Friday, September 24, 2010

Agama di antara mayoritas, minoritas dan Penguasa

Sebelum bermukim di luar zona nyaman alias negeri sendiri, tak pernah terbayang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Bagaimana tidak, di kampung nan jauh di Sumatera sana, seluruh penduduk homogen, mendengarkan azan dari surau kecil di dekat rumah dan pergi mengaji diikuti shalat maghrib berjamaah merupakan bagian dari kegiatan sehari-hari.

Di surau kecil itu pula, anak-anak belajar membaca alif sampai dengan ya, di selingi sesi-sesi ceramah dari guru agama, tentang pentingnya ilmu, tentang iman tentang menghormati sesama dan menyayangi orang tua. Tentu saja, tak sedikit pun terbersit bibit rasa minoritas tadi.

Lalu, berpindah ke kota, dimana dimana-mana terlihat masjid dan gereja tersebar di sepanjang jalan, dimana pada hari jum'at jemaah laki-laki bergegas mendatangi masjid dan saf-safnya nyaris sampai ke jalan, dan di hari minggu pagi, anak-anak yg notabene adalah teman sepermainan memakai baju terbaiknya, dengan rambut berpita menunggu bus yg akan membawa mereka ke sekolah minggu dilanjutkan dengan bapak-bapak memakai jas dan ibu-ibu berkebaya, duduk berboncengan dengan mesra (mesra disini adalah kebahagiaan yg terpancar di wajah mereka) menuju rumah Tuhan.

Entahlah, saat itu sepertinya tak ada yang merasa menjadi minoritas. Pada saat lebaran dan natal, komunitas yg bersebelahan yg berbeda agama saling mengunjungi, berbagi cerita, bergembira dan berbagi makanan sekedarnya. Bahkan kedua hari besar tersebut terasa istimewa, karena tidak jarang kesibukan masing-masing tetangga membuat komunikasi jadi terbatas, sehingga di hari-hari besar tersebut silaturahmi yg terasa longgar kembali di pererat. Tak jarang, di pagi hari rumah-rumah yg tidak merayakan hari besar tersebut mendapat kejutan berupa ketukan di pintu saat pagi datang disertai sepiring kue-kue kering dan kue basah, yang selalu disambut dengan wajah-wajah yg sedikit surprise dimana dengan kacamata anak kecil saya saat itu terasa dibuat-buat ;)

Bagaimana tidak, di hari-hari besar tersebut anak-anak merupakan kurir utama yg bertugas mengantar penganan ke rumah teman dan tetangga yg berdekatan yg tidak merayakan hari besar tadi, sehingga wajah-wajah yg penuh surprise tadi terasa sedikit mengherankan, dengan kata lain, hmmm bukankah tahun lalu juga begini, dan sebelumnya juga begini? kita mengantar mereka menerima, kita menerima mereka yang mengantarkan? Mungkin mata anak-anak lebih jujur dan belum mengalamii training basa basi kali ya?

Begitupun saat tinggal di tempat dimana disekitar mayoritas beragama Hindu, pada saat hari Nyepi dimana lampu tak boleh dinyalakan, dan jalan-jalan terkadang di blokir sehingga kendaraan tak leluasa lalu lalang, tanpa merasa terbebani mereka yg bukan penganut agama tersebut turut menciptakan suasana tanpa penerangan ataupun dengan nyala lilin kecil di rumah masing-masing dan berusaha memastikan gordyn tertutup sehingga cahaya lilin dari rumah tak sampai terlihat dari luar.

Lalu belakangan ini, terutama setelah serangan di salah satu kota pusat bisnis dunia yang menewaskan ribuan orang, serta diikuti berbagai serangan mematikan di tanah air yang datang bertubi-tubi, konon katanya ditujukan bagi musuh-musuh diluar garis yg dipahaminya, yang pada kenyataannya lebih banyak mematikan saudara sebangsa dan setanah air sendiri, rasa aman dalam memelihara iman tadi mulai terusik. Terusik karena saya percaya semaksimal mungkin saya menikmati cara saya dalam mendekatkan diri kepadaNya, senyaman itu pulalah keinginan setiap orang terlepas apa kepercayaannya dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada Yang Maha Kuasa. Dan karena berkeyakinan tsb merupakan pilihan dan tanggung jawab pribadi terutama bagi mereka yang sudah dewasa, bukankah membuat pilihan dan sadar akan konsekuensinya adalah bagian dari tumbuh dewasa?

Setelah bermukim di luar zona nyaman ini baru terasa, apa rasanya menjadi minoritas, terutama saat-saat spesial seperti Ramadan. Jika dulu seisi kampung terasa bagai dilanda festival karena masjid sahut-menyahut memanggil jemaatnya menunaikan kewajiban mereka, disini Ramadan tak terasa gaungnya kecuali dalam skala keluarga-keluarga yg menunaikannya. Dulu, saya sering berpikir, alangkah indahnya apabila suara azan tersebut benar-benar dikumandangkan oleh seorang muazin dengan pengeras suara sekedarnya, tentulah keindahannya akan lebih terasa dibandingkan rekaman kaset yang sering kali terdengar kurang indah terutama apabila rekamannya seperti sedikit rusak, sehingga azan yg indah tadi berkurang merdunya.

Selama di zona nyaman, bahkan tarawihan pun tak pernah menjadi kendala, karena cukup berjalan kaki 5-10 menit sudah ada surau yang siap mengorganisir ibadah bersama, dan disini jarak yang jauh, kendala transportasi sampai per parkiran membuat urusan ini tak mudah bila ingin dilakukan bersama-sama. Bahkan berpuasa pun tak terasa menantang, karena nyaris semua warung makanan dan minuman ditutup, apalagi tempat hiburan. Walau kadang saya mempertanyakan, bagaimana mereka yg terjun di bisnis itu menghidupi keluarganya? karena adanya larangan-larangan dari pihak tertentu untuk mereka mencari nafkah, terlebih lagi bagaimana kalau mereka berasal dari kalangan yg tidak berpuasa dan yg dilayani juga tidak berpuasa? Benarkah tindakan mematikan usaha tadi? apakah ada kompensasi yg diberikan kepada mereka? sehingga tanpa berjualanpun asap dapur keluarga mereka tetap ngebul?

Dan disini, justru terasa sekali bagaimana tantangan puasa tsb. Kehidupan normal di sekitar kita tetap berjalan, warung-warung makanan dan minuman buka seperti biasa, tempat-tempat hiburan juga berjalan normal, apalagi warung-warung es krim, gelato, frozen yoghurt dengan antrian yg terkadang panjang ataupun pendek ditengah cuaca yg kadang panas dan jam puasa yg lebih panjang terasa begitu menggoda . Disini puasa terasa lebih menantang, dan terasa lebih personal. Berpuasa karena kita ingin menunaikannya tanpa mengurangi hak-hak orang lain yg tidak menunaikannya.

Kembali ke persoalan minoritas, baru-baru ini saya membaca di media tanah air, tentang bagaimana sekelompok orang mengganggu sekelompok orang lainnya yg ingin beribadah dengan asumsi bahwa keberadaan rumah ibadah tersebut bisa jadi menyebabkan masyarakat disekitarnya berpindah agama, lagi-lagi rasa aman beribadah tsb mulai terusik. Terus terang ada pertanyaan besar, apakah iman tersebut hadir karena rasa takut akan tekanan orang-orang disekitarnya ataukah rasa iman tsb justru sebaiknya didasari akan kesadaran diri, pemahaman dan proses pembelajaran terus menerus, sehingga iman tsb akan berproses, tumbuh dan bertransformasi lebih dalam melalui proses kesadaran diri tsb.

Lalu disini, suami isteri pemuka agama ingin mendirikan rumah ibadah yg berjarak dua blok dari tempat dimana serangan mematikan tersebut terjadi. Suara mayoritas menolaknya dan beberapa minoritas mendukungnya, tetapi jangan artikan bahwa minoritas ini berasal dari kalangan yg bersebrangan iman, disini yang mendukung termasuk didalamnya pendeta seperti Rev. Bob Chase yang mendukung berdirinya rumah ibadah ini dan berjanji akan turut serta mencarikan dana. Pertanyaan-pertanyaan seputar rasa sensitif berputar-putar di media, terlepas bahwa korban yg tewas maupun tenaga penyelamat yg turut tewas juga berasal dari kalangan yang sama. Terlebih lagi tempat ibadah tersebut ternyata telah ada disana selama kurang lebih 30 tahun walau tidak berupa bangunan megah dengan tanda-tanda yang jelas. Dan pemimpinnya secara tegas menolak gerakan fundamentalis yang mengatasnamakan agama.

Namun yang pasti di tengah perdebatan yang menghangat, ketidakpastian apakah rencana pembangunan tersebut akan berjalan atau tersendat apalagi pengumpulan dana juga belum jelas, yang pasti beberapa orang yg berakal sehat terutama dari penguasa secara jelas mengingatkan semua pihak, bahwa kebebasan beragama diatur dalam konstitusi negara ini. Bahwa semua orang memiliki hak yang sama dalam menjalankan keyakinannya. Dan menegaskan yg perlu dipertanyakan adalah darimana dananya berasal, apakah dana tersebut legal dan berasal dari penyumbang yg bebas dari gerakan teroris atas nama agama, hal ini yg perlu diklarifikasi.
Pernyataan yang sama saya rindukan dari penguasa negeri saya. Kemampuan untuk berdiri diatas berbagai golongan dan membuat pernyataan yg tidak populer tetapi konstitusional, yang bisa jadi akan menjadi suatu tantangan bagi kelangsungan pemerintah yg berkuasa, tetapi pernyataan ini mutlak diperlukan demi menjamin kebebasan beragama.

Hmmm, ternyata menjadi minoritas dengan segala gejala kebencian, tak terpercaya, ditengah iklim yg terasa paranoid itu bukanlah sesuatu yang mengenakkan. Mungkin dengan tantangan ini ada sesuatu yg perlu kita jawab secara universal, dimanakah kita berdiri dengan berbagai kegiatan teror yang mengatasnamakan agama? Secara pribadi saya percaya bahwa teror atas nama agama bukanlah ajaran agama yang saya anut dan saya percaya tak ada agama yg mengajarkan penganutnya untuk melakukan teror terhadap kemanusiaan terlebih lagi saya tak ingin berasosiasi dengan gerakan tsb.

Semoga masing-masing kita yang merdeka dalam berkeyakinan juga menjamin kemerdekaan sesamanya yg berbeda keyakinan. Karena kalau hari ini mereka menyerang satu agama, dihari lain bisa jadi agama-agama lainpun akan mendapat serangan serupa, pernyataan terakhir ini saya kutip dari penasehat politik CNN yg saya lupa namanya. Lalu, karena kita merdeka, mari berprilaku merdeka.

No comments:

Post a Comment

Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: