Niat kami untuk menginap di Hotel Permata Hati berbelok ke Hotel Gardena. Pilihan yang tidak sia-sia mengingat pemilik hotel sangat ramah dan membantu mempermudah perjalanan kami. Kalau sebelumnya kami diantar staff hotel berkendara ke desa Sikka, untuk perjalanan ke Moni kami dibantu memesan kursi bus umum yang akan mengantar ke Moni, sebuah desa kecil di kaki Gunung Kelimutu.
Perjalanan ke Moni memakan waktu 3 jam dengan harga tiket 25.000 rupiah. Bus yang cukup tua menderu melintasi perbukitan menuju Moni. Mungkin dengan mobil pribadi perjalanan dapat ditempuh lebih cepat. Diatas bus kami bertemu kembali dengan beberapa orang asing yang sama sama menaiki merpati dari Denpasar. Hello, Hi, Hej saya Jemmy, saya Kara, Saya Uli, et toi? hehe
Jadilah kami berenam sama-sama berangkat menuju Moni dipagi yang cerah. Kara, Uli, Jemmy, serta dua orang Perancis berbagi bus yang sama dan sampai di Moni jam satu siang.
Kami "check in" di penginapan Watugana dan makan siang di restoran di sebelah penginapan. Makanan yang sangat sederhana sekali, nasi goreng dan teh manis, kami juga mencoba beberapa menu lain tetapi dengan hasil yang kira-kira sama. "Very simple yet not that delicious". Saya jadi teringat membelikan buku resep masakan buat pak Gregorius yang belum terkirimkan sampai sekarang.
Pak Gregory |
Pagi berkabut dan dingin, jam 4 pagi pak Gregory mengetuk pintu kamar, hmm..sepagi ini? dengan mata yg masih mengantuk dan hati yang mendua antara melanjutkan tidur dipagi dingin dibalik selimut atau..mendaki gunung kelimutu dan menggigil...menahan dingin.
Sedikit flashback bermain di benak mengingat pendakian-pendakian di masa sekolah, dingin, kabut, jalan terjal dan licin, tangan dan kaki serasa membeku,...namun..."pointless" sekali kalo sudah sampai ke Moni dan tidak mendatangi Gunung Kelimutu.
Akhirnya tekad yang sudah dipendam jauh-jauh hari menikmati sunrise di Kelimutu mengalahkan rasa kantuk yang membujuk untuk melanjutkan tidur, sekitar setengah jam duduk berimpitan di angkot dengan mesin yang menderu deru terus, berputar naik menuju titik pendakian, sedikit pengalaman lucu sesampainya di parking lot beberapa pemuda lokal penjual teh dan kopi menggigil kedinginan dan meyakinkan kami bahwa udara pagi itu begitu dingin (hmmm,..do I get a fever?) Sebuah trik untuk menjual dagangan mereka, kami yang sudah tak sabar ingin mendaki akhirnya memutuskan meminum segelas teh hangat penambah tenaga di pagi hari.
20 menit mendaki diantara semak setinggi lutut, akhirnya kami disemangati pak Gregory berhasil mencapai puncak. Lumayan juga rasanya menahan berat badan meniti tangga satu persatu sehingga sampai ke puncak. Saya menyempatkan diri berbincang dengan salah seorang penjual kain tenun, pak Johannes, yang telah melakukan ritual mendaki ini bertahun-tahun. Imagine! setiap hari menikmati Kelimutu yang indah!!
Satu bintang terlihat menggantung di ufuk timur , hmm..kemana ya bintang yang lain? pastinya disana juga tapi yang satu itu berkerlap kelip dan sinarnya lumayan kuat.
Dalam sepuluh menit berikutnya, bintang itu cahayanya memudar digantikan langit seribu warna, lembayung, merah, orange, biru, dan guratan setengah lingkaran berpendar dilangit yang mulai terang.
Belasan orang yang menunggu momen ini mulai sibuk dengan kamera masing-masing, semuanya terdiam menikmati sunrise yang sangat indah. Beberapa detik kemudian puncak Kelimutu tertutup kabut, kami serasa berada di tengah badai gurun pasir .
Matahari semakin meninggi, dan tiga danau kelimutu menampakkan pesonanya. Kami mengambil beberapa "shots" lagi dan tak lupa mengucapkan syukur telah sampai kesini menikmati keindahan karyaNya.
No comments:
Post a Comment
Anda menunjukkan perhatian dan kasih sayang dengan memberi komentar di bawah ini: