Friday, September 24, 2010

Perempuan (bukan) mahkluk lemah

Mungkin ada kebetulan-kebetulan dalam kehidupan yang merangkai peristiwa datang silih berganti, membuat saya, setiap orang, beberapa orang yang kebetulan berada di seputar kejadian peristiwa tersebut memiliki pandangan tersendiri tentang sesuatu hal. Kali ini saya ingin bercerita tentang perempuan.

Dari kecil saya hidup dalam lingkungan yang dikelilingi oleh perempuan-perempuan kuat. Wanita-wanita yg hidup di desa kecil di Sumatera sana tak hanya menjadi ibu dari beberapa anak (angka 7-9 adalah jumlah yg lumrah) yang notabene bertanggung jawab mengurus dan membesarkan anak-anak tersebut tetapi juga merupakan wanita tangguh yang ikut berladang di perbukitan, mengayunkan cangkul, membabat rumput, memanen batang padi, mengangkut hasil panenan yang tugasnya setara dengan laki-laki ditambah lagi menjemur bulir padi yg mesti dipanjat dan diangkut dari lumbung dan di kembalikan ke lumbung.

Lalu ketika duduk di bangku sekolah dasar, guru saya sendiri adalah sosok perempuan mandiri, melahirkan anak-anak, mengurus rumah tangga dan tentunya bekerja dan berkontibusi untuk menafkahi rumah tangga.

Lalu setelah beranjak dewasa, saya bertemu Wayan, seorang perempuan sederhana yg bekerja mengurus rumah yg saya sewa bersama seorang teman. Berhubungan dengan Wayan membuat saya melihat banyak hal yang mungkin tak saya lihat dengan kacamata saya sendiri. Melalui cerita-cerita Wayan tentang rumah tangga, tentang tantangan membesarkan anak, mencari nafkah dan melayani suami, lagi-lagi mengingatkan saya tentang betapa kuatnya seorang perempuan. Wayan pun dengan nalarnya sendiri beranggapan perempuan bukanlah mahkluk lemah dan ketika ditanya apa ia ingin kembali menjadi seperti kondisinya sekarang setelah reinkarnasi nanti (catatan: Wayan penganut Hindu), ia malah memilih menjadi burung yang bebas terbang kemana ia mau dan tak mesti diikat oleh ini-itu karena jenis kelaminnya.

Ternyata setelah Wayan saya bertemu dengan perempuan lain yg sama kuatnya, menjadi bread winner alias satu-satunya pencari nafkah, membesarkan anak-anak, melakukan pekerjaan domestik dan masih terus melayani suami yg kebetulan berselingkuh.

Pada saat berbicara dengan perempuan-perempuan tadi, saya seringkali mendengar, kita ini perempuan, sudah takdirnya bahwa kita tak bisa seperti laki-laki. Kata-kata yang suka membuat kening saya berkerut karena tentu saja nalar saya bertubi-tubi mengajukan pertanyaan dan bantahan yang berusaha saya redam.

Terkadang diantara selingan sesi curhat dengan teman-teman perempuan saya, tentunya topik yg paling gress adalah mencari Mr. The One (s), saya agak kurang setuju dengan kata-kata Mr. Right, karena saya pikir dari Manufacturnya sana tak ada yg bener2x Right ; istilah tsb terlalu subjectiv (semua ada kekuatan dan kelemahannya, perempuan juga tak terkecuali; baik mayor atau minor, terserah kita apa mau berkompromi dengan itu atau tidak).

Salah satu kriteria yang paling dicari-cari adalah the One yang bisa menjadi pemimpin. Lagi-lagi "kata kunci" ini membuat saya bertanya-tanya, mengapa pemimpin ini dicari-cari? apa makna sebenarnya dari pemimpin ini? orang yg membuat keputusan tentang diri/ nasib kita? orang yang bertanggung jawab sepenuhnya apabila terjadi sesuatu? (mkn harus dicari dulu apa komponen yg mewakili kata kunci ini). Tetapi yg justru sangat mengherankan saya adalah perempuan-perempuan ini adalah perempuan tangguh yg telah berpendidikan tinggi, malang melintang di dunia karir dan (masih) mencari orang yang bisa memerintahnya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Malangnya, kadang-kadang perintah tersebut didasari ego, didasari atas kepatuhan mutlak, dan perempuan-perempuan yg berada pada lingkaran ini menerima hal tersebut karena memang demikianlah ia dituntut untuk berlaku.

Lalu baru-baru ini, demi melindungi perempuan (dalam asumsi saya di interpretasi sebagai mahkluk lemah) perempuan dihargai dengan nominal tertentu bila ia hendak dinikahi orang asing.

Entahlah, saya sedikit pusing dengan anggapan lemah ini. Dari pengalaman saya pribadi sebagai seorang perempuan baik secara individual ataupun professional saya tak melihat kelemahan-kelemahan ini, buktinya:

-Perempuan bisa melakukan berbagai pekerjaan dalam waktu yang sama (multitask) dan mampu menghasilkan output atas pekerjaan borongan tersebut.

-Perempuan adalah planner yg efektif yang bisa melihat dari berbagai sisi, merencanakan sesuatu dan melakukan hal yg di rencanakannya. Perempuan juga sangat evaluatif, selalu menganalisa kembali apa yg telah di lakukan sebelumnya dan mencari apa yg bisa dilakukan lebih baik (memiliki mental proses yg berkesinambungan)

-Perempuan mengandung dan membawa-bawa janin yg dikandungnya selama 9 bulan serta melahirkannya, dibutuhkan stamina yg kuat untuk melakukan hal tersebut.

-Perempuan juga adalah perencana keuangan alamiah, kalo ga percaya tanya saja ibu kita masing-masing, mau berapa saja penghasilan setiap bulan pasti cukup dan syukur-syukur bisa di tabung.

-Perempuan adalah motivator ulung bagi kemajuan putra-putrinya dan berusaha memastikan bahwa mereka memiliki kehidupan yg lebih baik dari dirinya.

-Perempuan-perempuan yang saya kenal bahkan memiliki nilai-nilai moral yg kuat dan mampu menjaga kehormatan dirinya.

Disini saya tak berniat memunculkan asumsi bahwa laki-laki adalah kebalikannya, sama sekali tidak. Tetapi hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg di kepala saya yang tak setuju dengan notasi bahwa perempuan adalah mahkluk lemah dan oleh karenanya perlu dilindungi, di kontrol dan dibatasi gerak-geriknya.

Saya malah berasumsi bahwa karena perempuan ini adalah mahkluk yg sangat kuat maka untuk mencegahnya menjadi tak tertandingi maka ia harus dilemahkan dengan melemahkan mentalnya. Saat ia tumbuh ia dijejali dengan berbagai bisikan bahwa ia lemah, ia tak pandai berpikir dan berlogika, ia hanya pantas melakukan hal-hal terbatas saja. Dan bisa jadi ia tumbuh dengan mempercayai apa yg dibisikkan kepadanya. Hal ini mengingatkan saya akan Film Ice Age, ketika si mamooth betina yg segede gajah merasa dirinya adalah seekor possum seperti dua saudara angkatnya yg possum beneran, sehingga ketika ada elang melintas ia ikut-ikutan sembunyi dan pura-pura pingsan, tak menyadari bahwa dengan bobot gajahnya itu tak mungkin elang akan mampu memangsanya hidup-hidup. Ia hidup diantara possum sejak kecil dan menganggap dirinya adalah possum.

Saya mungkin hanya ingin mengatakan kepada diri sendiri, bahwa sebagai perempuan saya adalah manusia utuh, saya diciptakan Tuhan dengan segala kelengkapan yg memenuhi standard saya sebagai manusia (tentunya Ia menciptakan manusia dengan kualitas2x tertentu), saya tak perlu diberitahu oleh siapapun bahwa saya tak lengkap, kurang memadai, kurang mampu berpikir dan memutuskan apa yg baik bagi saya.

Saya akan selalu belajar untuk memimpin diri sendiri dan bersinergi dengan manusia-manusia lain dengan kemampuan yang saya miliki, melalui proses mental saya sendiri yg diolah dari berbagai peristiwa, pengalaman, pengamatan, oleh karenanya (maaf saja) kata-kata lemah tersebut tak lagi relevan untuk diucapkan.

No comments:

Post a Comment

Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: