relawan menanggung sendiri biaya mereka termasuk t'shirt organisasi, biaya perjalanan dari/ke tempat event diadakan termasuk biaya makanan.

Sebuah pengalaman yang berharga buat saya, melihat managemen relawan dari perspektif yang berbeda.