Wednesday, August 28, 2013

Pulang ke kotaku_1: Mendarat di KNIA

"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu." Demikian lirik lagu Jogjakarta dari grup Kla Project. Lagu yang selalu membuat kerinduan akan kampung halaman meskipun bukan berarti kembali ke kota Jogja.







Pulang kali ini adalah pulang ke Medan, kota yg terletak mendekati ujung utara pulau Sumatera. Beberapa hari sebelum hari keberangkatan sekilas terbayang kembali kota yg penuh kenangan, kota yang sesak, cuek, sibuk, sedikit bising namun memiliki makanan yang enak dan di tambah lagi dengan bandara barunya Kuala Namu Internasional Airport (KNIA), konon yang termodern dan satu-satunya di Indonesia yang dilengkapi kereta api dari dan ke pusat kota.

Sekilas ada kebanggaan tersendiri ketika pesawat akan mendarat di KNIA, dari jauh kelihatan runway yang panjang dan terang benderang dan ketika pesawat sudah "touch down" di bagian kiri terlihat bangunan bandara dengan atap seperti siput yang megah tak kalah dari KLIA maupun Svarnabhumi-nya Bangkok. Ah, saya tersenyum dalam hati, kali ini saya tidak lagi mendarat di Polonia yang nyaris seperti stasiun kereta api tetapi di airport baru dan modern, kebanggaan warga Medan.

Dari garbarata, saya berjalan menuju pos imigrasi untuk kedatangan luar negeri. Saya tersenyum sendiri membayangkan, ahhh...inilah saatnya saya menjadi tuan di negeri sendiri, mengingat pengalaman mengikuti antrian panjang di berbagai bandara (JFK New York adalah antrian terlama dalam catatan saya) maupun negara lainnya bagi pemegang paspor asing. Ya, dalam bayangan saya, sebagai pemegang paspor domestik maka proses di imigrasi akan berjalan lancar dengan antrian minimal seperti halnya ketika mendarat di Ngurah Rai, dimana turis-turis pada antri sementara pemegang paspor domestik melenggang mulus melewati pos imigrasi.

Tetapi tak lama, saya paham bahwa hanya ada tiga pos imigrasi yang berfungsi untuk pemegang paspor domestik sementara untuk paspor asing ada sekitar dua pos, satu untuk mengurus visa dan di sampingnya untuk cek paspor. Dengan tiga pos tersebut, proses antri berlangsung sangat lama.

Saya heran, karena sebenarnya banyak pos yang bisa dibuka sehingga antrian semakin cepat, tetapi yang mengherankan banyak petugas berseliweran dan terkadang mereka mendatangi orang-orang (saya asumsikan TKI) dan berbicara dengan mereka kadang berbisik, kadang disertai raut wajah tegas tetapi yang bertugas memberi stempel pada passport hanya tiga orang tersebut. Tak jarang, mereka mengajukan banyak sekali pertanyaan pada pemegang passport yang dilayani yang tentunya semakin menambah lamanya waktu mengantri.

Ketika tiba giliran saya, saya tak tahan untuk bertanya mengapa tidak dibuka banyak pos mengingat antrian yang cukup panjang, dan dengan ringkas petugas menjawab," Sebenarnya bandara ini belum siap untuk difungsikan jumlah SDM kita belum cukup, lalu saya melihat ke sekeliling, dua hingga tiga orang petugas berada di dekat jalur antrian dan berbicara pada mereka yang saya asumsikan TKI tadi, entah apa yang mereka bicarakan. Dan beberapa lainnya berdiri di sana-sini.

Demikianlah, angan-angan saya untuk didahulukan sebagai pemegang paspor domestik tinggal angan-angan belaka, kenyataannya suami hanya melewati proses pembelian visa dan cek paspor dalam waktu kurang dari 10 menit. Jumlah WNA yang tak terlalu banyak dan pos yang cukup tampaknya memudahkan mereka melewati pos tersebut. Ya, mungkin nanti....nanti...kita akan jadi tuan rumah di negeri sendiri.

Keluar dari ruang pengambilan bagasi juga cukup membingungkan, di pelataran luar tidak langsung terlihat batas jalan maupun parkir. Begitu banyak orang-orang berseliweran malam itu. Ada yang terlihat seperti orang yang bepergian dengan tas, jaket maupun sisa-sisa tiket yang masih dipegang, tetapi mayoritas tampaknya adalah penduduk sekitar Kuala Namu yang berpiknik di pelataran bandara, ibu-ibu memakai sarung dan terompah, sambil memangku anak, ada juga yang duduk-duduk di lantai berkelompok sambil mengunyah camilan dan minum.

Fenomena yang sama pernah saya baca disalah satu harian nasional ketika bandara Lombok Praya baru dibuka, mungkin tidak etis mengusir mereka, setidaknya mereka juga pantas merayakan kehadiran bangunan megah ditengah-tengah mereka namun disisi lain, bandara bukanlah tempat piknik. Mungkin jika belum ada, perlu dibangun anjungan pengantar di salah satu sisi bandara, sehingga bagi mereka yang datang untuk melihat turun-naiknya pesawat bisa mengamati dari sana dan tidak mengganggu ketentraman mereka yang memang kesana untuk bepergian.

Pengalaman kedatangan tersebut sangat kontras dengan keberangkatan di siang hari. Pelataran bandara tidak terlalu ramai, sehingga keseluruhan bangunan dapat dengan mudah dilihat, proses check in yang lancar dengan counter check in yang modern serta ruang tunggu yang mudah dijangkau bersih dan minimalis, ah semoga saja, KNIA akan lebih baik ke depan.