Ternyata di seluruh dunia ada sekitar 600 juta orang menderita cacat baik fisik maupun mental dan 80% diantaranya tinggal di negara berkembang. Lalu kalau merefleksikan balik ke Jakarta misalnya, jarang sekali penderita cacat berkeliaran di jalan-jalan. Padahal sebagai ibu kota negara yang sedang berkembang bisa jadi angka penyandang cacat cukup tinggi di Jakarta.
Lalu setelah dipikirkan lebih jauh tentu saja, penyandang cacat di beberapa negara maju seperti di Amerika dan Eropa lebih "feasible", tak lain dan tak bukan karena tersedianya akses bagi mereka untuk tetap aktif dan tampil di publik.
Penyandang cacat disana mendapat kesempatan untuk bisa hidup layaknya orang normal, diberi perlengkapan dan kemudahan fasilitas untuk mendukung mobilitasnya misalnya tempat di bus ataupun metro yang memungkinkan akomodasi kursi roda, peraturan perusahaan yang memungkinkan mereka bekerja sesuai kemampuannya. Dari menjadi direktur di sebuah lembaga keuangan dunia yang terkenal hingga menjadi petugas pemungut tiket dibioskop-bioskop.
Lalu apa yang terjadi dengan penderita cacat di negara berkembang? dari disembunyikan keberadaannya karena mengundang malu bagi keluarga, diantarkan di tempat lain yang bisa menampungnya atau menghabiskan hari begitu saja dan sepenuhnya bergantung kepada belas kasihan anggota keluarganya.
Sehingga bisa ditarik segitiga yang menggambarkan hubungan antara kecacatan-kerawanan terhadap kemiskinan dan kemiskinan (presented by ICRC berdasarkan pengalaman di negara konflik di Afrika).
Mungkin sudah saatnya kita membuka mata dan memberi dukungan bagi anggota masyarakat kita yang menjadi penyandang cacat.
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita mulai dari menggolkan kebijakan publik yang bisa membuat mereka menjadi peserta aktif dan setara antara lain melalui:
Mengadopsi sepenuhnya UN convention on people with disability dengan menelurkan kebijakan terkait penderita cacat. Indonesia merupakan salah satu negara yg telah menanda tangani konvensi tersebut.(http://www.un.org/disabilities/)
Penandatangan konvensi merupakan sebuah langkah awal untuk berkomitmen dalam gagasan yang diusung konvensi tersebut, lebih lanjut diperlukan langkah konkrit untuk mewujudkannya.
Salah satu kebijakan yang bisa di ambil adalah dengan mengeluarkan peraturan yang mengakomodir kebutuhan penyandang cacat untuk bisa mendapat akses transportasi yang akan menyokong mobilitas mereka baik untuk keperluan ke sekolah, bekerja, maupun menjalankan aktivitas sehari-hari.
Dengan melibatkan penyandang cacat dalam pembuatan keputusan, maka kita bisa mengharapkan tersedianya fasilitas transportasi, jalan serta kendaraan umum yang mengakomodasi kebutuhan mereka. Tersedianya akses ini akan membuka jalan bagi mereka untuk menjalani kehidupan sebagaimana yang dinikmati penduduk secara umum.
Kebijakan lain adalah dihapuskannya diskriminasi terhadap penyandang cacat untuk bisa bekerja dalam berbagai sektor. Diskriminasi disini tidak berarti dilakukan secara formal, tetapi ada baiknya untuk berbagai pekerjaan yang layak dilakukan dengan kondisi fisik maupun mental yang terbatas, ada persentase yang khusus diberikan bagi penyandang cacat. Di Amerika, misalnya, ada petugas marketing di toko komputer yang bisu namun handal melakukan percakapan lewat layar komputer, atau di beberapa pasar swalayan, sebagian petugas logistik dan kebersihan berasal dari kalangan penyandang cacat. Mungkin pemerintah bisa memberikan "keuntungan" khusus kepada perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan penyandang cacat sebagai stimulan.
Tidak ada seorangpun yang ingin dilahirkan cacat ataupun menderita kecacatan dalam masa hidupnya. Menyembunyikan anggota keluarga yang menderita cacat adalah sesuatu yang tidak bisa diterima lagi di abad yang moderen ini. Tetapi stigma terhadap penderita cacat dan keluarganya masih terus berlangsung hingga sekarang, sudah saatnya berbagai pihak melakukan program advokasi untuk memerangi stigma yang sangat merugikan ini. Setiap orang yang terlahir memiliki bakat tertentu, tak terkecuali dengan mereka yang cacat.
Dengan kebijakan dan program yang inklusif bukan tak mungkin, ke depannya sebagian besar penyandang cacat tidak perlu lagi bergantung dengan keluarga mereka namun bisa hidup mandiri dan bermartabat.
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita mulai dari menggolkan kebijakan publik yang bisa membuat mereka menjadi peserta aktif dan setara antara lain melalui:
Mengadopsi sepenuhnya UN convention on people with disability dengan menelurkan kebijakan terkait penderita cacat. Indonesia merupakan salah satu negara yg telah menanda tangani konvensi tersebut.(http://www.un.org/disabilities/)
Penandatangan konvensi merupakan sebuah langkah awal untuk berkomitmen dalam gagasan yang diusung konvensi tersebut, lebih lanjut diperlukan langkah konkrit untuk mewujudkannya.
Salah satu kebijakan yang bisa di ambil adalah dengan mengeluarkan peraturan yang mengakomodir kebutuhan penyandang cacat untuk bisa mendapat akses transportasi yang akan menyokong mobilitas mereka baik untuk keperluan ke sekolah, bekerja, maupun menjalankan aktivitas sehari-hari.
Dengan melibatkan penyandang cacat dalam pembuatan keputusan, maka kita bisa mengharapkan tersedianya fasilitas transportasi, jalan serta kendaraan umum yang mengakomodasi kebutuhan mereka. Tersedianya akses ini akan membuka jalan bagi mereka untuk menjalani kehidupan sebagaimana yang dinikmati penduduk secara umum.
Kebijakan lain adalah dihapuskannya diskriminasi terhadap penyandang cacat untuk bisa bekerja dalam berbagai sektor. Diskriminasi disini tidak berarti dilakukan secara formal, tetapi ada baiknya untuk berbagai pekerjaan yang layak dilakukan dengan kondisi fisik maupun mental yang terbatas, ada persentase yang khusus diberikan bagi penyandang cacat. Di Amerika, misalnya, ada petugas marketing di toko komputer yang bisu namun handal melakukan percakapan lewat layar komputer, atau di beberapa pasar swalayan, sebagian petugas logistik dan kebersihan berasal dari kalangan penyandang cacat. Mungkin pemerintah bisa memberikan "keuntungan" khusus kepada perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan penyandang cacat sebagai stimulan.
Tidak ada seorangpun yang ingin dilahirkan cacat ataupun menderita kecacatan dalam masa hidupnya. Menyembunyikan anggota keluarga yang menderita cacat adalah sesuatu yang tidak bisa diterima lagi di abad yang moderen ini. Tetapi stigma terhadap penderita cacat dan keluarganya masih terus berlangsung hingga sekarang, sudah saatnya berbagai pihak melakukan program advokasi untuk memerangi stigma yang sangat merugikan ini. Setiap orang yang terlahir memiliki bakat tertentu, tak terkecuali dengan mereka yang cacat.
Dengan kebijakan dan program yang inklusif bukan tak mungkin, ke depannya sebagian besar penyandang cacat tidak perlu lagi bergantung dengan keluarga mereka namun bisa hidup mandiri dan bermartabat.
No comments:
Post a Comment
Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: