Musim semi yang lalu, saat bepergian ke Chicago di kereta yang saya
tumpangi saya berpapasan dengan tiga perempuan muda yg terlihat sangat
kontras sekali diantara penumpang lainnya. Ada sesuatu yg khas pada
wajah-wajah mereka, ekspresi yang lumayan polos dan cara berpakaian
mereka yg sekilas mengingatkan saya akan sosok "Ma" di serial Little
House on the Praire.
Ya, ditengah penumpang yg multi gaya,
dengan rok panjang, pendek, celana jeans, atasan yg bergaya modern,
aksesoris rambut alami, rambut warna warni, yg jelas ketiga perempuan
itu menyeruak justru dengan gaya mereka yg lain dari kebanyakan.
Ketiganya memakai rok panjang nyaris ke mata kaki, pakaian yg tertutup
sepenuhnya dan kap berwarna putih menutupi sanggul di bagian belakang
kepala mereka. Melihat ketiga orang ini seolah-olah sedang menonton
film dari masa lalu. Ketika balik, dari Indiana saya melihat dua prang
penumpang, sepertinya mereka adalah pasangan. Seorang bapak-bapak
berumur dan istrinya yg gaya pakaian mereka juga cukup menarik
perhatian.
Si lelaki, berpakaian hitam, atas ke bawah, dengan
topi hitam, janggut panjang dan wajahnya bersih dari kumis, sementara
yang perempuan memakai tutup kepala seperti jilbab, dengan baju dan rok
yg menutup sampai ke mata kaki. Ada begitu besar rasa keingintahuan
saya terhadap orang-orang ini dan komunitas mereka yg dikenal dengan
nama komunitas Amish.
Tapi ternyata saat itu saya tak cukup
berani untuk menghampiri dan bertanya, melainkan hanya melihat mereka
sekilas-sekilas karena saya pikir mereka juga tak nyaman kalau
dipelototi terus menerus. Lalu keingintahuan terhadap orang-orang Amish
tersebut membuat saya memulai pencarian informasi ttg mereka.
Ada beberapa komunitas Amish di Amerika, mereka tersebar di
Pennsylvania, Ohio dan Indiana. Setelah mengumpulkan beberapa informasi
maka kami berdua (dengan suami) meluncur ke utara menuju Lancaster
county. Ada sebuah kota kecil bernama Bird in Hand yang menjadi salah
satu tujuan kami di Pennsylvania.
Berkendara kira-kira setengah
jam dari Central Market Lancaster county, kami akhirnya sampai di
tempat yg menyediakan layanan Buggy Ride alias berkendara dengan kereta
yg ditarik oleh kuda. Ya, terlalu banyak bayangan yg bermain di kepala
saya, mungkin miniatur caravan di museum yg kami kunjungi, serta
berbagai macam tenunan, quilts, serta perabot-perabotan buatan
komunitas Amish membuat saya semakin penasaran dengan komunitas ini.
Kami disambut oleh pak kusir Amish yg bernama Joe. Sayangnya Joe tak
berjenggot panjang dan tak pula berpakaian hitam-hitam, seperti
kebanyakan lelaki Amish. Lelaki tua ini menjelaskan program apa saja yg
tersedia dan apa saja yang akan kami lihat. Kira-kira beginilah
ceritanya:
"Komunitas Amish adalah penganut agama kristen
aliran Anna Baptist, aliran ini bermula di Switzerland pada pertengahan
abad ke 14. Komunitas Amish ini juga dinamakan Mennonite yg berasal
dari pencetus aliran ini Menno Simmons. Komunitas Amish menjalani hidup
mereka dengan prinsip sederhana, tak boleh menyombongkan diri dan
berserah diri kepada Tuhan.
Pada mulanya dari Swiss mereka menyebar ke utara dan ke barat,
kira-kira ke Belanda dan Jerman saat ini, sehingga mereka juga kerap
menyebut diri mereka sendiri sebagai Dutch-Amish. Pada masa itu,
penduduk suatu kerajaan wajib mengikuti agama yg dianut oleh penguasa,
sehingga golongan ini serta merta terancam keberlangsungan beragamanya
dan memutuskan pindah ke Amerika.
Ada beberapa hal yg sangat
prinsip dianut oleh komunitas ini antara lain bahwa mereka tak
terhubung dengan masyarakat luas, sehingga media yg menghubungkan
mereka dgn dunia luar serta merta dibatasi atau tidak diperkenankan
pemakaiannya dalam lingkungan komunitas ini. Sehingga mereka tak
memiliki televisi, jaringan telephone, internet, mobil, dll.
Kereta kuda (buggy ride) yg kami tumpangi memasuki lahan pertanian yg
luas dengan rumah-rumah besar di tengah lahan tsb. Kontras sekali
melihat bangunan rumah-rumah modern tsb bersanding dengan kereta kuda
dihalamannya dan bukannya mobil-mobil seperti layaknya rumah modern,
demikian juga kenyataan bahwa tak ada televisi didalamnya. Joe
menjelaskan bahwa rumah-rumah tsb memakai teknologi modern seperti mesin
cuci, pendingin dll, hanya saja mereka tak memanfaatkan sambungan
listrik ataupun sambungan gas. Mereka memanfaatkan energi matahari dan
angin dan menjadi mandiri (self sufficient) dalam kebutuhan energinya,
ada juga yg memanfaatkan gas prophane (tabung gas individual berukuran
besar).
Sejenak imajinasi saya terbang ke desa-desa di pedalaman negeri
sendiri, dimana akses terhadap energi ini begitu terbatas bahkan di
beberapa kota besar juga mengalami black out, seandainya teknologi
matahari berbasis rumah tangga ini bisa kita manfaatkan tentu anak
sekolah akan lebih senang belajar dimalam hari dan banyak lagi
keuntungan lainnya yg didapatkan.
Baru-baru ini masyarakat
Amish diperkenankan memakai cell phone terutama saat mereka bepergian
keluar demi alasan keamanan, tetapi cell phone ini harus tinggal di
luar saat pemiliknya masuk ke dalam rumah.
Aliran Annabaptist
yang mereka anut tidak membolehkan penganut Amish untuk membunuh
manusia. Sehingga mereka tak boleh menjadi anggota militer dan lelaki
Amish memakai jenggot panjang tetapi tak berkumis, karena konon anggota
militer kerapkali memasang kumis :)
Barangkali sesuatu yg
paling menarik dari penuturan Joe adalah tradisi Rumpsringa, tradisi
dimana remaja Amish yg berumur dari 16 tahun sampai mereka melakukan
konfirmasi untuk bergabung dengan komunitasnya atau keluar dari
komunitasnya. Berbeda dari agama-agama lainnya dimana konfirmasi
terjadi secara otomatis atau turun temurun, komunitas Amish hanya
mengakui konfirmasi setelah seseorang dewasa dan mengerti akan pilihan
yg dibuatnya. Dalam masa-masa ini remaja-remaja Amish yg beranjak
dewasa di perbolehkan mengeksplorasi kehidupan luar dalam istilah
mereka kehidupan ala English, tinggal diluar komunitas, berpakaian ala
modern "English", mengkonsumsi alkohol, mengendarai kendaraan bermotor,
dll. Dari yg melakukan rumpsringa ini hanya sekitar 15% yang
benar-benar keluar dari komunitasnya.
Walaupun menolak sebagian
dari cara-cara kehidupan modern, anak-anak Amish tetap bersekolah
sampai grade 8, setiap kelas dikelola oleh seorang guru dan asistennya
yg merupakan anak yg paling cerdas di kelas tsb, selanjutnya si ibu
guru akan mengalami masa-masa "courting" alias masa-masa penjajakan dan
pengenalan calon pendamping hidupnya dan menikah pada usia 25 tahun.
Amish tak mengakui adanya perceraian sehingga setiap pasangan di beri
waktu yg cukup lama untuk mengenali calon pendampingnya dan apabila
mereka tak merasa sesuai sah-sah saja mencari sosok yg lebih tepat.
Ketersediaan pilihan untuk memilih dan mengenali lebih jauh ini menurut
pandangan pribadi saya sangat spesial dari komunitas ini, dengan sadar
betul akan pilihan yg dibuatnya bisa jadi membuat individual di
dalamnya tak sekedar ikut-ikutan tetapi sadar betul akan pilihan yg
dibuatnya serta konsekuensi dari pilihan tsb.
Demikian juga
untuk urusan kesehatan, mereka tak mengenal istilah asuransi, setiap
layanan kesehatan akan dibayar langsung oleh keluarga yg bersangkutan
atau ditanggung bersama-sama oleh komunitas ini.
Pertautan
dengan komunitas Amish ini terus terang membuat mata saya lebih terbuka
terhadap peradaban manusia. Dibalik berbagai warna, agama, lokasi yg
berlainan ternyata banyak sekali persamaan-persamaan diantara berbagai
peradaban yang ada. Kerapkali kita berpikir seolah-olah kita berbeda
sekali dengan yg lain ternyata justru banyak sekali persamaan yg ada yg
nyaris tak terpikirkan sebelumnya.
Bermanfaat sekali ulasan-nya, semoga kesederhanaan tersebut dapat kita contoh dalam keseharian hidup kita semua..
ReplyDelete
ReplyDeleteTerima kasih telah mampir dan membaca artikel ini. Ya banyak yg bisa kita contoh dari hal-hal yang sederhana.