Sunday, August 19, 2012

Lain Padang Lain Belalang (26/5/2010)

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, demikian bunyi suatu peribahasa yang saya pelajari saat duduk di bangku SD kelas tiga dulu. Tak perlu menebak-nebak artinya, ya setiap tempat memiliki keunikan tersendiri.

Sudah nyaris dua setengah tahun ini tinggal di negeri orang, selalu saja ada hal-hal baru yang saya pelajari setiap hari. Layaknya bangsa Melayu, dari kecil saya diajari sopan santun, basa basi, ramah tamah, serta aturan-aturan lainnya untuk bertahan di tengah masyarakat baik oleh orang tua, guru maupun ibu-ibu lain para tetangga keluarga saya.

Diantara aturan-aturan tersebut, mungkin basa basi telah mulai berkurang secara drastis, saya sadari dari dulu, basa basi inilah yg paling membingungkan buat saya, misalnya saat ditawari apa saja rasanya sulit menolak kalau memang itu adalah sesuatu yg diinginkan dan tentu saja kalau kita tak menginginkan barang yg ditawarkan gampang sekali menolak, saya bingung mengapa tak boleh berkata iya saat itu juga padahal terus terang itu gampang sekali.

Saya masih ingat beberapa ibu-ibu memberi laporan kepada ibu saya soal anak perempuannya yg satu ini. Rata-rata kakak dan terutama adik saya adalah mahkluk-mahkluk sosial yg ramah melempar sapaan siapa saja yg mereka temui di jalan menuju maupun keluar dari kediaman ini, kecuali seorang anak perempuan kurus dan hitam (katanya) yg lebih suka memandang lurus ke depan atau memandang aspal seraya berjalan cepat seolah-olah ada sesuatu yg di perhatikan di aspal tersebut.

Lalu, sesampainya di rumah, Ibu pun menasehati, "apa sih susahnya menegur orang pada saat lewat?" liat tuh adiknya, dia ramah sekali dan banyak sekali yg suka, fansnya termasuk sepasang suami istri berusia lanjut yg sangat menggandrungi keramahan adik saya.

"Ya, memang ga ada salahnya sih, cuma ga kepikiran aja", jawab saya sejujurnya. "Memangnya apa sih yg dipikirin kalau lagi jalan kaya gitu?" ibu saya bertanya balik. "Hmmm,..ya banyak, kadang sambil jalan sambil ngitung perkalian, kadang ingat ttg bacaan sebelumnya, kadang mikirin sepeda," ya ada aja deh yg berputar di kepala" dan terus terang saya bingung mengapa apa yg saya pikirkan menjadi menarik buat ibu saya.

Ya, begitulah akhirnya. Saya tumbuh menjadi anak yg berwajah cukup serius dan bahkan di perkuliahan oleh sahabat saya suka ditiru mimik seriusnya saat mendengarkan dosen berceloteh di depan kelas. Bahkan oleh seorang teman kerja dan beberapa orang lagi wajah saya dikatakan agak jutek terutama di jam-jam sibuk. Tak lupa driver di kantor lama yg saya temui tahun lalu berujar," wah mbak beda ya sekarang, udah ga jutek lagi" Gleg!@#$%^!@@#

Ah entahlah, saya tak pernah bersungguh-sungguh bermaksud jutek, ekspresi itu memang dari sana datangnya, dan akan semakin jelas terlihat jika ada yg saya pikirkan.

Lalu apa hubungannya dengan lain padang lain belalang? ya terus terang hidup di negeri orang seperti ini, saya tak perlu repot berbasa basi dengan orang-orang di sekitar. Cukup anggukan kepala saat bertemu di lift atau saat dibukakan pintu dan syukur-syukur dibarengi have a good day sudah lebih dari cukup, berbeda sekali dengan pengamatan saya saat tinggal bersama ibu dimana jalan menuju rumah sepanjang 300 meter tersebut banyak sekali orang di kiri kanan yang harus disapa.

Tetapi, ada dua ajaran yg masih melekat sampai saat ini yaitu kalau melihat orang yg jauh lebih tua atau ibu hamil berdiri dan saya menduduki kursi di kendaraan umum, saya harus memberikan kursi tersebut pada mereka. Saya ingat dulu sekali ditahun 1990-an, saya naik bus umum ke Siantar sekitar 2.5 jam perjalanan dari Medan, keluar dari stasiun Amplas mendekati Tg Morawa, bus yg sudah penuh tersebut menaikkan 3 orang penumpang (nyaris 4 sebenarnya), seorang ibu hamil dan dua anaknya yg masih balita. Tak ada penumpang yg beranjak, akhirnya sukseslah saya berdiri sampai tiba di Sinaksak, suatu tempat yg berjarak 10-15 menit dari perhentian terakhir. Nah yang satunya lagi adalah manakala melihat ibu-ibu maupun mereka yang berusia lanjut yg membawa beban yg lumayan merepotkan mbok ya ditawarkan bantuan membawanya, yg belakangan ini lumayan dipraktekan beberapa kali, kecuali tentunya saat berjuang keluar masuk bandara karena saya juga memiliki gembolan sendiri yg tak kalah ukurannya.

Lalu di tempat tinggal yg sekarang ini, ada beberapa senior citizens yg sering berpapasan di lobby, mereka suka sekali berkumpul pada jam-jam tertentu dan membentuk grup sendiri. Suatu hari, saat saya kembali dari gym, saya melihat seorang nenek yg berjalan tertatih-tatih menuju pintu masuk dengan gembolan belanjaan, sungguh tak tega melihatnya berjalan menghabiskan begitu banyak waktu menuju lobby yang hanya bisa ditempuh kurang dari dua menit. Belum lagi dia harus menscreen token dan bergegas membuka pintu yg membutuhkan kecepatan tertentu. Melihatnya, lalu saya menawarkan membawakan barang-barangnya dan kembali ke bagasi mobilnya dan menuntaskan seluruh barang belanjaannya. Ia tak menolak, dan tersenyum mengucapkan terima kasih. Ia tak terlihat sehat saat itu.

Kali berikutnya, saya kembali menjumpainya di parkiran sedang mengeluarkan barang2xnya dari bagasi, saya hampiri dan sekali lagi saya tawarkan bantuan, ia menolak bantuan tersebut.

Merupakan hal yg umum, disini para orang tua hidup mandiri, dalam artian menjalani segala sesuatunya sendiri. Bahkan diusia yg sedemikian senja mereka masih menyetir sendiri kemana-mana, pergy ke gym, dan banyak sekali kegiatan yg mereka lakukan tanpa bantuan orang lain.

Lalu, minggu lalu saat hendak ke Mall, saya naik bus yg lewat di depan kompleks apartemen dimana tujuan terakhirnya adalah Mall tersebut. Seperti biasa, kepala saya mulai mengingat-ingat apa yg ingin saya beli, dimana kira-kira lokasi tokonya, dan apa saja yg ingin saya lihat-lihat kali ini. Tak berapa lama, bus berhenti didepan bangunan besar yg merupakan tempat tinggal senior citizens.

Pada awalnya saya tak melihat siapa yg naik, tetapi karena bus tak kunjung beranjak saya menoleh kearah entrance, yg berjarak 3 meter dari tempat saya duduk. Dua orang nenek naik, dilanjutkan dengan sepasang kaki, sebuah buntalan sleeping bags, dan sebuah tas besar. Ia terlihat kewalahan, menggiring satu persatu barang bawaannya dari satu tangga ke tangga lainnya (walaupun supir bus tersebut telah menyesuaikan tangga tersebut untuk mempermudah ia naik).

Insting saya ingin menolongnya dan bergerak saat itu juga. Tetapi saya di dahului oleh seorang pemuda yg duduk lebih dekat ke arah pintu masuk dan menjulurkan tangannya menawarkan bantuan.

"Oh! Baiklah pikir saya", namun tiba-tiba saya terperanjat dengan teriakan keras," No Thanks!" Dilanjutkan, "You know What?! I am not weak, it just I am slow, I don't need any help!!! Dan mengalirlah banyak sekali kata-kata dari mulut nenek tersebut.

Pemuda tadi beringsut-ingsut kembali ke kursinya seraya mengucap maaf. Ternyata ucapan maaf tersebut tidak cukup, begitu kembali ke bangkunya, sang nenek melanjutkan celotehannya sambil memandang ketus kearah pemuda tersebut, "You see! katanya, you cannot just hand your hand like that! You have to ask first! I remember, 35 years ago, an old lady that I want to carry because she walked so slow told me that! Beberapa penumpang yg kebetulan dapat dihitung jari saling melirik satu sama lain, heran dengan reaksi berlebihan nenek tersebut. Dan dalam hati saya bersyukur dan berterima kasih kepada pemuda tersebut yg telah sukses mendahului saya menawarkan bantuan karena kalau tidak saya pastilah akan menjadi sasaran omelan nenek tersebut.

Ternyata lain lubuk memang lain bener ikannya. Paling tidak, saya belajar ternyata gesture menawarkan bantuan yg sangat lazim di tempat asal saya ternyata tak berlaku di tempat ini.

No comments:

Post a Comment

Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: