Thursday, September 5, 2013

Pulang ke kotaku 3: Lombok menuju Gili Air

Setelah menghabiskan nyaris dua pekan di Medan, bersilaturahmi dengan keluarga besar dan teman-teman lama, saatnya melanjutkan perjalanan edisi mudik tahun ini.

Pelabuhan Gili Air
Pulang ke kota selajutnya adalah berkunjung ke pulau Lombok, tempat bekerja dalam kurun 2002-2004. Diantara kota-kota yang pernah saya tinggali dan kunjungi di Indonesia, Mataram mendapat tempat yang istimewa. Kota Mataram yang tidak terlalu besar bagi saya sangat ideal menjadi tempat tinggal. Jalanan yang masih jauh dari kemacetan, pasar tradisional yang masih berfungsi, sebuah mall dengan supermarket di lantai dasar yang menjual berbagai kebutuhan, taman-taman kota yang mudah dijumpai serta jaraknya yang relatif dekat ke berbagai objek wisata seperti Suranadi, taman Narmada, dan pantai Senggigi.

Penerbangan yang mengalami "delay" selama tiga jam dari bandar udara Juanda membuat kedatangan di Lombok Praya lumayan telat. Saya berasumsi akan makan waktu yang lama untuk tiba di Mataram mengingat bandara yang baru ini berada di Lombok Tengah yang justru dekat dengan pantai Kuta di Lombok Selatan.

Kenyataan bahwa kami berkendara pada malam hari dimana tidak begitu banyak kendaraan di jalan dan ditambah lagi dengan jalanan yang rapi dan lebar membuat perjalanan tersebut terasa nyaman dan ditempuh kurang lebih satu jam. Mudita, teman kerja di organisasi kemanusiaan dulu saat ini telah beralih ke bisnis travel pasca ditutupnya kantor tersebut pada akhir tahun 2010.

Malam telah cukup larut ketika kami tiba di Lombok Raya, tempat bermalam sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya ke tujuan utama kami, Gili Air.

Pagi-pagi sekali, saya menyempatkan diri berjalan keluar dari hotel dan menyusuri pasar oleh-oleh khas Lombok yang ada disamping Mataram Mall. Dulu, toko-toko dikawasan (Jl. Cilinaya) ini adalah tempat belanja oleh-oleh "cepat" ketika terbang dari Lombok. Berbagai macam produk asli Lombok bahkan Sumbawa dapat di temui di tempat ini, mulai dari berbagai motif kain tenunan, perhiasan dari mutiara hingga makanan kecil khas daerah ini. Saya mendapat sepasang anting-anting mutiara dengan harga yang sangat murah di tempat ini.

Tepat pada waktu yang disepakati, Mudita menjemput kami dari hotel menuju pelabuhan Bangsal. Pelabuhan yang menjadi titik keberangkatan ke tiga gili: Trawangan, Meno dan Air. Tetapi sebelumnya, kami singgah di hotel Wisata (Jl. Koperasi-Ampenan), bertemu dengan si pemilik ibu Erlina, yang dulu menjadi rekanan kantor dalam mengurus pengungsi. Ibu masih tetap enerjik meski sepuluh tahun telah berlalu. Ia masih mengelola sendiri hotel tersebut dan baru saja melakukan renovasi pasca ditinggalkan pengungsi yang dulu kami tempatkan disana.

Tak lama, kami sudah kembali ke jalan, kali ini melewati Senggigi, berhenti sejenak di Malimbu dan Kerandangan, menikmati pemandangan pantai yang indah dengan pasir putih dan air laut berwarna turquoise, biru kehijau-hijauan. Sementara jika melihat ke arah utara, akan terlihat ketiga gili dari kejauhan.

Tiba di Bangsal, kami membayar tiket masuk dan mobil langsung mengarah ke kantor pelabuhan. Terkadang tidak mudah untuk bisa langsung ke kantor pelabuhan, biasanya penumpang disuruh turun dan naik cidomo yang nangkring di dekat pos tersebut meski jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Beberapa tahun yang lalu, saya dipaksa turun dari kendaraan didudukkan di toko terdekat dan dipaksa membeli barang-barang kerajinan. Perlakuan ini membuat banyak orang akhirnya menghindari Bangsal dan langsung menuju Gili lewat pelabuhan Padang Bai, Bali.

Di kantor pelabuhan kami mendapat informasi bahwa kapal publik yang ke Gili Air hanya hingga jam 10 pagi. Wah! Lenyap deh harapan membayar kapal seharga 8000,- rupiah saja. Mau tidak mau harus menyewa kapal sendiri atau mencari "traveller" lain yang ingin menyeberang kesana sehingga bisa "sharing cost". Oleh mbak-mbak petugas tiket kami diarahkan ke bagian timur alias kantor yang berseberangan, menurut dia ada beberapa orang yang akan menyeberang dari sana.

Kami ditawarkan menyeberang dengan harga 250.000,-. Sedikit lebih murah dari harga sewa kapal resmi pelabuhan. Tapi dari pengalaman-pengalaman sebelumnya saya paham, bahwa kami bukan satu-satunya yang akan naik ke kapal tersebut. "Tetapi tidak ada penumpang lain di kapal kan, dengan harga segitu?" jawab saya. Si Mas senyum mesem-mesem, lalu menjawab," baiklah 150.000,- saja buat berdua. Yah namanya juga subsidi silang, dan benar saja, begitu kapal akan berangkat maka munculah sekitar 40 orang penumpang lagi dengan berbagai barang bawaan mereka. Tak berapa lama kapal mulai meninggalkan pelabuhan dan sesaat sebelum mencapai Gili Air, ombak terasa cukup besar dan membuat kapal naik turun di tengah gelombang. Lalu laut kembali tenang ketika mendekati pelabuhan Gili Air. Tips: pakailah celana pendek dan sandal jepit ketika menyeberang karena mau tidak mau kita akan terciprat air laut untuk naik dan turun dari kapal.

No comments:

Post a Comment

Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: