Tuesday, June 26, 2012

Corat Coret Seputar Toleransi, Manji dan Critical Thinking

Memiliki pengalaman tinggal di daerah atau negara yang berbeda selain memberi pengalaman menarik juga memberikan tantangan tersendiri yang terkadang membuat kita terkejut, tak nyaman, dan terkadang membuat kita mempertanyakan kembali nilai, dogma dan pemahaman kita akan segala sesuatu.

Bagi kita yang terpapar dengan berbagai agama dan kegiatan keagamaan misalnya, menyaksikan orang beribadah adalah sesuatu yang biasa. Tetapi tidak demikian halnya bila kita pergi ke negara lain dimana agama maupun kegiatan keagamaan bukanlah sesuatu yang gamblang terlihat. Ketika menjalani Ramadan dalam acara pertemuan pemuda di Jepang, peserta yang berpuasa meminta kepada panitia/hotel agar sarapan pagi mereka disiapkan menjelang sahur. Yang oleh mereka diminta dimajukan menjadi jam terakhir restoran buka atau sekitar jam 10 malam.

Begitu jam 10, petugas hotel mengantarkan menu sahur ke kamar peserta, berupa dua tangkup roti, beserta mentega dan selai, sebuah telur rebus, air minum dan sebuah pisang. Ternyata meskipun dijelaskan bahwa peserta yang berpuasa tidak akan makan dan minum sepanjang hari dan meminta menu makan siang, panitia tidak terlalu memusingkan keterangan itu. Pada saat itu terasa sekali bahwa konteks keagamaan yang dijunjung tinggi di tempat asal ternyata tidak begitu dianggap penting di tempat lain, bayangkan kalau kita menginap di hotel di negara sendiri dimana biasanya mudah sekali mendapat makanan saat sahur tiba.

Itulah pertama kali saya menyimpulkan, bahwa menjalankan puasa (beribadah) adalah kepentingan pribadi dan tidak berarti itu penting bagi orang lain. Lumayan, prinsip ini sangat membantu bertahun-tahun setelahnya terutama dengan tinggal di negara asing, dimana bulan puasa tidak terkondisikan secara khusus, semua restoran buka, orang makan dan minum dimana saja, dan terus terang puasa yang seperti ini benar-benar menjadi upaya pribadi, keinginan pribadi tanpa ada kontrol dari lingkungan maupun masyarakat.

Begitupun ketika berkunjung ke Masjid, di pusat kota Washington DC, berpikir bahwa suasananya akan sama seperti di Indonesia, dimana pada saat ibadah berlangsung ada tirai yang membagi ruangan untuk kalangan laki-laki dan perempuan dan ketika berada antar waktu beribadah, tirai terbuka dan ruangnya digunakan untuk berbagai kegiatan, belajar agama, rapat remaja masjid maupun komunitas. Dan kedua gender terlibat aktif dalam agenda pembicaraan. Ternyata kenyataannya tidak demikian, disana perempuan ditempatkan di "kotak kecil" seukuran 2x2 meter disudut ruangan, tertutup dan tak terhubung keluar sama sekali. Waktu itu saya menyayangkan tempat ibadah yang indah itu tak bisa dinikmati perempuan yang harus duduk bersempit-sempitan di kotak kecil tersebut.

Disini, konteks pemisahan gender sangat berbeda dengan yang ada di Indonesia. "Kotak kecil" ini diprotes oleh kalangan perempuan dan meminta agar mereka diperbolehkan menduduki ruang utama yang tentunya mendapat tantangan keras, tetapi mereka tak putus asa, setelah berdemo beberapa kali dan bahkan digiring polisi mereka tetap melakukan aksinya, menurut salah seorang peserta demo tersebut, yang bernama Fatima, belakangan ini mereka dibiarkan saja oleh pengurus dan tidak lagi diusir seperti pada awalnya.

Sebagai minoritas tidak gampang mendirikan tempat ibadah, tentunya menggalang dana dengan jumlah pengikut yang sedikit tidak semudah ketika menjadi mayoritas, untunglah beberapa gereja menyediakan tempat untuk beribadah. Terus terang ini merupakan sesuatu yang baru, United Methodist Church di North Bethesda misalnya.

Kesediaan gereja patut diapresiasi, ternyata perbedaan iman tidak menghambat mereka mengulurkan tangan membantu penganut agama lain menjalankan ibadah agama yang berbeda dari agama mereka. Mereka tidak takut anggotanya atau sanak keluarganya yang terpapar dengan kegiatan ini akan terpengaruh lantas berpindah agama.

Saya kira ada kematangan sikap mereka dalam beragama, tidak berarti bahwa iman mereka sudah kuat, karena tidak ada yang tahu dan bisa mengukur seberapa kuatnya iman seseorang. Tetapi saya pikir sebagaimana mereka menikmati perannya sebagai penganut agama, menikmati hubungan yang ia jalin dengan Sang Pencipta, demikian pulalah kiranya dengan orang lain. Termasuk menghargai mereka yang menikmati hidup tanpa menjalin hubungan tersebut.

Hal yang kontras misalnya jika dibandingkan dengan kedatangan Manji baru-baru ini, dimana ia dihujat, dilarang menyampaikan pemikirannya dan diberi label "menyebarkan lesbianisme" yang cukup saya ragukan. Dalam bukunya yang pertama "Faith Withput Fear" tak sekalipun Manji menjual isu-isu lesbian karena bukan itu yang menjadi tujuannya. Dan beberapa status di laman Facebook ramai oleh cerita mengenai lesbian ini.

Saya tidak paham, bagaimana membaca sesuatu akan membuat kita melakukan sesuatu yang kita baca begitu saja? Atau mendengar seorang lesbian akan membuat perempuan menjadi lesbian? Kalau demikian halnya maka semua laki-laki yang shalat Jumat akan menjadi Kyai dan semua umat Kristen yang pergi ke gereja setiap Minggu akan menjadi pendeta? Lalu semua yang menjadi koruptor siapakah yang mereka dengar?

Tak kalah ramainya setelah Manji adalah isu-isu mengenai liberal. Segala sesuatu yang berbau liberal dicap salah, kafir dan sebagainya. Generalisir yang mirip dengan Manji. Kalau demikian parahnya generalisir ini, kiranya ada yang salah dengan metode pendidikan kita.

Ya, dalam belajar ada unsur, "critical thinking" yang oleh Scriven & Paul ,2001, p.1. didefinisikan sebagai "the intellectually disciplined process of actively and skilfully conceptualising, applying, analysing, synthesising and/or evaluating information gathered from, or generalised by, observation, experience, reflection, reasoning or communication, as a guide to belief or action [or argument], selengkapnya bisa dibaca disini.

Kalau "critical thinking" tak dilatih semasa bersekolah, boleh jadi kita tak memiliki kemampuan untuk menyaring apa yang kita baca, menganalisa, menyimpulkan atau mengevaluasi informasi yang kita dapat dari pengamatan, pengalaman, refleksi, alasan, komunikasi sebagai panduan untuk mempercayai suatu tindakan maupun argumen sebagaimana yang didefinisikan diatas.

Dengan mengaplikasikan kerangka "critical thinking" orang tak perlu takut membaca buku Manji maupun mendengar ulasan seorang tradisionalist maupun liberal, mungkin ada nilanya yang relevan, maupun yang tidak relevan dan tidak berarti terpapar dengan pemikiran seperti itu akan membuat seseorang mengikutinya 100%.

Atau, demi menjaga kehomogenan, tak perlu berpikir kritis, cukup amini dan sebarkan apa saja yang disampaikan sebagian orang tanpa perlu mencari apa maknanya bagi kita,  lalu apakah nilai yang dianut tersebut akan bertahan, jika ia keluar dari lingkungannya dan tak lagi disokong oleh kenyamanan mayoritas?

Uskup Afrika Selatan, Desmond Tutu yang juga seorang peraih Nobel Perdamaian menulis dalam artikelnya di Huffington Post,"  We need so much to work for coexistence, for tolerance, and to say, "I disagree with you, but I will defend to the death your right to your opinion." It is only when we respect even our adversaries and see them not as ogres, dehumanized, demonized, but as fellow human beings deserving respect for their personhood and dignity, that we will conduct a discourse that just might prevent conflict. There is room for everyone; there is room for every culture, race, language and point of view."

Kurang lebih Ia mengatakan, "Kita perlu banyak berusaha untuk mewujudkan hidup berdampingan, toleransi, dan berkata, "Saya tidak setuju dengan Anda, Tapi saya akan mempertahankan sampai mati hak Anda untuk berpendapat." Hanya ketika kita menghormati musuh kita dan tidak melihatnya sebagai raksasa tidak manusiawi, atau seperti setan (yang mengancam),tetapi sebagai sesama manusia,yang layak dihormati atas kepribadian dan martabatnya sebagai manusia maka kita akan berkata-kata yang akan mencegah terjadinya konflik. Ada (cukup)  ruang untuk semua orang, ada ruang untuk setiap, ras bahasa budaya, dan sudut pandang. "

Ya, sah saja untuk tidak setuju dengan pandangan, ucapan seseorang tetapi kita harus menghormati haknya untuk berpendapat.


Friday, June 22, 2012

Selamatkan Si Kecil dari Pengaruh Rokok

Di sela-sela menonton berita di TV ABC Australia minggu ini, terdapat liputan mengenai perokok anak di Indonesia. Dalam tayangan tersebut, anak yang belum memasuki usia sekolah tersebut dengan santainya menghisap sebatang rokok dan duduk di beranda rumahnya.

Pemandangan yang sangat tidak nyaman untuk dilihat, mengingat usianya yang masih muda dan konsumsi rokoknya yang tidak putus. Orangtua si anak mengatakan ia sedih melihat kebiasaan anak tersebut terlebih lagi jika tidak diberi uang maka ia akan menjual apa saja yang bisa diambil dari rumah demi membeli rokok.

Sementara situs VOA Indonesia tanggal 19 Mei 2012 menyebutkan jumlah perokok anak di Indonesia mencapai 239.000 orang.

Terkadang saya berpikir, kalau pemerintah menekan produksi atau industri rokok, maka banyak pekerja yang akan menganggur dan harus beralih fungsi ke pekerjaan lain, disisi lain saya kira, pemerintah mendapat masukan yang sangat besar dari industri rokok lewat pajak/ cukai sehingga cenderung membiarkan industri ini marak di Indonesia.

Mengapa marak? Karena iklan rokok dengan bebas ditayangkan di televisi, papan-papan reklame besar berseliweran di pinggir jalan raya mempromosikan rokok dan berbagai acara seperti konser musik maupun acara-acara komunitas lokal juga disponsori oleh perusahaan rokok.

Di berbagai negara, pemerintah mengambil langkah yang tegas sehubungan dengan rokok. Mulai dari mengadopsi "framework konvensi WHO tentang pengendalian tembakau" serta menerapkan langkah-langkah yang sesuai dalam rangka menekan penggunaan rokok tersebut.

Di berbagai negara misalnya, ada batasan umur dimana orang boleh membeli rokok, hal yang sama juga diberlakukan untuk membeli alkohol. Rata-rata umur yang diperbolehkan untuk membeli rokok berada pada kisaran 16 tahun hingga 18 tahun keatas, Republik Ceko membolehkan diusia minimum 10 tahun, namun di Indonesia tampaknya umur minimum ini sama sekali tidak ada peraturannya. Selengkapnya mengenai umur minimum mengkonsumsi rokok bisa dilihat disini:  Wikipedia smoking age . Di Amerika misalnya bungkus rokok dikemas sedemikian rupa sehingga mencerminkan penyakit yang bisa di derita konsumen akibat konsumsi rokok tersebut.

Jika asusmsi bahwa pajak yang didapatkan pemerintah cukup besar sehingga ada keengganan untuk menanggapi situasi ini ternyata kenyataannya tidak demikian. Berita yang dilansir detiknews.com yang mengutip pernyataan Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc, Ph.D menyebutkan tahun 2010 pajak yang diterima pemerintah dari industri rokok sebesar 50 triliun rupiah (2010) dan naik menjadi 70 triliun rupiah tahun 2011, sementara biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk membayar biaya kesehatan akibat merokok dan berbagai dampaknya sebesar 230 triliun rupiah. Artinya pemerintah mengalami kerugian yang sangat besar dibanding pendapatannya.

Dengan data ini, tidak dapat ditampik lagi bahwa harus ada kebijakan-kebijakan terkait rokok yang harus diambil oleh pemerintah. Baik dengan meratifikasi konvensi PBB (WHO) mengenai pengendalian tembakau, menetapkan cukai yang sangat tinggi, sehingga rokok tidak lagi dengan mudah dapat dijangkau.

Mengutip pernyataan Prof Ali Gufron dalam berita detiknews ,""Harusnya harga rokok memang disesuaikan ya, sehingga anak kecil dan yang sebetulnya tidak mampu tidak memaksakan diri, kemudian uangnya habis untuk rokok," saya justru berpendapat sudah saatnya pemerintah  menerapkan peraturan tentang pembatasan usia pembeli rokok. Dan tentunya memberi sanksi bagi warung atau toko yang kedapatan menjual rokok kepada anak dibawah umur lewat denda atau hukuman pidana.

Sehingga orang tua yang perokok maupun saudara mereka yang lebih dewasa tidak bisa lagi menyuruh anak-anak dibawah umur pergi ke warung membeli rokok dan membiarkan mereka terpapar sejak dini.

Wednesday, June 13, 2012

Film Review Altipplano (2009)

Salah satu yang menyenangkan di Australia bagi pecinta film independent adalah saluran televisi SBS. Di jaringan ini berbagai program menarik dapat dinikmati pemirsa, dari dokumentari BBC mengenai sejarah dunia, kehidupan masyarakat di sekitar perairan/ samudera Hindia, cerita perjalanan sambil belajar memasak hingga penayangan film-film independent. Sejak tinggal disini, kami jarang pergi ke bioskop untuk menonton film independent, ya apalagi kalau bukan karena saluran SBS tersebut.

Minggu ini saya menonton film berjudul Altiplano karya Peter Brosens dan Jessica Woodworth. Altiplano yang dalam bahasa Spanyol berarti dataran tinggi, adalah rangkaian dataran tinggi Andes yang terletak di wilayah Amerika Selatan meliputi sebagian wilayah Chili, Argentina, Bolivia dan Peru.



Adalah Grace, seorang photographer asal Belgia yang berusaha memulihkan kondisinya pasca meliput perang di Irak, dimana ia mendokumentasikan eksekusi guide-nya, Omar. Photo yang menurut Grace tak pantas untuk di ambil maupun diberi penghargaan, kejadian yang membawanya ke dalam depresi.

Sementara, di Turbamba, sebuah desa kecil di pegunungan Andes, Peru, Saturnina sedang bersiap diri menyelenggarakan pesta pernikahannya dengan Ignacio. Upacara persiapan terganggu dengan jatuh dan pecahnya patung Bunda Maria yang diusung karena anak-anak berlarian setelah melihat air berkilauan terkontaminasi merkuri dari pertambangan di dekat desa tersebut.

Merkuri yang mengguncang desa itu, diawali dengan kebutaan, perdarahan dan berakhir dengan kematian beberapa penduduk desa. Grace dan Saturnina, dipertemukan lewat Max, suami Grace, seorang dokter mata yang ditempatkan di klinik Katarak di dekat Turbamba, tragisnya Max meninggal di desa itu akibat kemarahan warga setempat, kematian itu pula yang mendorong Grace untuk pergi ke Turbamba.

Semasa di Belgia, Max mendorong Grace untuk menerima penghargaan fotografi di Irak tersebut, tetapi ia berkilah "sebuah photo tidak pernah menghentikan peperangan". Namun lain halnya dengan Saturnina, pasca kematian Ignacio ia dan penduduk desa berusaha dengan caranya sendiri memprotes pertambangan di wilayah desanya. Menurut Saturnina, "tanpa gambar maka tak akan ada sebuah cerita, dan bahwa ia tidak akan mati diam-diam maupun pergi tak terlihat". Kontras ini tersambung padi bagian akhir cerita ketika Grace terekspos dengan rekaman Saturnina.

Salah satu kekuatan film ini menurut saya adalah sinematografi yang kuat, gambar-gambarnya sangat berkualitas, kontras antara kehidupan Grace dan Saturnina, pemandangan Andes yang indah disertai ritual-ritual masyarakat setempat. Dan meskipun kekuatan gambar-gambar tersebut sangat terasa, film ini tidak kehilangan alur cerita dan termakan oleh gambar-gambar tersebut seperti beberapa film-film lainnya yang terkadang demi visualisasi kehilangan pesan yang ingin disampaikan.

Friday, June 1, 2012

Bullying Di Tempat Kerja

Bullying berasal dari kata bully, adalah orang yang suka mengganggu atau mengancam orang lain baik lewat kata-kata maupun tindakan fisik yang mengakibatkan korbannya merasa tidak nyaman, ketakutan ataupun menanggung malu.

Biasanya sikap ini dipicu oleh keinginan si pelaku atau "bully" untuk mengontol korbannya pada saat tertentu dengan cara-cara tertentu pula. Biasanya yang menjadi korban adalah mereka yang berada pada level junior termasuk mereka yang baru saja memulai pekerjaannya di tempat tersebut.

Pertama kali mengalaminya, saat bekerja di divisi yang baru saja dibentuk di sebuah lembaga internasional. Orang-orang yang di rekrut kebanyakan orang baru dengan latar belakang khusus dan di latih secara khusus pula, ternyata pelatihan ini merupakan sesuatu yang baru dan menimbulkan kecemburuan, maka tanda-tanda bullying semakin jelas dengan berbagai ungkapan yang menyerang praktek-praktek baru yang diberlakukan. Ungkapan "itu tidak biasa dilakukan disini" kerap dilontarkan untuk tindakan ataupun inisiatif apa saja yang diambil.

Menurut "Workplace Bullying Institute" ungkapan tadi merupakan salah satu tanda yang menjurus pada bullying di tempat kerja, ungkapan itu ditujukan untuk meminimalisasi inovasi-inovasi baru sekaligus mematikan persaingan di tempat kerja.

Disamping itu, pelaku bully biasanya adalah orang-orang yang sangat ambisius dan sedikit banyaknya juga narsisistik, anti sosial dan hanya berfokus pada pencapaian pribadinya dan cenderung menyakiti orang lain demi mencapai keinginannya. Karena pelaku ini sangat ambisius ia akan melakukan apa saja agar dirinya terlihat hebat di tempat kerja, ia tidak peduli jika ia harus merebut pekerjaan orang lain karena baginya yang terpenting adalah betapa hebat reputasinya setelah itu.

Tak jarang, setelah berhasil melakukan manipulasinya, pelaku terjebak dengan beban kerjanya sendiri dan prilaku bully-nya pun akan keluar. Dengan mudah ia akan mengintimidasi orang-orang yang bekerja satu tim dengan dirinya dan menjadikan beban kerja sebagai alasan ia berlaku kasar kepada rekan-rekan kerjanya. Prilaku ini akan terus berlanjut dan menyebabkan ketidaknyamanan dalam tim dan tidak akan berhenti sebelum pelakunya dihukum karena perbuatan tersebut.

Tanda-tanda yang paling jelas adalah lewat ucapan-ucapan kasar, bahasa tubuh memerintah maupun gertakan, yang membuat korban mengalami tekanan psikologis dan tidak dapat berkonsentrasi dalam melakukan pekerjaan.

Sayangnya, manajer yang mempekerjakan para bully, cenderung tidak tahu atau menutup mata terhadap prilaku ini. Dan terkadang tidak mudah bagi korban untuk melaporkan kejadian tersebut, karena si pelaku sangat pandai memutarbalikkan fakta sehingga membuat korban kebingungan karena fakta dan perasaan yang ia alami tidak mudah dipilah.

Dan pihak yang paling berkompeten menangani pelaku adalah manejer mereka. Selama mereka dibiarkan mereka tidak akan pernah merasa bersalah dengan tindakan tersebut dan akan terus menerus mencari korban baru untuk melampiaskan emosinya.

Jadi, ada baiknya ketika menelusuri pekerja baru di tempat kerja, jangan hanya mengandalkan referensi dari manajer saja, sebaiknya tanyakan juga pada rekan kerja sehingga prilaku ini bisa dengan cepat ditangani.