Akhir pekan yang lalu, saya bangun pagi-pagi sekali dan bersiap-siap untuk mengikuti "shelter exercise" atau latihan mengoperasikan tempat penampungan pengungsi yg diadakan palang merah county tempat saya tinggal.
Tepat pukul 9 pagi, koordinator penanggulangan bencana segera maju ke depan dan mulai menjelaskan apa yang akan kita lakukan pada hari tersebut. Kegiatan tersebut diikuti oleh beberapa peserta baik relawan dari palang merah, petugas kepolisian (sherif), petugas kesehatan dari Departemen Kesehatan maupun staf dari palang merah sendiri.
Senang sekali pagi itu, Starbucks telah menyediakan kopi hangat bagi mereka yg terlibat di acara tersebut. Tepat 15 menit setelah acara pembukaan, kami yang akan mengoperasikan tempat penampungan bergegas menuju sebuah taman rekreasi (community center) dimana shelter exercise tsb akan dilakukan.
Sebelumnya beberapa tim inti telah dibentuk dan beberapa orang mengajukan diri untuk menjadi koordinator tim (lead). Ada beberapa posisi yang diperlukan antara lain: Shelter Manager, yg bertugas sebagai penanggung jawab utama dari keseluruhan tempat penampungan. Ia dibantu oleh beberapa lead antara lain registrasi, logistik, penginapan (dorm) dan layanan kesehatan serta keamanan. Saya mendaftarkan diri menjadi bagian dari registrasi. Dengan tugas menjadi lini terdepan menyambut kedatangan pengungsi, memastikan data mereka terisi kedalam formulir yang telah disediakan, sehingga mereka masuk sepenuhnya kedalam shelter.
Lalu begitu kami sampai di lokasi, penjaga tempat rekreasi tsb menjelaskan ttg fasilitas apa saja yg terdapat di bangunan tsb. Selanjutnya Shelter manager dan lead berkumpul membicarakan lay out tempat pengungsian. Saya dan beberapa teman memasang meja dan kursi untuk memudahkan pendaftaran pengungsi nantinya.
Begitu meja selesai dipasang, dan peralatan logistik registrasi belum sampai, kami sudah mulai menerima para pengungsi, catatan-catatan yg telah diberikan sebelumnya belum dapat terpenuhi karena keterbatasan logistik tersebut.
Segera saja dengan kertas seadanya kami membuat registrasi darurat dan melayani pengungsi yg datang dengan berbagai prilaku yg menunjukkan berbagai gejala stress. Sungguh, hari itu terasa seperti bencana sungguhan, akting yg di mainkan oleh masyarakat dan mahasiswa yg berperan sebagai pengungsi terasa nyata sekali. Ada yang datang dengan anak yang sakit, ada yg datang dengan keluhan persediaan oksigennya menipis, ada yg kehilangan anaknya di dekat meja registrasi, seorang wanita dari Sudan yang menyelamatkan dirinya sendiri dan tak sempat membawa ibunya yg berusia lanjut dan meminta kami menolong ibunya dan parahnya adalah dia tak bisa berbahasa Inggris. Serta sepasang mantan suami isteri yang terus cekcok perihal perceraian dan rebutan anak dan tak ingin di tempatkan dalam ruangan yang sama, seorang anak muda dengan masalah mental dimana standard hidupnya telah digariskan oleh bibinya yg telah menjadi korban, dan ia hanya mau makan semua yg organik, tidak mau bersentuhan dengan orang lain karena tidak higienis dan mengulang-ulang perkataannya serta seorang wanita yang datang dengan kursi roda. Dan kondisi tersebut di perparah dengan kebutuhan mereka yang harus segera dipenuhi: makanan, minuman, obat-obatan , dan selimut untuk menahan dingin.
Latihan yang berlangsung selama dua jam tersebut benar-benar menyita seluruh perhatian saya di meja registrasi. Dari pengamatan saya dan dari evaluasi kegiatan tersebut di akhir shift setelah makan siang disponsori Chipotle saya membuat poin-poin penting berikut ini:
1. Be Creative
Dari uraian teman-teman yg pernah terjun langsung, saya belajar bahwa sebaik apapun latihan yg kita lakukan, pada saat bencana sebenarnya terjadi, kita harus semaksimal mungkin bermain dengan kreativitas kita. Misalnya saat tanda-tanda yg biasanya telah tersedia dalam bentuk poster tak tersedia, gunakan apa saja yg ada untuk menggantikannya.
2. Koordinasi
Pastikan jalur komunikasi yang jelas antara shelter manager ke lead hingga ke relawan yg bertugas. Koordinasi disini bukan berarti manager tak bs berhubungan dengan relawan secara langsung tetapi rantai komunikasinya jelas dan relawan dapat saja berhubungan dengan tim lainnya dengan sepengetahuan leadnya masing-masing. Sehingga ini bukan tentang rantai bawahan maupun atasan tetapi bagaimana lingkaran informasi dikumpulkan dan dipergunakan.
3. Kerjasama lintas sektoral saat penanganan bencana
Yang paling menarik yg saya temui di county saya adalah bagaimana koordinasi yg terjadi begitu rapi dan terintegrasi. Dalam satu shelter atau penampungan, masing-masing pihak terintegrasi dalam satu shelter, pihak county mengirimkan sherif untuk kemananan, departemen kesehatan mengirimkan tenaga medis dan peralatan medis untuk membantu didalam tempat pengungsian.
Dan tak hanya itu, bahkan vendor-vendor yang menyediakan logistik untuk bencana memberikan diskon resmi (rate tertentu) untuk bahan-bahan yg dibeli atas nama palang merah. Dengan begini banyak uang yg bisa di simpan dan dipakai untuk kebutuhan pengungsi. Dengan diskon rate yg resmi ini juga menghindari terjadinya penyalahgunaan uang pada saat membeli kebutuhan saat bencana. Lagipula, pembelanjaan yg dilakukan palang merah juga bebas dari pajak. Begitu banyak kemudahan yg diberikan untuk melancarkan upaya tanggap bencana.
Impresi saya pemerintah menaungi lembaga sosial seperti palang merah untuk membantu mereka memberikan layanan tanggap darurat dan mensupport keberadaan mereka. Setiap ada bencana palang merah di beri alert untuk siap-siap membuka tempat pengungsian. Bisa jadi kerjasama seperti ini diikat melalui MoU yg jelas, sehingga respon yg diberikan bisa berjalan dengan efektif dan efisien.
Rantai pertolongan medis
Pastikan pada saat registrasi, pengungsi ditanyakan apabila mereka memiliki kebutuhan khusus, misalnya yg terkait dengan kesehatan mereka, dan sebaiknya pos pelayanan kesehatan berada berdekatan dengan registrasi sehingga mereka yg butuh pertolongan dapat ditangani dengan segera. Tetapkan juga jalur referal bagi pasien tersebut terutama bagi penyakit-penyakit yg tak dapat ditangani di tempat.
4. Logistik
Siapkan barang-barang kebutuhan logistik untuk mengantisipasi bencana. Dari tempat tidur lipat, selimut, makanan dan minuman, higiene kits dan lain-lain. Buat rencana pergantiannya dan apabila diperlukan buat kerjasama dengan vendor sehingga barang2x tsb bisa di kembalikan untuk dijual sebelum masa kadaluarasa dan barang baru gantinya diberikan.
5. Berdayakan pengungsi.
Ini dulu sering dibahas pada saat latihan psikososial, ternyata dalam simulasi ini hal ini terlupakan sama sekali. Ya, pengungsi tak sepenuhnya tak berdaya terutama saat mereka telah mencapai daerah/ shelter yang aman. Kerap, waktu yg dihabiskan di tempat pengungsian lebih dari 2-3 hari, dan pengungsi tidak memiliki kegiatan yg berarti yang kadang membuat mereka merasa lebih tertekan atau mengalami depresi.
Apabila kondisi kesehatan mereka memungkinkan, pengungsi bisa dilibatkan dalam berbagai kegiatan di dalam kamp. Dari membantu petugas registrasi, menjadi petugas admin di register layanan kesehatan, membagi-bagikan logistik, bersih-bersih kamp pengungsian, menjadi tenaga penjaga bayi/balita serta pengajar di tempat pengungsian. Kegiatan-kegiatan ini dijamin membuat waktu mereka tersita untuk kegiatan yg lebih berarti.
6. Identifikasi tempat-tempat yg bisa dijadikan sebagai tempat pengungsian.
Disini tata ruang sangat penting sekali. Fasilitas yg dibangun di perkotaan disini biasanya dilengkapi dengan taman dan community center berupa taman terbuka yg di lengkapi dengan berbagai fasilitas olahraga dan rekreasi. Selain tempet-tempat seperti ini, stadion olahraga, sekolah-sekolah dan tempat peribadatan bisa juga dijadikan sebagai tempat penampungan pengungsi. Pihak-pihak yg terlibat dalam penanggulangan bencana membuat rencana terintegrasi, menandatangani kerjasama untuk pemakaian fasilitas-fasilitas yg ada selama bencana serta membuat semacam pemetaan ttg lokasi, daya tampung, fasilitas yg dimiliki dan contact person yg dihubungi pada saat fasilitas tersebut akan digunakan. Dengan kerjasama yg terjalin jauh hari sebelum bencana, maka memudahkan jalannya koordinasi pada saat fasilitas tsb benar-benar diperlukan.
6. Be sensible, taati peraturan dan pakailah common sense.
Seringkali dalam situasi darurat, terjadi drama-drama maupun ledakan emosi yg wajar saja terjadi. bagi petugas/ relawan yg membantu maupun bagi pengungsi sebaiknya sama-sama paham bahwa untuk melancarkan upaya pemberian bantuan, kedua pihak harus saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya. Disini penting sekali menyadari bahwa masing-masing orang harus juga menolong dirinya sendiri dan pemberi bantuan untuk memuluskan pelayanan yg diterima/ diberikan.
Terus terang, sutradara latihan ini bagus sekali membuat skenarionya, mulai dari tim yg sampai sebelum logistik ada ditempat, petugas sekuriti yg tak kelihatan batang hidungnya, berbagai macam tanda/ banner yg tak kelihatan bahkan untuk mendaftarkan pengungsipun formnya tak tersedia. Ditambah lagi akting pengungsi yg kelas wahid. Mengikuti kegiatan ini memberi pengalaman yg berharga dari kegiatan tanggap darurat bencana yg dulu saya lakukan di tanah air.
No comments:
Post a Comment
Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: