Monday, October 7, 2013

Film Review: The Act of Killing

Film besutan sutradara Joshua Oppenheimer ini berkisah tentang preman yang terlibat dalam pembunuhan tokoh-tokoh yang terlibat PKI di era tahun 65-an.

Anwar Congo yang merupakan tokoh utama film ini didampingi rekannya sesama pelaku, A Zulkadry serta Herman Koto, tokoh preman yang lebih muda, mengisahkan kembali tindakan pembunuhan yang mereka lakukan, dengan berbagai cara termasuk mengunjungi lokasi pembunuhan, mereka ulang kejadian-kejadian yang berujung pada pembunuhan tersebut termasuk dengan adegan-adegan teatrikal yang disisipkan dalam film ini dimana Herman Koto berperan  sebagai waria dengan dandanan yang menyolok.

Film ini juga memberi gambaran betapa para pelaku justru di puji bagai pahlawan justru dengan pembunuhan yang mereka lakukan. Beberapa dekade setelahnya, Anwar Kongo yang mulai memasuki usia sepuh menjadi pentolan organisasi Pemuda Pancasila.

Sekilas film ini juga menyoroti aksi Pemuda Pancasila yang sejatinya berjuang mempertahankan Pancasila tetapi kenyataannya menjadi kanker dalam masyarakat. Tokoh-tokoh pemuda itu yang kebanyakan adalah preman mendatangi kios-kios di pasar Medan yg dimiliki warga keturunan Tionghoa dan meminta sumbangan disertai ancaman. Dan para pedagang itu dengan senyum kecut dan terpaksa harus memberi uang sesuai yang diminta.

Ada juga narsisisme yang kuat tertangkap di dalam film ini, baik dari tuturan Anwar sendiri maupun Herman Koto yang bercita-cita menjadi anggota dewan. "Mengapa tidak mau (nyaleg)?", ujarnya. "Saya sudah pantas menjadi caleg karena sudah dikenal, kalo lolos kan bisa dapat uang dari manapun, bisa dapat sogokan dari mana-mana", sambil memberi contoh bagaimana ia bisa mengeruk uang dengan posisi sebagai anggota dewan. Lalu Anwar sendiri terdengar bijak dengan mengatakan anggota DPR adalah perampok berdasi.

Herman boleh jadi terinspirasi dari Marzuki, tokoh PP yang saat ini menjadi anggota dewan dari partai Golkar. Dengan polosnya Marzuki membeberkan bagaimana organisasi tersebut mengeruk uang dari kegiatan perjudian, illegal logging, illegal fishing, penyelundupan barang, memeras pengusaha. Dengan posisinya sebagai anggota dewan, ia lebih kuat karena orang-orang tersebut (yang ia peras) tahu bahwa ia memiliki jaringan dengan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya.

Dan uniknya lagi, pada acara pertemuan organisasi ini juga dimulai dengan doa, yang membuat mereka terlihat "absurd", mungkin sama halnya dengan berbagai kejahatan lain di negeri ini yang sulit dibedakan karena dibungkus dengan agama.

Ternyata tidak hanya preman yang terlibat dalam pembunuhan ini, yang lebih mengejutkan seorang wartawan senior Medan Pos, (IS) juga terlibat dalam menginterogasi korban dan memutuskan siapa yang pantas dibunuh. Termasuk menyiarkan propaganda seolah-olah korban sangat jahat sehingga mereka memang layak menerima hukuman yang keji tersebut.

Berbeda dengan Anwar yang sedari awal merasa bangga dengan aksinya, Adi justru dengan lugas mengatakan, pihaknya lah yang salah, namun hingga akhir film ia tetap berpegang bahwa ia tak perlu merasa bersalah atas aksinya.

Sementara Anwar sendiri, yang pada awalnya terasa tidak memiliki empati terhadap para korban, pada akhirnya di salah satu adegan menyadari, inilah ketakutan yang dialami korbannya ketika menghadapi maut yang ia hantarkan lewat tangannya sendiri. Ia yang selama ini dihantui mimpi buruk, dan berusaha menutupi kegelisahannya dengan menggembar-gemborkan bahwa ia adalah pahlawan, pada akhirnya dalam satu adegan dimana ia berperan sebagai korban, tampaknya di dera perasaan bersalah.

Film ini menarik bukan karena unsur sejarahnya, yang memang minim tetapi jujur bertutur tentang pembunuhan massal yang terjadi pasca G.30S/PKI lewat pelakunya sendiri. Film ini dalam pandangan saya juga memberi kesempatan penyembuhan bagi Anwar Kongo sendiri dan pelaku lainnya.

Film ini meninggalkan pertanyaan besar bagi saya, apa yang sebenarnya dilakukan oleh gerakan komunis sehingga mereka diganjar hukuman berat tak berperi kemanusiaan seperti ini? Hukuman yang membabi buta, tanpa peradilan dan berdampak pada ribuan nyawa. Informasi tentang gerakan komunis ini tampaknya masih tertutup kabut dan lebih banyak mengandalkan propaganda Orde Baru yang kejujurannya patut dipertanyakan.

Film ini juga membuka kesempatan bagi rekonsiliasi nasional serta meluruskan kembali sejarah bangsa, dan sudah selayaknya negara meminta maaf dan memberi kompensasi bagi keluarga korban.

Note: bagi mereka yang tinggal di Indonesia, film ini dapat di unduh di: theactofkilling.com


Tuesday, October 1, 2013

Review film "Blue Jasmine".

Setelah menonton beberapa film besutan Woody Allen sebelumnya seperti Manhattan, Husband and Wife, hingga ke film-filmnya yang lebih baru seperti Vicky Christina Barcelona dan Midnight in Paris, film terakhir ini Woody Allen terasa kembali ke tema-tema yang lebih serius dan dalam.

Kate Blanchet pun sangat apik dalam perannya sebagai Jasmine atau Jeanette, wanita dari kalangan atas yang tinggal di East Side, New York yang pada akhirnya kehilangan segalanya, kekayaan, rumah mewah, perhiasan dan suami yang kaya raya.

Lalu Jasmine yang terbiasa hidup mewah, dengan pergaulan sosialnya mau tak mau harus memulai lagi dari nol. Film ini menceritakan dilema yang dialami Jasmine, dari penyangkalan diri terhadap situasi yang dialaminya, terutama dengan mempertahankan gaya berpakaian yang trendi, terbang ke San Francisco dengan "business class" untuk menumpang hidup dengan saudara perempuannya dan praktis tak memiliki uang serta diserang "nervous breakdown". Lalu mampukah ia melalui semuanya?

Yang jelas Woody Allen, sangat jeli sekali dalam membangun karakter-karakter yang kuat dan kontras antar pemain film ini. Dengan apik ia mengambarkan tingkah polah dan interaksi antar tokoh dalam film tersebut. Kepiawaiannya dalam menangkap gelagat kalangan atas dan bawah terasa sangat menggigit seperti halnya dalam film-film karyanya sebelumnya.

Dengan film ini Kate Blanchet pantas diganjar Oscar.