Monday, September 16, 2013

Whale watching di Sunshine Coast

Sebenarnya sudah lama kami memiliki keinginan mengamati ikan paus. Tetapi dulu kog ya (semasa tinggal di DC) rasanya mahal amat. Kudu ke Alaska atau Norwegia. Dan sudah pasti biayanya sangat mahal dan menguras kantong karena kudu ikutan "cruise". Ga sanggup banged ya cyieen...

Mumpung saat ini tinggal di Australia dan ikan-ikan paus rutin melewati perairan disini dalam masa perpindahan mereka, maka hayuklah, mari melihat ikan paus dekat rumah!

Dekat rumah, karena hanya berjarak satu jam menyetir dari kediaman kami. Setelah mencari informasi lewat google, ternyata sedang ada diskon dari groupon. #Wah#*** padahal saya paling malas "subscribe" ke akun yang satu ini, malas dibanjiri email promosi. Cek bebi cek, ternyata sahabat saya memiliki akun tersebut. Alhamdulillah, akhirnya terbelilah tiga tiket untuk melihat ikan paus di perairan dekat pantai Mooloolaba, Sunshine Coast. Dan yang lebih menyenangkan, tentunya harga tiket yang telah dikurangi 50%. Horeee!

Sebelum berangkat, saya menyelidiki lagi tentang kegiatan "whalewatching" ini di situs trip advisor. Ternyata meski kegiatan ini hanya berlangsung tiga jam, banyak penumpang yang "jackpot". Hadeuh! Bisa berabe, secara suami juga sangat rawan terhadap "motion sick". Ditambah lagi dari kesaksian teman kami yang mengatakan hal yang sama. Maka pada malam sebelum kami berangkat saya membuat persiapan untuk besok paginya.

"lunch box" buat bertiga dengan ayam woku dan sayur pare pake teri / checked!
sunblock/ checked!
baju renang buat berdua dan kain pantai buat bertiga/ checked!
jaket tahan air/ checked!
botol minuman plus termos mini buat teh dan kopi/ checked

print-an tiket/ errr## waduh belum ke print, terpaksa malam-malam numpang ngeprint ke kantor suami. Ketahuan deh ga punya printer di rumah :)))

Memang persiapan kudu dilakukan satu malam sebelumnya, mengingat kami berdua bukan "manusia pagi" aka "not a morning person". (Ini Vickinisasi ga sih?) Alias raga boleh bangun tapi jiwanya masih melanglang buana dipagi hari. Kalau sudah disiapkan, pagi-pagi ga perlu mikir langsung capcus.

Maka setelah salah belok sekali, akhirnya sampai juga di Wharf-nya pantai Mooloolaba. Cari mencari kog ga ada kantornya Whale One. Wah jangan-jangan salah ini, cuma ada tulisan kecil yang menempel di restoran Thai dekat dermaga. Ah ternyata memang disitu meeting point-nya.

Kapal baru merapat membawa penumpang yang berangkat jam 7 pagi. Setelah diamat-amati, tidak ada yang kelihatan "miserable". Semua tampak segar dan ceria. Maka setelah sedikit drama karena ternyata tiket tidak dibawa dan membuat saya merasa "bersalah". Ditambah pertanyaan, lah kalo ga bisa ingat tiket gimana lagi yang lain-lain dari sahabat saya, waduh gimana ya? gimana dong? idih! segitunya, berarti predikat mama tiri yang efisien yang di dapat saat bepergian ke Flores beberapa tahun lalu (yang mengecek segala sesuatu dan merencanakan segala sesuatu) pudar dong? sungguh prestasi yang membanggakan!) Untungnya dapat SMS konfirmasi dari Whale One, ternyata ramah lingkungan sekali mereka, ga perlu print tiket, cukup tunjukkan bukti SMS saja. Ahhh! jadi lega deh :)

Segera saja kami memilih spot masing-masing dan bersiap-siap dengan kamera. Ombak laut lumayan "gengges" pagi itu. Begitu keluar dari sungai ombak langsung tinggi dan kapal naik turun dibuatnya, sesekali air laut memercik ke dek kapal. Ah untunglah saya "berpakaian" lengkap. Dan kayanya satu-satunya penumpang berpakaian lengkap. Sepatu tertutup, celana panjang dan baju lengan panjang plus rain jacket, yang terus terang membuat saya terlihat kontras dibanding penumpang lainnya pagi itu. Ga pa pa kan? demi menjaga supaya kulit tidak terbakar matahari yang baru saja pulih sepulangnya dari Gili 2 minggu lalu.

Setengah jam berlayar, belum juga keliatan tanda-tanda ikan paus. Lalu kapal berbelok ke kiri dan kapten mengumumkan adanya paus di kiri jauh. Wah! langsung pada ceria deh penumpangnya. Dan ga hanya satu, dua ekor saudara-saudara! Ibu dan anaknya!

Kapal mendekat dan menjaga jarak sekitar 50 meter dan mulailah kami berteriak-teriak kegirangan. "Exciting"! Melihat si kecil melompat-lompat ke udara, berenang kesana kemari dan ibunya yang berputar-putar di dekatnya.

Dan lucunya, semakin kami bertepuk tangan dan bersorak-sorak, semakin banyak aksi si kecil, ternyata paus narsis juga ya? hehehehe...

Lalu hingga ke satu titik, tiba-tiba ekor si ibu naik ke atas permukaan air nyaris 180 derajat. Dan itu berlangsung cukup lama, saya sampai mengira jangan-jangan dia terperangkap diantara batu karang. Lalu ia mulai menghempaskan ekornya ke air, berulang kali, sangat kuat sehingga terlihat busa air menyembur kemana-mana begitu ekornya mendarat di permukaan air.

Sementara si anak masih sibuk dengan gerakannya, melompat ke udara, berputar-putar, persis seperti anak kecil yang bermain. Tak jauh darinya ibu paus masih terus menghempaskan ekornya.

Lalu, si anak mendekat dan menaikkan ekornya, belum lurus seperti si ibu, nyaris bengkok malah. Dan dengan pelan menghempaskan ekornya. Wow!!...... kami terkesima. Lalu ia mulai lagi, kali ini lebih lurus, lebih cepat dan bertenaga.... Lagi! dan lagi!!! dan keduanya melakukan seirama! dan ini berlangsung beberapa menit.... Menit-menit yang berharga!


"You and me and the ocean is ours"

Deg! entah mengapa saya tiba-tiba terharu sekali. Sekaligus berkaca-kaca. Melihat ibu dan anak ini dan bagaimana pengetahuan tersebut di turunkan turun temurun, dari generasi ke generasi. Ah tiba-tiba saya pengin punya anak, saat itu juga, saat melihat betapa asiknya mereka, berdua saja dan laut milik berdua.

Tak lama si ibu melakukan gerakan lainnya, berenang sambil memutar tubuh, menggerakkan sirip seperti berenang gaya punggung dan sebagainya, dan si anak mengikutinya dan sesekali tetap saja melompat keluar air menampakkan tubuhnya yang kecil tetapi besar itu (yah, namanya juga bayi paus bukan bayi tikus) :)

Akhirnya, tiga jam kami pun usai, dan saya teringat suami, (isteri yang aneh) apakah ia bertahan di tengah gelombang tadi? terakhir kali saya melihatnya masih baik-baik saja di dek dalam tetapi setelah kapal mengarah ke paus ia tak terlihat lagi karena penumpang memadati dek.

Ternyata, meski sudah diganjar pil, doi tetap jackpot dan hanya bisa melihat atraksi tadi sebentar saja. Yaah, kesian sih tapi bagaimana lagi....

Keluar dari parkiran, kami menuju pantai yang terdekat, leyeh-leyeh sambil makan siang. Sungguh wiken yang menyenangkan!






Sunday, September 8, 2013

Gili air surganya leyeh leyeh

Udara hangat dan deburan ombak di pasir putih menyambut kedatangan kami di Gili Air. Di sisi kanan jalan utama pulau itu, banyak turis yang berjemur di pantai, sebagian lagi ber-snorkeling. Sekilas saya melihat beberapa kapal menaikkan dan menurunkan penumpang untuk kegiatan snorkeling ini di pantai di depan restoran Scallywags. Tampaknya lokasi ini menjadi tujuan utama pengunjung yang ingin bersnorkeling di pulau ini.


Sementara di jalan yang kecil tersebut, cidomo berlalu lalang menawarkan angkutan kepada pejalan kaki maupun turis yang menuju hotel atau pelabuhan. Beberapa cidomo berhenti dibeberapa hotel dan melanjutkan perjalanan, mencari akomodasi yang sesuai bagi penumpangnya. Namun di kebanyakan penginapan tertulis "No Vacancy", mengingat ramainya pengunjung di bulan-bulan musim panas terutama Juli-Agustus.



Kami beruntung telah membooking dari beberapa bulan sebelumnya, dan mendapat kamar di timur laut yang jauh dari keramaian tetapi masih nyaman untuk berjalan kaki ke restoran di bagian selatan maupun utara. Dan hanya berjarak sekitar 15 meter dari bibir pantai.

Segera saja, kami memutuskan untuk berjalan mengelilingi pulau dan mencari titik untuk menyaksikan matahari tenggelam. Jalan kaki keliling pulau dengan mengikuti jalan utama yang mengitari Gili Air hanya makan waktu kurang lebih satu jam.


Pada kesempatan lainnya, kami memutuskan berjalan kaki menyusuri bagian dalam pulau, melewati cottages-cottages sederhana, villa besar, maupun perumahan masyarakat lokal, mencicipi masakan asli yang rasanya lebih pas buat lidah Indonesia dibanding berbagai kafe dan resto yang berjejer di sepanjang pantai, dan terkejut sekaligus bangga ketika mendapati fasilitas pembangkit listrik tenaga surya di pulau sekecil itu. Dan berharap semoga setiap kecamatan di Indonesia memiliki fasilitas yang sama sehingga "mati lampu" yang telah menjadi kegiatan rutin di berbagai kota tidak perlu lagi terjadi. Dan yang terpenting tidak perlu membuang dana besar untuk sumber energi ini karena matahari lumayan "generous" dengan lokasi Indonesia yang di ekuator.


Tinggal di Gili Air dalam pengamatan saya mendapat berkah ganda. Dari pulau ini pengunjung dapat menyaksikan matahari terbit dengan latar belakang gunung Rinjani yang indah dan matahari tenggelam dengan latar belakang Gunung Agung.


Dan sebagaimana dua Gili lainnya merupakan tempat yang pas untuk menghilangkan lelah dan menenggelamkan diri dalam ekstasi keindahan tiada henti. Dimulai dari ritual bangun pagi disambut kicauan burung, menunggu matahari terbit, dilanjutkan sarapan, beraktivitas di pantai, tidur siang diatas pasir, menyeruput segelas jus jeruk nipis di udara terik, bermalas-malasan di berugak setelah makan siang sambil membaca buku, hingga menikmati aneka ikan bakar sajian restoran lokal pada malam hari dan masih dimanjakan deburan ombak pengantar tidur.

Baru saja, menginjakkan kaki ke atas kapal cepat Samayya menuju Bali, kami berdua mulai berbincang untuk kembali lagi ke sini. Ahh Gili, keindahanmu selalu membuat kami ingin segera kembali.


Tips:
Informasi tentang gili bisa diunduh dari website ini:
http://www.gili-paradise.com/

Akomodasi:
Casa Mio
Sejuk Cottages
Orong Village
Damai Homestay

Restoran:
Chill Out restaurant
Restoran disamping Casa Mio- lupa namanya (ikan bakar dan sambalnya paling yummy)
Scallywags (snorkeling spot di depannya)
Biba beach
The beach front
Mangkune (cafe strategis untuk melihat matahari tenggelam)








Thursday, September 5, 2013

Pulang ke kotaku 3: Lombok menuju Gili Air

Setelah menghabiskan nyaris dua pekan di Medan, bersilaturahmi dengan keluarga besar dan teman-teman lama, saatnya melanjutkan perjalanan edisi mudik tahun ini.

Pelabuhan Gili Air
Pulang ke kota selajutnya adalah berkunjung ke pulau Lombok, tempat bekerja dalam kurun 2002-2004. Diantara kota-kota yang pernah saya tinggali dan kunjungi di Indonesia, Mataram mendapat tempat yang istimewa. Kota Mataram yang tidak terlalu besar bagi saya sangat ideal menjadi tempat tinggal. Jalanan yang masih jauh dari kemacetan, pasar tradisional yang masih berfungsi, sebuah mall dengan supermarket di lantai dasar yang menjual berbagai kebutuhan, taman-taman kota yang mudah dijumpai serta jaraknya yang relatif dekat ke berbagai objek wisata seperti Suranadi, taman Narmada, dan pantai Senggigi.

Penerbangan yang mengalami "delay" selama tiga jam dari bandar udara Juanda membuat kedatangan di Lombok Praya lumayan telat. Saya berasumsi akan makan waktu yang lama untuk tiba di Mataram mengingat bandara yang baru ini berada di Lombok Tengah yang justru dekat dengan pantai Kuta di Lombok Selatan.

Kenyataan bahwa kami berkendara pada malam hari dimana tidak begitu banyak kendaraan di jalan dan ditambah lagi dengan jalanan yang rapi dan lebar membuat perjalanan tersebut terasa nyaman dan ditempuh kurang lebih satu jam. Mudita, teman kerja di organisasi kemanusiaan dulu saat ini telah beralih ke bisnis travel pasca ditutupnya kantor tersebut pada akhir tahun 2010.

Malam telah cukup larut ketika kami tiba di Lombok Raya, tempat bermalam sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya ke tujuan utama kami, Gili Air.

Pagi-pagi sekali, saya menyempatkan diri berjalan keluar dari hotel dan menyusuri pasar oleh-oleh khas Lombok yang ada disamping Mataram Mall. Dulu, toko-toko dikawasan (Jl. Cilinaya) ini adalah tempat belanja oleh-oleh "cepat" ketika terbang dari Lombok. Berbagai macam produk asli Lombok bahkan Sumbawa dapat di temui di tempat ini, mulai dari berbagai motif kain tenunan, perhiasan dari mutiara hingga makanan kecil khas daerah ini. Saya mendapat sepasang anting-anting mutiara dengan harga yang sangat murah di tempat ini.

Tepat pada waktu yang disepakati, Mudita menjemput kami dari hotel menuju pelabuhan Bangsal. Pelabuhan yang menjadi titik keberangkatan ke tiga gili: Trawangan, Meno dan Air. Tetapi sebelumnya, kami singgah di hotel Wisata (Jl. Koperasi-Ampenan), bertemu dengan si pemilik ibu Erlina, yang dulu menjadi rekanan kantor dalam mengurus pengungsi. Ibu masih tetap enerjik meski sepuluh tahun telah berlalu. Ia masih mengelola sendiri hotel tersebut dan baru saja melakukan renovasi pasca ditinggalkan pengungsi yang dulu kami tempatkan disana.

Tak lama, kami sudah kembali ke jalan, kali ini melewati Senggigi, berhenti sejenak di Malimbu dan Kerandangan, menikmati pemandangan pantai yang indah dengan pasir putih dan air laut berwarna turquoise, biru kehijau-hijauan. Sementara jika melihat ke arah utara, akan terlihat ketiga gili dari kejauhan.

Tiba di Bangsal, kami membayar tiket masuk dan mobil langsung mengarah ke kantor pelabuhan. Terkadang tidak mudah untuk bisa langsung ke kantor pelabuhan, biasanya penumpang disuruh turun dan naik cidomo yang nangkring di dekat pos tersebut meski jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Beberapa tahun yang lalu, saya dipaksa turun dari kendaraan didudukkan di toko terdekat dan dipaksa membeli barang-barang kerajinan. Perlakuan ini membuat banyak orang akhirnya menghindari Bangsal dan langsung menuju Gili lewat pelabuhan Padang Bai, Bali.

Di kantor pelabuhan kami mendapat informasi bahwa kapal publik yang ke Gili Air hanya hingga jam 10 pagi. Wah! Lenyap deh harapan membayar kapal seharga 8000,- rupiah saja. Mau tidak mau harus menyewa kapal sendiri atau mencari "traveller" lain yang ingin menyeberang kesana sehingga bisa "sharing cost". Oleh mbak-mbak petugas tiket kami diarahkan ke bagian timur alias kantor yang berseberangan, menurut dia ada beberapa orang yang akan menyeberang dari sana.

Kami ditawarkan menyeberang dengan harga 250.000,-. Sedikit lebih murah dari harga sewa kapal resmi pelabuhan. Tapi dari pengalaman-pengalaman sebelumnya saya paham, bahwa kami bukan satu-satunya yang akan naik ke kapal tersebut. "Tetapi tidak ada penumpang lain di kapal kan, dengan harga segitu?" jawab saya. Si Mas senyum mesem-mesem, lalu menjawab," baiklah 150.000,- saja buat berdua. Yah namanya juga subsidi silang, dan benar saja, begitu kapal akan berangkat maka munculah sekitar 40 orang penumpang lagi dengan berbagai barang bawaan mereka. Tak berapa lama kapal mulai meninggalkan pelabuhan dan sesaat sebelum mencapai Gili Air, ombak terasa cukup besar dan membuat kapal naik turun di tengah gelombang. Lalu laut kembali tenang ketika mendekati pelabuhan Gili Air. Tips: pakailah celana pendek dan sandal jepit ketika menyeberang karena mau tidak mau kita akan terciprat air laut untuk naik dan turun dari kapal.

Tuesday, September 3, 2013

Pulang ke kotaku_2: Tata kota yang absen di Medan

Medan kota tempat tumbuh dan bersekolah mengalami banyak sekali perubahan belakangan ini. Perubahan yang dalam pandangan pribadi saya cenderung memprihatinkan.

Tetapi supaya "fair" dalam kunjungan singkat edisi mudik kemarin patut diapresiasi keberhasilan kota Medan mengurangi sampah di jalanan yang dulu begitu mengganggu dan saat ini sudut-sudut kota terlihat bebas sampah, juga pembangunan jalan seperti ringroad yang mengurang waktu tempuh cukup signifikan dalam berkendara.

Sementara masih banyak hal yang membutuhkan perhatian khusus, antara lain:

Lalu lintas semrawut
Tapi disisi lain, situasi lalu lintas semakin buruk, jalanan yang semrawut, pelanggaran lampu lalu lintas yang semakin luas, dan tidak tertibnya pengendara kendaraan bermotor, membuat kegiatan menyetir di Medan seperti pergi ke medan perang, tidak ada yang mau mengalah di perempatan jalan dan meskipun lampu hijau bukan berarti kendaraan bisa langsung bergerak. Terus terang menyetir di Medan tampaknya hanya bagi mereka yang punya nyali, yang mampu melalui perempatan dengan mencari celah dan menyorongkan mobil mengalahkan pengendara lainnya.

Ruko berdesakan
Pembangunan ruko yang semakin merajalela juga tampaknya mulai merusak keindahan kota. Nyaris semua sudut kota Medan dipenuhi ruko, tidak ada lagi halaman dan pepohonan, dan parahnya ruko ini dibangun hingga mendekati ruas jalan, atau berbatasan langsung ke trotoar. Kondisi ini membuat kota Medan terlihat semakin padat dan sumpek.

Papan reklame
Papan reklame tampaknya adalah ciri khas kota Medan lainnya, jika di kota-kota lain reklame masih dalam batas-batas yang pantas maka di Medan, begitu ada ruang kosong, maka sudah pasti akan segera diisi oleh papan reklame, yang memprihatinkan reklame-reklame ini terlihat sangat berantakan karena dari sisi ukuran dan posisi saling timpang tindih.

Trotoar tidak berfungsi
Trotoar seperti di Kesawan telah berubah menjadi lahan parkir (terutama sepeda motor) sehingga pejalan kaki mau tidak mau harus turun ke jalan yang dipadati kendaraan, sementara di kawasan seputar Mesjid Raya dan Yuki Simpang Raya, trotoar telah menjadi lahan berdirinya kafe-kafe tenda yang menjual berbagai makanan.

Minimnya taman
Dua puluh tahun yang lalu, tidak terlalu sulit bagi orang tua mengajak anak mereka jalan-jalan. Situasi yang sama yang saya jumpai saat ini ketika pergi ke negara-negara maju dimana taman-taman tersedia di sekitar perumahan dan anak-anak dengan mudah dapat bermain disana. Dulu cukup pergi ke Taman Sri Deli yang di depan Mesjid Raya, maka anak-anak dengan gembira akan memilih sendiri permainan mereka, baik ayunan, pelosotan maupun panjat-memanjat berbagai struktur yang disediakan disana. Dan tentunya kesempatan bertemu dan membangun pertemanan dengan anak-anak lain yang bermain disana. Tidak perlu menghabiskan banyak uang untuk pergi ke Mall. Cukup membawa tikar dan makanan seadanya atau membeli balon, rujak dan es krim. Namun "kemajuan" dua puluh tahun yang lalu tersebut tampaknya ditinggalkan oleh Kota Medan, dengan minimnya taman tentu tidak mudah bagi orang tua membawa anak mereka jalan-jalan dengan biaya murah.

Disela-sela waktu mudik yang sempit saya menyempatkan diri mengajak ponakan ke kolam renang di daerah Griya. Setelah masuk di dalamnya saya bisa menghitung berapa orang pribumi yang berenang disana dan kebanyakan adalah warga keturunan. Pandangan yang kontras misalnya dengan kolam renang umum dan taman di kota yang saya tinggali saat ini, dimana semua bisa berenang dengan gratis di kolam renang buatan menyerupai pantai yang dibangun di tengah kota. Kolam renang tersebut dikunjungi oleh siapa saja dengan berbagai warna kulit. Meski kolam renang berbayar tetap tersedia di beberapa "suburb", tetapi ada pilihan rekreasi yang murah, tersedia buat semua warga dan mudah dijangkau.

Sementara di kota asal saya pilihannya tentu pergi ke mall, ke kolam renang maupun ajang rekreasi seperti Mikki Holiday yang lumayan jauh serta  harus mengeluarkan biaya.

Lalu pilihan apa yang tersedia bagi mereka yang tidak mampu menjangkau tempat-tempat mahal tersebut, atau pilihan apa yang tersedia bagi mereka yang sekedar ingin melepas penat, duduk di taman kota dan menjernihkan pikiran sebelum tenggelam kembali dalam kesibukan sehari-hari?