Tuesday, September 30, 2014

Defining Success by John Wooden

Sukses bisa berbeda makna bagi banyak orang. Bagi sebagian mungkin mendefinisikannya seperti yang tertera dalam kamus Merriem Webster yakni terkumpulnya kekayaan, di hormati serta menjadi terkenal. Bagi sebagian lain sukses bisa berarti tercapainya impian atau cita-cita, berhasil mengalahkan siapa yg ingin dikalahkan dalam kompetisi hidup. Sukses bagi sebagian orang bisa juga berarti bekerja dari jam 8-5 setiap hari di perusahaan terfavorit, bagi sebagian lainnya pensiun muda dan berkeliling dunia,  serta berbagai definisi lainnya.

Sehingga tak jarang banyak yang berfoto di depan mobil, rumah, yacht, dsb yg baru dibeli, menunjukkan kemampuan orang untuk mengumpulkan kekayaan sehingga orang tersebut di sebut sudah sukses. Tentu saja sah-sah saja mendefinisikan sukses sesuai aspirasi masing-masing orang.

Baru baru ini saya secara tak sengaja memutar TED Talks dengan nara sumber John Wooden. Pemain sekaligus pelatih basket UCLA yang legendaris karena dibawah besutannya UCLA memenangkan NCAA berkali-kali .

Dan saya terpukau oleh definisinya tentang sukses. Ia terinspirasi dari ayahandanya yang mengatakan kepadanya bahwa seseorang tidak perlu mencoba manjadi lebih baik dari orang lain, tetapi selalu belajar dari orang lain, dan jangan berhenti untuk mencoba melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan.

Wooden mendefinisikan sukses sebagai "ketenangan pikiran yang didapat karena seseorang paham bahwa ia telah melakukan atau mengusahakan yang terbaik yang bisa ia lakukan. Jika seseorang melakukan yang terbaik dari kemampuannya, untuk mencoba memperbaiki situasi dimana ia berada, itu adalah sukses. Dan tak seorangpun bisa menghakimi (hasil)nya.

Wooden menambahkan hal ini mirip dengan karakter dan reputasi. Reputasi adalah apa anggapan orang lain terhadap seseorang sementara karakter adalah siapa orang itu sesungguhnya. Dan karakter lebih bernilai dari reputasi.

Terus terang, definisi ini sangat menarik, dengan analogi sukses sebagai karakter dan bukanlah reputasi, makna sukses terasa lebih jujur, karena ia dinilai dari dalam dan tidak  semata-mata berdasarkan penilaian dari luar, sehingga seseorang tersebut tidak butuh pengakuan dari lingkungan sekitarnya tetapi ia akan termotivasi terus untuk melakukan yang terbaik, ada atau tidak adanya orang yang memperhatikan.

Can't agree more with you Sir, thanks for your wisdom.

Tuesday, August 5, 2014

Grandma in bule shirt and yellow vest

Demikianlah, dalam beberapa bulan ini saya bertemu dengannya dua kali sebulan. Seorang perempuan lanjut usia, dengan rambut pirang yang di sasak sehingga mengembang sempurna, mirip rambutnya alm Madam Thatcher, kacamata oversized, lipstik merah menyala. Ia berbicara dengan aksen Inggris yang kental.

"Mind you my dear, can I have a look at that yellow shirt?" ujarnya sembari menunjuk atasan kuning yg dipajang di etalase yg menggantung di dinding toko amal tempat saya bekerja sukarela. "You know, I always love yellow color", perempuan itu tersenyum. Hari itu dia juga membeli dalaman tanpa lengan berwarna putih dengan sedikit rumbai diujungnya.


Sejak hari yang menjadi penanda perjumpaan kami yang pertama, ia selalu kembali ke toko nyaris pada saat yang sama, dua jam sebelum toko di tutup dan selalu dengan kalimat pembuka yang sama. Ia akan membeli satu atau dua potong pakaian, mengamati jahitannya dengan hati-hati, menaruh sisi-sisinya ke kiri dan kanan bahunya, lalu tersenyum seraya berkata, "saya menyukai yang ini", sambil tersenyum dan bersiap membayar.

Dalam hemat saya lewat perjumpaan dengannya 6 bulan terakhir setidaknya ada empat belas potong pakaian baru yang ia miliki, namun yang membuat saya heran, ia selalu datang dengan pakaian yang sama. Blouse biru dan vest kuning, tak sekalipun ia terlihat memakai pakaian lainnya yang rutin, ia beli  di toko amal ini.

Di atas bus, dalam perjalanan pulang entah kenapa saya terpikir olehnya. Terlepas dari apa yang dilakukan si Grandma, yang jelas ia mengingatkan akan kebiasaan diri sendiri, membeli sesuatu karena merasa dengan menambah koleksi maka jika diperlukan akan tersedia, tetapi sebenarnya dari setumpukan pakaian tersebut hanya tiga hingga lima potong yang benar-benar dipakai setiap saat, mungkin karena mereka yang paling nyaman di pakai, dan semakin bulukan warna dan modelnya semakin nyaman di kenakan.

Mungkin begitu juga kita memandang hidup, bahwa kita perlu ini untuk itu, perlu itu agar begini, bisa jadi dari ini dan itu yang kita (dan ingin di) kumpulkan, hanya sedikit saja yang kita butuhkan.

Wednesday, June 4, 2014

Makan, tidur dan spa di Siam Reap

Akhirnya keinginan untuk menyusuri candi-candi di Siam Reap yang terpendam sekian lama terwujud juga. Semua berawal dari skype chat dengan sahabat yg tinggal di Bangkok. Setelah membahas itenerary perjalanan, lalu yihaaa! Kami berdua pun meluncur ke bandara Don Muang tepat saat unjuk rasa di Thailand sedang marak-maraknya dan beberapa ruas jalan ditutup.Setelah deg-degan beberapa jam, ternyata perjalanan mulus menuju bandara tak terganggu demonstrasi sedikitpun.
DS Photo
Ta Prohm

Entah karena apa, perjalanan kali ini sangat tidak ambisius, untungnya sahabat saya, Uni Vika juga dalam mood yang sama. Bagi kita perjalanan ke Siam Reap adalah perjalanan leyeh-leyeh, tidak ada target khusus, tidak ada rencana mengunjungi ini-itu semaksimal mungkin, tetapi banyak rencana makan dan bersantai.

Demikianlah, kami mendarat malam hari di bandara Siam Reap, dan menginap di Gloria Angkor Hotel, yang lumayan jaraknya (dalam skala bajaj) dari kawasan French Quarter. Dari bandara kami mendapat taxi seharga $10 (tarif ke city center sekitar $7 saja).

Pelayanan di Gloria Angkor lumayan baik, stafnya ramah, hotel bersih dengan fasilitas standard (TV, AC, kolam renang serta sarapan pagi), dan ada tuk-tuk gratis bagi yg ingin pelesiran ke daerah French Quarter.

Sebelumnya, kami berdua sudah membuat list "cuisine lokal" yang ingin dicoba di Siam Reap: beef lok lak, Angkor fish curry (fish amok) dan Nom banh Chok aka "noodle in fish sauce".

Hari pertama di mulai dengan bangun siang, maklumlah dua minggu sebelumnya saya kurang tidur akibat meeting kantor baru (ciee.ciee...) dan dilanjutkan mengajak adik tersayang jalan-jalan di Bangkok, buat yg ingin meniru kudu ati-ati, selain kurang tidur akibat banyak mendengar curcol, juga bangkrut akibat banyak mentraktir selama berlibur. Untunglah si teman perjalanan, Uni Vika ga masalah dengan bangun siang, walhasil jam 10 pagi kami baru mulai bergerak untuk sarapan. Berikut ini adalah cuplikan dari perjalanan di Siam Reap.

#French Quarter: Old market-Father's restaurant.
Blok kota tua yang dipenuhi bangunan bergaya lama dipenuhi dengan restoran, toko cindera mata, pub, kafe dan spa. Di depannya terdapat pasar tradisional yang menjual berbagai kebutuhan termasuk cindera mata khas Cambodia. Kami memulai  hari dengan menyusuri pasar tradisional di French Quarter. Pasar disini tak ubahnya seperti pasar di Indonesia, berbagai sayuran segar, buah serta makanan lokal di jual disini. Puas menikmati pemandangan pasar dan sedikit takjub melihat ada beberapa ibu-ibu berjilbab berjualan di daerah mayoritas beragama Buddha ini, kami merasa lapar dan berdasar kekeran si Uni, tempat terbaik menikmati masakan lokal adalah di Father's restaurant yang bersebrangan dengan Old Market. Charlie, pelayan di tempat itu sangat ramah, keramahan yg membuat kami betah berlama-lama di tempat itu. Segera saja kami kalap memesan makanan: beef lok lak, khmer fish curry, tumis kangkung, lumpia dan fish soup serta nasi hangat terhidang, yum yum!
Terus terang Father's restaurant ini tempatnya cukup sederhana tetapi makanannya justru lebih enak daripada Khmer Kitchen yang tak jauh dari tempat ini. Setelah mencoba berbagai menu, kami menyimpulkan khmer fish curry adalah juaranya.

#Lemongrass spa
Setelah perut kenyang dan mata mulai mengantuk, kami berdua memutuskan untuk berkunjung ke spa. Lemongrass spa yg masih berlokasi di French Quarter menjadi tujuan kami, apalagi setelah membaca tempat ini mendapat trip advisor's award. Segera saja, kaki yang sudah pegal menyusuri Bangkok, minggu sebelumnya dimanjakan dengan foot massage dan dilanjutkan dengan "Khmer Body Massage" yang super relaxing dan menenangkan. Dalam hitungan menit kami berdua pun tertidur lelap dan baru bangun dua jam kemudian ketika mba-mba pemijit menyatakan sudah selesai :)-maaf ya mba! Sebagai spa lovers (apalagi yg affordable begini), maka hanya sehari saja kami tak mampir disini dari keseluruhan hari yg kami habiskan di Siam Reap. We love you lemongrass spa!

#Angkor nite market
Sebenarnya tempat ini masih di kawasan French Quarter, yang disiang hari agak tenang dan dipenuhi kafe, sementara malam hari banyak "street vendors" berkeliaran dan musik berdentum-dentum dari berbagai kafe yang mulai menyala menjelang malam. Sekilas jalanan dan suasananya mengingatkan saya akan "French Quarter" di New Orleans sana, dengan lampu berkelap-kelip dan pejalan kaki berseliweran, bedanya di New Orleans kafe-kafe dipenuhi musisi jazz and blues yang aduhai.

#Cambodian Muslim restaurant
Bagi yang kudu makan makanan halal, ada beberapa opsi tersedia. Paling banyak tentunya masakan India yang terdapat di French Quarter (Maharajah, Ababa curry house) yang bercita rasa India, tetapi jika ingin cita rasa Melayu maka Cambodian Muslim restaurant akan menjadi pilihan yang asik. Ikan bakar, sop daging, serta menu-menu lainnya sangat menggugah selera di tempat ini. Namun lokasinya sedikit ke arah luar dari French Quarter

#Temple(s) adventure: Angkor Wat, Bayon dan Ta Phrom.
Angkor Wat
Terus terang, ada banyak sekali candi di Siam Reap dan rasanya kudu tinggal lama untuk dapat menyusuri tempat ini satu persatu. Setelah melakukan riset ini-itu kami memutuskan hanya akan mengunjungi tiga diantara berbagai banyak candi yang ada.
Angkor Wat merupakan kompleks terbesar diantara candi-candi yang tersebar. Kami memutuskan untuk membayar jasa pemandu wisata sehingga bisa mendapat informasi sedikit mengenai candi ini. Menurut Charlie, candi terbesar ini awalnya dibangun oleh raja Suryavarman VII, awal abad ke-12 namun kerajaannya dikuasai Chams/ Siam (berasal dari Thailand?), dan pembangunannya di selesaikan oleh raja baru, Jayavarman II yang memindahkan ibu kota kerajaan ke Angkor, setelah mengalahkan Siam. Nama kota Siam Reap sendiri berarti Siam yang dikalahkan.Selanjutnya raja ini membangun dua candi lainnya: Bayon dan Ta prohm.
Menurut yang saya baca, Jayavarman semasa mudanya pernah berguru ke Jawa sebelum kembali ke Angkor. Sekilas Angkor Wat terlihat seperti candi Prambanan, dengan empat menara di atasnya. Angkor Wat pada mulanya adalah candi Hindu yang didedikasikan untuk Wisnu dan menara-menaranya diumpamakan sebagai "meru" yang merupakan tempat para dewa. Namun diabad ke-13 hingga saat ini, Aggkor Wat dikuasai oleh penganut Buddha. Menurut Charlie,  agama dan kekuasaan saling bersinergi, maka ketika kerajaan di dominasi oleh agama Buddha, maka Angkor Wat pun beralih fungsi menjadi tempat beribadah agama Buddha, dimana patung-patung Wishnu di selimuti kain oranye, dan pada beberapa dinding candi, terlihat ornamen-ornamen ditimpa warna oranye khas Buddha. Pintu masuk Angkor terbagi tiga, pintu utama bagi raja dan kalangan bangsawan, pintu kiri untuk kendaraan aka kereta kuda dan kendaraan lain yg digunakan pada masa itu serta pintu kiri bagi rakyat biasa. Pengalaman terindah? tentunya dari atas menara, memandang ke arah pintu masuk utama maupun merasakan semilir angin lewat dinding-dinding batu di puncak candi.

Bayon
Bayon merupakan candi resmi kerajaan yang juga dibangun raja Jayavarman VII, candi ini dipenuhi susunan batu berupa wajah di berbagai sudut serta menaranya dan merupakan candi Buddha. Keunikan candi ini adalah 216 wajah-wajah damai berukuran besar di seluruh bangunan dan pendapa candi. Ada yang beranggapan wajah-wajah ini merupakan wajah sang Buddha sendiri namun ada juga yang menilai wajah-wajah tersebut adalah wajah raja Jayavarman sendiri.

Tak banyak waktu yang saya habiskan di tempat ini, terlebih udara panas membuat matahari terasa membakar kulit ketika berjalan menyusuri bangunan candi. Uni yang menunggu dibawah sambil membaca buku mengajak saya berjalan kaki di belakang candi menuju "Terrace of the elephants" yang menjadi tempat raja-raja Angkor menyambut tamu. Pada masanya saya kira tempat ini sungguh sangat mewah, klasik dan berkelas.

Ta Prohm
Menjelang sore, kami melanjutkan perjalanan dengan tuk-tuk yang kami sewa seharian ke Ta Prohm. Candi lain yang juga didirikan raja Jayavarman VII, yang dulunya merupakan biara dan universitas untuk agama Buddha. Di tempat ini kayu-kayu raksasa membelitkan akarnya kebangunan candi. Dan bagi saya, ini adalah tempat yang romantis, entah pepohonan raksasa, hutan rimbun yang mengelilinginya atau sinar matahari sore keperakan yang membuat suasana lebih syahdu di tempat ini. Candi ini menjadi terkenal ketika Angelina Jolie lewat filmnya tomb raider syuting disini.

#Tonle Sap lake
Kami menyisihkan satu hari berkunjung ke Tonle Sap lake, reservoir air tawar terbesar di Asia Tenggara dan menyaksikan komunitas masyarakat bajau yang hidup diatas air dengan rumah terapung mereka. Terus terang kami sedikit kecewa berkunjung kesini, setelah menyaksikan rumah-rumah terapung, pasar terapung serta bangunan sekolah, klinik dan rumah-rumah diatas air, pemandu kapal yg kami sewa menawarkan kami untuk mengunjungi sekolah lokal dengan anak-anak yatim-piatu maupun anak-anak dari kalangan tak mampu. Yang membuat kami sedikit kaget adalah ketika kapal diarahkan ke toko terapung dimana pemiliknya terkesan memaksa kami membeli barang-barang jualannya bagi anak-anak tersebut. Terus terang, kami tidak suka bila melakukan sesuatu karena terpaksa, dan si penjual terlihat sedikit sewot ketika kami memutuskan membeli barang-barang lainnya. Ketika berkunjung ke sekolah disana sini terlihat banyak sekali buku serta alat tulis sumbangan wisatawan, sekilas saya bertanya apakah tempat ini semacam "scam" bagi wisatawan yang berkunjung ke Tonle Sap. Staf di tempat itu menawarkan kami untuk berfoto dengan anak-anak, tetapi kami dengan halus menolak dan menyerahkan bingkisan langsung kepadanya untuk dibagikan kepada anak-anak tersebut.

Jika ditanyakan, apakah saya ingin kembali ke Siam Reap? Demi fish amok, Ta Prohm dan Lemongrass spa, ya saya ingin bisa kembali lagi kesana suatu saat.

Tips:
# Bawa US$ ketika bepergian ke Siam Reap
#Tarif tuk-tuk dalam kota sekitar 3-5$
#Sewa tuktuk seharian $10
#Bangun pagi untuk mengunjungi candi karena antrian cukup panjang saat membeli pass masuk. Bagi yang tidak ambisius seperti saya cukup membeli one day pass, yang bisa dipakai untuk mengunjungi 3 candi (atur waktunya, satu di pagi hari, satu siang dan satu di sore hari)
#Khmer fish curry dan Khmer massage kudu dicoba
#Oleh-oleh dapat dibeli di Old Market, tas etnik, kain sutera maupun tenunan bermotif kotak-kotak khas Siam Reap.
#Bagi yang perutnya kebal, jajanan pinggir jalan tampaknya wajib dicoba, meskipun mereka menggugah selera, saya menahan diri untuk tidak mencoba mengingat konsekuensi yang saya dapat dari perjalanan-perjalanan sebelumnya.



Saturday, April 5, 2014

Percakapan suami isteri (quotes)

Berikut ini adalah kompilasi "quotes" ringan sehari-hari, yang sayang terbuang tapi juga ga penting.

`the song writer partner`
isteri (w) yang termangu-mangu dengan perceraian Ms Paltrow dan pentolan Cold Play akhirnya muter lagu grup tersebut berhari-hari berbicara dengan sang suami (h)
w: "isn't it great if your spouse can create a song and makes you the source of inspiration like that?"
h: "what do you think?" (sambil pasang mimik itulah yg dia lakukan selama ini-ok mr boogey dance, I got it! I mean a real song! Not Uh-a-Uh-a Cantuna!)

'the success story`
isteri yang lompat-lompat kegirangan setelah bidding project berhasil sambil gowel-gowel nyanyi "everything you can do I can do it better, you will wish you wanna have a job like mine".
w: "I think you envy my work" (sedikit narsis)
h: "well, I can resign from mine now and just be your ticketing agent".
w: "don't you think you should scale up instead?"
h: "what do you mean?", "isn't you need to climb down after reaching the top?"
w: (...manggut-manggut sambil nahan ketawa)

Wednesday, March 26, 2014

Kapan punya anak (?)

Merupakan hal yang biasa, ketika kembali ke tanah air, bertemu keluarga besar atau sekedar bertemu muka maupun bertemu virtual dengan teman-teman lama, pertanyaan,"kapan sih lu punya anak?" terlontar.

Tampaknya ada yang salah, kurang, tak sempurna jika kalau kemana-mana tidak diekori mahkluk mungil yang lucu, menggemaskan sekaligus pengganggu utama "beauty sleep" tersebut. Terutama dimata sekumpulan orang diatas.

Demikianlah, dalam beberapa hari ini ada beberapa kejadian yang memicu tulisan ini. Pertama, dari sahabat di kantor lama, kedua teman di organisasi masyarakat di kota tempat tinggal saat ini, keduanya belum dikarunia anak dan ketiga dari sahabat lama jaman SMA yang sangat getol menanyakan a) Berat Badan; dan b) Anak.

Maka setelah membahas ini-itu, tentang pekerjaan, kegiatan sehari-hari, kesehatan ortu akhirnya kembalilah ke si a) eh salah! b) dulu kali ini.

Q: "Trus lu kapan punya anak?"
A: "Yah, gw nunggu kapan yang Diatas ngasih aja kali ya?"

Q: "Trus lu apa udah nyoba perawatan? ke dokter ato apa gitu?"
A: "Gw so far masih enjoy ya childless status ini, jadi ya ga terlalu pusing juga, lu aja yg pusing kali?"

Q:"Trus nyokap lu bilang apa pas mudik kemarin?"
A: "Ga komentar apa-apa, yg penting kalian hepi aja sih kalo dia mah. Lagian ponakan gw dah banyak, dia mah ga pernah pusing soal ini."

Q: "Trus, suami lu ga pa pa?"
A: "Ya, gak sih...gw dah bahas sama suami gw, kesimpulan kita sih yang penting kita berdua hepi ajalah. Kalo dapat alhamdulillah, kalo engga ya tetap aja alhamdulillah banged!" (Dalem ati, kog nanya suami gw sih, emang ga punya anak cuman beban isteri ya, emang beban?")

A: (...masih blum puas) "kalo mertua lu gimana?"
Q: (asem!) Duh, gimana ya..mertua gw orang bule mak, mana mau mereka nyampurin hal-hal begitu, kita sangat independen loh!". (dalem ati, lagian ntar juga yg nanggung kita kog, kecuali mereka sponsorin rumah dengan kolam renang, 5 nannies, dan warisan jutaan $$$)--->mantu matre"

Setelah mikir..mikir..."bilang ga"...."bilang ga"...akhirnya memberanikan diri, lagian temen baik gw inih--->peace yak!

A: "Nurut gw ya bo'...pertanyaan seputar kapan lo kawin, kapan punya anak, berapa gaji lo? berapa harga rumah ma mobil lo, de-el-el...ga penting banged yak? Anggap deh, misal nanya anak tadi...
Bisa jadi ada tiga skenario...(sambil ngumpulin ide di kepala)...

a) Pasangan yg pengen banged punya anak, udah nyoba berbagai gaya ops! berbagai perawatan dan obat-obat (hingga IVF) ternyata gagal, dan mereka pengeeeeeeen banged. Pas lu tanya kaya gitu, lo bukannya bikin mereka tambah sedih yak?

b) Pasangan yang emang dari sono ga mau ribet ama anak. Trus pas lu tanyain gitu n ngejawab," lo kira karena kita ga ada anak, kita ga hepi? Maaf ya bo' kita hepi banged loh!

c) Kalo misal yg lu tanya kaya gw, yang pasrah kalo dikasih alhamdulillah, kalo engga gw hepi aja ini, trus napa lo rese sih?"

Q: Gubrak...guling-guling icon..bermunculan...

Demikianlah cuplikan pembicaraan tentang anak tersebut. Friends will be friends yak...tapi jangan lupa, please deh....pikir-pikir dulu sebelum bertanya ;)

Friday, March 7, 2014

Oleh-oleh dari Papua: terasing di tanah sendiri



Setelah kurang lebih tiga jam meninggalkan Makassar, pramugari mengumumkan pesawat akan segera mendarat di Sentani. Ini adalah perjalanan pertama saya ke Papua. Bukan untuk liburan tetapi dalam rangka bekerja mengevaluasi proyek LSM internasional yang berkiprah disana.

Saya tak ingat persis kapan terakhir kali saya melihat lautan dibawah sana, sebagian besar dari waktu penerbangan ini saya habiskan untuk tidur, mengingat pagi-pagi sekali saya bergegas menuju bandara di Kuta untuk mengejar sambungan penerbangan dari Makassar setelah sehari sebelumnya mendarat dari Bima, Sumbawa. Yang jelas, sejak saya terbangun beberapa waktu yang lalu, di bawah sana hutan rimbun menutupi permukaan tanah, membentuk kanopi yang luas tak terputus.

Lalu pesawat sedikit demi sedikit menurunkan ketinggian dan danau Sentani terhampar di bawah sana, dan pesawat mendarat dengan mulus di bandara Sentani.



Sekilas, saya melihat ke sekeliling, kebanyakan penumpang yang bergegas mengambil bagasi berwajah Melayu dan hanya dua atau tiga orang berwajah Melanesia. Demikian juga ketika saya berjalan keluar mencari taksi menuju hotel, tak terlihat orang Papua asli menawarkan kendaraan. Sepanjang perjalanan saya berusaha menemukan wajah-wajah penduduk pribumi, tetapi sekali lagi yang terlihat adalah wajah-wajah para pendatang. Memasuki Abepura, kota terlihat lebih ramai, dengan ruko, restoran dan bahkan mall berjejer di sepanjang jalan. Dan satu, dua terlihat wajah-wajah asli menggelar dagangan berupa pinang, ubi-ubian dalam skala yang sangat kecil, yang di gelar di atas tanah di pinggir jalan.

Sangat jelas terlihat, bahwa roda perekonomian umumnya di kuasai oleh pendatang. Demikian juga ketika saya berkunjung ke beberapa sekolah di kota Jayapura, kebanyakan murid-murid berwajah pendatang dan beberapa terlihat berwajah campuran antara penduduk asli dan pendatang.

Dalam perjalanan saat berkendara, saya mengungkapkan keheranan ini kepada teman-teman seperjalanan dan saya mendapat informasi bahwa dengan status otonomi daerah sebenarnya Papua diuntungkan karena mendapat kucuran dana otonomi khusus. Jumlahnya puluhan triliun rupiah dalam satu dekade terkahir. Dengan dana yang begitu besar dan potensi sumber daya alam yang melimpah, dalam kunjungan singkat ini saya melihat sedikit sekali manfaatnya bagi penduduk asli.

Dengan dana yang berlimpah itu sudah sepatutnya banyak yang bisa dilakukan bagi penduduk asli sehingga mereka juga beroleh berkah dan tidak hanya menjadi penonton tetapi juga menjadi aktor perekonomian. Dalam pandangan saya, dengan status otonomi khusus maka tanggung jawab pembangunan sudah berada pada tampuk kepemimpinan lokal, yang notabene di emban putra-putri daerah sendiri. Rasanya kurang relevan menyalahkan pemerintah pusat dengan skema seperti ini. Porsi pemerintah pusat mungkin lebih ditekankan pada fungsi pengawasan kemana dan sejauh mana dana otsus tadi digunakan oleh pemerintah daerah.

Tetapi disisi lain, secara umum infrastruktur disini sudah sangat baik. Jalan-jalan sangat mulus, bahkan hingga ke gang-gang jalanan sudah di beton dan fasilitas air minum tersedia. Untuk ukuran kota yang sekecil ini, SUVs pun berseliweran dimana-mana. Namun siapa pemiliknya, entahlah :)

Keterasingan di tanah sendiri ini tampaknya juga imbas dari program transmigrasi di masa lampau dan juga migrasi yang terjadi karena terbukanya peluang ekonomi di tanah Papua. Berdasar penelitian Jonga dan Dale, 2011 (seperti yang di kutip harian Kompas), perbandingan penduduk asli dan pendatang saat ini 49:51 yang berubah dari angka 96:4 dengan pertumbuhan penduduk asli sebanyak 1.84% pertahun dan penduduk pendatang sebesar 10.82%. Maka tak terelakkan lagi dalam beberapa tahun ke depan, penduduk asli Papua akan semakin terasing di tanah mereka sendiri.



Wednesday, January 1, 2014

Catatan dari atas kereta (Brisbane Open 2014)

Hari pertama, tahun baru ini kami berkereta ke Yerongpilly menuju tennis court untuk menyaksikan pertandingan malam Brisbane Open. Tak disangka malam itu game pertama menghadirkan sang maestro tenis pujaan kami, Roger Federer dan di game kedua petenis tenar Victoria Azarenka dengan teriakan khasnya meramaikan arena.

Tetapi kali ini saya tidak bercerita tentang pertandingan tersebut melainkan pengalaman di atas kereta seusai menonton tennis. Di tengah desakan ratusan penonton yang antri menunggu kereta, kami beruntung langsung naik dan mendapat tempat duduk. Tak berapa lama seorang nenek berpindah duduk ke dekat seorang perempuan paruh baya di depan kursi kami. Di belakangnya duduk seorang kakek, anak perempuan remaja dan di dekatnya berdiri anak perempuan remaja yg lebih muda.

Entah bagaimana, tiba-tiba percakapan kedua perempuan remaja ini menarik untuk di dengarkan. Diantara bunyi gerbong kereta, keduanya berdiskusi mengenai pilihan kuliah bagi remaja perempuan yang lebih muda, selanjutnya saya sebut si adik.

Si adik menjelaskan jurusan pilihannya di bangku kuliah dan berencana transfer ke jurusan lain di tahun kedua. Si kakak (remaja yg lebih tua) mencecar dengan berbagai pertanyaan, mengapa? apa tujuannya? apa kamu suka kota tersebut? mengapa harus disana dsb. Si adik menjelaskan dari sudut pandangnya dan terkadang terlihat sedikit bingung dengan wajah polosnya. Sementara dua perempuan yang duduk di depan kami mendengarkan dengan seksama. Hingga, si kakak akhirnya menyimpulkan isi pembicaraan mereka ke si adik. "Pada dasarnya kamu sebaiknya memilih kuliah di jurusan A,B, dan C di kota X."ujarnya. Si adik terlihat kelabakan tetapi tetap mengatakan ia hanya ingin mengambil jurusan B di kota pilihannya. Tetapi si kakak tidak mau menerima, ia membeberkan pandangannya mengapa pilihan yang ia berikan adalah yang terbaik.

Si adik yang kelihatan lebih muda tampak manggut-manggut dan ragu, hingga akhirnya si nenek  menarik si adik ke arahnya dan memintanya mendekat. Lalu dengan tenangnya si nenek berkata,"Kamu tahu, dalam hidup ini, pilihan harus kamu ambil sendiri. Dengan mengambil pilihan sendiri, maka jika kamu sukses, kesuksesan itu karena kamu mengusahakannya dan jika kamu gagal tak ada orang lain yg bisa kamu salahkan. Tak ada seorangpun yang boleh memutuskan apa yang terbaik untukmu dan jangan takut gagal. Hanya dengan begitu kamu akan belajar dalam hidupmu. Jadi jangan ragu dan pilih apa yang kamu inginkan dan belajar dari keputusan yang kamu ambil." dia tersenyum sambil memeluk si adik yang pada akhirnya tersenyum.

Ah! Betapa leganya saya mendengar ucapan si nenek, terus terang saat yg sama saya juga berusaha memberi masukan pada ponakan tercinta yang akan kuliah tahun depan. Nenek yang bijak itu benar, seringkali kita yang merasa berpengalaman dalam hidup menasehati mereka yang baru akan mulai untuk tidak melakukan ini dan itu dan menghindari kesalahan yang mungkin pernah kita buat, padahal dalam hidup ini berani bertindak dan berani menanggung resikonya adalah pelajaran utama. Mengambil keputusan sendiri dan bukan karena ikut-ikutan justru membuat kita lebih dewasa dalam menjalani tantangan demi tantangan.

Ketika akan turun ingin rasanya saya mengatakan "well done pada si nenek dan betapa spesialnya keluarga itu memiliki seorang nenek yang bijaksana". Tapi tentu saja saya tidak mau terlihat menguping pembicaraan mereka, maka ketika melangkah keluar saya menundukkan kepala sedikit ketika kami sekilas bertatapan, tanda menaruh rasa hormat pada perempuan itu.