Wednesday, November 20, 2013

"Boiling Hot" Hubungan Australia-Indonesia

Hubungan Australia-Indonesia sedikit memanas dalam beberapa hari terakhir. Kejadian ini dipicu oleh bocornya informasi intelijen Australia yang menyadap telepon beberapa tokoh penting Indonesia. Informasi ini pada awalnya diberitakan oleh harian the Guardian dan ABC news.

Di Australia sendiri ada pro dan kontra mengenai tindakan yang harus diambil perdana menteri Abbott terkait masalah ini. Sementara Indonesia meminta penjelasan Australia mengenai aksi ini seperti yang disampaikan oleh Menlu Marty Natalegawa maupun dari akun Twitter presiden SBY. Tetapi PM Abbott masih belum bergeming, jika sebelumnya ia mengatakan sadap-menyadap adalah hal biasa yang dilakukan antar negara, pada prescon (19/11) ia mengatakan penyesalan yang mendalam atas rasa malu yang diderita presiden SBY akibat pemberitaan di media mengenai aksi tersebut.

Sementara di parlemen Australia sendiri, pemimpin oposisi Bill Shorten menyarankan agar perdana menteri meniru langkah yang diambil presiden Obama terhadap kanselir Jerman, Angela Merkel dan berjanji Amerika akan menghentikan kegiatan tersebut. Hal senada disampaikan mantan menlu Australia, Bob Carr, agar pemerintah Australia meminta maaf.

Pernyataan PM Abbott yang kurang sensitif ini bukan baru sekali ini saja terdengar. Pada masa pre-pemilu Agustus-September 2013, ia menggemborkan "buy boat policy" yang ditujukan untuk membeli kapal-kapal sejenis yang biasa digunakan untuk membawa imigran ke Australia untuk dihancurkan serta "turning boat policy" seperti yang diterapkan Australia pada era kepemimpinan PM Howard satu dekade yang lalu. Pesan-pesan yang tampaknya sangat signifikan bagi audiens dalam negeri untuk memenangkan pemilu.

Belum jelas, langkah yang akan diambil PM Abbott, tampaknya ia masih menunggu surat protes resmi yang akan dikirim Presiden SBY dan mengindikasikan bahwa ia akan menanggapi surat tersebut dengan sopan dan sepenuh hati.

Monday, November 4, 2013

Numpang nginap ketika bepergian

Sejak tinggal di luar dalam beberapa tahun terakhir, saya kerap dihubungi orang-orang yang ingin numpang nginap. Terus terang, bagi saya pribadi, numpang nginap ini bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Bahkan untuk menginap di rumah kakak sendiri pun saya akan mikir-mikir dulu, berapa lama akan disana, dan kalau bisa seminimal mungkin sehingga tidak merepotkan. Demikianlah, dulu ketika baru merantau ke Jakarta, begitu saya dapat pekerjaan maka segera berpindah ke kos-kosan.

Kebiasaan ini terus berlangsung hingga kini, biasanya dalam kurun waktu seminggu, saya akan membagi hari dimana saya menginap di tempat penginapan dan beberapa hari di tempat beliau yang lebih karena ingin menghabiskan waktu bersama ponakan tercinta. Entah kenapa, saya juga tidak paham mengapa kegiatan numpang nginap ini semakin berkurang intensitasnya.

Padahal belasan tahun lalu, ketika kembali dari program pertukaran pemuda, saya dan anak-anak lain sekontingen dengan senang hati merepotkan orang tua teman kami dengan tinggal di tempatnya bahkan hingga seminggu lebih, dan bukan hanya satu anak tetapi sekitar selusin :) Dan sebelum mendapat kamar sendiri di tempat kos, sahabat saya menawarkan berbagi kamar dengannya cukup lama hingga saya mendapat kamar sendiri.

Dan, ketika teman-teman dari negara lain berkunjung ke kota saya, dengan senang hati saya menampung mereka dan mengantar berkeliling kota bahkan ke daerah wisata berdekatan. Dan bahkan tempat kos saya dulu nyaris seperti wisma, teman-teman saya menginap disana bahkan ketika saya sedang bepergian.

Belakangan saya sadar, bahwa saya sedikit "teritorial" dalam artian, saya tak keberatan menampung teman-teman yang ingin numpang nginap di tempat saya, tetapi saya sangat sungkan untuk menumpang nginap di tempat mereka. Bahkan dalam sebuah perjalanan terkait kerjaan, saya enggan menginap di rumah kakak tertua saya.

Entah mengapa, rasa sungkan itu begitu besar, apalagi kalau saya sama sekali tidak dekat dengan orang yg ingin diminta tumpangan. Terakhir, ketika berjalan ke Brussel bersama dua teman lainnya, seorang yg dekat dengan kami menyarankan untuk menginap di kenalannya, sesuatu yg saya sangat sungkan untuk melakukan. Tetapi karena berbagai pertimbangan, saya dengan berat hati berjanji untuk mempertimbangkannya. Berat bagi saya menumpang nginap di Indonesia dan terasa lebih berat lagi ketika di luar negeri. Bukan apa-apa,  apartemen kebanyakan berukuran kecil dan terkadang benar-benar pas buat penghuni rumah. Sehingga saya yang agak "teritorial" merasa kurang nyaman ketika tidak memiliki ruang yang cukup untuk menjaga privasi sendiri maupun si tuan rumah.

Kedua, suasana "awkward" karena tidak pernah dekat atau merepotkan orang yg saya tidak kenal dekat terasa berat dilakukan, meski berjanji tak merepotkan, tetap saja sebagai tuan rumah mereka akan mempersiapkan segala sesuatu, yang menurut saya akan membuat repot si tuan rumah. Maka, sebelum berangkat ke Brussel saya mengirim email kepada calon tuan rumah dan menanyakan apakah beliau tidak keberatan menampung saya dan teman-teman? Walhasil, email saya tidak berbalas. Dan saya merasa itu wajar, boleh jadi beliau menampung kami karena segan dengan kenalannya yang menghubungkan kami. Sehingga saya memutuskan untuk mencari penginapan sendiri tentunya dengan harga terjangkau, nah ketika seorang mantan kolega saya memaksa untuk tinggal dengannya, meski sudah banyak alasan saya utarakan, akhirnya saya menyerah. Salah satu pertimbangan saya adalah karena kami sangat dekat, dan nyaris meluangkan waktu untuk ngobrol setiap hari ketika sama-sama bekerja. Maka sebelum berangkat dari kota tempat saya kuliah, saya menyiapkan rendang ayam, roti dan buah sebagai bekal yg bisa dinikmati bersama, sehingga teman saya tidak repot karenanya :). Dan terlebih lagi saya menumpang kereta terakhir yang sampainya malam dan pagi-pagi sekali saya sudah harus ke bandara menuju kota berikutnya.

Syukurlah teman-teman yang menginap di kosan saya dulu pada mandiri, terlebih ada warung padang dan warteg berdekatan sehingga urusan logistik jadi gampang.

Belakangan, ketika tinggal di luar negeri saya kerap mendapat permintaan menumpang nginap termasuk dari orang-orang yang saya sama sekali tidak kenal, atau kenal tetapi tidak dekat. Untuk permintaan semacam ini saya biasanya melakukan banyak pertimbangan. Semakin lama, saya berusaha membuat kriteria ketika mengiyakan mereka yg ingin numpang nginap antara lain:

1. Saya memiliki ruang yang cukup untuk menjaga privasi termasuk privasi mereka.
2.Saya mengenal mereka dalam level "personal", mereka yang pernah berbagi ruang dengan saya pada masa sebelumnya, termasuk sahabat dekat, teman-teman yg dulu sering berdiskusi di cubicle saya, yang pernah bepergian bareng (baik personal maupun keperluan pekerjaan) sehingga kami menjadi dekat.
3. Untuk sahabat-sahabat yang sangat dekat, sudah pasti tempat selalu tersedia, meski hanya tidur di sofa, misalnya.
4. Orang-orang yang jika saya tanya diri sendiri apakah (dengan berat hati) saya akan menginap di tempat mereka, dan jawabannya iya.
5. Dengan pertimbangan bahwa saya tidak lagi hidup sebagai lajang, sudah pasti kenyamanan "my other half" juga menjadi pertimbangan utama.

Maka dengan kriteria-kriteria diatas, dengan berat hati saya mulai menolak permintaan menginap terutama dari orang-orang yang tidak saya kenal dan belum merasa nyaman untuk berbagi ruang privat. Tetapi tentu saja saya dengan senang hati akan meluangkan waktu untuk bertemu dan berbagi kabar ataupun menemani ke tempat-tempat wisata dalam kota ketika memiliki waktu luang.

Bagi saya, tidak menawarkan fasilitas menginap bukan berarti tidak ingin bersilaturahmi atau tak ingin bertemu. Hanya saja saya mempertimbangkan sehingga pertemuan tersebut terasa nyaman bagi kedua belah pihak.

Monday, October 7, 2013

Film Review: The Act of Killing

Film besutan sutradara Joshua Oppenheimer ini berkisah tentang preman yang terlibat dalam pembunuhan tokoh-tokoh yang terlibat PKI di era tahun 65-an.

Anwar Congo yang merupakan tokoh utama film ini didampingi rekannya sesama pelaku, A Zulkadry serta Herman Koto, tokoh preman yang lebih muda, mengisahkan kembali tindakan pembunuhan yang mereka lakukan, dengan berbagai cara termasuk mengunjungi lokasi pembunuhan, mereka ulang kejadian-kejadian yang berujung pada pembunuhan tersebut termasuk dengan adegan-adegan teatrikal yang disisipkan dalam film ini dimana Herman Koto berperan  sebagai waria dengan dandanan yang menyolok.

Film ini juga memberi gambaran betapa para pelaku justru di puji bagai pahlawan justru dengan pembunuhan yang mereka lakukan. Beberapa dekade setelahnya, Anwar Kongo yang mulai memasuki usia sepuh menjadi pentolan organisasi Pemuda Pancasila.

Sekilas film ini juga menyoroti aksi Pemuda Pancasila yang sejatinya berjuang mempertahankan Pancasila tetapi kenyataannya menjadi kanker dalam masyarakat. Tokoh-tokoh pemuda itu yang kebanyakan adalah preman mendatangi kios-kios di pasar Medan yg dimiliki warga keturunan Tionghoa dan meminta sumbangan disertai ancaman. Dan para pedagang itu dengan senyum kecut dan terpaksa harus memberi uang sesuai yang diminta.

Ada juga narsisisme yang kuat tertangkap di dalam film ini, baik dari tuturan Anwar sendiri maupun Herman Koto yang bercita-cita menjadi anggota dewan. "Mengapa tidak mau (nyaleg)?", ujarnya. "Saya sudah pantas menjadi caleg karena sudah dikenal, kalo lolos kan bisa dapat uang dari manapun, bisa dapat sogokan dari mana-mana", sambil memberi contoh bagaimana ia bisa mengeruk uang dengan posisi sebagai anggota dewan. Lalu Anwar sendiri terdengar bijak dengan mengatakan anggota DPR adalah perampok berdasi.

Herman boleh jadi terinspirasi dari Marzuki, tokoh PP yang saat ini menjadi anggota dewan dari partai Golkar. Dengan polosnya Marzuki membeberkan bagaimana organisasi tersebut mengeruk uang dari kegiatan perjudian, illegal logging, illegal fishing, penyelundupan barang, memeras pengusaha. Dengan posisinya sebagai anggota dewan, ia lebih kuat karena orang-orang tersebut (yang ia peras) tahu bahwa ia memiliki jaringan dengan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya.

Dan uniknya lagi, pada acara pertemuan organisasi ini juga dimulai dengan doa, yang membuat mereka terlihat "absurd", mungkin sama halnya dengan berbagai kejahatan lain di negeri ini yang sulit dibedakan karena dibungkus dengan agama.

Ternyata tidak hanya preman yang terlibat dalam pembunuhan ini, yang lebih mengejutkan seorang wartawan senior Medan Pos, (IS) juga terlibat dalam menginterogasi korban dan memutuskan siapa yang pantas dibunuh. Termasuk menyiarkan propaganda seolah-olah korban sangat jahat sehingga mereka memang layak menerima hukuman yang keji tersebut.

Berbeda dengan Anwar yang sedari awal merasa bangga dengan aksinya, Adi justru dengan lugas mengatakan, pihaknya lah yang salah, namun hingga akhir film ia tetap berpegang bahwa ia tak perlu merasa bersalah atas aksinya.

Sementara Anwar sendiri, yang pada awalnya terasa tidak memiliki empati terhadap para korban, pada akhirnya di salah satu adegan menyadari, inilah ketakutan yang dialami korbannya ketika menghadapi maut yang ia hantarkan lewat tangannya sendiri. Ia yang selama ini dihantui mimpi buruk, dan berusaha menutupi kegelisahannya dengan menggembar-gemborkan bahwa ia adalah pahlawan, pada akhirnya dalam satu adegan dimana ia berperan sebagai korban, tampaknya di dera perasaan bersalah.

Film ini menarik bukan karena unsur sejarahnya, yang memang minim tetapi jujur bertutur tentang pembunuhan massal yang terjadi pasca G.30S/PKI lewat pelakunya sendiri. Film ini dalam pandangan saya juga memberi kesempatan penyembuhan bagi Anwar Kongo sendiri dan pelaku lainnya.

Film ini meninggalkan pertanyaan besar bagi saya, apa yang sebenarnya dilakukan oleh gerakan komunis sehingga mereka diganjar hukuman berat tak berperi kemanusiaan seperti ini? Hukuman yang membabi buta, tanpa peradilan dan berdampak pada ribuan nyawa. Informasi tentang gerakan komunis ini tampaknya masih tertutup kabut dan lebih banyak mengandalkan propaganda Orde Baru yang kejujurannya patut dipertanyakan.

Film ini juga membuka kesempatan bagi rekonsiliasi nasional serta meluruskan kembali sejarah bangsa, dan sudah selayaknya negara meminta maaf dan memberi kompensasi bagi keluarga korban.

Note: bagi mereka yang tinggal di Indonesia, film ini dapat di unduh di: theactofkilling.com


Tuesday, October 1, 2013

Review film "Blue Jasmine".

Setelah menonton beberapa film besutan Woody Allen sebelumnya seperti Manhattan, Husband and Wife, hingga ke film-filmnya yang lebih baru seperti Vicky Christina Barcelona dan Midnight in Paris, film terakhir ini Woody Allen terasa kembali ke tema-tema yang lebih serius dan dalam.

Kate Blanchet pun sangat apik dalam perannya sebagai Jasmine atau Jeanette, wanita dari kalangan atas yang tinggal di East Side, New York yang pada akhirnya kehilangan segalanya, kekayaan, rumah mewah, perhiasan dan suami yang kaya raya.

Lalu Jasmine yang terbiasa hidup mewah, dengan pergaulan sosialnya mau tak mau harus memulai lagi dari nol. Film ini menceritakan dilema yang dialami Jasmine, dari penyangkalan diri terhadap situasi yang dialaminya, terutama dengan mempertahankan gaya berpakaian yang trendi, terbang ke San Francisco dengan "business class" untuk menumpang hidup dengan saudara perempuannya dan praktis tak memiliki uang serta diserang "nervous breakdown". Lalu mampukah ia melalui semuanya?

Yang jelas Woody Allen, sangat jeli sekali dalam membangun karakter-karakter yang kuat dan kontras antar pemain film ini. Dengan apik ia mengambarkan tingkah polah dan interaksi antar tokoh dalam film tersebut. Kepiawaiannya dalam menangkap gelagat kalangan atas dan bawah terasa sangat menggigit seperti halnya dalam film-film karyanya sebelumnya.

Dengan film ini Kate Blanchet pantas diganjar Oscar.

Monday, September 16, 2013

Whale watching di Sunshine Coast

Sebenarnya sudah lama kami memiliki keinginan mengamati ikan paus. Tetapi dulu kog ya (semasa tinggal di DC) rasanya mahal amat. Kudu ke Alaska atau Norwegia. Dan sudah pasti biayanya sangat mahal dan menguras kantong karena kudu ikutan "cruise". Ga sanggup banged ya cyieen...

Mumpung saat ini tinggal di Australia dan ikan-ikan paus rutin melewati perairan disini dalam masa perpindahan mereka, maka hayuklah, mari melihat ikan paus dekat rumah!

Dekat rumah, karena hanya berjarak satu jam menyetir dari kediaman kami. Setelah mencari informasi lewat google, ternyata sedang ada diskon dari groupon. #Wah#*** padahal saya paling malas "subscribe" ke akun yang satu ini, malas dibanjiri email promosi. Cek bebi cek, ternyata sahabat saya memiliki akun tersebut. Alhamdulillah, akhirnya terbelilah tiga tiket untuk melihat ikan paus di perairan dekat pantai Mooloolaba, Sunshine Coast. Dan yang lebih menyenangkan, tentunya harga tiket yang telah dikurangi 50%. Horeee!

Sebelum berangkat, saya menyelidiki lagi tentang kegiatan "whalewatching" ini di situs trip advisor. Ternyata meski kegiatan ini hanya berlangsung tiga jam, banyak penumpang yang "jackpot". Hadeuh! Bisa berabe, secara suami juga sangat rawan terhadap "motion sick". Ditambah lagi dari kesaksian teman kami yang mengatakan hal yang sama. Maka pada malam sebelum kami berangkat saya membuat persiapan untuk besok paginya.

"lunch box" buat bertiga dengan ayam woku dan sayur pare pake teri / checked!
sunblock/ checked!
baju renang buat berdua dan kain pantai buat bertiga/ checked!
jaket tahan air/ checked!
botol minuman plus termos mini buat teh dan kopi/ checked

print-an tiket/ errr## waduh belum ke print, terpaksa malam-malam numpang ngeprint ke kantor suami. Ketahuan deh ga punya printer di rumah :)))

Memang persiapan kudu dilakukan satu malam sebelumnya, mengingat kami berdua bukan "manusia pagi" aka "not a morning person". (Ini Vickinisasi ga sih?) Alias raga boleh bangun tapi jiwanya masih melanglang buana dipagi hari. Kalau sudah disiapkan, pagi-pagi ga perlu mikir langsung capcus.

Maka setelah salah belok sekali, akhirnya sampai juga di Wharf-nya pantai Mooloolaba. Cari mencari kog ga ada kantornya Whale One. Wah jangan-jangan salah ini, cuma ada tulisan kecil yang menempel di restoran Thai dekat dermaga. Ah ternyata memang disitu meeting point-nya.

Kapal baru merapat membawa penumpang yang berangkat jam 7 pagi. Setelah diamat-amati, tidak ada yang kelihatan "miserable". Semua tampak segar dan ceria. Maka setelah sedikit drama karena ternyata tiket tidak dibawa dan membuat saya merasa "bersalah". Ditambah pertanyaan, lah kalo ga bisa ingat tiket gimana lagi yang lain-lain dari sahabat saya, waduh gimana ya? gimana dong? idih! segitunya, berarti predikat mama tiri yang efisien yang di dapat saat bepergian ke Flores beberapa tahun lalu (yang mengecek segala sesuatu dan merencanakan segala sesuatu) pudar dong? sungguh prestasi yang membanggakan!) Untungnya dapat SMS konfirmasi dari Whale One, ternyata ramah lingkungan sekali mereka, ga perlu print tiket, cukup tunjukkan bukti SMS saja. Ahhh! jadi lega deh :)

Segera saja kami memilih spot masing-masing dan bersiap-siap dengan kamera. Ombak laut lumayan "gengges" pagi itu. Begitu keluar dari sungai ombak langsung tinggi dan kapal naik turun dibuatnya, sesekali air laut memercik ke dek kapal. Ah untunglah saya "berpakaian" lengkap. Dan kayanya satu-satunya penumpang berpakaian lengkap. Sepatu tertutup, celana panjang dan baju lengan panjang plus rain jacket, yang terus terang membuat saya terlihat kontras dibanding penumpang lainnya pagi itu. Ga pa pa kan? demi menjaga supaya kulit tidak terbakar matahari yang baru saja pulih sepulangnya dari Gili 2 minggu lalu.

Setengah jam berlayar, belum juga keliatan tanda-tanda ikan paus. Lalu kapal berbelok ke kiri dan kapten mengumumkan adanya paus di kiri jauh. Wah! langsung pada ceria deh penumpangnya. Dan ga hanya satu, dua ekor saudara-saudara! Ibu dan anaknya!

Kapal mendekat dan menjaga jarak sekitar 50 meter dan mulailah kami berteriak-teriak kegirangan. "Exciting"! Melihat si kecil melompat-lompat ke udara, berenang kesana kemari dan ibunya yang berputar-putar di dekatnya.

Dan lucunya, semakin kami bertepuk tangan dan bersorak-sorak, semakin banyak aksi si kecil, ternyata paus narsis juga ya? hehehehe...

Lalu hingga ke satu titik, tiba-tiba ekor si ibu naik ke atas permukaan air nyaris 180 derajat. Dan itu berlangsung cukup lama, saya sampai mengira jangan-jangan dia terperangkap diantara batu karang. Lalu ia mulai menghempaskan ekornya ke air, berulang kali, sangat kuat sehingga terlihat busa air menyembur kemana-mana begitu ekornya mendarat di permukaan air.

Sementara si anak masih sibuk dengan gerakannya, melompat ke udara, berputar-putar, persis seperti anak kecil yang bermain. Tak jauh darinya ibu paus masih terus menghempaskan ekornya.

Lalu, si anak mendekat dan menaikkan ekornya, belum lurus seperti si ibu, nyaris bengkok malah. Dan dengan pelan menghempaskan ekornya. Wow!!...... kami terkesima. Lalu ia mulai lagi, kali ini lebih lurus, lebih cepat dan bertenaga.... Lagi! dan lagi!!! dan keduanya melakukan seirama! dan ini berlangsung beberapa menit.... Menit-menit yang berharga!


"You and me and the ocean is ours"

Deg! entah mengapa saya tiba-tiba terharu sekali. Sekaligus berkaca-kaca. Melihat ibu dan anak ini dan bagaimana pengetahuan tersebut di turunkan turun temurun, dari generasi ke generasi. Ah tiba-tiba saya pengin punya anak, saat itu juga, saat melihat betapa asiknya mereka, berdua saja dan laut milik berdua.

Tak lama si ibu melakukan gerakan lainnya, berenang sambil memutar tubuh, menggerakkan sirip seperti berenang gaya punggung dan sebagainya, dan si anak mengikutinya dan sesekali tetap saja melompat keluar air menampakkan tubuhnya yang kecil tetapi besar itu (yah, namanya juga bayi paus bukan bayi tikus) :)

Akhirnya, tiga jam kami pun usai, dan saya teringat suami, (isteri yang aneh) apakah ia bertahan di tengah gelombang tadi? terakhir kali saya melihatnya masih baik-baik saja di dek dalam tetapi setelah kapal mengarah ke paus ia tak terlihat lagi karena penumpang memadati dek.

Ternyata, meski sudah diganjar pil, doi tetap jackpot dan hanya bisa melihat atraksi tadi sebentar saja. Yaah, kesian sih tapi bagaimana lagi....

Keluar dari parkiran, kami menuju pantai yang terdekat, leyeh-leyeh sambil makan siang. Sungguh wiken yang menyenangkan!






Sunday, September 8, 2013

Gili air surganya leyeh leyeh

Udara hangat dan deburan ombak di pasir putih menyambut kedatangan kami di Gili Air. Di sisi kanan jalan utama pulau itu, banyak turis yang berjemur di pantai, sebagian lagi ber-snorkeling. Sekilas saya melihat beberapa kapal menaikkan dan menurunkan penumpang untuk kegiatan snorkeling ini di pantai di depan restoran Scallywags. Tampaknya lokasi ini menjadi tujuan utama pengunjung yang ingin bersnorkeling di pulau ini.


Sementara di jalan yang kecil tersebut, cidomo berlalu lalang menawarkan angkutan kepada pejalan kaki maupun turis yang menuju hotel atau pelabuhan. Beberapa cidomo berhenti dibeberapa hotel dan melanjutkan perjalanan, mencari akomodasi yang sesuai bagi penumpangnya. Namun di kebanyakan penginapan tertulis "No Vacancy", mengingat ramainya pengunjung di bulan-bulan musim panas terutama Juli-Agustus.



Kami beruntung telah membooking dari beberapa bulan sebelumnya, dan mendapat kamar di timur laut yang jauh dari keramaian tetapi masih nyaman untuk berjalan kaki ke restoran di bagian selatan maupun utara. Dan hanya berjarak sekitar 15 meter dari bibir pantai.

Segera saja, kami memutuskan untuk berjalan mengelilingi pulau dan mencari titik untuk menyaksikan matahari tenggelam. Jalan kaki keliling pulau dengan mengikuti jalan utama yang mengitari Gili Air hanya makan waktu kurang lebih satu jam.


Pada kesempatan lainnya, kami memutuskan berjalan kaki menyusuri bagian dalam pulau, melewati cottages-cottages sederhana, villa besar, maupun perumahan masyarakat lokal, mencicipi masakan asli yang rasanya lebih pas buat lidah Indonesia dibanding berbagai kafe dan resto yang berjejer di sepanjang pantai, dan terkejut sekaligus bangga ketika mendapati fasilitas pembangkit listrik tenaga surya di pulau sekecil itu. Dan berharap semoga setiap kecamatan di Indonesia memiliki fasilitas yang sama sehingga "mati lampu" yang telah menjadi kegiatan rutin di berbagai kota tidak perlu lagi terjadi. Dan yang terpenting tidak perlu membuang dana besar untuk sumber energi ini karena matahari lumayan "generous" dengan lokasi Indonesia yang di ekuator.


Tinggal di Gili Air dalam pengamatan saya mendapat berkah ganda. Dari pulau ini pengunjung dapat menyaksikan matahari terbit dengan latar belakang gunung Rinjani yang indah dan matahari tenggelam dengan latar belakang Gunung Agung.


Dan sebagaimana dua Gili lainnya merupakan tempat yang pas untuk menghilangkan lelah dan menenggelamkan diri dalam ekstasi keindahan tiada henti. Dimulai dari ritual bangun pagi disambut kicauan burung, menunggu matahari terbit, dilanjutkan sarapan, beraktivitas di pantai, tidur siang diatas pasir, menyeruput segelas jus jeruk nipis di udara terik, bermalas-malasan di berugak setelah makan siang sambil membaca buku, hingga menikmati aneka ikan bakar sajian restoran lokal pada malam hari dan masih dimanjakan deburan ombak pengantar tidur.

Baru saja, menginjakkan kaki ke atas kapal cepat Samayya menuju Bali, kami berdua mulai berbincang untuk kembali lagi ke sini. Ahh Gili, keindahanmu selalu membuat kami ingin segera kembali.


Tips:
Informasi tentang gili bisa diunduh dari website ini:
http://www.gili-paradise.com/

Akomodasi:
Casa Mio
Sejuk Cottages
Orong Village
Damai Homestay

Restoran:
Chill Out restaurant
Restoran disamping Casa Mio- lupa namanya (ikan bakar dan sambalnya paling yummy)
Scallywags (snorkeling spot di depannya)
Biba beach
The beach front
Mangkune (cafe strategis untuk melihat matahari tenggelam)








Thursday, September 5, 2013

Pulang ke kotaku 3: Lombok menuju Gili Air

Setelah menghabiskan nyaris dua pekan di Medan, bersilaturahmi dengan keluarga besar dan teman-teman lama, saatnya melanjutkan perjalanan edisi mudik tahun ini.

Pelabuhan Gili Air
Pulang ke kota selajutnya adalah berkunjung ke pulau Lombok, tempat bekerja dalam kurun 2002-2004. Diantara kota-kota yang pernah saya tinggali dan kunjungi di Indonesia, Mataram mendapat tempat yang istimewa. Kota Mataram yang tidak terlalu besar bagi saya sangat ideal menjadi tempat tinggal. Jalanan yang masih jauh dari kemacetan, pasar tradisional yang masih berfungsi, sebuah mall dengan supermarket di lantai dasar yang menjual berbagai kebutuhan, taman-taman kota yang mudah dijumpai serta jaraknya yang relatif dekat ke berbagai objek wisata seperti Suranadi, taman Narmada, dan pantai Senggigi.

Penerbangan yang mengalami "delay" selama tiga jam dari bandar udara Juanda membuat kedatangan di Lombok Praya lumayan telat. Saya berasumsi akan makan waktu yang lama untuk tiba di Mataram mengingat bandara yang baru ini berada di Lombok Tengah yang justru dekat dengan pantai Kuta di Lombok Selatan.

Kenyataan bahwa kami berkendara pada malam hari dimana tidak begitu banyak kendaraan di jalan dan ditambah lagi dengan jalanan yang rapi dan lebar membuat perjalanan tersebut terasa nyaman dan ditempuh kurang lebih satu jam. Mudita, teman kerja di organisasi kemanusiaan dulu saat ini telah beralih ke bisnis travel pasca ditutupnya kantor tersebut pada akhir tahun 2010.

Malam telah cukup larut ketika kami tiba di Lombok Raya, tempat bermalam sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya ke tujuan utama kami, Gili Air.

Pagi-pagi sekali, saya menyempatkan diri berjalan keluar dari hotel dan menyusuri pasar oleh-oleh khas Lombok yang ada disamping Mataram Mall. Dulu, toko-toko dikawasan (Jl. Cilinaya) ini adalah tempat belanja oleh-oleh "cepat" ketika terbang dari Lombok. Berbagai macam produk asli Lombok bahkan Sumbawa dapat di temui di tempat ini, mulai dari berbagai motif kain tenunan, perhiasan dari mutiara hingga makanan kecil khas daerah ini. Saya mendapat sepasang anting-anting mutiara dengan harga yang sangat murah di tempat ini.

Tepat pada waktu yang disepakati, Mudita menjemput kami dari hotel menuju pelabuhan Bangsal. Pelabuhan yang menjadi titik keberangkatan ke tiga gili: Trawangan, Meno dan Air. Tetapi sebelumnya, kami singgah di hotel Wisata (Jl. Koperasi-Ampenan), bertemu dengan si pemilik ibu Erlina, yang dulu menjadi rekanan kantor dalam mengurus pengungsi. Ibu masih tetap enerjik meski sepuluh tahun telah berlalu. Ia masih mengelola sendiri hotel tersebut dan baru saja melakukan renovasi pasca ditinggalkan pengungsi yang dulu kami tempatkan disana.

Tak lama, kami sudah kembali ke jalan, kali ini melewati Senggigi, berhenti sejenak di Malimbu dan Kerandangan, menikmati pemandangan pantai yang indah dengan pasir putih dan air laut berwarna turquoise, biru kehijau-hijauan. Sementara jika melihat ke arah utara, akan terlihat ketiga gili dari kejauhan.

Tiba di Bangsal, kami membayar tiket masuk dan mobil langsung mengarah ke kantor pelabuhan. Terkadang tidak mudah untuk bisa langsung ke kantor pelabuhan, biasanya penumpang disuruh turun dan naik cidomo yang nangkring di dekat pos tersebut meski jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Beberapa tahun yang lalu, saya dipaksa turun dari kendaraan didudukkan di toko terdekat dan dipaksa membeli barang-barang kerajinan. Perlakuan ini membuat banyak orang akhirnya menghindari Bangsal dan langsung menuju Gili lewat pelabuhan Padang Bai, Bali.

Di kantor pelabuhan kami mendapat informasi bahwa kapal publik yang ke Gili Air hanya hingga jam 10 pagi. Wah! Lenyap deh harapan membayar kapal seharga 8000,- rupiah saja. Mau tidak mau harus menyewa kapal sendiri atau mencari "traveller" lain yang ingin menyeberang kesana sehingga bisa "sharing cost". Oleh mbak-mbak petugas tiket kami diarahkan ke bagian timur alias kantor yang berseberangan, menurut dia ada beberapa orang yang akan menyeberang dari sana.

Kami ditawarkan menyeberang dengan harga 250.000,-. Sedikit lebih murah dari harga sewa kapal resmi pelabuhan. Tapi dari pengalaman-pengalaman sebelumnya saya paham, bahwa kami bukan satu-satunya yang akan naik ke kapal tersebut. "Tetapi tidak ada penumpang lain di kapal kan, dengan harga segitu?" jawab saya. Si Mas senyum mesem-mesem, lalu menjawab," baiklah 150.000,- saja buat berdua. Yah namanya juga subsidi silang, dan benar saja, begitu kapal akan berangkat maka munculah sekitar 40 orang penumpang lagi dengan berbagai barang bawaan mereka. Tak berapa lama kapal mulai meninggalkan pelabuhan dan sesaat sebelum mencapai Gili Air, ombak terasa cukup besar dan membuat kapal naik turun di tengah gelombang. Lalu laut kembali tenang ketika mendekati pelabuhan Gili Air. Tips: pakailah celana pendek dan sandal jepit ketika menyeberang karena mau tidak mau kita akan terciprat air laut untuk naik dan turun dari kapal.

Tuesday, September 3, 2013

Pulang ke kotaku_2: Tata kota yang absen di Medan

Medan kota tempat tumbuh dan bersekolah mengalami banyak sekali perubahan belakangan ini. Perubahan yang dalam pandangan pribadi saya cenderung memprihatinkan.

Tetapi supaya "fair" dalam kunjungan singkat edisi mudik kemarin patut diapresiasi keberhasilan kota Medan mengurangi sampah di jalanan yang dulu begitu mengganggu dan saat ini sudut-sudut kota terlihat bebas sampah, juga pembangunan jalan seperti ringroad yang mengurang waktu tempuh cukup signifikan dalam berkendara.

Sementara masih banyak hal yang membutuhkan perhatian khusus, antara lain:

Lalu lintas semrawut
Tapi disisi lain, situasi lalu lintas semakin buruk, jalanan yang semrawut, pelanggaran lampu lalu lintas yang semakin luas, dan tidak tertibnya pengendara kendaraan bermotor, membuat kegiatan menyetir di Medan seperti pergi ke medan perang, tidak ada yang mau mengalah di perempatan jalan dan meskipun lampu hijau bukan berarti kendaraan bisa langsung bergerak. Terus terang menyetir di Medan tampaknya hanya bagi mereka yang punya nyali, yang mampu melalui perempatan dengan mencari celah dan menyorongkan mobil mengalahkan pengendara lainnya.

Ruko berdesakan
Pembangunan ruko yang semakin merajalela juga tampaknya mulai merusak keindahan kota. Nyaris semua sudut kota Medan dipenuhi ruko, tidak ada lagi halaman dan pepohonan, dan parahnya ruko ini dibangun hingga mendekati ruas jalan, atau berbatasan langsung ke trotoar. Kondisi ini membuat kota Medan terlihat semakin padat dan sumpek.

Papan reklame
Papan reklame tampaknya adalah ciri khas kota Medan lainnya, jika di kota-kota lain reklame masih dalam batas-batas yang pantas maka di Medan, begitu ada ruang kosong, maka sudah pasti akan segera diisi oleh papan reklame, yang memprihatinkan reklame-reklame ini terlihat sangat berantakan karena dari sisi ukuran dan posisi saling timpang tindih.

Trotoar tidak berfungsi
Trotoar seperti di Kesawan telah berubah menjadi lahan parkir (terutama sepeda motor) sehingga pejalan kaki mau tidak mau harus turun ke jalan yang dipadati kendaraan, sementara di kawasan seputar Mesjid Raya dan Yuki Simpang Raya, trotoar telah menjadi lahan berdirinya kafe-kafe tenda yang menjual berbagai makanan.

Minimnya taman
Dua puluh tahun yang lalu, tidak terlalu sulit bagi orang tua mengajak anak mereka jalan-jalan. Situasi yang sama yang saya jumpai saat ini ketika pergi ke negara-negara maju dimana taman-taman tersedia di sekitar perumahan dan anak-anak dengan mudah dapat bermain disana. Dulu cukup pergi ke Taman Sri Deli yang di depan Mesjid Raya, maka anak-anak dengan gembira akan memilih sendiri permainan mereka, baik ayunan, pelosotan maupun panjat-memanjat berbagai struktur yang disediakan disana. Dan tentunya kesempatan bertemu dan membangun pertemanan dengan anak-anak lain yang bermain disana. Tidak perlu menghabiskan banyak uang untuk pergi ke Mall. Cukup membawa tikar dan makanan seadanya atau membeli balon, rujak dan es krim. Namun "kemajuan" dua puluh tahun yang lalu tersebut tampaknya ditinggalkan oleh Kota Medan, dengan minimnya taman tentu tidak mudah bagi orang tua membawa anak mereka jalan-jalan dengan biaya murah.

Disela-sela waktu mudik yang sempit saya menyempatkan diri mengajak ponakan ke kolam renang di daerah Griya. Setelah masuk di dalamnya saya bisa menghitung berapa orang pribumi yang berenang disana dan kebanyakan adalah warga keturunan. Pandangan yang kontras misalnya dengan kolam renang umum dan taman di kota yang saya tinggali saat ini, dimana semua bisa berenang dengan gratis di kolam renang buatan menyerupai pantai yang dibangun di tengah kota. Kolam renang tersebut dikunjungi oleh siapa saja dengan berbagai warna kulit. Meski kolam renang berbayar tetap tersedia di beberapa "suburb", tetapi ada pilihan rekreasi yang murah, tersedia buat semua warga dan mudah dijangkau.

Sementara di kota asal saya pilihannya tentu pergi ke mall, ke kolam renang maupun ajang rekreasi seperti Mikki Holiday yang lumayan jauh serta  harus mengeluarkan biaya.

Lalu pilihan apa yang tersedia bagi mereka yang tidak mampu menjangkau tempat-tempat mahal tersebut, atau pilihan apa yang tersedia bagi mereka yang sekedar ingin melepas penat, duduk di taman kota dan menjernihkan pikiran sebelum tenggelam kembali dalam kesibukan sehari-hari?

Wednesday, August 28, 2013

Pulang ke kotaku_1: Mendarat di KNIA

"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu." Demikian lirik lagu Jogjakarta dari grup Kla Project. Lagu yang selalu membuat kerinduan akan kampung halaman meskipun bukan berarti kembali ke kota Jogja.







Pulang kali ini adalah pulang ke Medan, kota yg terletak mendekati ujung utara pulau Sumatera. Beberapa hari sebelum hari keberangkatan sekilas terbayang kembali kota yg penuh kenangan, kota yang sesak, cuek, sibuk, sedikit bising namun memiliki makanan yang enak dan di tambah lagi dengan bandara barunya Kuala Namu Internasional Airport (KNIA), konon yang termodern dan satu-satunya di Indonesia yang dilengkapi kereta api dari dan ke pusat kota.

Sekilas ada kebanggaan tersendiri ketika pesawat akan mendarat di KNIA, dari jauh kelihatan runway yang panjang dan terang benderang dan ketika pesawat sudah "touch down" di bagian kiri terlihat bangunan bandara dengan atap seperti siput yang megah tak kalah dari KLIA maupun Svarnabhumi-nya Bangkok. Ah, saya tersenyum dalam hati, kali ini saya tidak lagi mendarat di Polonia yang nyaris seperti stasiun kereta api tetapi di airport baru dan modern, kebanggaan warga Medan.

Dari garbarata, saya berjalan menuju pos imigrasi untuk kedatangan luar negeri. Saya tersenyum sendiri membayangkan, ahhh...inilah saatnya saya menjadi tuan di negeri sendiri, mengingat pengalaman mengikuti antrian panjang di berbagai bandara (JFK New York adalah antrian terlama dalam catatan saya) maupun negara lainnya bagi pemegang paspor asing. Ya, dalam bayangan saya, sebagai pemegang paspor domestik maka proses di imigrasi akan berjalan lancar dengan antrian minimal seperti halnya ketika mendarat di Ngurah Rai, dimana turis-turis pada antri sementara pemegang paspor domestik melenggang mulus melewati pos imigrasi.

Tetapi tak lama, saya paham bahwa hanya ada tiga pos imigrasi yang berfungsi untuk pemegang paspor domestik sementara untuk paspor asing ada sekitar dua pos, satu untuk mengurus visa dan di sampingnya untuk cek paspor. Dengan tiga pos tersebut, proses antri berlangsung sangat lama.

Saya heran, karena sebenarnya banyak pos yang bisa dibuka sehingga antrian semakin cepat, tetapi yang mengherankan banyak petugas berseliweran dan terkadang mereka mendatangi orang-orang (saya asumsikan TKI) dan berbicara dengan mereka kadang berbisik, kadang disertai raut wajah tegas tetapi yang bertugas memberi stempel pada passport hanya tiga orang tersebut. Tak jarang, mereka mengajukan banyak sekali pertanyaan pada pemegang passport yang dilayani yang tentunya semakin menambah lamanya waktu mengantri.

Ketika tiba giliran saya, saya tak tahan untuk bertanya mengapa tidak dibuka banyak pos mengingat antrian yang cukup panjang, dan dengan ringkas petugas menjawab," Sebenarnya bandara ini belum siap untuk difungsikan jumlah SDM kita belum cukup, lalu saya melihat ke sekeliling, dua hingga tiga orang petugas berada di dekat jalur antrian dan berbicara pada mereka yang saya asumsikan TKI tadi, entah apa yang mereka bicarakan. Dan beberapa lainnya berdiri di sana-sini.

Demikianlah, angan-angan saya untuk didahulukan sebagai pemegang paspor domestik tinggal angan-angan belaka, kenyataannya suami hanya melewati proses pembelian visa dan cek paspor dalam waktu kurang dari 10 menit. Jumlah WNA yang tak terlalu banyak dan pos yang cukup tampaknya memudahkan mereka melewati pos tersebut. Ya, mungkin nanti....nanti...kita akan jadi tuan rumah di negeri sendiri.

Keluar dari ruang pengambilan bagasi juga cukup membingungkan, di pelataran luar tidak langsung terlihat batas jalan maupun parkir. Begitu banyak orang-orang berseliweran malam itu. Ada yang terlihat seperti orang yang bepergian dengan tas, jaket maupun sisa-sisa tiket yang masih dipegang, tetapi mayoritas tampaknya adalah penduduk sekitar Kuala Namu yang berpiknik di pelataran bandara, ibu-ibu memakai sarung dan terompah, sambil memangku anak, ada juga yang duduk-duduk di lantai berkelompok sambil mengunyah camilan dan minum.

Fenomena yang sama pernah saya baca disalah satu harian nasional ketika bandara Lombok Praya baru dibuka, mungkin tidak etis mengusir mereka, setidaknya mereka juga pantas merayakan kehadiran bangunan megah ditengah-tengah mereka namun disisi lain, bandara bukanlah tempat piknik. Mungkin jika belum ada, perlu dibangun anjungan pengantar di salah satu sisi bandara, sehingga bagi mereka yang datang untuk melihat turun-naiknya pesawat bisa mengamati dari sana dan tidak mengganggu ketentraman mereka yang memang kesana untuk bepergian.

Pengalaman kedatangan tersebut sangat kontras dengan keberangkatan di siang hari. Pelataran bandara tidak terlalu ramai, sehingga keseluruhan bangunan dapat dengan mudah dilihat, proses check in yang lancar dengan counter check in yang modern serta ruang tunggu yang mudah dijangkau bersih dan minimalis, ah semoga saja, KNIA akan lebih baik ke depan.




Tuesday, July 16, 2013

Alkisah seorang guru

Masih teringat sepuluh tahun lalu, di kotanya orang Sasak. Seorang pemuda tampan, berbudi berkata:

"Jadikanlah aku muridmu,".
"Aku akan melakukan melakukan perintahmu," ucapnya.

Sekilas ia teringat tentang Rumi dan Shamsi Tabrizi. Lalu perempuan yang dianggap guru tadi menjawab.
"Maaf, aku sendiri sedang belajar, bagaimana aku bisa menjadi guru?"
"Kau jelajahi saja dunia ini, lalu  pilah-pilahlah dengan pikiranmu sendiri".
"Terkadang dalam sunyi akan kau temui jawaban".
"Aku sendiri tak pernah menganggap aku lebih pandai darimu ataupun lebih bodoh", ujarnya.

#catatanperjalanan

Wednesday, July 3, 2013

Film-film Terfavorit Sepanjang Masa

Baru-baru ini seorang teman bertanya, kalau kamu harus pergi mengungsi ke pulau terpencil tetapi masih bisa menonton film dan dibolehkan membawa 3 film, maka apa yang kamu bawa?

Hmmm....ding! dong! Setelah mempertimbangkan berbagai kriteria antara lain, emosi yang dirasakan ketika menonton film, rasa penasaran yang tak putus sepanjang film ditayangkan, kemampuan film membuat penonton mengambil beragam interpretasi, serta yg terpenting "awareness" atau kesadaran baru yang timbul dalam pemikiran aka "the moment of truth" yang didapatkan seusai menyaksikan sebuah film, maka "eng", "ing", "eng", inilah pemenangnya.

1. Roshomon (1950) oleh Akira Kurosawa
 Roshomon bercerita tentang bagaimana sebuah kejadian atau insiden yang sama dipandang dari  tiga sudut yang berbeda oleh orang-orang yang memberi kesaksian. Kesaksian untuk mengungkap kebenaran yang nyatanya terpengaruh dari ego atau kepentingan si pemberi kesaksian itu sendiri. Yang saya sukai dari film ini adalah bagaimana Kurosawa mampu menampilkan berbagai realita dari kejadian yang sama lewat kesaksian-kesaksian tersebut (samurai, bandit, isteri samurai dan penebang kayu) . Dan sebagai perempuan saya menarik kritik dari Kurosawa tentang perempuan dan kesucian perempuan mungkin pada masa itu. Bagaimana isteri sang Samurai yang telah dinodai kesuciannya oleh Tajomaru si bandit, menolak untuk hidup dengan si pemerkosa dan memilih untuk menyelamatkan nyawa sang suami. Suami yang nyawanya ia perjuangkan menolaknya karena kesuciannya yang telah ternoda. Isteri samurai lalu menantang keduanya untuk berkelahi dan mengatakan bahwa keduanya, suaminya dan Tajomaru bukanlah lelaki yang sesungguhnya, karena seorang laki-laki akan berjuang untuk mendapatkan cinta seorang perempuan.

2. Persona (1966) oleh Ingmar Bergman
Fanny dan Alexander adalah titik temu saya denga karya Bergman. Seperti halnya film ini, "Persona" memberi efek yg sama. Yakni interpretasi yang beragam setiap kali saya menonton ulang film ini. Persona berkisah tentang hubungan seorang aktris terkenal, Elisabeth, yang tiba-tiba tidak lagi berbicara sehingga harus dirawat, dengan perawatnya, Alma. Bergman menampilkan tayangan mengenai perang Vietnam, korban holocaust yang tampaknya mempengaruhi aksi diam Elisabet. Disini terjadi pergeseran fungsi, dengan diamnya Elisabet, maka Alma sang perawatlah yang terus berbicara. Sehingga justru Alma menemukan terapi pada Elisabet yang seharusnya ia rawat, dan ia juga mengungkapkan rahasia-rahasia pribadinya.  Persona membawa saya pada kesadaran bagaimana kepribadian kita dipengaruhi oleh orang-orang disekitar kita. Meski setiap orang yakin ia adalah unik dan orisinil tetapi pada akhirnya karakter yang kuat akan mempengaruhi karakter yang lemah sehingga terjadilah "copycat", si peniru tidak bisa lagi membedakan antara dirinya dan apa yang ia tiru.

Dalam film-filmnya Bergman, saya sekilas merasakan pertanyaanya tentang keotentikan, tentang kebebasan dan berpikir independen, tentang asumsi yang patut dipertanyakan akan sesuatu yang dianggap kebenaran mutlak, tentang ketakutan-ketakutan dan kegelisahan kita dalam menjalani hidup.

3. The Wizard of Oz (1939) oleh L. Frank Baum
Film satu ini meskipun berlatar musikal dan banyak di tonton anak-anak, tetap asik ditonton berulang kali. Film yang dibintangi Judy Garland ini berkisah tentang pencarian diri, untuk setiap orang yang mencari jati dirinya, ia tak perlu jauh-jauh, karena sesunggunya ia bisa mencari dari dalam dirinya sendiri.

Thursday, June 13, 2013

Washington DC dan sekitarnya

Homesick, mungkin itulah perasaan yang paling tepat saya rasakan saat ini. Mungkin ini semacam "winter blues" meskipun udara musim dingin di Brisbane tidak terlalu dingin. Winter disini, siangnya masih bisa pake sandal jepit dan baju-baju musim panas, karena udara relatif hangat di seputaran 18C, dan cukup menambah jaket ketika matahari beranjak ke dunia belahan satunya.

Homesick kali ini adalah tentang Washington DC, kota pertama yang saya tempati setelah menikah. Beberapa hari ini, kepala saya mulai membayangkan jalan-jalan di dekat apartemen kami dulu, jalanan yang rapi dengan pohon berjejer di pinggir jalan serta warna-warninya ketika memasuki musim gugur. Derak ranting-ranting kering di hutan kecil di belakang rumah yang dilalui rusa berlarian, serta seekor kelinci kecil yang berdiri di jalan setapak menuju kolam renang yang hanya terlihat pada musim semi dan musim gugur.

Serta ibu-ibu rempong sahabat tersayang, tempat berbagi cerita apa saja di sela-sela acara kumpul-kumpul dan makan-makan yang kami adakan di tempat bergantian. Kumpul-kumpul yang seringkali berasa natal atau lebaran, karena kami merasa seperti saudara sendiri, meskipun latar belakang kami berbeda-beda.

Homesick ini semakin bertambah, ketika salah seorang diantaranya menanyakan informasi jalan-jalan di sekitar Washington DC. Sambil mengetik jawaban di "Whatsapp" mau tak mau saya kembali ke "memory lane" lengkap dengan gambarnya berputar di kepala serasa menonton video :)

Baiklah, bagi yang akan jalan-jalan  ke Washington DC, informasi berikut ini mungkin berguna:



DS Photography
Washington Monument pada musim semi


National Mall dan seputarnya
Kalau kata "Mall" membawa kita ke pusat perbelanjaan besar di Jakarta, tidak demikian halnya   dengan National Mall di DC. Tempat ini lebih mirip alun-alun besar yang dihuni berbagai tempat menarik. Di satu ujung sisinya adalah "the Capitol" yang merupakan tempat bekerja anggota kongres dan senat di Amerika dan tak kalah menarik, dibelakangnya terdapat "Library of Congress" bangunan yg terinspirasi gaya gothic ini merupakan perpustakaan terbesar yang menyimpan begitu banyak koleksi. Disini pengunjung bisa mengikuti walking tour yang diberikan secara gratis dan kita bisa mendapat informasi seputar pembangunan perpustakaan ini. Library of Congress juga memuat penghargaan kepada tokoh-tokoh yang berkontribusi kepada ilmu pengetahuan termasuk kebudayaan Islam yang berjaya di abad pertengahan menjadi jembatan pengetahuan, sehingga tulisan "Islam" tertulis di kubah Library of Congress.

Di kiri dan kanan National Mall berjejer "Smithsonian Museums" 11 dari 19 museumnya berada di National Mall. Dua museum yang menjadi favorit saya adalah National Air and Space Museum dan Museum of American Indian. Di museum yang pertama saya menyaksikan berbagai macam benda yang dipergunakan dalam mengarungi antariksa termasuk kendaraan yang digunakan Neil Amstrong menjelajah bulan, sementara di museum yg kedua, saya belajar banyak mengenai tata cara kehidupan masyarakat Indian, dan tak lupa di lantai dasar terdapat restoran yang menyajikan makanan lezat ala penduduk asli Amerika.

Di tengahnya terdapat "Washington Monumen" yang berdiri menjulang ke angkasa, monumen yang dibangun untuk mengenang presiden pertama Amerika Jenderal George Washington, tak jauh dari monumen itu di seputar tidal basin yang di penuhi bunga sakura yang mekar di musim semi terdapat "Jefferson Memorial" untuk mengenang presiden Thomas Jefferson. Dari sini pengunjung juga bisa menuju " White House" tempat kediaman presiden Amerika.

Di ujung satunya, terdapat Lincoln Memorial, monumen yang memuat patung raksasa Presiden Lincoln yang sedang duduk dengan wajah pemikirnya. Tempat ini sering digunakan sebagai tempat malakukan orasi, Marthin Luther King yang monumennya baru saja dibangun tak jauh dari tempat ini pernah berorasi disini serta Hervey Milk, tokoh politisi pertama di Amerika yang secara terbuka mengaku sebagai gay.

Di taman-taman menuju Lincoln Memorial terdapat makam-makam tentara yang gugur dalam Perang Dunia dan perang Vietnam.

Seorang kenalan saya, perempuan asal Philipina mengatakan, ketika ia rindu akan kampung halamannya maka ia akan pergi ke Lincoln Memorial sambil memandang "reflecting pool" yang merefleksikan Washington Monumen. Tempat itu menjadi "sanctuary" baginya untuk mengobati kerinduan akan negara asal.

Rock Creek Park dan National Zoo
Rock Creek Park dengan beach roadnya yang mempesona dibelah oleh sungai kecil, tempat ini bisa di akses dari Cleveland Park Metro maupun Woodley-zoo park metro, taman ini asik buat tempat piknik maupun sekedar berjalan kaki maupun jogging, salah satu treknya melewati bagian belakang kebun binatang "National Zoo" yang menjadi rumah bagi berbagai macam hewan salah satunya adalah macan tutul Jawa. Penghuni lainnya adalah keluarga panda, beruang merah, orang utan, simpanse serta seekor kuda Nil yang tak berhenti mengejar bola di kolam buatan dekat kandangnya.

United States Botanical Garden

Botanical Garden yang berupa bangunan ini, memuat koleksi tanaman, letaknya tak terlalu jauh dari the Capitol serta tempat saya dulu bekerja. Kunjungan ke tempat ini tak boleh di lewatkan terutama kalau sedang berada di DC pada musim semi.

Historical "George Town"
Tak terhitung berapa kali saya mengunjungi tempat ini, dan belum pernah merasa bosan. Dengan bangunan warna-warni berderet yang dipenuhi toko-toko fashion serta restoran termasuk DC Cupcake yang terkenal itu, tempat ini cocok buat pejalan kaki. Di belakang jalan utamanya terdapat kanal yang dulu digunakan sebagai mode transportasi utama di wilayah ini. George Town juga merupakan rumah bagi George Town university dengan bangunan lama serta towernya yang indah menjulang terlihat dari George Washington Memorial Parkway.

Dupont Circle dan Adams Morgan
Dupont Circle dengan embassy row-nya yang juga menjadi rumah bagi Wisma Indonesia, kedutaan Indonesia di Amerika. Tempat yang juga menjadi tempat nongkrong di kafe dan restoran bersama teman-teman dan merupakan gay capital-nya DC. Adams Morgan tidak terlalu jauh jaraknya dari sini. Adams Morgan memiliki berbagai etnik restoran serta pub-pub yang ramai didatangi anak muda dan metro selalu kosong meninggalkan stasiun ini pada akhir pekan.

Kalau waktunya memungkinkan, ada baiknya pengunjung menyewa kendaraan dan melanjutkan perjalanan ke Gettysburg untuk melihat sejarah perang sipil di Amerika, Mount Vernon yang menjadi kediaman presiden George Washington di tepi sungai Potomac serta Monticello yang menjadi kediaman presiden Thomas Jefferson tentunya sambil piknik di taman rumput yang ada disana.





Wednesday, May 8, 2013

Pantaskah perang (agresi) dirayakan?

Tanggal 25 April yang lalu Australia merayakan Anzac day. Hari bersejarah dimana pasukan Australia dan New Zealand dibawah komando "British Empire" dan sekutunya melakukan pendaratan di Gallipoli, Turki yang dikuasai dinasti Ottoman.

Dari berbagai sumber yang saya baca, Anzac day ini merupakan momen berkabung bagi 7,594 tentara Australia yang tewas dalam perang tersebut termasuk 20.000 lainnya terluka. Dan secara total sekitar 100.000 prajurit dari kedua belah pihak tewas.

Sementara banyak juga yang menganggap peristiwa Galipolli sebagai momen yang melahirkan kesadaran berbangsa bagi Australia sendiri terutama dengan konsep "ANzac Legends" yang mewakili karakter yang diusung para prajurit Anzacs yang kemudian dianggap sebagai karakter nasional bagi kedua negara, antara lain: ketahanan, keberanian, kecerdikan, humor yang baik, persahabatan. Yang pada akhirnya menjadikan kedua negara sebagai negara yang berdaulat dan mengatur pemerintahan sendiri.

Mungkin sulit bagi orang luar seperti saya untuk memahami mengapa hari yang menandai agresi sekelompok negara ke negara lainnya yang menewaskan begitu banyak orang patut dirayakan dan (mungkin) dibanggakan? Sama sulitnya memahami berbagai perang yang terjadi saat ini, yang menewaskan begitu banyak warga sipil tak berdosa dengan alasan-alasan yang tidak terbukti seperti penyerangan ke Irak untuk mencegah senjata pemusnah massal yang sampai saat ini tidak terbukti keberadaannya.

Mungkin pantas bila yang dirayakan adalah kemenangan melawan agresor, tetapi jika suatu bangsa menginvasi bangsa lain yang berada sangat jauh letaknya dan tidak melakukan apapun terhadap bangsa penyerang ini, dimana logika yang membenarkan keterlibatan dalam perang ini berasal?

Ah, seandainya setiap bangsa yang terlibat dalam peperangan semacam ini, setidaknya mempertanyakan mengapa mereka terlibat dalam peperangan di negeri yang jauh?
mengapa anak-anak harus kehilangan ayah dan ibu mereka dan orang tua kehilangan putra-putri mereka?
dan mengapa terlibat dalam perang yang membawa kerusakan mental bagi mereka yang terjun di dalamnya kelak setelah perang berakhir seperti yang banyak dialami veteran perang di Amerika?
Seandainya saja mereka tidak hanya sekedar ikut karena negara mitranya meminta mereka membantu peperangan yang sama sekali tidak mengancam kedaulatan negaranya mungkin mimpi-mimpi perdamaian semakin nyata.



Thursday, April 11, 2013

Rasisisme di Australia

Pagi-pagi membuka jaringan TV ABC, 12/4/13 di layar tampak video yang menayangkan seorang wanita kulit putih yg berteriak di dalam bus, tepatnya kepada lelaki berkulit gelap di dekatnya. Salah satu kalimat  yang agak jelas adalah bahwa kakeknya yang turut serta dalam perang dunia ke-2, lebih lanjut ia mengatakan  yg di perjuangkan orang Australia asli, (original Australian) untuk menendang orang berkulit gelap keluar dari Australia.

Tindakan yang berbau rasis di dalam kendaraan umum bukanlah hal yang baru tampaknya di benua ini. Masih jelas dalam ingatan, serangan yang ditujukan kepada mahasiswa asal India dari periode 2009-2010 yang lalu yang menuai banyak kecaman di media massa.

Ternyata aksi-aksi individual ini tidak berhenti begitu saja, awal tahun ini tepatnya bulan February 2013, presenter televisi ABC Jeremy Fernandez yg mengantar anaknya ke sekolah juga mendapat serangan berbau rasis di bus yg mereka tumpangi. Dan malangnya ketika ia melapor kepada supir bus, ia malah disalahkan karena tidak pindah tempat duduk.

Sebelumnya turis asal Perancis juga mendapat perlakuan sama diatas bus yang mereka tumpangi, di Melbourne pada November 2012 lalu. Dipicu oleh nyanyian yang dilantunkan perempuan tersebut dalam bahasa Perancis, salah seorang pelaku mengatakan kepadanya untuk "menggunakan bahasa Inggris atau mati!". Disusul kejadian yang menimpa turis asal Korea di bus yang mereka tumpangi di Sydney awal April 2013. Pelaku yang mungkin menyangka korban adalah warga Jepang mengungkit soal serangan Jepang ke Australia dalam Perang Dunia ke-2.

Dalam serangan-serangan sebelumnya yang terasa mengenaskan adalah, tidak seorangpun penumpang lainnya yang berani menengahi situasi yang menimpa korban, semuanya diam membisu seperti tak terjadi apa-apa. Salah seorang warga keturunan Asia yang mencoba mengintervensi insiden yang menimpa turis Korea mengatakan tak ada penumpang lainnya yang mencoba membantunya mengatasi insiden tersebut.

Namun, setidaknya dalam insiden yang terjadi tadi pagi, penumpang lainnya turut ambil bagian dan meminta pelaku untuk diam. Hal yang sebelumnya tidak tercatat dilakukan penumpang lain yang menyaksikan serangan-serangan verbal berbau rasis ini.

Tampaknya rasisme akan terus muncul dan menjadi tantangan di negara yang menganut paham multikulturalisme ini. Seiring dengan menguatnya perekonomian China, India dan negara-negara non barat lainnya dan potensi keuntungan yang bisa diraup Australia lewat kunjungan wisata maupun mahasiswa internasional yang belajar disini, mau tak mau Australia harus lebih serius dalam menanggapi insiden seperti ini dan sejauh ini memang itu yang ditunjukkan aparat kepolisian yang cepat tanggap dalam menangani kasus-kasus seperti ini.






Sunday, March 3, 2013

1/365 it's rejuvinating! Sehari bersama sahabat


Rejuvenating! Kata yang paling tepat untuk mengekspresikan rasa yang muncul setelah bertemu beberapa sahabat setelah tak bertemu setahun dan bahkan bertahun-tahun.

Ketika terbang dari Copenhagen musim dingin yang lalu, ada rasa sedih yang muncul. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, pulang berarti menuju ke barat, tetapi kali ini pulang menuju timur dan selanjutnya ke selatan, ke benua yang baru. Barat aka Maryland dan DC, mau tak mau akan menjadi bagian dari kenangan.

Terus terang, setelah menginjak usia dewasa, tak mudah menemukan sahabat baru, yang klop, yang apa adanya, yang membuat kita bersama-sama, menjadi diri sendiri, terbuka, saling mendukung dan mendengarkan, melakukan aktivitas bersama dan memetik kebahagiaan yang tercipta detik demi detik yang dilalui tentunya melalui momen-momen yang menghimpit dada saat terjadi dan ditertawakan ketika sudah berlalu.

Bagi saya, memiliki sahabat bukan berarti kita selalu memiliki pandangan yang sama terhadap berbagai hal, atau menyetujui segala sesuatu yang disetujui sahabat kita. Justru dengannya, kita bebas mengutarakan pendapat kita tanpa takut dihakimi, tidak menjadi orang lain untuk sekedar diterima olehnya, bahkan boleh jadi kita tetap berteman dengan orang-orang yang berkonflik dengan sahabat kita. Yang terakhir terdengar kurang alami, bagaimana mungkin kita berteman atau menjaga hubungan baik dengan orang yang berkonflik dengan sahabat kita? Tentu saja dengan menjaga integritas kita, independensi/ ketidak-berpihakan dan tentunya dengan tidak menjadi pembawa pesan terutama yang bernada negatif mengenai keduanya. Dan yang pasti, dengan sahabat terkadang ada hal-hal yang lebih baik kita simpan dan tak perlu menanyakan lebih jauh.

Tak jarang, persahabatan yang telah dibangun bertahun-tahun tergelincir seiring dengan waktu. Boleh jadi hubungan kita renggang karena ada hal-hal yang sangat prinsip yang tidak dapat di jembatani maupun di tolerir, atau dalam pengalaman saya, ketika bertemu lagi, saya tidak lagi mengenali mereka seperti yang selama ini saya tahu.

Ya, orang pasti berubah, tak terkecuali diri sendiri. Tetapi ketika menyadari ketika menghabiskan waktu bersama, satu hari dalam 365 hari tersebut  tidak memberi rasa nyaman, terasa asing, topik yang dibicarakan tidak lagi personal, terlalu banyak dibubuhi misteri yang meninggalkan banyak pertanyaan dan wajah-wajah terasa seperti topeng, dan tak jarang saya tiba-tiba berhadapan dengan "VVIP", yang sibuk mengutak atik gadget terakhir dalam beberapa jam tersebut, diselingi sesi-sesi pengambilan potret dengan senyum "template" saya lantas bertanya dalam hati, mengapa saya membuang waktu berharga ini, dan menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dengan keluarga dan sahabat lainnya, dimana dengan secangkir kopi atau teh, kita berbicara tentang hidup, tentang hal-hal yang tak sempat dibagi dalam 365 hari kita, tentang kelucuan tingkah ponakan yang baru hadir, tentang tukang ojek, tentang lelucon-lelucon masa lalu yang turut terbawa ke sekarang, tentang ruwetnya merawat orang tua yang memasuki usia lanjut, tentang harapan-harapan kita akan masa depan?

Terakhir, bersahabat seperti hal lainnya juga berarti kita "membatasi harapan-harapan kita akan mereka" dengan "me-manage expectation" kita tidak melulu mengharapkan mereka hadir sebagai penolong setiap saat. Dengan tidak berharap banyak, maka kita tak perlu kecewa.


(Bali, Jakarta, 2013-muchas gracias)





Sunday, January 20, 2013

Balada Nasi Padang dan Tempat yang tak terkunjungi

Tak mudah hidup jauh dari keluarga, apalagi memiliki orang tua yang mulai di dera berbagai penyakit. Terkadang mendapat miscall dari "unkonwn number" abroad atau dari nomor telepon tak dikenal dengan kode Indonesia bisa membuat "sport jantung", kaki lemas maupun deg-deg-an tak karuan.

Terlebih lagi bila orang tua kita tinggal seorang. Meski tak jarang banyak juga cerita-cerita lucu yang membuat gemes sekaligus mengundang tawa. Baru-baru ini si kakak yang menjaga mama di seberang lautan ngedumel kalau anak asuhnya alias si mama susah diatur makannya. Padahal beberapa kali dokter sudah mengingatkan, dia harus mulai menjaga apa yg dimakan termasuk porsi yang dimakan, mengingat beberapa tahun terakhir diabetes mulai menggerogoti.

Alih-alih menjaga makanan sendiri, si kakak kadang suka di perlakukan sebagai mandor yg mengawasi gerak-geriknya. Ada kalanya beliau tak mau makan karena makanan tidak berasa, beginilah nasib, lahir dan dibesarkan di Padang yang terkenal dengan masakan penuh bumbu menggugah selera. Di lain hari, beliau ngumpet dan beralasan jalan pagi dan tak berapa lama pemilik warung dekat rumah memberi laporan bahwa seporsi penuh lontong sayur mengisi perutnya beberapa hari ini, sehingga bubur gandum yang sudah disiapkan di rumah hanya dicicipi sedikit saja.

Akhirnya si kakak mengalah, daripada sembunyi-sembunyi makan diluar dan kita tidak tahu apa yg dimakannya, akhirnya di buat masakan ala Padang dengan porsi yang di kontrol dan bumbu yang sedikit di modifikasi. Fanatisme terhadap masakan Padang ini tampaknya sangat kental pada si mama.

Tahun lalu, saya mengajaknya jalan-jalan. Ketika ditanya mau kemana, dia menjawab "Singapura". Wah, bagus juga dalam hati saya, kenapa tidak Bali atau Jogja?". Katanya biar bisa melihat negara lain. Sudah lama dia memendam keinginan ke Singapura yang cukup dekat dari Medan, tempat ia tinggal meski ia sering pergi ke Penang dan KL, tempat ia berobat beberapa tahun terakhir ini.

Demikianlah akhirnya kami bertemu di Singapura. Di sepanjang perjalanan di taksi, ia melihat keluar, ke jalan, ke gedung-gedung perkantoran dan apartemen yang menjulang tinggi. Tak ada macet ya disini? tidak seperti Medan dan Jakarta, katanya. Tampaknya ia sangat menikmati Singapura, melihat betapa transportasi lancar, kotanya bersih, banyak taman kecil dimana-mana serta bunga-bunga bermekaran di sepanjang jalan.

Hingga, tibalah saat makan. Di hotel dekat kami tinggal terdapat banyak restoran India. Setelah kami duduk dan mulai makan, ia bertanya," tak ada ya masakan Padang?". Ya, mungkin ada tapi tidak di dekat sini, ujar saya. Karena kita baru sampai ya kita makan disini saja dulu. Ia terdiam, dan makan sedikit saja. Sementara si kakak mulai tersenyum-senyum.

Begitulah, setelah hari itu, mau tak mau kami harus mencari restoran Padang untuk sekedar makan. Dari restoran kecil di salah satu food court di Orchard Road, hingga bolak-balik  dari Little India, dimana kami tinggal ke restoran Garuda di Vivo City.

Baru-baru ini, saya menelepon beliau dan bertanya apa ia mau jalan-jalan lagi. "Maunya kemana?" tanya saya. Ke Vietnam!" dia menjawab dengan antusias, "atau Kamboja". Yang terakhir ini masuk dalam lists negara yang ingin saya kunjungi. Hmmm...tak berapa lama saya menyahut, tapi kalau nanti disana tidak ada Nasi Padang bagaimana?". Tak ada jawaban di seberang sana. " Ya, sudah, pikir-pikir dulu aja," jawab saya. Nanti di telpon lagi.

Ketika ditelpon lagi, jawabnya? , "ya sudah kemana saja deh yang penting ada nasi Padangnya."Gubrak!!!

Semoga ini tak dialami keluarga asal Padang lainnya :)