Sunday, August 19, 2012

Kemenangan Obama dan Inlander Mentality (2008)

Catatan dari lapak multiply-yang akan segera berakhir sehingga dipindah kesini, originally dari 8 November 2008.
Beragam respons terlihat menanggapi kemenangan kubu demokrat baik di US, Kenya, Jepang, maupun Indonesia.

Yang pertama karena baru kali ini seorang kulit hitam mampu menduduki kursi presiden, sehingga konon menurut seorang teman yang bermukim di Chicago, lapangan tempat perayaan kemenangan kubu demokrat di penuhi lautan manusia, dan mayoritas hitam. Lalu dilanjutkan di Daily show dimana John Stewart dan Colbert dengan lelucon mereka bakal digantikan oleh black brothers, sampai-sampai teman saya bercanda kayanya James Bond ntar diganti ama Denzel Washington:). Terus terang menonton televisi dua hari terakhir ini terasa membosankan karena liputan seputar hal yang sama diputar berulang-ulang.

Lalu sekelompok Obama fans di desa Obama dekat Tokyo juga jejingkrakan merayakan kemenangan tersebut dan engga hanya itu model rambut si Lipstick Pitbull aka Sarah Palin juga menjadi trend baru disana.

Tanggapan beragam juga muncul dari tanah air, umumnya memuat harapan akan hubungan yang lebih baik antara dua negara ke depan dan lebih khusus lagi karena masa kecilnya dihabiskan di Indonesia selama empat tahun dari umur 6-10 tahun. 

Beberapa teman mendeskripsikan perasaannya sampai menangis dst, dan menanyakan kapan Indonesia akan punya pemimpin seperti ini? padahal, boleh saja kita turut bahagia dengan pencapaian beliau tetapi jangan berharap yang berlebihan terhadap peran yang dimainkannya terhadap Indonesia. Dan untuk lebih objective, kinerjanya baru akan kita lihat empat tahun dari tahun 2009. Terlebih lagi dengan berbagai permasalahan yang ditinggalkan pendahulunya, si raja perang Bush jr.

Mungkin kita kecewa dengan prilaku pemimpin bangsa yang sulit sekali akur dan saling mendukung, apalagi presiden-presiden jaman reformasi tak bisa duduk akur satu meja membahas kepentingan bangsa, kalau ini bolehlah kita sedikit berkiblat terhadap negrinya Obama, setelah bertempur mati-matian pake pesan positip dampai yg negatif sekali, kalau kalah ya mengaku kalah secara kesatria dan setelah itu memusatkan perhatian bagi persatuan bangsa dan mendukung pemenang. Hal yang masih langka di negara kita.

Lalu beberapa teman lain masgyul dengan fenomena ini, mungkin termasuk saya didalamnya. Mengapa inlander mentality ini begitu menguasai kita? Nah soal inlander ini, dulu kata-kata ini sangat sering kita pakai untuk menertawakan diri sendiri. Misalnya dalam membandingkan "blue blood" dan "common people". Meneer dan inlander yang suka dipakai kalo lagi ledek-ledekan dengan teman-teman peserta pertukaran pemuda satu dekade lalu. Terminologi yang dulu sering disaksikan dengan menonton film-film bertemakan masa penjajahan.

Inlander ini sepertinya terminology yang digunakan pada masa penjajahan dulu untuk mewakili kelompok pribumi. Sayangnya bahkan setelah lebih dari separuh abad kita merdeka, mental inlander ini belum juga hilang dari tindak tanduk kita. 

Dari observasi selama ini berikut ini bisa jadi prilaku inlander yang mencolok: tidak percaya diri dengan kemampuan diri sendiri atau bangsa sendiri. Berpikir seolah-olah bangsa asing lebih manjur dan lebih pintar dibandingkan dengan bangsa sendiri. Akibatnya bisa dilihat diperkantoran yang multinasional , perlakuan terhadap bangsa sendiri menjadi berbeda bila dibandingkan dengan bangsa asing, mulai dari supir, staff admin dan lainnya ramah dan menunduk sedalam-dalamnya kalo ada yg agak kinclong sedikit, entah apa alasannya barangkali bangsa sendiri "kurang bermutu"?

Artinya kemampuan kita dan mereka saling melengkapi untuk bisa mencapai tujuan yang ingin dicapai, karena masing-masing memiliki potensi sendiri tentunya derajat yang satu tak lebih tinggi dari derajat yang lain.

Bukan berarti kita tidak boleh mencontoh bagaimana bangsa lain memajukan masyarakatnya, lewat good governance, kebijakan mereka yang mensejahterakan rakyatnya dsb, tetapi berkelakuan seolah-olah kita adalah pembantu seperti jaman feodal dulu rasanya sudah tidak layak. Bahkan kalau perlu pekerjaan sebagai pembantu pun baiknya kita beri ruang khusus untuk menjaga martabat mereka seperti pembatasan jam kerja, cuti, tugas dan tanggung jawab, dsb.

Sudah saatnya kita memandang sesama sebagai manusia dengan derajat yang sama. Dan mengurangi atau bahkan menghentikan inlander mentality ini, sehingga dengan sendirinya  kita berhenti menjadi (maaf, budak) di negeri sendiri?

No comments:

Post a Comment

Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: