Monday, November 29, 2010

Film Review: Fair Game

Film ini diangkat dari kisah nyata seputar kejadian menjelang invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003. Salah satu yang menjadi alasan utama penyerangan AS ke Irak adalah isu-isu seputar pengembangan senjata pemusnah massal seperti senjata kimia ataupun senjata nuklir. Tetapi seperti yang ditemukan kemudian setelah pemerintahan Saddam di gulingkan, bukti-bukti mengenai senjata pemusnah massal ini tak pernah di temukan.

Lalu apakah pemerintah AS awam akan hal ini? Ternyata melalui salah satu agen CIA Valerie Plame (Naomi Watts) terbukti jika informasi tentang ketiadaan senjata ini telah diperoleh oleh CIA. Berawal dari penugasan suami Valerie, Joe Wilson (Sean Penn) ke Nigeria. Duta besar Wilson di anggap memiliki hubungan yang baik dengan perangkat pemerintahan Nigeria, dimana ditenggarai Irak membeli bahan baku untuk senjata nuklir dari Nigeria. Dari kepergiannya ke Nigeria, Duta besar Wilson menyimpulkan dalam laporannya bahwa tidak ada indikasi perdagangan antara kedua negara.

Lalu pada saat Presiden W Bush membuat pidato tahunan State of the Union 2003, terkait invasi ke Irak disana ia kembali mengemukakan tentang transaksi perdagangan antara Irak dan Nigeria. Tentu saja hal ini bertentangan dengan laporan yang dikeluarkan oleh Duta besar Wilson. Lalu disinilah intrik-intrik film ini dimulai.

Fair game dibuat berdasarkan pengalaman Valerie Wilson yang merupakan agen CIA yg terlihat sangat berkompeten menjalankan tugasnya sebagai agen mata-mata yang bertugas menjalankan misi rahasia di berbagai negara di dunia mulai dari dalam negeri AS sampai ke Timur Tengan dan Asia Tenggara. Di kehidupan pribadinya Valerie terlihat seperti wanita pekerja biasa yang tinggal bersama suaminya dan membesarkan dua anak mereka. Dan mengaku bekerja di perusahaan yang mengelola keuangan kepada kerabat dan teman-teman dekatnya.

Lalu sang suami yang merasa bahwa ada yang salah dengan alasan penyerangan ke Irak karena indikasi perdagangan dua negara yg disebutkan diatas, membuat tulisan di NY Post tentang temuannya di Nigeria berjudul "What I did not find in Africa", tak hanya itu ia juga memberi presentasi dan berbicara di televisi mengenai temuannya tersebut.

Hal ini membuat hubungan antara kedua suami isteri ini menjadi terganggu, Duta besar Wilson yg kukuh ingin mengungkapkan apa yg ia ketahui dan pekerjaan isterinya yang terancam karena kekukuhan suaminya dalam menyebarluaskan apa yang ia ketahui. Terjadi dilema dalam diri Valerie, ia yang selama ini merupakan agen yg cerdas dan berdedikasi kepada negaranya berhadapan dengan situasi politik yang membuatnya terlempar dari posisinya serta membuat keamanannya terancam terutama setelah ada kounter berita yg menyebutkan jelas ttg dirinya yang merupakan agen CIA serta alamatnya. Permintaannya agar mendapat perlindungan pun di tolak oleh pemerintah. Disini Valerie bertaruh akankah ia diam saja atau akankah ia juga keluar dan membeberkan apa yg ia ketahui.Nah, tonton aja film ini untuk mengetahui kejadian selengkapnya.

Bagi yang tertarik membaca lebih lanjut dapat diunduh informasinya disini:
http://en.wikipedia.org/wiki/Plame_affair

Sunday, November 14, 2010

Pesta yang tak biasa

Malam minggu yang lalu, saya bersama suami menghadiri pesta yang tak biasa. Ya, kita diundang oleh seorang teman untuk menghadiri pesta transisi. Mungkin banyak diantara kita yg awam dengan istilah ini. Sudah pasti pesta-pesta yang ada umumnya bertema pernikahan, ulang tahun, wisuda dsb. Tapi kali ini pesta tersebut jauh dari tema-tema yang umum diatas.



Masih kuat diingatan saya, pertama kali menghadiri pertemuan bulanan relawan tanggap darurat bencana di palang merah county tempat tinggal saya. Beragam sekali yg hadir disana, umumnya mereka yg telah berumur, kira-kira usia pensiunan atau mendekati pensiun dan beberapa yg lebih muda.

Lalu dipojokan sebelah kanan, seorang wanita duduk dengan anggun, dengan gaunnya berwarna merah muda lembut dan rambut sedikit bergelombang ke arah bahu ada yang tak biasa pada wanita tersebut. Dia sangat elegan dan terlihat lembut dengan senyumnya yang terlihat tulus.

Setelah pertemuan itu tak banyak yang saya ingat tentangnya, hingga pada akhir minggu saya mengajukan diri untuk meluangkan waktu untuk menjadi relawan kegiatan advokasi. Seperti biasa, koordinator relawan mengirimkan email ttg detail event yg diikuti serta menawarkan kepada mereka yg berminat dan memiliki waktu pada hari itu.


Tak berapa lama, sy menerima email yang mengabarkan bahwa saya akan berpasangan dengan Karen, dan ia juga menyertakan emailnya dalam email yg saya terima. Tak lama, saya menerima email dari teman relawan sy, dan kita membahas sedikit ttg persiapan untuk acara tsb. Tak lupa ia menanyakan no telepon saya untuk memudahkan kontak esok harinya.


Tak berapa lama, handphone saya berdering di ujung sana, nama Karen tertera di layarnya. Saat saya mendengar suara pria di seberang sana, saya sedikit bingung. Seraya menjawab saya cek lagi email saya untuk memastikan bahwa dia adalah yg akan bertugas bersama saya esok hari. Sejenak ingatan saya kembali ke pertemuan bulanan tsb.


Hari berikutnya, pagi-pagi sekali, Karen yg membawa Emergency Response Vehicle (ERV) telah berada di parkiran apartemen saya. Dan kami menuju tempat community fair diadakan. Menyenangkan sekali bekerja dengannya. Singkatnya sejak saat itu kami terasa seperti sahabat yg telah kenal lama. Terlepas dari jarak umur yg memisahkan kami serta transisi yang dialaminya, Karen bagi saya adalah teman yang baik, ia sangat lembut dan elegan dan saya makin sadar bahwa kebaikan dapat ditemui pada setiap orang terlepas dari apapun yang menjadi latar belakangnya.

Suatu hari Karen mengajak saya singgah di rumah ibunya dalam perjalanan kami ke organisasi palang merah. Dalam pengamatan saya, ibu yg telah pensiun tersebut masih menyisakan guratan kecantikan yg terlihat jelas. Di rumahnya terlihat beberapa boneka dan mainan anak-anak, hal ini mengingatkan saya akan ibu saya yg suka menjadi tempat penitipan gratis anak tetangga, terutama mereka yg ibunya bekerja. Ibunya Karen menawarkan kami makan siang, persis seperti ibu-ibu pada umumnya dan kami membantu ia memasang gorden di ruang yg kelihatan seperti ruang baca. Perkenalan dengan ibunya membuat saya merasa mengenal Karen lebih dalam.

Lalu, pesta tadi malam adalah pesta yang dilakukan Karen untuk merayakan transisinya dari seorang lelaki menjadi seorang wanita. Karen terlihat begitu anggun dan elegan dalam balutan gaun hitamnya, banyak sekali yg hadir di pesta itu, dari sesama temannya yg transgender, teman-teman kerjanya serta teman-teman relawan. Ah, saya jadi terharu membayangkan betapa tak mudahnya hidup yg dijalaninya selama lebih dari separuh abad belakangan ini. Saya dengan mudah menerima saya sebagai perempuan, berdandan seperti perempuan dan sesekali berbicara/ menulis ttg perempuan dan Karen harus bersembunyi dalam kungkungan badan yang dirasakannya berbeda dari siapa ia sebenarnya. Dan menyembunyikan apa yg ia rasakan sebagai dirinya sendiri.


Tetapi Karen beruntung, ia memiliki ibu yang bisa menerima keadaannya, dan saya terharu membaca surat dari sang Ibu, bagaimana ia belajar untuk menerima kondisi perubahan tersebut, bergabung dengan support group untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, Ia menuliskan bahwa apapun juga anaknya adalah orang yang sama yang ia cintai selama ini. Sama sepertinya ketika anda membaca buku cerita ttg cinta dan mengganti cover depannya dengan sesuatu yg berbeda, didalamnya buku tsb tetaplah cerita cinta. Ia menambahkan apa yg kita cari dalam hidup ini bukanlah penerimaan dari orang lain melainkan kasih sayang dan pengertian, dan ia telah mencintai Karen selama ini bukan karena ia harus tetapi justru ia mencintai karena perbedaan antara mereka. Di bagian akhir ia menulis, ia menyaksikan putranya berubah menjadi Karen, seorang wanita yang cantik, hal ini terasa seperti melihat seekor caterpillar berubah menjadi kupu-kupu yang cantik"

Ya, jalan masih panjang bagi Karen ke depan, tetapi ia beruntung memiliki support yang luar biasa tidak hanya dari ibunya tetapi juga dari teman-temannya, semoga saja transformasi ini membuat Karen lebih bahagia dalam menjalani hari-harinya. Bahagia, karena setelah penantian yang sangat lama, akhirnya ia bisa menjadi dirinya sendiri.

Monday, November 8, 2010

Tips-tips untuk mengelola kamp pengungsi dari shelter exercise Montgomery County.

Akhir pekan yang lalu, saya bangun pagi-pagi sekali dan bersiap-siap untuk mengikuti "shelter exercise" atau latihan mengoperasikan tempat penampungan pengungsi yg diadakan palang merah county tempat saya tinggal.

Tepat pukul 9 pagi, koordinator penanggulangan bencana segera maju ke depan dan mulai menjelaskan apa yang akan kita lakukan pada hari tersebut. Kegiatan tersebut diikuti oleh beberapa peserta baik relawan dari palang merah, petugas kepolisian (sherif), petugas kesehatan dari Departemen Kesehatan maupun staf dari palang merah sendiri.

Senang sekali pagi itu, Starbucks telah menyediakan kopi hangat bagi mereka yg terlibat di acara tersebut. Tepat 15 menit setelah acara pembukaan, kami yang akan mengoperasikan tempat penampungan bergegas menuju sebuah taman rekreasi (community center) dimana shelter exercise tsb akan dilakukan.

Sebelumnya beberapa tim inti telah dibentuk dan beberapa orang mengajukan diri untuk menjadi koordinator tim (lead). Ada beberapa posisi yang diperlukan antara lain: Shelter Manager, yg bertugas sebagai penanggung jawab utama dari keseluruhan tempat penampungan. Ia dibantu oleh beberapa lead antara lain registrasi, logistik, penginapan (dorm) dan layanan kesehatan serta keamanan. Saya mendaftarkan diri menjadi bagian dari registrasi. Dengan tugas menjadi lini terdepan menyambut kedatangan pengungsi, memastikan data mereka terisi kedalam formulir yang telah disediakan, sehingga mereka masuk sepenuhnya kedalam shelter.

Lalu begitu kami sampai di lokasi, penjaga tempat rekreasi tsb menjelaskan ttg fasilitas apa saja yg terdapat di bangunan tsb. Selanjutnya Shelter manager dan lead berkumpul membicarakan lay out tempat pengungsian. Saya dan beberapa teman memasang meja dan kursi untuk memudahkan pendaftaran pengungsi nantinya.

Begitu meja selesai dipasang, dan peralatan logistik registrasi belum sampai, kami sudah mulai menerima para pengungsi, catatan-catatan yg telah diberikan sebelumnya belum dapat terpenuhi karena keterbatasan logistik tersebut.

Segera saja dengan kertas seadanya kami membuat registrasi darurat dan melayani pengungsi yg datang dengan berbagai prilaku yg menunjukkan berbagai gejala stress. Sungguh, hari itu terasa seperti bencana sungguhan, akting yg di mainkan oleh masyarakat dan mahasiswa yg berperan sebagai pengungsi terasa nyata sekali. Ada yang datang dengan anak yang sakit, ada yg datang dengan keluhan persediaan oksigennya menipis, ada yg kehilangan anaknya di dekat meja registrasi, seorang wanita dari Sudan yang menyelamatkan dirinya sendiri dan tak sempat membawa ibunya yg berusia lanjut dan meminta kami menolong ibunya dan parahnya adalah dia tak bisa berbahasa Inggris. Serta sepasang mantan suami isteri yang terus cekcok perihal perceraian dan rebutan anak dan tak ingin di tempatkan dalam ruangan yang sama, seorang anak muda dengan masalah mental dimana standard hidupnya telah digariskan oleh bibinya yg telah menjadi korban, dan ia hanya mau makan semua yg organik, tidak mau bersentuhan dengan orang lain karena tidak higienis dan mengulang-ulang perkataannya serta seorang wanita yang datang dengan kursi roda. Dan kondisi tersebut di perparah dengan kebutuhan mereka yang harus segera dipenuhi: makanan, minuman, obat-obatan , dan selimut untuk menahan dingin.

Latihan yang berlangsung selama dua jam tersebut benar-benar menyita seluruh perhatian saya di meja registrasi. Dari pengamatan saya dan dari evaluasi kegiatan tersebut di akhir shift setelah makan siang disponsori Chipotle saya membuat poin-poin penting berikut ini:

1. Be Creative

Dari uraian teman-teman yg pernah terjun langsung, saya belajar bahwa sebaik apapun latihan yg kita lakukan, pada saat bencana sebenarnya terjadi, kita harus semaksimal mungkin bermain dengan kreativitas kita. Misalnya saat tanda-tanda yg biasanya telah tersedia dalam bentuk poster tak tersedia, gunakan apa saja yg ada untuk menggantikannya.

2. Koordinasi

Pastikan jalur komunikasi yang jelas antara shelter manager ke lead hingga ke relawan yg bertugas. Koordinasi disini bukan berarti manager tak bs berhubungan dengan relawan secara langsung tetapi rantai komunikasinya jelas dan relawan dapat saja berhubungan dengan tim lainnya dengan sepengetahuan leadnya masing-masing. Sehingga ini bukan tentang rantai bawahan maupun atasan tetapi bagaimana lingkaran informasi dikumpulkan dan dipergunakan.

3. Kerjasama lintas sektoral saat penanganan bencana

Yang paling menarik yg saya temui di county saya adalah bagaimana koordinasi yg terjadi begitu rapi dan terintegrasi. Dalam satu shelter atau penampungan, masing-masing pihak terintegrasi dalam satu shelter, pihak county mengirimkan sherif untuk kemananan, departemen kesehatan mengirimkan tenaga medis dan peralatan medis untuk membantu didalam tempat pengungsian.

Dan tak hanya itu, bahkan vendor-vendor yang menyediakan logistik untuk bencana memberikan diskon resmi (rate tertentu) untuk bahan-bahan yg dibeli atas nama palang merah. Dengan begini banyak uang yg bisa di simpan dan dipakai untuk kebutuhan pengungsi. Dengan diskon rate yg resmi ini juga menghindari terjadinya penyalahgunaan uang pada saat membeli kebutuhan saat bencana. Lagipula, pembelanjaan yg dilakukan palang merah juga bebas dari pajak. Begitu banyak kemudahan yg diberikan untuk melancarkan upaya tanggap bencana.

Impresi saya pemerintah menaungi lembaga sosial seperti palang merah untuk membantu mereka memberikan layanan tanggap darurat dan mensupport keberadaan mereka. Setiap ada bencana palang merah di beri alert untuk siap-siap membuka tempat pengungsian. Bisa jadi kerjasama seperti ini diikat melalui MoU yg jelas, sehingga respon yg diberikan bisa berjalan dengan efektif dan efisien.

Rantai pertolongan medis

Pastikan pada saat registrasi, pengungsi ditanyakan apabila mereka memiliki kebutuhan khusus, misalnya yg terkait dengan kesehatan mereka, dan sebaiknya pos pelayanan kesehatan berada berdekatan dengan registrasi sehingga mereka yg butuh pertolongan dapat ditangani dengan segera. Tetapkan juga jalur referal bagi pasien tersebut terutama bagi penyakit-penyakit yg tak dapat ditangani di tempat.

4. Logistik

Siapkan barang-barang kebutuhan logistik untuk mengantisipasi bencana. Dari tempat tidur lipat, selimut, makanan dan minuman, higiene kits dan lain-lain. Buat rencana pergantiannya dan apabila diperlukan buat kerjasama dengan vendor sehingga barang2x tsb bisa di kembalikan untuk dijual sebelum masa kadaluarasa dan barang baru gantinya diberikan.


5. Berdayakan pengungsi.

Ini dulu sering dibahas pada saat latihan psikososial, ternyata dalam simulasi ini hal ini terlupakan sama sekali. Ya, pengungsi tak sepenuhnya tak berdaya terutama saat mereka telah mencapai daerah/ shelter yang aman. Kerap, waktu yg dihabiskan di tempat pengungsian lebih dari 2-3 hari, dan pengungsi tidak memiliki kegiatan yg berarti yang kadang membuat mereka merasa lebih tertekan atau mengalami depresi.
Apabila kondisi kesehatan mereka memungkinkan, pengungsi bisa dilibatkan dalam berbagai kegiatan di dalam kamp. Dari membantu petugas registrasi, menjadi petugas admin di register layanan kesehatan, membagi-bagikan logistik, bersih-bersih kamp pengungsian, menjadi tenaga penjaga bayi/balita serta pengajar di tempat pengungsian. Kegiatan-kegiatan ini dijamin membuat waktu mereka tersita untuk kegiatan yg lebih berarti.


6. Identifikasi tempat-tempat yg bisa dijadikan sebagai tempat pengungsian.

Disini tata ruang sangat penting sekali. Fasilitas yg dibangun di perkotaan disini biasanya dilengkapi dengan taman dan community center berupa taman terbuka yg di lengkapi dengan berbagai fasilitas olahraga dan rekreasi. Selain tempet-tempat seperti ini, stadion olahraga, sekolah-sekolah dan tempat peribadatan bisa juga dijadikan sebagai tempat penampungan pengungsi. Pihak-pihak yg terlibat dalam penanggulangan bencana membuat rencana terintegrasi, menandatangani kerjasama untuk pemakaian fasilitas-fasilitas yg ada selama bencana serta membuat semacam pemetaan ttg lokasi, daya tampung, fasilitas yg dimiliki dan contact person yg dihubungi pada saat fasilitas tersebut akan digunakan. Dengan kerjasama yg terjalin jauh hari sebelum bencana, maka memudahkan jalannya koordinasi pada saat fasilitas tsb benar-benar diperlukan.

6. Be sensible, taati peraturan dan pakailah common sense.

Seringkali dalam situasi darurat, terjadi drama-drama maupun ledakan emosi yg wajar saja terjadi. bagi petugas/ relawan yg membantu maupun bagi pengungsi sebaiknya sama-sama paham bahwa untuk melancarkan upaya pemberian bantuan, kedua pihak harus saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya. Disini penting sekali menyadari bahwa masing-masing orang harus juga menolong dirinya sendiri dan pemberi bantuan untuk memuluskan pelayanan yg diterima/ diberikan.

Terus terang, sutradara latihan ini bagus sekali membuat skenarionya, mulai dari tim yg sampai sebelum logistik ada ditempat, petugas sekuriti yg tak kelihatan batang hidungnya, berbagai macam tanda/ banner yg tak kelihatan bahkan untuk mendaftarkan pengungsipun formnya tak tersedia. Ditambah lagi akting pengungsi yg kelas wahid. Mengikuti kegiatan ini memberi pengalaman yg berharga dari kegiatan tanggap darurat bencana yg dulu saya lakukan di tanah air.

Monday, November 1, 2010

Catatan dari Rally to Restore Sanity/ March to Keep Fear Alive

Hari sabtu tanggal 30 Oktober 2010 yang lalu, dua komedian terkenal dari stasiun Comedy Central, Jon Stewart dan Stephen Colbert, mengadakan sebuah rapat umum (rally) di National Mall, Washington DC. National Mall adalah alun-alun utama di ibukota Amerika Serikat yg berupa lapangan rumput memanjang yg bersisikan the Capitol alias gedung parlemen di satu sisi, beberapa museum yg menjadi bagian dari Smithsonian museum, tugu peringatan presiden George Washington di tengah-tengah, dan diujung lainnya terdapat Lincoln memorial. Disekitar area ini pula berdiri Gedung Putih serta Jefferson memorial. National Mall telah menjadi tempat berkumpul publik untuk berbagai kegiatan, baik sekedar mengunjungi museum, tempat duduk-duduk di rumput diwaktu senggang, tempat melakukan advokasi maupun berolahraga. Pada awal musim semi di salah satu tamannya disekitar tidal basin telah menjadi tempat orang-orang untuk menikmati indahnya bunga sakura (cherry blossom). Tapi saya tidak menulis tentang wisata di National Mall kali ini melainkan sedikit refleksi tentang "Rally to Restore Sanity/ March to Keep Fear Alive" yang digagas dua komedian diatas.



Jon Stewart adalah pemandu acara Daily Show dan Stephen Colbert memandu acara the Colbert report. Dua acara ini berupa parodi dari berita tentang politik yg terjadi sehari-hari di Amerika. Stewart dan Colbert mengemas acara ini dalam dua tema berlawanan yaitu Rally to Rrestore Sanity oleh Stewart dan March to Keep Fear Alive oleh Colbert yang di kemas dalam satu rangkaian acara.



Acara ini merupakan reaksi dari dua komedian ini terhadap realita politik yg terjadi saat ini mengenai gejala yg sedang terjadi di media (pemberitaan). Termasuk  bagaimana tokoh politik memanfaatkan isu-isu yang sedang hangat dimasyarakat dan menjadikan isu tersebut sebagai kendaraan mereka menuju kekuasaan. Serta sulitnya dua partai politik bekerjasama dan mengatasi persoalan-persoalan yg terjadi saat ini.



Sebelumnya, Stewart mengundang presiden Obama untuk hadir di Daily Show dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yg mungkin juga telah menjadi tanda tanya bagi kebanyakan orang yaitu sejauh mana janji-janji politik yg dibuatnya selama Pemilu telah tercapai. Acara ini berbeda sekali diantara seri Daily Show yg biasanya dimana Stewart benar-benar serius mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan sedikit sekali komedi ia tampilkan.



Rally sendiri dimulai saat Stewart yg berada di atas stage berbicara dengan Colbert yang sedang bersembungi dalam bunker jauh dibawah stage karena ketakutannya akan dunia luar dan akhirnya Stewart berhasil meyakinkan Colbert untuk keluar, kali ini dia dibawa oleh sebuah kapsul yg menyerupai kapsul penyelamat pekerja tambang di Chile baru-baru ini.



Disela-sela acara tersebut Stewart memanggil penyanyi terkenal Yousef Islam (Cat Steven) muncul dan menyanyikan lagunya "Peace Train" yg diinterupsi oleh Colbert dengan menghadirkan Ozzy Ousborne dengan lagunya "Crazy Train", akhirnya kedua penyanyi tersebut berdamai dan bersama-sama menyanyikan "Love Train". Selain mereka berdua turut juga tampil pesohor-pesohor lainnya seperti Sheryl Crow, Tonny Bennet, dll. Kehadiran pesohor-pesohor ini memberikan kejutan tersendiri karena kedua penggagas acara ini tidak pernah menyebutkan nama-nama mereka sebelumnya.



Diantara rangkaian acara Stewart menyerukan kepada peserta rally untuk lebih berhati-hati dalam mencermati propaganda yang sedang marak belakangan ini, untuk mampu membedakan antara orang-orang rasist dan anggota kelompok Tea Party secara keseluruhan (yg sering mengadakan pertemuan membahas isu-isu politik).



Ia melanjutkan "ketidakmampuan membedakan antara orang-orang yang berlebihan dalam kefanatikan mereka (real bigot) dengan Juan William (yg baru saja di pecat oleh radio NPR terkait komentarnya tentang rasa takut yg melandanya jika melihat orang berpakaian atribut agama tertentu di pesawat) dan Rick Sanchez (yg dipecat CNN karena komentarnya tentang media di Amerika yg dikuasai kelompok etnis tertentu) merupakan suatu bentuk penghinaan, tidak saja terhadap kedua orang tersebut, tetapi juga kepada kelompok yang rasist yang telah memfokuskan upaya mereka untuk menyebar kebencian, sama halnya ketidak mampuan antara membedakan teroris dari keseluruhan komunitas Islam semakin membuat kita merasa kurang aman" lanjutnya.



Entahlah, bagi saya pribadi hadir di acara ini bersama dengan orang-orang dari  berbagai warna, menjadi bagian dari dua ratusan ribu lautan manusia dan mendengar pesan yg disampaikan Stewart, membuat saya berkesimpulan bahwa terlepas dari apapun yang diberitakan media, yang saya dengar dari orang-orang yang mengaku tokoh apa saja, apapun yg disampaikan tak bisa begitu saja di telan mentah-mentah tanpa melalui proses pemikiran sendiri, dan ternyata tidak mudah memang, melepaskan diri dari berbagai jargon, pola pandang yang mungkin telah ditanamkan dan tertanam melalui berbagai peristiwa yang mengiringi perjalanan hidup selama ini.



Ah berbagai streotype muncul dikepala saya dan mungkin akan makan waktu untuk menepisnya satu persatu," batak makan orang (ucapan yg sy terima saat kecil tumbuh di satu kampung yang homogen etnisnya, budaya barat itu buruk dan merusak moral (kalau tidak salah di dengar di sela-sela sebuah pelajaran tentang moral di bangku sekolah), semoga mata kaum kafir terbuka (komentar ttg rally ini yg baru saja saya baca di salah satu web berita), ya..ya..ya..satu persatu yang pernah melintas samar-samar muncul kembali.



Baiklah, saya teringat akan kalimat ini yg pernah saya baca entah dimana," you can not change the world, but you can change your self". Terima kasih Stewart yang telah kembali mengingatkan orang-orang yang hadir di sana untuk mampu berpikir sendiri dan tentunya melanjutkan usaha yang tidak mudah untuk mengibaskan kembali hal-hal yg telah terlanjur melekat, menyaring dan memaknainya kembali sesuai dengan kesadaran dan daya pikir sendiri, melakukan sebuah proses "deconstruct dan reconstruct" akan apa yg didengar dan telah diamini begitu saja.