Friday, September 24, 2010

Oleh-Oleh dari Philadelphia

Ya, lebaran yang lalu kami tidak mudik. Kalau dipikir-pikir dalam sepuluh tahun belakangan lebaran kala mudik mungkin bisa dihitung jari. Entahlah, sepertinya lebih asik mudik setelah high season lebaran kelar, dalam artian tidak terlalu pusing dengan urusan tiket yang kadang sulit didapat dan disisi lain, dengan mudik beberapa hari setelah hari 'H' justru waktu bisa dimanfaatkan maksimal untuk berinteraksi dengan anggota keluarga.


Maka, lebaran kali ini pun kami tidak mudik, pagi-pagi bersiap untuk shalat Ied di community center dekat rumah, menikmati ketupat ala KBRI dan komunitas Indonesia, bersalaman sekedarnya dengan teman-teman yg duduk berdekatan dan buru-buru kembali ke rumah untuk open house bagi tetangga dan teman dekat serta mengenalkan makanan ala Indonesia.

Dan diakhir pekan yg dinanti-nanti akhirnya kesampaian juga mudik ke kampung sebelah, Philadelphia.
Berbeda dengan perjalanan yg sudah-sudah, kali ini tidak ada target khusus yg ingin di kunjungi, mungkin karena lokasinya yg cukup dekat sekitar 2.5 jam berkendara dari Washington DC/Maryland sehingga mungkin saja kunjungan ini bisa diulangi lagi di lain waktu.

Menjelang siang, setelah menaruh barang bawaan di penginapan yg berada di city center, kami memutuskan untuk berjalan kaki melihat-lihat kota. Pusat kota Philadelphia sangat nyaman buat pejalan kaki, jalannya yg cenderung sempit diantara variasi gedung tinggi, apartemen dan gedung-gedung yang tingginya tak lebih dari 2-3 lantai di lengkapi dengan trotoar buat pejalan kaki dikiri kanan, membuat acara jalan terasa asik.

Tak terasa kami berjalan lumayan jauh sekitar 15 blok dan sampai di depan Independence Hall. Independence Hall berupa bangunan yg tidak begitu besar dengan berdiri di suatu kompleks lengkap dengan lapangan (square), visitor center dan taman yang lokasinya berada di Old Town (Kota Tua). Disinilah, deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat di godok dan ditandatangani.

Sore itu, udara lumayan cerah dan dari jarak 50 meter terlihat banyak orang bergerombolan di depan Independence Hall. Yang menarik dari orang-orang ini adalah atribut yang mereka pakai. Dari jauh jelas sekali terlihat seorang imam dengan jubahnya yang panjang dan peci putih ala Asia Selatan di kepalanya, lalu terlihat seorang pastor lengkap dengan jubahnya yang berwarna merah muda mendekati ungu, seorang pendeta yg lebih mirip dengan gambar yg saya lihat di film Da Vinci Code dengan jubah (robe) berwarna cokelat mirip dengan pendeta Buddha yg sering saya temui di Thailand, beberapa orang Rabbi dengan topi kecilnya yg khas, seorang laki-laki Sikh dengan sorbannya, beberapa perempuan dengan poster di tangan mereka, seorang ibu tua atau lebih tepatnya nenek membawa poster kecil yg bertuliskan kata "damai" dalam berbagai bahasa, tak ketinggalan seorang mas-mas, yang ini saya yakin pastilah dia orang Indonesia, dengan kaos berwarna putih dan kain sarung pink gelap serta kopiah, tak diragukan lagi saya 100% yakin mas-mas ini mesti dari Indonesia. Sayangnya dia cukup sibuk dengan kameranya sore itu sehingga saya mengurungkan niat untuk menyapa. Belakangan saya mengetahui bahwa moderator pada acara tsb adalah Gubernur Pennsylvania sendiri, Mr. Ed Rendell.



Saya memberanikan diri mendekati ibu tua yang membawa poster dan menanyakan apa gerangan yg membawa mereka berkumpul di Independence Hall pada hari itu. Kebetulan pada hari itu Amerika memperingati kejadian rabu kelabu (9/11) yang merenggut ribuan nyawa orang di beberapa tempat pada tahun 2001.



Ternyata kelompok yang berkumpul saat itu adalah kelompok interfaith. Kelompok yang beranggotakan perwakilan berbagai agama untuk toleransi. Mereka memanfaatkan momen memperingati 9/11 untuk menunjukkan solidaritas bagi kebebasan beragama di Amerika. Terlebih lagi dukungan mereka ditujukan bagi umat muslim yang belakangan ini mendapat banyak tekanan baik domestik maupun secara internasional terutama dalam kaitannya dengan gerakan teroris yg mengatas namakan agama yg cukup tenar belakangan ini.

Pak Gubernur setelah membuka acara sore itu mempersilakan sang Rabbi untuk berbicara. Dalam pesannya Rabbi tersebut mengingatkan mereka yg hadir bahwa belum terlalu lama kiranya genocide (pembunuhan) terhadap yahudi yang dilancarkan oleh NAZI selama perang dunia kedua hilang dari ingatan, sesuatu yg berawal dari hilangnya toleransi terhadap sekelompok orang (suku) dan agama. Rabbi mengingatkan bahwa bila sentimen ini berlanjut tidak mustahil apa yang dulu dialami bangsa yahudi juga akan menimpa kelompok lainnya. Ia mengingatkan bahwa bila hari ini kita menyerang satu golongan agama di lain hari serangan serupa juga bisa menimpa penganut agama-agama lain dan menambahkan bahwa kerukunan antar umat beragama mutlak diperlukan demi menjamin kenyamanan kita beribadah menurut ajaran yg kita yakini.

Ia mengajak semua yg hadir untuk menoleh ke orang-orang di sekitarnya yg berdiri di kiri dan kanan, dan meyakinkan bahwa orang-orang tersebut pun tak berbeda kebutuhannya, orang-orang yg ada di sekeliling anda sama seperti anda ujarnya, mereka adalah anak, ibu, bapak, putra dan putri yang kembali ke rumah, ke keluarganya masing-masing yg berjuang demi keluarganya, yang cinta akan keluarga sama seperti kita semua. Diluar apa yg terlihat pada mereka, warna kulit dan rambut, gaya berpakaian, dll kita semua berjuang untuk hidup masing-masing dan membangun generasi yg lebih baik.

Tak terasa, semua yang hadir secara spontan memeluk mereka yg berada di kiri kanannya. Pemandangan yg indah di sore itu di bawah langit Philadelphia. Sungguh, ketidaksengajaan hadir di acara ini terasa meringankan sedikit beban didada. Pemberitaan ttg agama yg cenderung dikaitkan dengan teror belakangan ini begitu negatif, dan generalisasi yg terjadi terasa begitu kuat. Membaca komentar-komentar pembaca di media terkait artikel ttg agama tsb mau tak mau menimbulkan rasa kuatir. Mendengar perkataan rabbi demi rabbi serta pendeta dan imam tsb tiba-tiba ada rasa aman mengalir. Bahwa ditengah-tengah kekuatiran akan keselamatan diri masih ada orang-orang dan pemimpin-pemimpin agama yg tak terprovokasi dan memberikan dukungan bagi kerukunan antar umat.

Sejenak, saya teringat akan nasib kaum minoritas di berbagai tempat. Mereka yg diserang dan tak dibiarkan hidup nyaman karena agama yg mereka anut. Dari pengungsi Hazara asal Afghanistan, kaum Mandaean dan Baha'i dari Iran yg saya temui saat bekerja mengurus pengungsi beberapa tahun yang lalu, pemeluk Ahmadiyah di tanah air serta mereka-mereka yg termarjinalkan karena apa yg mereka yakini tak sejalan dengan mayoritas. Mereka yang mengkuatirkan keselamatan dirinya dan keluarganya, semoga saja suatu hari tak ada lagi pembunuhan yang mengatasnamakan Tuhan.

Di telinga saya, suara Imam yang membacakan Al Baqarah terdengar begitu menyentuh, dan Rabbi yg berdiri disampingnya membacakan tafsirnya ttg agama yg merupakan kelanjutan dari agama Ibrahim, yang memvalidasi agama-agama sebelumnya. Di kejauhan saya melihat seorang perempuan berkulit putih berdiri agak menjauh bersama bayinya, terlihat mengusap mata, ternyata saya tak sendirian, pelan-pelan saya mengalihkan pandangan ke arah lain,mengalihkan pandangan yg terasa sedikit kabur.

Agama di antara mayoritas, minoritas dan Penguasa

Sebelum bermukim di luar zona nyaman alias negeri sendiri, tak pernah terbayang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Bagaimana tidak, di kampung nan jauh di Sumatera sana, seluruh penduduk homogen, mendengarkan azan dari surau kecil di dekat rumah dan pergi mengaji diikuti shalat maghrib berjamaah merupakan bagian dari kegiatan sehari-hari.

Di surau kecil itu pula, anak-anak belajar membaca alif sampai dengan ya, di selingi sesi-sesi ceramah dari guru agama, tentang pentingnya ilmu, tentang iman tentang menghormati sesama dan menyayangi orang tua. Tentu saja, tak sedikit pun terbersit bibit rasa minoritas tadi.

Lalu, berpindah ke kota, dimana dimana-mana terlihat masjid dan gereja tersebar di sepanjang jalan, dimana pada hari jum'at jemaah laki-laki bergegas mendatangi masjid dan saf-safnya nyaris sampai ke jalan, dan di hari minggu pagi, anak-anak yg notabene adalah teman sepermainan memakai baju terbaiknya, dengan rambut berpita menunggu bus yg akan membawa mereka ke sekolah minggu dilanjutkan dengan bapak-bapak memakai jas dan ibu-ibu berkebaya, duduk berboncengan dengan mesra (mesra disini adalah kebahagiaan yg terpancar di wajah mereka) menuju rumah Tuhan.

Entahlah, saat itu sepertinya tak ada yang merasa menjadi minoritas. Pada saat lebaran dan natal, komunitas yg bersebelahan yg berbeda agama saling mengunjungi, berbagi cerita, bergembira dan berbagi makanan sekedarnya. Bahkan kedua hari besar tersebut terasa istimewa, karena tidak jarang kesibukan masing-masing tetangga membuat komunikasi jadi terbatas, sehingga di hari-hari besar tersebut silaturahmi yg terasa longgar kembali di pererat. Tak jarang, di pagi hari rumah-rumah yg tidak merayakan hari besar tersebut mendapat kejutan berupa ketukan di pintu saat pagi datang disertai sepiring kue-kue kering dan kue basah, yang selalu disambut dengan wajah-wajah yg sedikit surprise dimana dengan kacamata anak kecil saya saat itu terasa dibuat-buat ;)

Bagaimana tidak, di hari-hari besar tersebut anak-anak merupakan kurir utama yg bertugas mengantar penganan ke rumah teman dan tetangga yg berdekatan yg tidak merayakan hari besar tadi, sehingga wajah-wajah yg penuh surprise tadi terasa sedikit mengherankan, dengan kata lain, hmmm bukankah tahun lalu juga begini, dan sebelumnya juga begini? kita mengantar mereka menerima, kita menerima mereka yang mengantarkan? Mungkin mata anak-anak lebih jujur dan belum mengalamii training basa basi kali ya?

Begitupun saat tinggal di tempat dimana disekitar mayoritas beragama Hindu, pada saat hari Nyepi dimana lampu tak boleh dinyalakan, dan jalan-jalan terkadang di blokir sehingga kendaraan tak leluasa lalu lalang, tanpa merasa terbebani mereka yg bukan penganut agama tersebut turut menciptakan suasana tanpa penerangan ataupun dengan nyala lilin kecil di rumah masing-masing dan berusaha memastikan gordyn tertutup sehingga cahaya lilin dari rumah tak sampai terlihat dari luar.

Lalu belakangan ini, terutama setelah serangan di salah satu kota pusat bisnis dunia yang menewaskan ribuan orang, serta diikuti berbagai serangan mematikan di tanah air yang datang bertubi-tubi, konon katanya ditujukan bagi musuh-musuh diluar garis yg dipahaminya, yang pada kenyataannya lebih banyak mematikan saudara sebangsa dan setanah air sendiri, rasa aman dalam memelihara iman tadi mulai terusik. Terusik karena saya percaya semaksimal mungkin saya menikmati cara saya dalam mendekatkan diri kepadaNya, senyaman itu pulalah keinginan setiap orang terlepas apa kepercayaannya dalam mengekspresikan rasa cintanya kepada Yang Maha Kuasa. Dan karena berkeyakinan tsb merupakan pilihan dan tanggung jawab pribadi terutama bagi mereka yang sudah dewasa, bukankah membuat pilihan dan sadar akan konsekuensinya adalah bagian dari tumbuh dewasa?

Setelah bermukim di luar zona nyaman ini baru terasa, apa rasanya menjadi minoritas, terutama saat-saat spesial seperti Ramadan. Jika dulu seisi kampung terasa bagai dilanda festival karena masjid sahut-menyahut memanggil jemaatnya menunaikan kewajiban mereka, disini Ramadan tak terasa gaungnya kecuali dalam skala keluarga-keluarga yg menunaikannya. Dulu, saya sering berpikir, alangkah indahnya apabila suara azan tersebut benar-benar dikumandangkan oleh seorang muazin dengan pengeras suara sekedarnya, tentulah keindahannya akan lebih terasa dibandingkan rekaman kaset yang sering kali terdengar kurang indah terutama apabila rekamannya seperti sedikit rusak, sehingga azan yg indah tadi berkurang merdunya.

Selama di zona nyaman, bahkan tarawihan pun tak pernah menjadi kendala, karena cukup berjalan kaki 5-10 menit sudah ada surau yang siap mengorganisir ibadah bersama, dan disini jarak yang jauh, kendala transportasi sampai per parkiran membuat urusan ini tak mudah bila ingin dilakukan bersama-sama. Bahkan berpuasa pun tak terasa menantang, karena nyaris semua warung makanan dan minuman ditutup, apalagi tempat hiburan. Walau kadang saya mempertanyakan, bagaimana mereka yg terjun di bisnis itu menghidupi keluarganya? karena adanya larangan-larangan dari pihak tertentu untuk mereka mencari nafkah, terlebih lagi bagaimana kalau mereka berasal dari kalangan yg tidak berpuasa dan yg dilayani juga tidak berpuasa? Benarkah tindakan mematikan usaha tadi? apakah ada kompensasi yg diberikan kepada mereka? sehingga tanpa berjualanpun asap dapur keluarga mereka tetap ngebul?

Dan disini, justru terasa sekali bagaimana tantangan puasa tsb. Kehidupan normal di sekitar kita tetap berjalan, warung-warung makanan dan minuman buka seperti biasa, tempat-tempat hiburan juga berjalan normal, apalagi warung-warung es krim, gelato, frozen yoghurt dengan antrian yg terkadang panjang ataupun pendek ditengah cuaca yg kadang panas dan jam puasa yg lebih panjang terasa begitu menggoda . Disini puasa terasa lebih menantang, dan terasa lebih personal. Berpuasa karena kita ingin menunaikannya tanpa mengurangi hak-hak orang lain yg tidak menunaikannya.

Kembali ke persoalan minoritas, baru-baru ini saya membaca di media tanah air, tentang bagaimana sekelompok orang mengganggu sekelompok orang lainnya yg ingin beribadah dengan asumsi bahwa keberadaan rumah ibadah tersebut bisa jadi menyebabkan masyarakat disekitarnya berpindah agama, lagi-lagi rasa aman beribadah tsb mulai terusik. Terus terang ada pertanyaan besar, apakah iman tersebut hadir karena rasa takut akan tekanan orang-orang disekitarnya ataukah rasa iman tsb justru sebaiknya didasari akan kesadaran diri, pemahaman dan proses pembelajaran terus menerus, sehingga iman tsb akan berproses, tumbuh dan bertransformasi lebih dalam melalui proses kesadaran diri tsb.

Lalu disini, suami isteri pemuka agama ingin mendirikan rumah ibadah yg berjarak dua blok dari tempat dimana serangan mematikan tersebut terjadi. Suara mayoritas menolaknya dan beberapa minoritas mendukungnya, tetapi jangan artikan bahwa minoritas ini berasal dari kalangan yg bersebrangan iman, disini yang mendukung termasuk didalamnya pendeta seperti Rev. Bob Chase yang mendukung berdirinya rumah ibadah ini dan berjanji akan turut serta mencarikan dana. Pertanyaan-pertanyaan seputar rasa sensitif berputar-putar di media, terlepas bahwa korban yg tewas maupun tenaga penyelamat yg turut tewas juga berasal dari kalangan yang sama. Terlebih lagi tempat ibadah tersebut ternyata telah ada disana selama kurang lebih 30 tahun walau tidak berupa bangunan megah dengan tanda-tanda yang jelas. Dan pemimpinnya secara tegas menolak gerakan fundamentalis yang mengatasnamakan agama.

Namun yang pasti di tengah perdebatan yang menghangat, ketidakpastian apakah rencana pembangunan tersebut akan berjalan atau tersendat apalagi pengumpulan dana juga belum jelas, yang pasti beberapa orang yg berakal sehat terutama dari penguasa secara jelas mengingatkan semua pihak, bahwa kebebasan beragama diatur dalam konstitusi negara ini. Bahwa semua orang memiliki hak yang sama dalam menjalankan keyakinannya. Dan menegaskan yg perlu dipertanyakan adalah darimana dananya berasal, apakah dana tersebut legal dan berasal dari penyumbang yg bebas dari gerakan teroris atas nama agama, hal ini yg perlu diklarifikasi.
Pernyataan yang sama saya rindukan dari penguasa negeri saya. Kemampuan untuk berdiri diatas berbagai golongan dan membuat pernyataan yg tidak populer tetapi konstitusional, yang bisa jadi akan menjadi suatu tantangan bagi kelangsungan pemerintah yg berkuasa, tetapi pernyataan ini mutlak diperlukan demi menjamin kebebasan beragama.

Hmmm, ternyata menjadi minoritas dengan segala gejala kebencian, tak terpercaya, ditengah iklim yg terasa paranoid itu bukanlah sesuatu yang mengenakkan. Mungkin dengan tantangan ini ada sesuatu yg perlu kita jawab secara universal, dimanakah kita berdiri dengan berbagai kegiatan teror yang mengatasnamakan agama? Secara pribadi saya percaya bahwa teror atas nama agama bukanlah ajaran agama yang saya anut dan saya percaya tak ada agama yg mengajarkan penganutnya untuk melakukan teror terhadap kemanusiaan terlebih lagi saya tak ingin berasosiasi dengan gerakan tsb.

Semoga masing-masing kita yang merdeka dalam berkeyakinan juga menjamin kemerdekaan sesamanya yg berbeda keyakinan. Karena kalau hari ini mereka menyerang satu agama, dihari lain bisa jadi agama-agama lainpun akan mendapat serangan serupa, pernyataan terakhir ini saya kutip dari penasehat politik CNN yg saya lupa namanya. Lalu, karena kita merdeka, mari berprilaku merdeka.

Lain Padang Lain Belalang

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, demikian bunyi suatu peribahasa yang saya pelajari saat duduk di bangku SD kelas tiga dulu. Tak perlu menebak-nebak artinya, ya setiap tempat memiliki keunikan tersendiri.

Sudah nyaris dua setengah tahun ini tinggal di negeri orang, selalu saja ada hal-hal baru yang saya pelajari setiap hari. Layaknya bangsa Melayu, dari kecil saya diajari sopan santun, basa basi, ramah tamah, serta aturan-aturan lainnya untuk bertahan di tengah masyarakat baik oleh orang tua, guru maupun ibu-ibu lain para tetangga keluarga saya.

Diantara aturan-aturan tersebut, mungkin basa basi telah mulai berkurang secara drastis, saya sadari dari dulu, basa basi inilah yg paling membingungkan buat saya, misalnya saat ditawari apa saja rasanya sulit menolak kalau memang itu adalah sesuatu yg diinginkan dan tentu saja kalau kita tak menginginkan barang yg ditawarkan gampang sekali menolak, saya bingung mengapa tak boleh berkata iya saat itu juga padahal terus terang itu gampang sekali.

Saya masih ingat beberapa ibu-ibu memberi laporan kepada ibu saya soal anak perempuannya yg satu ini. Rata-rata kakak dan terutama adik saya adalah mahkluk-mahkluk sosial yg ramah melempar sapaan siapa saja yg mereka temui di jalan menuju maupun keluar dari kediaman ini, kecuali seorang anak perempuan kurus dan hitam (katanya) yg lebih suka memandang lurus ke depan atau memandang aspal seraya berjalan cepat seolah-olah ada sesuatu yg di perhatikan di aspal tersebut.

Lalu, sesampainya di rumah, Ibu pun menasehati, "apa sih susahnya menegur orang pada saat lewat?" liat tuh adiknya, dia ramah sekali dan banyak sekali yg suka, fansnya termasuk sepasang suami istri manula yg sangat menggandrungi keramahan adik saya.

"Ya, memang ga ada salahnya sih, cuma ga kepikiran aja", jawab saya sejujurnya. "Memangnya apa sih yg dipikirin kalau lagi jalan kaya gitu?" ibu saya bertanya balik. "Hmmm,..ya banyak, kadang sambil jalan sambil ngitung perkalian, kadang ingat ttg bacaan sebelumnya, kadang mikirin sepeda," ya ada aja deh yg berputar di kepala" dan terus terang saya bingung mengapa apa yg saya pikirkan menjadi menarik buat ibu saya.

Ya, begitulah akhirnya. Saya tumbuh menjadi anak yg berwajah cukup serius dan bahkan di perkuliahan oleh sahabat saya suka ditiru mimik seriusnya saat mendengarkan dosen berceloteh di depan kelas. Bahkan oleh seorang teman kerja dan beberapa orang lagi wajah saya dikatakan agak jutek terutama di jam-jam sibuk. Tak lupa driver di kantor lama yg saya temui tahun lalu berujar," wah mbak beda ya sekarang, udah ga jutek lagi" Gleg!@#$%^!@@#

Ah entahlah, saya tak pernah bersungguh-sungguh bermaksud jutek, ekspresi itu memang dari sana datangnya, dan akan semakin jelas terlihat jika ada yg saya pikirkan.

Lalu apa hubungannya dengan lain padang lain belalang? ya terus terang hidup di negeri orang seperti ini, saya tak perlu repot berbasa basi dengan orang-orang di sekitar. Cukup anggukan kepala saat bertemu di lift atau saat dibukakan pintu dan syukur-syukur dibarengi have a good day sudah lebih dari cukup, berbeda sekali dengan pengamatan saya saat tinggal bersama ibu dimana jalan menuju rumah sepanjang 300 meter tersebut banyak sekali orang di kiri kanan yang harus disapa.

Tetapi, ada dua ajaran yg masih melekat sampai saat ini yaitu kalau melihat orang yg jauh lebih tua atau ibu hamil berdiri dan saya menduduki kursi di kendaraan umum, saya harus memberikan kursi tersebut pada mereka. Saya ingat dulu sekali ditahun 1990-an, saya naik bus umum ke Siantar sekitar 2.5 jam perjalanan dari Medan, keluar dari stasiun Amplas mendekati Tg Morawa, bus yg sudah penuh tersebut menaikkan 3 orang penumpang (nyaris 4 sebenarnya), seorang ibu hamil dan dua anaknya yg masih balita. Tak ada penumpang yg beranjak, akhirnya sukseslah saya berdiri sampai tiba di Sinaksak, suatu tempat yg berjarak 10-15 menit dari perhentian terakhir. Nah yang satunya lagi adalah manakala melihat ibu-ibu maupun manula yg membawa beban yg lumayan merepotkan mbok ya ditawarkan bantuan membawanya, yg belakangan ini lumayan dipraktekan beberapa kali, kecuali tentunya saat berjuang keluar masuk bandara karena saya juga memiliki gembolan sendiri yg tak kalah ukurannya.

Lalu di tempat tinggal yg sekarang ini, ada beberapa senior citizens yg sering berpapasan di lobby, mereka suka sekali berkumpul pada jam-jam tertentu dan membentuk grup sendiri. Suatu hari, saat saya kembali dari gym, saya melihat seorang nenek yg berjalan tertatih-tatih menuju pintu masuk dengan gembolan belanjaan, sungguh tak tega melihatnya berjalan menghabiskan begitu banyak waktu menuju lobby yang hanya bisa ditempuh kurang dari dua menit. Belum lagi dia harus menscreen token dan bergegas membuka pintu yg membutuhkan kecepatan tertentu. Melihatnya, lalu saya menawarkan membawakan barang-barangnya dan kembali ke bagasi mobilnya dan menuntaskan seluruh barang belanjaannya. Ia tak menolak, dan tersenyum mengucapkan terima kasih. Ia tak terlihat sehat saat itu.

Kali berikutnya, saya kembali menjumpainya di parkiran sedang mengeluarkan barang2xnya dari bagasi, saya hampiri dan sekali lagi saya tawarkan bantuan, ia menolak bantuan tersebut.

Merupakan hal yg umum, disini para orang tua hidup mandiri, dalam artian menjalani segala sesuatunya sendiri. Bahkan diusia yg sedemikian senja mereka masih menyetir sendiri kemana-mana, pergy ke gym, dan banyak sekali kegiatan yg mereka lakukan tanpa bantuan orang lain. Bahkan saat ditawarkan tempat duduk di metro pun selalu mereka tolak.

Lalu, minggu lalu saat hendak ke Mall, saya naik bus yg lewat di depan kompleks apartemen dimana tujuan terakhirnya adalah Mall tersebut. Seperti biasa, kepala saya mulai mengingat-ingat apa yg ingin saya beli, dimana kira-kira lokasi tokonya, dan apa saja yg ingin saya lihat-lihat kali ini. Tak berapa lama, bus berhenti didepan bangunan besar yg merupakan tempat tinggal senior citizens.

Pada awalnya saya tak melihat siapa yg naik, tetapi karena bus tak kunjung beranjak saya menoleh kearah entrance, yg berjarak 3 meter dari tempat saya duduk. Dua orang nenek naik, dilanjutkan dengan sepasang kaki, sebuah buntalan sleeping bags, dan sebuah tas besar. Ia terlihat kewalahan, menggiring satu persatu barang bawaannya dari satu tangga ke tangga lainnya (walaupun supir bus tersebut telah menyesuaikan tangga tersebut untuk mempermudah ia naik).

Insting saya ingin menolongnya dan bergerak saat itu juga. Tetapi saya di dahului oleh seorang pemuda yg duduk lebih dekat ke arah pintu masuk dan menjulurkan tangannya menawarkan bantuan.

"Oh! Baiklah pikir saya", namun tiba-tiba saya terperanjat dengan teriakan keras," No Thanks!" Dilanjutkan, "You know What?! I am not weak, it just I am slow, I don't need any help!!! Dan mengalirlah banyak sekali kata-kata dari mulut nenek tersebut.

Pemuda tadi beringsut-ingsut kembali ke kursinya seraya mengucap maaf. Ternyata ucapan maaf tersebut tidak cukup, begitu kembali ke bangkunya, sang nenek melanjutkan celotehannya sambil memandang ketus kearah pemuda tersebut, "You see! katanya, you cannot just hand your hand like that! You have to ask first! I remember, 35 years ago, an old lady that I wanted to carry because she walked so slow told me that! Beberapa penumpang yg kebetulan dapat dihitung jari saling melirik satu sama lain, heran dengan reaksi berlebihan nenek tersebut. Dan dalam hati saya bersyukur dan berterima kasih kepada pemuda tersebut yg telah sukses mendahului saya menawarkan bantuan karena kalau tidak saya pastilah akan menjadi sasaran omelan nenek tersebut.

Ternyata lain lubuk memang lain bener ikannya. Paling tidak, saya belajar ternyata gesture menawarkan bantuan yg sangat lazim di tempat asal saya ternyata tak berlaku di tempat ini.

Catatan dari Amish County Pennsylvania

Musim semi yang lalu, saat bepergian ke Chicago di kereta yang saya tumpangi saya berpapasan dengan tiga perempuan muda yg terlihat sangat kontras sekali diantara penumpang lainnya. Ada sesuatu yg khas pada wajah-wajah mereka, ekspresi yang lumayan polos dan cara berpakaian mereka yg sekilas mengingatkan saya akan sosok "Ma" di serial Little House on the Praire.

Ya, ditengah penumpang yg multi gaya, dengan rok panjang, pendek, celana jeans, atasan yg bergaya modern, aksesoris rambut alami, rambut warna warni, yg jelas ketiga perempuan itu menyeruak justru dengan gaya mereka yg lain dari kebanyakan. Ketiganya memakai rok panjang nyaris ke mata kaki, pakaian yg tertutup sepenuhnya dan kap berwarna putih menutupi sanggul di bagian belakang kepala mereka. Melihat ketiga orang ini seolah-olah sedang menonton film dari masa lalu. Ketika balik, dari Indiana saya melihat dua orang penumpang, sepertinya mereka adalah pasangan. Seorang bapak-bapak berumur dan istrinya yg gaya pakaian mereka juga cukup menarik perhatian.

Si lelaki, berpakaian hitam, atas ke bawah, dengan topi hitam, janggut panjang dan wajahnya bersih dari kumis, sementara yang perempuan memakai tutup kepala seperti jilbab, dengan baju dan rok yg menutup sampai ke mata kaki. Ada begitu besar rasa keingintahuan saya terhadap orang-orang ini dan komunitas mereka yg dikenal dengan nama komunitas Amish.

Tapi ternyata saat itu saya tak cukup berani untuk menghampiri dan bertanya, melainkan hanya melihat mereka sekilas-sekilas karena saya pikir mereka juga tak nyaman kalau dipelototi terus menerus. Lalu keingintahuan terhadap orang-orang Amish tersebut membuat saya memulai pencarian informasi ttg mereka.

Ada beberapa komunitas Amish di Amerika, mereka tersebar di Pennsylvania, Ohio dan Indiana. Setelah mengumpulkan beberapa informasi maka kami berdua (dengan suami) meluncur ke utara menuju Lancaster county. Ada sebuah kota kecil bernama Bird in Hand yang menjadi salah satu tujuan kami di Pennsylvania.

Berkendara kira-kira setengah jam dari Central Market Lancaster county, kami akhirnya sampai di tempat yg menyediakan layanan Buggy Ride alias berkendara dengan kereta yg ditarik oleh kuda. Ya, terlalu banyak bayangan yg bermain di kepala saya, mungkin miniatur caravan di museum yg kami kunjungi, serta berbagai macam tenunan, quilts, serta perabot-perabotan buatan komunitas Amish membuat saya semakin penasaran dengan komunitas ini.

Kami disambut oleh pak kusir Amish yg bernama Joe. Sayangnya Joe tak berjenggot panjang dan tak pula berpakaian hitam-hitam, seperti kebanyakan lelaki Amish. Lelaki tua ini menjelaskan program apa saja yg tersedia dan apa saja yang akan kami lihat. Kira-kira beginilah ceritanya:

"Komunitas Amish adalah penganut agama kristen aliran Anna Baptist, aliran ini bermula di Switzerland pada pertengahan abad ke 14. Komunitas Amish ini juga dinamakan Mennonite yg berasal dari pencetus aliran ini Menno Simmons. Komunitas Amish menjalani hidup mereka dengan prinsip sederhana, tak boleh menyombongkan diri dan berserah diri kepada Tuhan.

Pada mulanya dari Swiss mereka menyebar ke utara dan ke barat, kira-kira ke Belanda dan Jerman saat ini, sehingga mereka juga kerap menyebut diri mereka sendiri sebagai Dutch-Amish. Pada masa itu, penduduk suatu kerajaan wajib mengikuti agama yg dianut oleh penguasa, sehingga golongan ini serta merta terancam keberlangsungan beragamanya dan memutuskan pindah ke Amerika.

Ada beberapa hal yg sangat prinsip dianut oleh komunitas ini antara lain bahwa mereka tak terhubung dengan masyarakat luas, sehingga media yg menghubungkan mereka dgn dunia luar serta merta dibatasi atau tidak diperkenankan pemakaiannya dalam lingkungan komunitas ini. Sehingga mereka tak memiliki televisi, jaringan telephone, internet, mobil, dll.

Kereta kuda (buggy ride) yg kami tumpangi memasuki lahan pertanian yg luas dengan rumah-rumah besar di tengah lahan tsb. Kontras sekali melihat bangunan rumah-rumah modern tsb bersanding dengan kereta kuda dihalamannya dan bukannya mobil-mobil seperti layaknya rumah modern, demikian juga kenyataan bahwa tak ada televisi didalamnya. Joe menjelaskan bahwa rumah-rumah tsb memakai teknologi modern seperti mesin cuci, pendingin dll, hanya saja mereka tak memanfaatkan sambungan listrik ataupun sambungan gas. Mereka memanfaatkan energi matahari dan angin dan menjadi mandiri (self sufficient) dalam kebutuhan energinya, ada juga yg memanfaatkan gas prophane (tabung gas individual berukuran besar).

Sejenak imajinasi saya terbang ke desa-desa di pedalaman negeri sendiri, dimana akses terhadap energi ini begitu terbatas bahkan di beberapa kota besar juga mengalami black out, seandainya teknologi matahari berbasis rumah tangga ini bisa kita manfaatkan tentu anak sekolah akan lebih senang belajar dimalam hari dan banyak lagi keuntungan lainnya yg didapatkan.

Baru-baru ini masyarakat Amish diperkenankan memakai cell phone terutama saat mereka bepergian keluar demi alasan keamanan, tetapi cell phone ini harus tinggal di luar saat pemiliknya masuk ke dalam rumah.

Aliran Annabaptist yang mereka anut tidak membolehkan penganut Amish untuk membunuh manusia. Sehingga mereka tak boleh menjadi anggota militer dan lelaki Amish memakai jenggot panjang tetapi tak berkumis, karena konon anggota militer kerapkali memasang kumis :)

Barangkali sesuatu yg paling menarik dari penuturan Joe adalah tradisi Rumpsringa, tradisi dimana remaja Amish yg berumur dari 16 tahun sampai mereka melakukan konfirmasi untuk bergabung dengan komunitasnya atau keluar dari komunitasnya. Berbeda dari agama-agama lainnya dimana konfirmasi terjadi secara otomatis atau turun temurun, komunitas Amish hanya mengakui konfirmasi setelah seseorang dewasa dan mengerti akan pilihan yg dibuatnya. Dalam masa-masa ini remaja-remaja Amish yg beranjak dewasa di perbolehkan mengeksplorasi kehidupan luar dalam istilah mereka kehidupan ala English, tinggal diluar komunitas, berpakaian ala modern "English", mengkonsumsi alkohol, mengendarai kendaraan bermotor, dll. Dari yg melakukan rumpsringa ini hanya sekitar 15% yang benar-benar keluar dari komunitasnya.

Walaupun menolak sebagian dari cara-cara kehidupan modern, anak-anak Amish tetap bersekolah sampai grade 8, setiap kelas dikelola oleh seorang guru dan asistennya yg merupakan anak yg paling cerdas di kelas tsb, selanjutnya si ibu guru akan mengalami masa-masa "courting" alias masa-masa penjajakan dan pengenalan calon pendamping hidupnya dan menikah pada usia 25 tahun. Amish tak mengakui adanya perceraian sehingga setiap pasangan di beri waktu yg cukup lama untuk mengenali calon pendampingnya dan apabila mereka tak merasa sesuai sah-sah saja mencari sosok yg lebih tepat. Ketersediaan pilihan untuk memilih dan mengenali lebih jauh ini menurut pandangan pribadi saya sangat spesial dari komunitas ini, dengan sadar betul akan pilihan yg dibuatnya bisa jadi membuat individual di dalamnya tak sekedar ikut-ikutan tetapi sadar betul akan pilihan yg dibuatnya serta konsekuensi dari pilihan tsb.

Demikian juga untuk urusan kesehatan, mereka tak mengenal istilah asuransi, setiap layanan kesehatan akan dibayar langsung oleh keluarga yg bersangkutan atau ditanggung bersama-sama oleh komunitas ini.

Pertautan dengan komunitas Amish ini terus terang membuat mata saya lebih terbuka terhadap peradaban manusia. Dibalik berbagai warna, agama, lokasi yg berlainan ternyata banyak sekali persamaan-persamaan diantara berbagai peradaban yang ada. Kerapkali kita berpikir seolah-olah kita berbeda sekali dengan yg lain ternyata justru banyak sekali persamaan yg ada yg nyaris tak terpikirkan sebelumnya.

Sumbangan dan Bencana

Gempa bumi yang yang menimpa Haiti hari selasa lalu sedikit banyaknya mengingatkan saya akan kejadian Tsunami tahun 2004 yang lalu. Satu ruangan di lantai dasar gedung PMI Pusat yang juga merupakan markas dari Federasi Palang Merah Internasional (IFRC) yang sebelumnya merupakan ruangan training disulap menjadi Posko Bencana Tsunami.

Segera saja ruangan tersebut dan meja kursi yg ada di dalamnya diatur dan dibagi-bagi berdasarkan kebutuhan saat itu. Satu bagian besar diisi dengan meja panjang bundar yang berfungsi sebagai tempat rapat harian membahas response yang telah disalurkan sekaligus mendiskusikan response selanjutnya, tantangan yg dihadapi di lapangan serta update berita dari Divisi terkait seperti Divisi Penanggulangan Bencana, Divisi Relawan, Divisi PSK (maaf ini bukan tempat jualan syahwat, tetapi singkatan dari Pelayanan Sosial dan Kesehatan), Divisi Komunikasi, dll.

Di tempat ini pula, PMI menerima sumbangan yang berdatangan silih berganti baik dari individu, kumpulan warga maupun perusahaan-perusahaan besar yang sangat tanggap terhadap kebutuhan masyarakat tertimpa bencana.

Terus terang, itulah pertama kalinya saya terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana dan langsung di"pinjamkan" ke PMI untuk membantu POSKO bersama dengan staff PMI dan ICRC, kita mengerjakan apa saja yg bisa dikerjakan pada saat itu karena job desk juga kayanya belum sempat dibuat :)

Salah satu tugas yg kita lakukan saat itu adalah menerima telepon dari berbagai sumber, dari korporat yang akan datang dan menyumbang dan membuat janji bertemu dengan Ketua PMI saat itu; Bp. Mar'ie Muhammad dan pengurus PMI lainnya, dari warga negara Indonesia di luar negeri yang ingin mengupdate perkembangan berita ttg tanah kelahirannya, karena selama beberapa hari pertama akses ke daerah bencana sulit sekali sehingga mereka langsung menelepon PMI, dari Warga Negara Indonesia di luar negeri yang menangis terisak-isak, mengkhawatirkan anggota keluarga tercinta seraya mencatatkan informasi keluarga mereka yg diduga hilang dan ingin mencari tahu lewat sarana Restoring Family Links PMI dimana keluarga-keluarga yg terpisah dipertemukan kembali. Membantu membuat rencana distribusi, menghubungi penerbangan yang menawarkan angkutan gratis bagi relawan ataupun perusahaan ekspedisi yang menawarkan angkutan gratis bagi bahan-bahan kebutuhan masyarakat tertimpa bencana selama waktu terbatas (beberapa hari pertama).

Dan yang tak kalah penting adalah menjawab panggilan telepon lokal yang menanyakan apa yg diperlukan oleh pengungsi. Tentu saja berita-berita yang baru kami dapatkan dari asesmen langsung di lapangan termasuk kompilasi berita dari berbagai sumber kami sampaikan kepada penelepon tersebut. Mulai dari kebutuhan tenda, makanan, peralatan kebersihan (hygiene kits), obat-obatan dan segala macam termasuk alat-alat memasak sederhana bagi pengungsi. Tak lupa kami memberi informasi tentang tata cara menyumbang dan salah satunya adalah lewat rekening PMI yg terdapat pada beberapa bank nasional.

Namun tak urung, banyak juga diantara orang-orang yang baik hati ini (buktinya hatinya tergerak untuk memberi bantuan) memilih datang ke kantor PMI menyerahkan alat-alat yg kami sebutkan tadi. Sehingga gudang belakang dipenuhi oleh gulungan-gulungan pakaian bekas, serta sumbangan peralatan masak dll.

Tak jarang, relawan PMI akhirnya ditempatkan di gudang tersebut, bekerja berhari-hari menyortir pakaian-pakaian dan sumbangan lainnya memilih-milih mana yang masih pantas dan mana yg sudah tak pantas lagi dipakai.

Terus terang, dengan bekerja langsung merespons bencana, pengamatan akan sumbang menyumbang ini membuka wawasan saya. Dulu saya pikir saya akan membeli sendiri apa yg dibutuhkan dan tinggal mengantarkannya kepada lembaga yg mengumpulkan dan mendistribusikan seperti PMI. Tetapi setelah kejadian tsunami saya sadar niat mulia tersebut ternyata bisa jadi sangat merepotkan lembaga yang saya beri sumbangan material seperti itu.

Dari sumbangan pakaian bekas saja misalnya tidak hanya ia mengambil ruang yg cukup besar di gudang PMI tetapi juga butuh waktu yg banyak dan tenaga untuk mensortirnya serta biaya yg besar untuk mengirimkannya ke lokasi bencana. Kalau kecendrungan penyumbang adalah menyumbangkan bahan material seperti ini bisa jadi lembaga kemanusiaan akan kewalahan mengatasi biaya distribusinya. Ternyata setelah sampai di NAD pun pakaian-pakaian bekas ini kadang berserakan dijalanan, mungkin tidak diminati, mungkin tidak layak pakai ataupun sebab-sebab lainnya.

Terus terang setelah itu, saya memilih menyumbangkan uang daripada menyumbangkan materi secara langsung, dengan jumlah yg saya sanggupi, katanya besar kecil tak masalah asal tulus dalam memberinya. Bukan saja uang lebih fleksibel dalam merespons kebutuhan pengungsi yang cenderung berubah dari satu saat ke saat lain dalam kurun waktu yg cepat, misalnya pada awalnya kebutuhan akan dapur umum, tenda dan obat-obatan pertolongan pertama akan berganti kepada kebutuhan akan hygiene, alat masak bagi keluarga yg telah mendapat tenda sendiri, kebutuhan psikososial misalnya alat edukasi dan bermain bagi anak-anak, kebutuhan obat-obatan flu, diare, dll tetapi juga bantuan uang tersebut mendukung kegiatan operasional dari lembaga yang kita bantu. Relawan yg diterjunkan butuh makanan sederhana dari dapur umum, bahan bantuan yg dikirim butuh biaya sewa dari ekspedisi yang kita gunakan (walau tak jarang pada beberapa hari pertama di beri fasilitas gratis), serta kebutuhan-kebutuhan operasional lainnya guna memastikan bahwa orang-orang yg tertimpa bencana mendapat bantuan sesuai yg mereka butuhkan dimanapun mereka berada, termasuk di daerah-daerah yg sulit diakses. Bayangkan, dengan sumbangan uang, pekerjaan sortir menyortir, dan mengepak barang ini dengan sendirinya akan berkurang drastis karena lembaga tersebut biasanya telah memiliki vendor sendiri yang langsung menyiapkan paketnya bahkan tak jarang ekspedisi langsung dari lokasi terdekat.

Lalu ternyata media untuk menyumbang juga tak banyak yg tersedia, selain harus mentransfer lewat bank misalnya untuk PMI biasanya Hero Supermarket bekerja sama menggalang dana dari pembeli. Tetapi kan tidak semuanya punya rekening di bank ataupun punya waktu ke Bank untuk mentransfer sepuluh atau dua puluh ribu misalnya. Bisa jadi ini salah satu alasan mengapa penyumbang memilih membelanjakan uangnya berdasarkan kebutuhan masyarakat di tempat bencana dan mengantarkan sendiri ke lembaga yg aktif merespon bencana.

Setelah gempa di Haiti barusan, saya mengamati di supermarket dekat saya tinggal terpasang tanda apabila kita ingin menambahkan $1, $5, $20 dari belanjaan yg akan kita bayar untuk Haiti. Dan uangnya langsung di potong dari kartu debet. Demikian juga jaringan telepon selular kita menawarkan bantuan serupa dengan variasi jumlah yang terjangkau bagi mereka yang akan menyumbang. Dengan begini untuk menyumbang saya tak perlu repot-repot ke bank misalnya tinggal mengirim SMS ataupun membayar di kasir pada saat saya berbelanja groceries.

Uniknya lagi SMS ini tidak hanya terfokus kepada satu lembaga saja, tergantung kode yang kita SMS, donasi kita akan dialihkan ke lembaga yg kita mau. Dengan cara ini, Palang Merah Amerika misalnya mengumpulkan $800.000 pada hari pertama. Lembaga lain yg digagasi oleh artis asal Haiti mengumpulkan $400.000 juga pada hari pertama. Ini mengingatkan saya akan kasus Prita, ternyata dengan koin-koin saja bisa terkumpul ratusan juta rupian. Berarti semangat untuk membantu mereka yg tertimpa kesulitan masih tumbuh subur di jiwa kita.

Sepertinya, kita harus mulai kreatif dalam mencari mekanisme menyumbang yang mudah dan terjangkau bagi semua lapisan. Dan uniknya lagi disini apabila kita menyumbang online misalnya kita mendapat code yg bisa digunakan untuk mengurangi pajak.

Isu lain yg terkadang menjadi pertanyaan penyumbang (dalam bentuk uang) adalah transparansi lembaga kemanusiaan tersebut, bagi anda yang ragu akan hal ini, cukup kunjungi websitenya ataupun materi-materi lainnya yg biasanya mereka sediakan, dan lihat apakah mereka memiliki mekanisme audit internal dan eksternal sehingga kita tak perlu kuatir kalau sumbangan kita tak sampai kepada mereka yg membutuhkan.

(Tulisan ini adalah pengamatan pribadi saya dan bukan pesan sponsor dari lembaga-lembaga yg saya sebutkan diatas)

Perempuan (bukan) mahkluk lemah

Mungkin ada kebetulan-kebetulan dalam kehidupan yang merangkai peristiwa datang silih berganti, membuat saya, setiap orang, beberapa orang yang kebetulan berada di seputar kejadian peristiwa tersebut memiliki pandangan tersendiri tentang sesuatu hal. Kali ini saya ingin bercerita tentang perempuan.

Dari kecil saya hidup dalam lingkungan yang dikelilingi oleh perempuan-perempuan kuat. Wanita-wanita yg hidup di desa kecil di Sumatera sana tak hanya menjadi ibu dari beberapa anak (angka 7-9 adalah jumlah yg lumrah) yang notabene bertanggung jawab mengurus dan membesarkan anak-anak tersebut tetapi juga merupakan wanita tangguh yang ikut berladang di perbukitan, mengayunkan cangkul, membabat rumput, memanen batang padi, mengangkut hasil panenan yang tugasnya setara dengan laki-laki ditambah lagi menjemur bulir padi yg mesti dipanjat dan diangkut dari lumbung dan di kembalikan ke lumbung.

Lalu ketika duduk di bangku sekolah dasar, guru saya sendiri adalah sosok perempuan mandiri, melahirkan anak-anak, mengurus rumah tangga dan tentunya bekerja dan berkontibusi untuk menafkahi rumah tangga.

Lalu setelah beranjak dewasa, saya bertemu Wayan, seorang perempuan sederhana yg bekerja mengurus rumah yg saya sewa bersama seorang teman. Berhubungan dengan Wayan membuat saya melihat banyak hal yang mungkin tak saya lihat dengan kacamata saya sendiri. Melalui cerita-cerita Wayan tentang rumah tangga, tentang tantangan membesarkan anak, mencari nafkah dan melayani suami, lagi-lagi mengingatkan saya tentang betapa kuatnya seorang perempuan. Wayan pun dengan nalarnya sendiri beranggapan perempuan bukanlah mahkluk lemah dan ketika ditanya apa ia ingin kembali menjadi seperti kondisinya sekarang setelah reinkarnasi nanti (catatan: Wayan penganut Hindu), ia malah memilih menjadi burung yang bebas terbang kemana ia mau dan tak mesti diikat oleh ini-itu karena jenis kelaminnya.

Ternyata setelah Wayan saya bertemu dengan perempuan lain yg sama kuatnya, menjadi bread winner alias satu-satunya pencari nafkah, membesarkan anak-anak, melakukan pekerjaan domestik dan masih terus melayani suami yg kebetulan berselingkuh.

Pada saat berbicara dengan perempuan-perempuan tadi, saya seringkali mendengar, kita ini perempuan, sudah takdirnya bahwa kita tak bisa seperti laki-laki. Kata-kata yang suka membuat kening saya berkerut karena tentu saja nalar saya bertubi-tubi mengajukan pertanyaan dan bantahan yang berusaha saya redam.

Terkadang diantara selingan sesi curhat dengan teman-teman perempuan saya, tentunya topik yg paling gress adalah mencari Mr. The One (s), saya agak kurang setuju dengan kata-kata Mr. Right, karena saya pikir dari Manufacturnya sana tak ada yg bener2x Right ; istilah tsb terlalu subjectiv (semua ada kekuatan dan kelemahannya, perempuan juga tak terkecuali; baik mayor atau minor, terserah kita apa mau berkompromi dengan itu atau tidak).

Salah satu kriteria yang paling dicari-cari adalah the One yang bisa menjadi pemimpin. Lagi-lagi "kata kunci" ini membuat saya bertanya-tanya, mengapa pemimpin ini dicari-cari? apa makna sebenarnya dari pemimpin ini? orang yg membuat keputusan tentang diri/ nasib kita? orang yang bertanggung jawab sepenuhnya apabila terjadi sesuatu? (mkn harus dicari dulu apa komponen yg mewakili kata kunci ini). Tetapi yg justru sangat mengherankan saya adalah perempuan-perempuan ini adalah perempuan tangguh yg telah berpendidikan tinggi, malang melintang di dunia karir dan (masih) mencari orang yang bisa memerintahnya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Malangnya, kadang-kadang perintah tersebut didasari ego, didasari atas kepatuhan mutlak, dan perempuan-perempuan yg berada pada lingkaran ini menerima hal tersebut karena memang demikianlah ia dituntut untuk berlaku.

Lalu baru-baru ini, demi melindungi perempuan (dalam asumsi saya di interpretasi sebagai mahkluk lemah) perempuan dihargai dengan nominal tertentu bila ia hendak dinikahi orang asing.

Entahlah, saya sedikit pusing dengan anggapan lemah ini. Dari pengalaman saya pribadi sebagai seorang perempuan baik secara individual ataupun professional saya tak melihat kelemahan-kelemahan ini, buktinya:

-Perempuan bisa melakukan berbagai pekerjaan dalam waktu yang sama (multitask) dan mampu menghasilkan output atas pekerjaan borongan tersebut.

-Perempuan adalah planner yg efektif yang bisa melihat dari berbagai sisi, merencanakan sesuatu dan melakukan hal yg di rencanakannya. Perempuan juga sangat evaluatif, selalu menganalisa kembali apa yg telah di lakukan sebelumnya dan mencari apa yg bisa dilakukan lebih baik (memiliki mental proses yg berkesinambungan)

-Perempuan mengandung dan membawa-bawa janin yg dikandungnya selama 9 bulan serta melahirkannya, dibutuhkan stamina yg kuat untuk melakukan hal tersebut.

-Perempuan juga adalah perencana keuangan alamiah, kalo ga percaya tanya saja ibu kita masing-masing, mau berapa saja penghasilan setiap bulan pasti cukup dan syukur-syukur bisa di tabung.

-Perempuan adalah motivator ulung bagi kemajuan putra-putrinya dan berusaha memastikan bahwa mereka memiliki kehidupan yg lebih baik dari dirinya.

-Perempuan-perempuan yang saya kenal bahkan memiliki nilai-nilai moral yg kuat dan mampu menjaga kehormatan dirinya.

Disini saya tak berniat memunculkan asumsi bahwa laki-laki adalah kebalikannya, sama sekali tidak. Tetapi hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg di kepala saya yang tak setuju dengan notasi bahwa perempuan adalah mahkluk lemah dan oleh karenanya perlu dilindungi, di kontrol dan dibatasi gerak-geriknya.

Saya malah berasumsi bahwa karena perempuan ini adalah mahkluk yg sangat kuat maka untuk mencegahnya menjadi tak tertandingi maka ia harus dilemahkan dengan melemahkan mentalnya. Saat ia tumbuh ia dijejali dengan berbagai bisikan bahwa ia lemah, ia tak pandai berpikir dan berlogika, ia hanya pantas melakukan hal-hal terbatas saja. Dan bisa jadi ia tumbuh dengan mempercayai apa yg dibisikkan kepadanya. Hal ini mengingatkan saya akan Film Ice Age, ketika si mamooth betina yg segede gajah merasa dirinya adalah seekor possum seperti dua saudara angkatnya yg possum beneran, sehingga ketika ada elang melintas ia ikut-ikutan sembunyi dan pura-pura pingsan, tak menyadari bahwa dengan bobot gajahnya itu tak mungkin elang akan mampu memangsanya hidup-hidup. Ia hidup diantara possum sejak kecil dan menganggap dirinya adalah possum.

Saya mungkin hanya ingin mengatakan kepada diri sendiri, bahwa sebagai perempuan saya adalah manusia utuh, saya diciptakan Tuhan dengan segala kelengkapan yg memenuhi standard saya sebagai manusia (tentunya Ia menciptakan manusia dengan kualitas2x tertentu), saya tak perlu diberitahu oleh siapapun bahwa saya tak lengkap, kurang memadai, kurang mampu berpikir dan memutuskan apa yg baik bagi saya.

Saya akan selalu belajar untuk memimpin diri sendiri dan bersinergi dengan manusia-manusia lain dengan kemampuan yang saya miliki, melalui proses mental saya sendiri yg diolah dari berbagai peristiwa, pengalaman, pengamatan, oleh karenanya (maaf saja) kata-kata lemah tersebut tak lagi relevan untuk diucapkan.