Friday, December 28, 2012

Religi, tradisi dan bencana

Belum lama hilang dari ingatan kita tentang dahsyatnya tsunami tahun 2004 yang lalu. Yang menewaskan ratusan ribu orang di beberapa negara dan setengah dari jumlah tersebut berasal dari Indonesia.

Kali ini saya tidak sedang berbicara tentang bencana alam serta penanggulangannya. Tetapi lebih kepada bagaimana kita memandang bencana tersebut. Mengapa pandangan ini penting? Karena pola pandang kita akan mempengaruhi reaksi kita terhadap bencana alam yang terjadi.

# Bencana merupakan hukuman Tuhan.
Karena bencana dianggap merupakan hukuman dari Tuhan maka serta merta penduduk yang tertimpa bencana diasumsikan telah berbuat dosa sehingga bencana tersebut merupakan peringatan bagi mereka untuk kembali ke jalan Tuhan. Sudut pandang ini kerap ditemui dari kelompok religious yg konservatif, misalnya saat terjadi badai Katrina di Amerika Rev Pat Robertson, Hal Lindsey dan Charles Colson mengkaitkan badai Katrina dengan berbagai isu seperti legalisasi aborsi, peneguhan Amerika untuk memenangkan perang terhadap teror dsb ( http://mediamatters.org/research/200509130004). Demikian juga dengan kejadian tsunami yang menimpa Indonesia beberapa waktu lalu, berbagai kalangan berasumsi bahwa bencana yg datang bertubi-tubi merupakan hukuman dari Tuhan.

# Bencana merupakan peristiwa alamiah
Dengan semakin majunya sains dan ilmu pengetahuan, beberapa bencana alam dan fenomenanya dapat dipantau dan diperkirakan. Di Amerika misalnya, FEMA (Federal Emergency Management Agency), salah satu lembaga pemerintah yang cepat tanggap dalam mengantisipasi bencana. Salah satu tugasnya memperkirakan resiko bencana serta taksiran biaya kerugian yang ditimbulkan bencana. Lembaga ini menganalisa informasi seputar bencana baik gempa bumi, banjir, badai dan sebagainya serta mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menimalkan dampak yang ditimbulkan. Antara lain menetapkan standar bangunan, mengusulkan ruang resapan air, dsb. FEMA juga bertanggung jawab dalam melakukan penanggulangan bencana.

# Bencana merupakan peristiwa alamiah yang bisa memicu bencana yang lebih besar akibat campur tangan manusia atau teknologi yang dihasilkan manusia.
Bencana gempa bumi yang terjadi di Jepang tahun lalu disertai dengan rusaknya fasilitas nuklir merupakan perpaduan antara bencana alam dan bencana yang ditimbulkan dari teknologi. Gempa dengan skala besar yang memicu tsunami dan menewaskan ribuan orang, di perparah lagi dengan krisis nuklir dan radiasi yang ditimbulkannya.

Pandangan terhadab bencana vs respons terhadap bencana.
Pandangan terhadap bencana berhubungan dengan bagaimana kita merespon bencana tersebut. Di Jepang misalnya, orang-orang dididik sedemikian rupa bahwa negara mereka terletak di daerah rawan gempa, sehingga mereka terlatih bagaimana menghadapi gempa, apa yg dilakukan ketika gempa maupun tsunami terjadi, tidak hanya itu mereka juga menerapkan standar bangunan yang aman dan secara teori mampu menahan gempa hingga dalam skala tertentu.

Di Amerika, begitu memasuki musim panas maka badai akan datang bertubi-tubi, sementara musim dingin membawa badai salju. Dari badai Katrina yang memporakporandakan New Orleans, badai Irene yang menutup jalur penerbangan di pantai Timur hingga badai Sandy baru-baru ini. Begitu siaganya mereka sehingga berita tentang badai tersebut selalu muncul di saluran televisi, baik ketika badai muncul di Karibia, hingga mencapai Florida serta terus naik menuju Virginia, dan New York. Berita ini disertai analisa dimana badai tersebut akan terhempas di daratan sehingga kekuatannya berkurang. Dan beberapa hari sebelumnya sudah diumumkan kalau jadwal penerbangan akan terganggu, dan maskapai penerbangan pun bersiap-siap mengatur ulang jadwal penumpang yang akan terbang.

Tahun 2011 lalu, gempa melanda Washington DC. Peristiwa yang sangat jarang terjadi, gempa berskala 5.8 skala Richter tersebut berpusat di Virginia, cukup mengejutkan banyak pihak. Tetapi yang lebih mencengangkan adalah bagaimana mereka merespon bencana tersebut. Kantor-kantor segera dikosongkan, para pekerja tumpah ke jalan, selanjutnya gedung dinilai kerusakan dan bahayanya, setelah tim penilai menyatakan gedung tersebut aman barulah orang-orang boleh kembali bekerja. Demikian juga dengan kereta bawah tanah, kereta yang biasanya berjalan cepat terasa sangat lamban karena meskipun telah dinilai aman, penilaian lanjutan terus dilakukan dengan hati-hati. Dan yang terpenting lagi tidak ada korban jiwa dari gempa tersebut.

Pandangan terhadap bencana sebagai fenomena alam tersebut membuat kedua negara lebih tanggap dalam menghadapi bencana. Bukan berarti bahwa dengan perencanaan yang matang, tidak akan ada korban, tetapi lebih banyak lagi yang bisa diselamatkan dengan analisa berkelanjutan dan perencanaan tersebut.






Wednesday, December 5, 2012

Perjalanan ke Flores 7: Taman Nasional Rinca dan Komodo


Hari ini,  hari terakhir kami di Flores dan Labuhan Bajo, pagi-pagi sekali Amsterdam,mobil yang kami sewa,  menjemput kami untuk belanja snack dan minuman sebelum bertolak ke P. Rinca dan P. Komodo. Jam sepuluh pagi kapal kecil yang kami tumpangi bergerak meninggalkan Labuhan Bajo  menuju Pulau Rinca. Saatnya mengucapkan terima kasih kepada pak supir dan Amsterdam yang telah mengantarkan kami beberapa hari ini.

Dalam perjalanan selanjutnya, ke taman nasional Rinca dan Komodo dan selanjutnya berlayar ke Lombok, kami kedatangan dua anggota baru, sepasang orang Perancis, sehingga total ada empat orang Perancis dalam kelompok kami. Kalau teman jalan kami adalah sepasang Perancis akademisi yang malu-malu dan suka senyum kalau yang dua ini sangat senang berbicara dan terlihat percaya diri. Dalam perjalanan menuju Taman Nasional, awak kapal mengantarkan kami snorkeling di sebuah pulau kecil dengan pantainya yang berwarna kemerahan.

Segera saja semuanya terjun ke laut berenang dan ber-snorkeling sepuas-puasnya. Tak jarang,  kami yg sedang asik ger-snorkelling  terkaget-kaget merasakan gigitan ikan-ikan kecil yg berenang di dekat kami. Ternyata ukuran besar bukan berarti menjadi jaminan keselamatan, ha ha.

Pantai merah diselimuti pasir putih yang bercampur dengan butir pasir merah yang berasal dari pecahan koral berwarna merah yang banyak terdapat disana. Kami berenang cukup jauh menuju pantai karena awak kapal tidak mau membuang jangkar terlalu dangkal dan merusak koral, kesadaran yang cukup mendalam bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dari parawisata bahari ini. (Bagi teman-teman yang kurang mahir berenang ada baiknya membawa pelampung ketika turun dari kapal mengingat jaraknya yang cukup jauh ke pantai.)

Koralnya sendiri sangat indah, membentuk bunga-bunga yang berwarna-warni dan bahkan beberapa titik didominasi warna hijau dan merah, dan tentunya banyak sekali ikan yg berenang dengan berbagai ukuran. Keindahan ini mengingatkan saya ketika  ber-snorkelling di Gili Nanggu di Lombok beberapa waktu lalu. Ada perasaan takjub yang luar biasa saat menikmati keindahan karang dan berenang bersama ikan-ikan, seolah-olah kita menjadi bagian dari habitat disekitar pantai tersebut.

Naik kembali ke kapal dan berlayar meninggalkan pantai merah menjelang senja,  makan malam sudah menunggu, hmm,.. menu ikan bakar segera ludes dalam sekejap. Malam itu kami menginap diatas kapal yang berhenti di balik pulau kelelawar untuk melanjutkan perjalanan esok harinya.



DS Photography
Jembatan panjang dari sandaran kapal

Pagi-pagi sekali, pelayaran dilanjutkan dan kami menginjakkan kaki di Pulau Rinca. Jembatan kayu panjang menjadi tempat sandaran dan pintu utama memasuki kawasan Taman Nasional Komodo. Setelah membeli karcis masuk kami dikawal oleh ranger setempat mulai berjalan kaki di seputar taman nasional, melewati sarang komodo berupa timbunan tanah dan dedaunan yang menjadi tempat komodo ngadem, melihat bayi komodo dipucuk pohon, serta bertemu dua ekor kerbau liar, rusa dan akhirnya sampai di atas bukit dengan pemandangan yang "ruarrr biasa"


Mejeng sejenak di Pulau Komodo
Selanjutnya kami berlayar  menuju ke Pulau Komodo dan di kejauhan terlihat Kampung Komodo "yang terletak memanjang ditepi pantai". Memasuki gerbang Pulau Komodo, kami disambut tiga ekor komodo remaja, kami yang sedikit was-was, satu persatu memanjat gapura,..kayanya semuanya pada takut kalo sampe digigit oleh si Komo, ditempat ini banyak komodo berjalan-jalan disekitar rumah-rumah yang menjadi bagian dari Komodo Nasional Park. Berbeda dengan Rinca yang hanya ada satu ekor komodo yang kami lihat dari jauh di jembatan menuju Rinca.

Setelah puas berjalan kaki mengitari kawasan di dekat pos penjaga dan sedikit mengeksplorasi kawasan di sekitarnya, kami naik lagi ke kapal dan perlahan lahan bergerak menuju laut Sumbawa.

DS Photography
Komodo remaja menyambut kami di Pulau Komodo


Kapal kami terus bergerak menantang ombak  melewati Pulau Sangiang dan "somewhere in the ocean" menjelang malam, sang kapitan menanyakan apa kita mau mandi, yang tentu saja kami sambut dengan gembira,..ia lalu mengurangi kecepatan dan mengarahkan kapal pada sebuah area yang penuh koral dan lebih dangkal, gelombang membentuk riak-riak kecil seperti lingkaran dengan warna hijau turqoise didalam lingkarannya. Sepertinya acara mandi sore itu tidak bisa singkat,  Pak Kapitan telah meneriaki kita untuk segera naik tapi tak ada satupun yang mau beranjak sehingga mau tak mau dia menyalakan mesin kapal dan berpura-pura me ninggalkan kita, akhirnya dengan berat hati semuanya naik kembali ke kapal menuju pulau Satonda.

Pagi harinya saya bangun pagi-pagi dan "luckily" melihat sepasang lumba-lumba yang berenang berputar dalam harmoni, sayang yang lain belum pada bangun, tak berapa lama  kita sampai di Satonda. Pulau ini memiliki danau air tawar ditengah-tengahnya, pemandangannya cukup bagus, dan ada jalan setapak mendaki menuju danau, terdapat pura kecil yang digunakan umat Hindu bersembahyang, setelah berenang dilautan sepertinya minat untuk berenang di danau drastis berkurang.

Kru kapal menurunkan sampan kecil dan mengantar kami ke pantai Satonda, sekilas Satonda terlihat seperti sebuah bukit, kami mendaki menuju puncaknya lalu berjalan turun menuju danau, di jalan kami berpapasan dengan beberapa orang, diantaranya perempuan memakai kebaya, persis seperti perempuan-perempuan Bali yang pergi bersembahyang. Ketika kembali ke kapal, tak seorangpun tampaknya tertarik menaiki sampan, kami menceburkan diri ke pantai dan berenang ke kapal,  hanya kamera-kamera kami yang naik sampan.

Kapal terus berlayar dilaut Sumbawa yang tidak ada ramah-ramahnya, ditengah laut kami diombang-ambingkan ombak, terkadang sedikit bergidik melihat langit yang dipenuhi awan gelap, untungnya penumpangnya lumayan kuat, buktinya tak ada seorangpun yang sampai mabuk berat,  puyeng sedikit iya, kita menghabiskan hari dengan berjemur, ngobrol, main kartu dan membaca buku.

DS Photography
Kapal-kapal yang mengantarkan pengunjung ke Taman Nasional Komodo.


Sang kapitan menunjuk kearah pulau Medang, tempat asal kapal yang kami tumpangi. Mereka seluruhnya berasal dari pulau yang terletak di laut Sumbawa ini. 

Malam terakhir di kapal, kami menghabiskan waktu dengan "telling the story of ourselves" apa aja termasuk yang malu-maluin, and "everyone seemed to enjoy it". Dari kejauhan terlihat lampu-lampu berkerlap-kerlip dari daratan Sumbawa yang tak terlihat karena tertutup malam pekat.

Keesokan harinya kapal merapat di Pulau Moyo, disini kami berjalan kaki meninggalkan pantai menuju sungai dan air terjun. Hmm...lumayan asik seger-segeran di air tawar, setelah beberapa hari ini, kami hanya bersinggungan dengar air asin. Segera saja kami berloncatan dari tebing disekitar air terjun, dan berpuas-puas berenang di lubuk sungai itu, namun, kesegaran air tawar pulau Moyo jadi tak bersisa, begitu kami kembali berenang menuju kapal meninggalkan Pantai Moyo.

Sore harinya, kapal kami akhirnya sampai di Labuan, Lombok, akhirnya "4 days 3 night trips of being anak buah kapal" pun berakhir. Ada rasa yang campur aduk antara sedih dan gembira, ketika mengucapkan perpisahan, mengingat pengalaman beberapa hari belakangan ini menciptakan semacam ikatan diantara kami. Beberapa teman melanjutkan "adventure" mereka mendaki Rinjani, lainnya menuju Gili-gili di Lombok.

Sementara kami bertiga akan menginap semalam di Mataram, "the city where I used to live for 2 years", puas-puasin makan ayam taliwang di resto 2M di Cakranegara, selanjutnya kami terbang dan menghabiskan satu hari lagi di Bali sebelum bertolak ke Jakarta.


DS Photography
Kapal  kami beserta kru-nya, muchas gracias!

"Thanks to the boat crews" atas keramahan dan pelayanan yang sangat baik!! Dalam hati saya "make a wish" semoga suatu saat bisa kembali lagi ke Flores, menikmati keindahannya dan mengalami perjalanan yang berbeda, mungkin "overland" dari Flores, melewati daratan Sumbawa melintas ke Lombok dan bermalas-malasan di Gili Meno atau Gili Nanggu, pulau favorit saya (amin).

Ps: Bagi teman-teman yg ingin mencari tahu ttg wisata Flores bisa dilihat disini : www.floresexplore.com


Perjalanan ke Flores 6: Labuhan Bajo

Sore menjelang malam, Amsterdam merayap memasuki Labuhan Bajo. kota yang terletak di ujung barat Flores ini merupakan kota terakhir yang kami kunjungi sebelum kembali ke Bali.

Amsterdam mengarah ke Hilltop hotel namun sayangnya hotel ini penuh, ternyata tidak mudah mencari penginapan disini apalagi saat "weekend" dan "high season", akhirnya kami menemukan losmen yang bisa menampung kami berenam, ada dua kamar, satu berukuran kecil dan satu kamar berukuran cukup besar dengan kamar mandi yang lumayan bersih dan besar. 

Satu kamar yang lebih kecil bagi teman Perancis kami sementara Uli, Kara, Jamie dan saya berada di kamar yang lebih besar. Yaa..kasian juga Jamie daripada ga dapat kamar, Uli menawarkan untuk "share" dengan kami bertiga dengan tambahan extra bed tentunya..."a bit akward, eyes code exchanging" beberapa detik antara saya dan Kara tapi sudahlah..kasian juga kalo dia mesti nginep di bawah langit tanpa atap.

Amsterdam "driver" menawarkan mengantar kami ke gua cermin keesokan harinya, lumayanlah kami diberikan layanan ekstra meskipun kami telah tiba di tempat tujuan. Pagi-pagi kami menuju gua dan satu-satu berjalan hati-hati memasuki gua dan menikmati stalaktit dan stalagmit, didinding gua terdapat goresan seperti ikan dan kura-kura, tampaknya pada satu masa dulu, gua ini merupakan bagian dari lautan.

Menjelang siang perut mulai lapar dan kami memutuskan makan siang di Kafe Paradise alias kafe surga, nama yang sangat cocok untuk tempat dengan pemandangan seindah ini. Kafe ini terletak dibelakang hotel Gardena. Begitu duduk dan memandang kearah laut...pffhhhh!!! "what a wonderful view" a truly paradise!!!...it sooooooo...beautiful kayanya ga mau beranjak dari tempat ini, meskipun makan siang sudah berlalu beberapa jam..


DS Photography
Pemandangan dari Kafe Paradis, Labuhan Bajo
Berjalan menyusuri port of Labuhan Bajo, Kara dan saya duduk di pinggiran laut dan menikmati senja temaram jatuh dipelabuhan. Kapal-kapal kecil mulai bersinar dan cahaya lampunya jatuh di deburan ombak, dengan cahaya matahari pasca tenggelam meninggalkan semburat ungu dan oranye dilangit. "It is a blessing to be here at this particular moment,...".

Entah karena suasananya tak terasa pembicaraan mengarah ke hal-hal pribadi, keluarga dan tiba-tiba kita terkenang akan "our late fathers, how things were and so on..and so..on"...dan gak tahu kenapa setiap kali membicarakan ini entah sekali ataupun ribuan kali tak terasa mata terasa hangat dengan pelupuk yang siap menumpahkan air yang sedang dibendungnya. "Whereever you are, you will always and always live with us, as long as we keep you in our memory"



Labuhan Bajo Port Menjelang Malam

Akhirnya last dinner di Labuhan Bajo,..beberapa guide lokal menawarkan tur ke Rinca dan Komodo, hmmm...sudah sampai sini...dan komodo hanya disebrang sana dibelantara pulau-pulau yang sedang tertutup kabut,..pilihan lain adalah menuju komodo dengan "Perama boat" yang malam ini langsung berangkat,..tapi..kita terlalu capek lagipula tiket pesawatTigana air ke Denpasar sudah ditangan. Hmmm...rasa bimbang mulai menyerang...

Akhirnya setelah bercas-cis-cus dengan tiga teman seperjalanan kulit putih lainnya kita memutuskan menyewa boat ke Pulau Komodo dan Rinca dan bukan itu saja, "the same boat will deliver us on "a three night four days" from Lombok to Labuhan Bajo, how exciting!!! dengan harga yang hanya sejeti perkepala dan tambahan dua orang lagi selain kami untuk membuat pelayaran ini "possible".

Setelah segala macam perundingan dilakukan kita menyempatkan diri melihat boat yang akan menjadi rumah kita beberapa hari kedepan. Saya mulai menyanyakan sistem navigasi dan radio kalau-kalau ada hal-hal yang terjadi di tengah laut.

Sang kapten dengan senyum bijaksana berkata "kita orang Bajo" dari dulu sudah melayari rute ini, mudah-mudahan aman,..hikss...ada rasa ngeri terlintas dan sedikit "eyes code exchanging" terjadi,..lalu dua temen saya mulai berteriak aduhh Muuum!!..hiks..hiks..pertanyaannya malah buat kita kuatir,..

Ya beginilah,..padahal usia kita bertiga ga jauh-jauh amat dan saya bukan yang paling banyak umurnya tetapi karena berbagai pertimbangan they called me "step Mum" yang masih berlaku sampai sekarang.

Well akhirnya keputusan sudah dibuat besok pagi kita akan berlayar menuju Lombok dan singgah di Pulau Rinca dan Pulau Komodo dengan kapal tanpa alat navigasi. Malam itu semuanya pergi tidur dan sebelumnya mengirim email, sms, kepada orang-orang tersayang, kalau dalam empat hari tidak ada pesan dari kita silahkan menghubungi tim SAR terdekat hehe...dan yang pasti, doakan agar kami selamat :)

Salah satu kapal yg sangat canggih dibandingkan kapal yg kami naiki.

Tuesday, December 4, 2012

Perjalanan ke Flores 5: Ruteng Labuhan Bajo

DS Photography
Gereja Katedral Santo Yosef Ruteng.


Amsterdam, mobil yang kami tumpangi dengan gesit melalui transflores highway bergerak menuju Ruteng, ibukotanya Manggarai. Meliuk diantara pendakian dan turunan dan sawah menghijau berjejer dikanan jalan. Melewati orang-orang Manggarai yang berjalan dalam balutan kain hitam khas Manggarai menyelimuti nyaris seluruh badan mereka

Setengah jam sebelum Ruteng, mobil berbelok ke Cancar. Disini terdapat persawahan yang berbentuk jaring laba-laba, beginilah dulu orang-orang Manggarai berbagi lahan persawahan dalam keluarga mereka. Jepret menjepret selesai dan perut mulai memainkan orkestra kriuk-kriuk kelaparan.

Kara teman seperjalanan pun mulai memainkan mimik wajahnya yang kelaparan sesekali berteriak "mummy..mummy..ungry!!! ungry!! (hungry-red)


DS Photography
Petak sawah dengan pola jaring dan lingkaran di Cancar

Kami menikmati makan siang di chinese seafood restaurant, masakannya lumayan enak, si koko pemilik resto sangat ramah pula. Menu seafood lumayan lengkap dari udang, ikan bahkan lobster juga disajikan disini.

Perjalanan dilanjutkan ke taman buah di lereng bukit yang berisi tanaman khas Flores. Tempat ini juga menjamu turis dengan tari perang, sayang kami tidak membuat janji untuk datang kesini tetapi kami diperbolehkan memakai pakaian perang dan bermain dengan senjata lokal seperti cemeti dan tameng dari kulit.

Amsterdam bergerak lagi kali ini menuju kota terakhir di ujung barat Flores, Labuhan Bajo. Seperti biasa setelah perhentian Amsterdam penumpangnya bergilir tempat duduk yang di depan pindah ke belakang, yang di belakang pindah ke tengah dan seterusnya berbagi kesenangan dan kerepotan duduk menyamping di pojok belakang Amsterdam.

Perhentian terakhir tinggal beberapa jam lagi, jalanan Flores mendaki dan menurun pemandangan indah disisi kanan tiada habis-habisnya, sesekali kami melewati truk Fuso yang berfungsi sebagai bus. Dengan bangku-bangku kayu menghadap kedepan dan perlu keahlian memanjat untuk naik keatasnya tak terkecuali ibu-ibu yang memakai sarung.

Amsterdam semakin gesit menyalip mobil-mobil yang didepannya, dan kantuk menyerang setelah makan siang lezat...ahh Labuhan Bajo seperti apakah kiranya dirimu...

Perjalanan ke Flores 4: Ruteng-Labuhan Bajo

Kampung Ngada di kaki Gunung Iriene.
Dari Moni, Amsterdam membawa kami melintasi Flores, melewati Ende dengan pantai birunya dan kami bermalam dipenginapan menuju Bajawa, bertepatan dengan malam 17 belas agustusan yang perayaannya di pusatkan dilapangan yang berjarak 200 meter dari penginapan kami. Kerumunan orang-orang mengelilingi "stage" yang di pasang di badan jalan, satu persatu tarian khas Flores di tampilkan termasuk tari perang. Namun yang berkesan bagi saya adalah tari Jopu dimana para penari yang terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu berdiri membentuk ingkaran dan menghentakkan kaki bersama, sekilas mirip seperti tarian khas Yunani, hmmm...memang Indonesia tiada duanya.


Pagi-pagi sekali "Amsterdam" sudah siap membawa kami menuju Bajawa. Sebuah kota kecil "diatas gunung". Ada kesan syahdu berada di Bajawa, entah karena letaknya yang tinggi sehingga membuat saya berada di kaki langit dan memandang awan berarak di pucuk daun pepohonan atau mungkin suara angin berdesir menghembus batang bambu yang bergoyang, serta gerakan ilalang yang meliuk-liuk tertiup angin.

Amsterdam, mobil yang kami tumpangi membawa kami menyinggahi kampung tradisional Ngada, yang konon katanya telah berusia 800 tahun lebih. Dari jalan tanah yang kami telusuri, desa Ngada terlihat sedikit seperti kampung Asterix, dengan batu-batu yang mengitari kampung menyerupai dinding. Dan ditengah-tengah kampung terdapat menhir.

Orang-orang yang lebih tua didesa ini memakai pakaian tradisional berwarna hitam lengkap dengan kain pengikat kepala. Tak banyak yang tahu tentang sejarah tempat ini.

Pemandu lokal memberi penjelasan tentang rumah adat Ngada. Rumah-rumah tua beratap ijuk berdinding bambu berjejer dikiri kanan membentuk elips dan di tengah-tengah terdapat tanah lapang yang berisikan gubuk dengan versi yang lebih kecil mewakili laki-laki dan perempuan. Disetiap atap rumah tersebut terdapat bentuk-bentuk yang lebih kecil baik berupa orang ataupun miniatur rumah. 
Anak-anak desa Ngada

Anak-anak kecil dengan gesit bermain bola ditengah lapangan, dan jadilah beberapa diantara kita menjadi pemain dadakan. Ah dimana-mana anak-anak sama saja tetap saja riang, tertawa dan tersenyum dengan hidung yang belepotan ingus  bermain dengan bola plastik yang sederhana.

Meninggalkan desa Ngada, Amsterdam bergerak menuju kota Ruteng.

Monday, December 3, 2012

Perjalanan ke Flores 3: Seputar Moni

Malam ini kami tidur sangat nyenyak, mungkin kelelahan setelah mendaki Kelimutu dan besok bersiap untuk petualangan besok hari dari Moni menuju Ende.

Kami yang sama-sama naik bus dari Maumere memutuskan untuk menyewa mobil bersama sama, kebetulan kenalan pak Gregory baru saja sampai dari labuhan Bajo mengantarkan penumpang menuju Moni. Jadilah kami berlima menaiki kijang kapsul bernama "Amsterdam" di dedikasikan kepada isteri pemilik mobil seorang perempuan Belanda yang bekerja di VSO sebuah NGO asal Belanda di Flores.

Toyota kijang kapsul yg cukup buat berenam ini disewa 350-400 ribu perhari lengkap dengan supir dan bensin. Jadi kita tinggal menentukan rute perjalanan yg ingin di tempuh. Asiknya lagi karena si empunya terbiasa mengantarkan turis berkeliling Flores, sehingga dia dengan senang hati menganjurkan kita melihat tempat-tempat yg menarik di perjalanan.

Setelah makan siang kami diantar melihat desa Ngada dan Jopu, disini bermacam-macam tenuan ikat Flores dapat dilihat, kami juga berkesempatan mengunjungi rumah adat Flores yang menurut anak tetuanya "ibu Maria" telah berumur 800 tahun.

DS Photography
Rumah Adat Flores





Kara menwarkan diri untuk menjadi penterjemah sementara Uli dan saya memberi isyarat mata kalau kami tak berminat melakukan pekerjaan tersebut, disini tenunan ikat tidak begitu mahal dan kualitas nya pun bervariasi.

Melewati gereja tua Maria Imaculata, kami berhenti sejenak untuk melihat pemandangan, hutan lebat Flores dan dikejauhan di dekat laut terlihat atap-atap rumah kecoklatan dari ilalang.

Tak berapa lama kami sampai di desa Ngada, sekelompok rumah tradisional ada disini, beberapa perempuan sedang menampi beras dan beberapa lagi menawarkan kain tenun dengan sangat bersemangat.

Beberapa batu besar terlihat di halaman kompleks tersebut seperti megalit dan menhir. Mengambil beberapa photo kami melanjutkan perjalanan, kali ini menuju hotspring dan berendam air hangat, hari sudah mulai gelap dan bemo yang kami naiki terseok seok meninggalkan perkampungan.

" Hotspring" atau pemandian air panas, hmmm..mestilah enak melepaskan penat setelah mendaki Kelimutu, berjalan-jalan ke Jopu, ada dua tempat yang ditawarkan, di tengah sawah, sepi tetapi jalannya cukup menantang atau di tempat satunya lebih gampang dicapai.

Setelah gagal dengan pilihan pertama karena kaki kami terperosok ke sawah yang berlumpur akhirnya pilihan kedua yang kami pilih.



DS Photography

Ada dua kolam kecil berdiameter 3-4 meter, satunya diperuntukkan bagi lelaki dan yang diselatan bagi perempuan. Segera saja kami bertiga nyebur ke dalam kolam yang hanya selutut dan hmmmm...hawa hangat menjalar sekujur kulit tubuh, beberapa perempuan yang sedang mandi menepi dan memberi tempat bagi kami, bergantian duduk di bawah pancuran air dan memandang langit bertabur bintang.

"What can be more beautiful than this?", setelah puas berendam kami segera berganti pakaian dan perempuan-perempuan yang tadi menepi kembali bergerak ke arah pancuran air. Hmm,..saya dan kedua teman saya tak percaya, alangkah besar hati nya orang-orang ini. Menepi untuk tiga cewek asing berbikini. Untungnya malam lumayan pekat sehingga apapun yang dipakai tidak begitu kelihatan.

Kami menghabiskan siang hari berdiskusi tentang perjalanan selanjutnya menuju Labuhan Bajo. Joana, Patrick, Jamie dan kami bertiga kurang lebih mempunya rencana yang sama, "to see the famous dragon" alias "komodo"

Makan siang terakhir di restoran pak Gregory dengan menu is "moni cake" hehehe kalo si mak dirumah pastilah menamainya perkedel kentang hanya saja yang ini ditaburi keju parut.

Perjalanan ke Flores 2 (Moni-Kelimutu)



Niat kami untuk menginap di Hotel Permata Hati berbelok ke Hotel Gardena. Pilihan yang tidak sia-sia mengingat pemilik hotel sangat ramah dan membantu mempermudah perjalanan kami. Kalau sebelumnya kami diantar staff hotel berkendara ke desa Sikka, untuk perjalanan ke Moni kami dibantu memesan kursi bus umum yang akan mengantar ke Moni, sebuah desa kecil di kaki Gunung Kelimutu.

Perjalanan ke Moni memakan waktu 3 jam dengan harga tiket 25.000 rupiah. Bus yang cukup tua menderu melintasi perbukitan menuju Moni. Mungkin dengan mobil pribadi perjalanan dapat ditempuh lebih cepat. Diatas bus kami bertemu kembali dengan beberapa orang asing yang sama sama menaiki merpati dari Denpasar. Hello, Hi, Hej saya Jemmy, saya Kara, Saya Uli, et toi? hehe

Jadilah kami berenam sama-sama berangkat menuju Moni dipagi yang cerah. Kara, Uli, Jemmy, serta dua orang Perancis berbagi bus yang sama dan sampai di Moni jam satu siang.

Kami "check in" di penginapan Watugana dan makan siang di restoran di sebelah penginapan. Makanan yang sangat sederhana sekali, nasi goreng dan teh manis, kami juga mencoba beberapa menu lain tetapi dengan hasil yang kira-kira sama. "Very simple yet not that delicious". Saya jadi teringat membelikan buku resep masakan buat pak Gregorius yang belum terkirimkan sampai sekarang.
Pak Gregory

Pagi berkabut dan dingin, jam 4 pagi pak Gregory mengetuk pintu kamar, hmm..sepagi ini? dengan mata yg masih mengantuk dan hati yang mendua antara melanjutkan tidur dipagi dingin dibalik selimut atau..mendaki gunung kelimutu dan menggigil...menahan dingin.

Sedikit flashback bermain di benak mengingat pendakian-pendakian di masa sekolah, dingin, kabut, jalan terjal dan licin, tangan dan kaki serasa membeku,...namun..."pointless" sekali kalo sudah sampai ke Moni dan tidak mendatangi Gunung Kelimutu.

Akhirnya tekad yang sudah dipendam jauh-jauh hari menikmati sunrise di Kelimutu mengalahkan rasa kantuk yang membujuk untuk melanjutkan tidur, sekitar setengah jam duduk berimpitan di angkot dengan mesin yang menderu deru terus, berputar naik menuju titik pendakian, sedikit pengalaman lucu sesampainya di parking lot beberapa pemuda lokal penjual teh dan kopi menggigil kedinginan dan meyakinkan kami bahwa udara pagi itu begitu dingin (hmmm,..do I get a fever?) Sebuah trik untuk menjual dagangan mereka, kami yang sudah tak sabar ingin mendaki akhirnya memutuskan meminum segelas teh hangat penambah tenaga di pagi hari.

20 menit mendaki diantara semak setinggi lutut, akhirnya kami disemangati pak Gregory berhasil mencapai puncak. Lumayan juga rasanya menahan berat badan meniti tangga satu persatu sehingga sampai ke puncak. Saya menyempatkan diri berbincang dengan salah seorang penjual kain tenun, pak Johannes, yang telah melakukan ritual mendaki ini bertahun-tahun. Imagine! setiap hari menikmati Kelimutu yang indah!!

Satu bintang terlihat menggantung di ufuk timur , hmm..kemana ya bintang yang lain? pastinya disana juga tapi yang satu itu berkerlap kelip dan sinarnya lumayan kuat.
Dalam sepuluh menit berikutnya, bintang itu cahayanya memudar digantikan langit seribu warna, lembayung, merah, orange, biru, dan guratan setengah lingkaran berpendar dilangit yang mulai terang.



Belasan orang yang menunggu momen ini mulai sibuk dengan kamera masing-masing, semuanya terdiam menikmati sunrise yang sangat indah. Beberapa detik kemudian puncak Kelimutu tertutup kabut, kami serasa berada di tengah badai gurun pasir .

Matahari semakin meninggi, dan tiga danau kelimutu menampakkan pesonanya. Kami mengambil beberapa "shots" lagi dan tak lupa mengucapkan syukur telah sampai kesini menikmati keindahan karyaNya.








Sunday, December 2, 2012

Perjalanan ke Flores: 1 Maumere-Sikka (2006)

Catatan perjalanan tahun 2006 silam.

Menjelang tengah tahun, lembaga tempat saya bekerja biasanya mengadakan pesta, pesta tersebut juga dihadiri oleh staff dari berbagai perhimpunan palang merah yang bekerja di Indonesia.

Seorang teman mengatakan keinginannya bepergian ke Flores dan mencari teman perjalanan. Saya sudah lama ingin berkunjung kesana tetapi hasrat tersebut belum terpenuhi, setelah berbincang-bincang, saya memutuskan untuk bergabung dengannya berjalan-jalan ke Flores.

Sore hari setelah jam kerja usai, ia menjemput saya dengan taksi menuju bandara, kantor kami berdekatan dan ternyata tak hanya kami berdua, seorang teman lagi juga ikut dengan kami. Jadilah Kara, Uli dan saya berangkat bertiga sore itu menuju Bali dan esok harinya kami akan terbang ke Flores. Hati sedikit berbunga-bunga membayangkan "adventure" kami selama dua minggu ke depan.


Setelah terbang selama kurang lebih satu setengah jam dari Denpasar, pesawat merpati yang kami tumpangi mendarat di bandar udara Wai Oti, Maumere.
Taksi mengantarkan kami ke penginapan Gardena di Maumere, kamar sederhana buat bertiga dengan AC seharga seratus ribu saja. Pemilik penginapan yang sangat baik hati meminta staffnya mengantarkan kami berkeliling Maumere, pertamna-tama, kami menuju Desa Sikka kecamatan Lela, salah satu sentra kerajinan tenun ikat Sikka dan desa tertua di Sikka. Lama setelah berkunjung kesana, saya mempelajari bahwa Sikka merupakan salah satu lokasi pembantaian terhadap kelompok komunis pasca peristiwa 30 September 1965, tak sedikitpun kesan dari peristiwa itu terlihat di Sikka saat itu.
Seminari Ledalero
Desa Lela terletak 30 km ditimur kota Maumere, perjalanan dengan sepeda motor di tempuh sekitar satu jam. Menuju desa Lela,kami singgah di sebuah seminari yang didirikan Pastor Frans Cornelissen SVD pada tahun 1926.

Seminari tersebut pada awalnya didirikan di kampung Sikka sebelum dipindahkan ke Todabelu, Mataloko. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Ledalero, kabupaten Sikka sejak tahun 1937.
Tidak banyak keterangan yang di dapat disini karena waktu telah hampir senja dan pintu pintu bangunan seminari telah ditutup ketika kami tiba.


Desa Sikka
Kami meneruskan perjalanan ke Desa Sikka, matahari mulai berwarna oranye kemerahan menjelang terbenam di pantai Sikka. Pemandangan indah disepanjang pantai yang bersih dan belum tercemar di sisi kanan jalan, sementara di sisi kiri tebing dipenuhi pepohonan dan semak belukar.
Memasuki desa, peralatan tenun terhampar di pelataran depan rumah penduduk. Hampir semua rumah di sepanjang jalan utama memiliki peralatan tenun.


Satu, dua wanita terlihat mengemasi benang warna warni yang telah mereka jemur dan beberapa orang memindahkan kain tenun ke dalam rumah.
Menurut salah seorang ibu yang kami jumpai, satu tenunan dapat dihasilkan dalam jangka waktu sebulan dan bahkan lebih lama. Tergantung dari bahan terutama benang. Kain akan berharga lebih mahal apabila dibuat dari bahan alami.
Di halaman belakang rumah penduduk kami mendapati pantai yang masih alami. Tidak seperti halnya pantai Kuta di Bali, pantai Sikka senyap dari penjual keliling. 

Desa Sikka yang dulunya menjadi tempat tinggal orang-orang Portugis juga menyimpan banyak rumah peninggalan kolonial Portugis.

. 

Sayang sekali kami tidak bertemu dengan orang yang benar-benar mengetahui sejarah Sikka dan bangunan tuanya untuk melengkapi perjalanan kali ini. Sehingga tak banyak informasi yang bisa digali mengenai sejarah kota Sikka di masa lampau.

Bagi teman-teman yang ingin bepergian ke Flores dan sekitarnya ikuti link ini:
http://www.floresexplore.com.