Sunday, May 24, 2020

Ramadan and Eid in Time of Corona


Ramadan and Eid in the Time of Corona (May, 2020)

Ramadan, one of the month in Hijri calendar is a special month for Muslim all over the world. The month marked the compulsory fasting as prescribed by Muslim law. For many Indonesian, Ramadan is not only about religious event: on top of fasting before sunrise until sunset, followed by going to the mosque for congregational prayer with family and friends, people are also encouraged to pay their zakah (compulsory donation when one is considered able to give) but also to be more charitable toward those who are less advantaged. Ramadan is not only deepened our religious and spiritual being but its also providing a chance to refresh and strengthen our solidarity to people around us.

Ramadan to many of us is also about living our tradition which has been passed from generation to generation. For families that could mean having a breakfasting (iftar) together with families and friends, bringing back traditional delicacies which probably not always around on normal days. There is a hadith (prohet saying) which mentions if one hosts a breakfasting and feed people it is as if he has fasted as many as those people do. This hadith is welcomed by many Muslims, some went to the mosque to donate fund or food, some cook food and deliver it to friends, neighbours and those in need, many invites their relatives to their home for breakfasting or iftar followed by congregational “tarawih” prayer. In the afternoon many popped up markets erected everywhere across the country selling traditional cuisines for food enthusiasts.

After breakfasting, many will rush to the mosques, walking or driving for “Isya” and “Tarawih” prayer. When I was a little girl, I was always looking forward to walk to the mosque under the crescent moon with my late father and siblings. As the street stormed by many people: men in “sarong” and “kopiah” and women in white prayer clothes, smiling faces walking to same destination, the walk and long praying did not feel that hard, it’s a community event, there is a sense of togetherness. To some extent most of café and restaurants are closed and open up later in the afternoon to cater to the customer. Ramadan in many places has its own special atmosphere and indeed it has been both religious and cultural month.

For those of us who live abroad, Ramadan always bring back the nostalgia of our childhood and our time living in our homeland. Many are longing to be back to our homeland during the special month, looking forward to experience the special atmosphere. In the past before Covid-19 pandemic, life here runs normal, fasting is more personal than communal. In a way the struggle felt more real: no working hours’ adjustment, people are eating around us, restaurants and café are open as usual, fasting is our personal commitment to the teaching of our religion and has little to do with how others are behaved. Fasting is our personal journey to maintain our steadfastness, to be closer to God rather than social control.

As the pandemic runs deeper with many restaurant and café no longer cater for dine in but only take away and home delivery options and most people are working from home and only essentials workers go to work, the isolation feels deeper. Before, during Ramadan, the weekend is a time where everyone has been looking up to: attending the community iftars and listening to the sermon from Indonesian ulemas/ Islamic scholars visiting the country or inviting friends for iftar at home followed by congregational prayer. For many families it also means keeping up with tradition of going to the mosque for prayer every evening. However, this year, this too will be a nostalgia.

As Australia still practicing tight social distancing which no more than five people from different household can meet up at their homes and not more than ten people in public, most of the community activities during Ramadan will be banned. Social distancing has been a new normal for a while however despite the inability to meet in person, many are turned to technology to socializing. Groups of family and friends are connected and meet up online as well as religious classes which normally held in the mosques or at people’s homes. Mosques have been closed for two months and people opted to pray at home, the rules seem well continues during Ramadan.

However, to many of us Ramadan this year will be lonelier than ever. The much anticipated community iftar during the weekends is off the table, as is our nightly drive to the local mosque to pray congregationally. For those who live alone or elderly people who do not have relatives, these activities shed a light and give them chances to meet with others, to defy the daily loneliness. For now, we should be satisfied if we are healthy, we have food on our table and have a roof over our head as many out there are in deep crisis. If we can we should extend our hand to help to those in need around us in any ways we can: donating funds to charity, participating in food drive for those in needs, helping the elderly in our community to buy groceries in supermarket and for those who are self isolated, or pick our phone and call those who live alone and brighten their days.

And despite our eagerness to return home to Indonesia to meet our families and friends as we normally do every year, both for re-experiencing again our childhood nostalgia or just because we love them, that love too, can wait. If we love our families and friends dearly, this year, that mean we stay exactly where we are, in the country and city we lived.  Love in the time of corona means staying away from everyone who are not living under the same roof so we and them can stop transmitting the virus, even though those are our parents and siblings. Our love is manifested in our ability to follow government advices and endure the loneliness, the longing to be together, the missing of the “takbir” sounds on the Eid’s eve from the mosques near our childhood home which no other sounds can reach as deep and solemn our heart, the pause on sleeping on the floors during the night as our family grow double or triple sizes, the never ending chats, laughing and eating during the day as we visit our relatives and their visit to our homes, the tears, once we reach home after Eid prayer, for the absence of the loved ones who have left us,., Hopefully we all can make it through and when this pandemic is over we can celebrate our love for each other in the way we always know or even better.

Sunday, March 19, 2017

See you on the other side of life Mum!

 
 September 2016

Tiba-tiba harus kembali mudik berhubung si kakak yang selama ini menjaga si mamak bertemu jodohnya. Long story short ga pakai lama-lama, mengingat usia keduanya sudah tak lagi muda. Padahal baru dua minggu menjejakkan kaki di rumah dan di tengah-tengah house hunting yg bikin wiken hilang begitu saja.

Saat sampai seperti biasa mengucap salam, belok kanan ke kamar si mamak dan say hello. Dia tersenyum lalu kembali menerawang dan berbicara tentang si anu dan si anu, teman dan kenalannya dari tahun 60-an. Masa dimana saya sendiri belum lahir.

Begitu sibuknya weekend itu sehingga, tak banyak waktu yang terluang buat mamak. Untunglah tiga bulan hingga dua minggu sebelumnya saya bolak balik ke rumah dan mengusahakan kembali saat wiken saat ada jadwal ke Indonesia dan memutuskan bekerja dari rumah.

Perubahan fisik dan mental nya terlihat signifikan. Tubuhnya makin ringkih, ingatan terkadang pada saat ini tetapi kebanyakan kembali ke masa lalu. Lalu ketika saya akan ke airport dengan senyum penuh harap di matanya ia berujar," kalau nanti mama sembuh bawa ke Australia ya?".Saya hanya mengangguk kepala dan tersenyum.

Semangat itu. Semangat yang tak pernah padam. Semangat itu pulalah yang tampaknya membuat ia begitu kuat dalam menghadapi penyakitnya. Setidaknya tujuh kali ia keluar masuk ICU terutama dari gula dan kanker thyroid yang akhirnya menyerang ke berbagai organ dalam 12 tahun ini, namun semangat itu tak pernah padam.

Tiga tahun sebelumnya abses menyerang panggulnya dan nyaris mamak tak bisa berjalan selama enam bulan. Keadaan yang sangat ia tak suka karena harus tergantung bahkan untuk ke kamar mandi sekalipun. Lalu tak berapa lama ia bangkit kembali, dan mulai belajar berjalan persis seperti bayi pelan, lalu cepat dan kadang kami yang menyaksikan suka tertawa karena ia sulit mengontrol berhentinya.

Perempuan yang telah melahirkan 7 anak, membesarkan keponakannya, membantu yang lainnya hingga tamat sekolah, menampung anak-anak didiknya yang putus sekolah di rumah kami. Perempuan yang kadang sangat cerewet tetapi berhati lapang, yang rela hidup sederhana asalkan anak-anaknya bisa sekolah atau kursus di tempat yang bagus.

Ia pernah bercerita, kalau keluarganya terpandang di kampung kami. Dan ketika ia mengikuti pendidikan sekolah guru di tahun 60-an si mama ngekos dengan keluarga Cina. Disana ia menyadari terpandang itu tidak ada artinya, banyak orang yang jauh lebih maju, beretika baik, menjalani kehidupan yang baik karena mereka berpendidikan. Tampaknya pengalaman ini memicu semangatnya untuk mengutamakan pendidikan bagi keluarganya sendiri.

Si mamak yang mengajarkan kami bahwa harta, jabatan tidak boleh dijadikan ukuran untuk memperlakukan manusia, bagi dia semua sama saja. Mungkin sikap egaliternya ini tertanam bagi kami hingga sekarang, tidak sungkan terhadap yang diatas juga tidak rendah melihat yang dibawah. Bahwa manusia itu sama saja apapun latar belakangnya. Si mamak yang suka mengundang tukang beca untuk ngeteh sore-sore di teras rumah. Jangan kaget kalau tiba-tiba ada 3-4 beca nangkring di depan rumah karena mereka sedang dijamu teh dan penganan sekadarnya.

Setelah pensiun dari mengajar, mamak memiliki hobi baru berbelanja ke pasar, membeli baju dan dibagikan kepada orang-orang di sekitarnya. Meski berulang kali di ingatkan agar uangnya tidak dihabiskan begitu saja tetap saja ia melakukannya. Terkadang yang membuat gusar, ketika ada yang datang dan mamak akan memanggil kami agar memberi mereka uang seraya mengatakan "mereka orang susah, bantulah".

Demikianlah, ketika kakak menelepon kali ini, bahwa mamak sakit stau persatu kami, anak-anaknya bergegas pulang. Adik saya mengatakan sebaiknya saya memonitor dulu situasinya karena saya jauh dan ia mengupdate saya setiap hari kondisi mamak.

February 2017

Akhirnya saya memutuskan pulang, karena badan berada disini sementara pikiran selalu melayang kesana. Bismillah, saya berdoa kepada Allah agar diberi kesabaran apapun yang terjadi. Saya teringat ketika harus pulang tiga tahun yang lalu menghabiskan 9 jam berurai air mata karena kondisinya yang kritis.

Sampai di bandara saya langsung ke RS, ternyata dokter mengatakan bahwa ia boleh pulang. Maka pagi-paginya kami siap-siap membawanya kembali ke rumah. Semua anak-anaknya berkumpul bergantian menjaga di tempat tidur, mengusap kepalanya, menggenggam tangan seraya mengaji, berdzikir dan berdoa memohon kesembuhan bagi si mamak. Wajahnya terlihat begitu tenang dan bahagia mungkin karena dikelilingi anak-anaknya tetapi bicaranya mulai tidak jelas.

"Itu ada dua orang, mereka membimbing mama", katanya. Seraya menunjuk ke langit-langit kamar. Lalu ia bersyahadat seolah-olah mengikuti mereka. Berulang-ulang disela percakapan kami.

Tak lama ia mengatakan ditinggalkan oleh kakaknya yang sudah berpulang "ah, mungkin jalannya buruk (jelek) ya, makanya ga diajak, tapi kog Siam (kakak satu-satunya yang masih hidup) ga terlihat ya?, makamnya pun ga ada". Deg! Tentu saja karena beliau masih hidup di kampung mereka. Lalu kami berbicara berbagai hal, kebanyakan menanggapi ucapan si mama yang kesana kemari. Setahun belakangan ini kami hanya mengikuti apa yg ia bicarakan karena komunikasi dua arah sudah sulit dilakukan. Dalam jam-jam ini, terkadang ia mengenali kami hanya dalam hitungan 5-10 menit, selebihnya kami adalah dua orang yang saling berbicara tapi seperti baru kenalan.

Kamu kog kamek bana katanya, kamek adalah ungkapan yang digunakan orang Minang untuk mengatakan molek, lovely etc. Dan ia menanyakan saya dari suku apa. Mungkin bagian yang paling sedih adalah bahwa ia tak lagi mengenali anak-anaknya. Dan ketika mengenali dia tersenyum, memonyongkan bibir dan kadang minta dicium. Dia menjangkau adik saya yang berdiri disamping tempat tidur dan mencium kepala si bungsu, lalu menoleh ke kanan dan memberi tanda agar saya mendekat dan menciumnya. Saya membuatkan bubur tetapi ia menolak makan, sudah dua hari ini sejak dari RS ia tak lagi mau makan, maka kami memasukkan makanan lewat IV dan dibantu dua perawat yang datang bergantian memastikan mamak tidak kekurangan asupan makanan.

Pada hari kedua, ia mulai jarang berbicara, hanya tersenyum, tidur dan membuat gerakan tangan seperti memanggil dari tangan kanan dan menolak dari kiri. Ketika kakak saya tiba, ia terjaga dan si kakak bercanda minta uang. Pelan-pelan mamak terlihat membuka tas di atas perutnya, membuka resleting atas, memilah-milah tasnya dan membuka resleting kecil, namun tak ada uang disana. Saya teringat orang mengatakan bahwa ibumu memikirkanmu hingga akhir nafasnya dan takjub menyaksikan sendiri kejadian ini. Saya berhasil memasukkan tiga sendok bubur pada hari itu, disertai candaan "makan ya Ma? kalo ga makan tar lewat loh", dengan gesture tangan dan kepala dan si mamak tersenyum dan memonyongkan bibirnya. Tak seperti alm papa dulu yang memiliki pandangan kosong menjelang kepergiannya, mata si mamak begitu hidup, memandang kami dengan kasih sayang.

Menjelang pagi, ia muntah hebat, dan kakinya semakin bengkak dan warnanya menguning. Meski dokter telah mengatakan bahwa tak banyak yg dapat mereka lakukan lagi kami tetap membawanya ke RS. Paling tidak mereka bisa memberi perawatan yang membuatnya nyaman.

Demikianlah, kami berjaga bertujuh, di satu sisi inilah kesempatan dimana kami berkumpul lagi seperti masa-masa tumbuh kembang dulu, di sisi lain mamak terbaring lemah dan lebih banyak tidur. Saya membisikkan permintaan maaf dari kami atas kebandelan kami, atas kesusahan yang kami timbulkan dan menyebutkan nama kami satu persatu dan mengatakan bahwa kami ridha atas usahanya membesarkan kami dan semoga Allah meridhoinya dan meridhoi kami semua. Ada air mata menetes di pipinya. Kami bergantian mengaji, melafalkan syahadat dan dzikir di sampingnya setiap 3-4 jam, memegang nadinya sambil melafazkan namaNYA seraya memohon jika masih mungkin agar si mamak diberi kesembuhan tetapi jika Allah berkehendak lain semoga ia dijemput dengan kelembutan.

Malam ke dua di RS tangannya sudah tak lagi kuat menggenggam tangan kami, hanya bergerak sedikit, menjelang pagi nafasnya mulai terkonsentrasi di dada dan dokter menyarankan di bawa ke ICU untuk memonitor jantungnya. Ketika kamar kami kosongkan pagi itu, saya terduduk dan tak terasa air mata menetes. Nampaknya akhir hidup mamak sudah semakin dekat, urine nya mulai berhenti sejak kemarin, dan ia dalam keadaan tidur yang dalam.

Terduduk sendiri di kamar itu ingatan saya melayang ke masa kecil, ketika saya mengintip di jendela saat adik bungsu lahir, menangis mencari-cari mamak keliling rumah dan merasa sendiri karena orang-orang bergegas ke kamar melihat si kecil, ingatan samar-samar belajar bacaan shalat dan al fatihah menjelang tidur dan keluar masuk mukena putihnya saat-saat beliau shalat dan meniru gerakannya. Bersembunyi di balik mukena membawa perasaan paling aman saat itu. Mamak yang bagi saya sangat perkasa, membesarkan kami terkadang harus berpisah dari Bapak yang bertugas di kabupaten/kota lain, yang bekerja sekaligus handal mengurus kami dan setiap malam masih mengajar kami dan banyak sekali anak murid nya di rumah. Mamak yang menjadi motivator utama kami anak-anaknya.

30 menit menjelang pukul 6 sore 15 February 2017, suster memanggil kami ke dalam, setengah jam sebelumnya kami keluar dari ruangan agar ia istirahat. Kulit si mamak telah berubah kuning pucat dan jari-jarinya terlihat penuh sehingga kaku dan kulitnya terasa dingin. Alat monitor jantungnya menunjukkan angka menurun. Kami mengelilinginya sambil mengucapkan "Laa ilahaa illalah". 30 menit yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata, antara harapan kesembuhan yang semakin pudar, berserah diri sepenuhnya untuk alternatif lain yang ditetapkanNYA, sejenak kepalanya bergerak dan ia tersenyum dan angka di layar monitor semakin mengecil lalu datar. "Inna lillahi wa inna ilaihi roo'jiuun" orang yang paling kami sayangi seumur hidup, telah pergi, tepat 4 hari setelah hari lahirnya yang ke 79. "Allahhummaghfir lahaa warhamha wa'aafiha wa'fu anha". Semoga Allah memberimu tempat terbaik, menyayangimu sebagaimana kasihmu pada kami dan mempertemukan kita kelak di surgaNYA...

Catatan:

Kematian adalah hal yang tidak dapat dielakkan dan merupakan takdir yang akan menimpa siapa saja. Menyaksikan kepergian si mamak ada beberapa tanda-tanda yang dapat di kenali antara lain yang mungkin bermanfaat:

Tiga bulan menjelang:
Nafsu makan semakin berkurang, semakin mengisolasi dari dunia luar, tidak lagi terlalu peduli ataupun ingin berintaraksi dengan teman, keluarga maupun tamu yang berkunjung. Jika berbicara pun lebih sering tidak menyambung karena lebih cenderung berbicara sendiri tentang masa lalu. Terkadang berbicara akan pergi, akan pulang dan menunjukkan kasih sayang pada keluarga dekat baik lewat ucapan maupun tanda-tanda fisik seperti memandang keluarga penuh kasih sayang, mencium anggota keluarga maupun memberi aba-aba ingin dicium, di sentuh dsb.

Seminggu menjelang:

Nafsu makan berhenti sama sekali. Mengalami halusinasi seperti melihat ada yang menghampiri, atau melihat keluaga (orang tua, saudara) yang telah berpulang datang berkunjung. Gerakan tangan berulang-ulang terkadang memegang ujung kain atau seperti gerakan memanggil sesuatu yg terus menerus, suhu tubuh turun sekitar 1 derajat, perubahan warna kuku dan kulit, berkeringat, tarikan nafas lebih kencang dari biasanya dan terkadang nafas terasa tercekat, diikuti tidur yang panjang.

Beberapa jam menjelang:

Terkadang ada energi untuk sekedar menoleh atau membuka mata, nafas semakin tidak teratur, bibir dan kuku berubah warna semakin memucat, semakin tidak responsive tetapi pendengaran mungkin masih berfungsi, pendengaran diyakini masih berfungsi meskipun dalam kondisi ini, disarankan tetap mendampingi dan berbicara/ berdo'a bersama. Akhirnya nafas akan berhenti demikian juga dengan detak jantung.








Wednesday, November 30, 2016

Umroh Part II (Makkah)

Kami menempuh perjalanan selama 5 jam dari Madinah menuju Makkah, dan bersiap-siap mengambil miqat di Bir Ali. Ustad yang membimbing kami menyarankan untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah selama di perjalanan seperti membaca qur'an, tahsin, berdzikir dan mengurangi berbicara yang tidak perlu.

Ketika tiba di Makkah, setelah check in kami langsung menuju Masjidil Haram, yg ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 400 M. Masjid yang mengelilingi Ka'bah sangat luas dan nyaman. Di lengkapi dengan AC dan tiang-tiang yang megah.

Di tengah-tengah masjid yang menyerupai lingkaran, berdiri Ka'bah. Sederhana, ya itu yg terlintas di kepala saya pertama kali melihatnya. Bangunannya di tutupi kain hitam dengan pintu yang berornamen emas. Ada rasa haru dan syahdu melanda ketika menjejakkan kaki ke dalam masjidil haram. Bagi jamaah yang akan disini disarankan untuk membawa perlengkapan secukupnya dan tidak disarankan membawa makanan karena ada petugas yang memeriksa tas bawaan kita di pintu-pintu masuk.

Tempat shalat favorit saya adalah di lantai 2, shaf terpisah antara laki-laki dan perempuan dipagari dengan pagar kayu. Berada disini ketika suhu sangat panas sangat membantu kenyamanan beribadah.

Agenda harian tak jauh berbeda dengan di Madinah dikarenakan bulan puasa. Setelah shalat Subuh kami melakukan thawaf dilanjutkan dengan Sai sebagai umroh pertama, lalu ketika melakukan perjalanan keliling kota Makkah termasuk tempat-tempat pelaksanaan haji, kami mengambil miqat sekali lagi untuk umroh kedua. Lalu hari-hari lainnya hanya melakukan thawaf ba'da Shubuh dilanjutkan Dhuha lalu beristirahat di hotel sebelum tiba waktu Dzuhur.

Seperti halnya di Masjidil Nabawi, Masjidil Haram juga memiliki tempat-tempat yang Multazam antara lain:
-Antara Hajral aswad dan pintu Kabah
-Hijr Ismail pelataran depan Ka'bah yang berbentuk setengah lingkaran
-Maqam Ibrahim, bangunan kecil di depan Hijr Ismail
-Bukit Shafa dan Marwa

Maka setelah melakukan thawaf dan Sai kami bergegas mencari posisi di ketiga tempat tersebut, karena banyaknya jamaah lebih sering di lurusan Maqam Ibrahim maupun pintu Ka'bah. Disarankan untuk berdoa dengan tatacara sbb:
-memulai membaca Bismillah,
-lalu dilanjutkan dengan bertasbih memuji Allah,
-melafalkan Asma ul Husna dan
-menyampaikan do'a dengan sepenuh hati.

Tentunya dengan berprasangka baik serta penuh harap, semoga Allah mengabulkan doa-doa yang kita panjatkan. Ustad kami menyarankan untuk meminta apapun yang kita inginkan, karena kita tidak tahu mana doa yang akan dikabulkan.

Kami menghabiskan kurang lebih satu minggu di tempat ini, hari-hari yang terasa sangat indah tidak hanya karena rasa damai yang hadir tetapi juga persaudaraan yang tumbuh diantara sesama jamaah, teman seperjalanan.

Saat thawaf terakhir, saya berdo'a semoga bisa kembali kesini bersama orang-orang tercinta dan berharap kedamaian ini akan berlangsung lebih lama, berharap akan semakin bersemangat dalam menapaki jalan ini, semakin tawadhu dan teguh di dalamnya hingga akhir nanti.






Sunday, August 28, 2016

Umroh 2016: Sesi 1: Madinah (Kembali Ke Jati Diri)

Labbaika Allahuma labbaik...

Akhirnya saat yang ditunggu telah tiba. Setelah sempat tertunda beberapa kali, akhirnya tekad pun dibulatkan, mau kerjaan kelar atau tidak, mau kontrak baru di teken atau tidak, saya hanya ingin berangkat kesana, ke tanah suci, mengunjungi kota nabi dan bersimpuh di Baitullah, mengikuti jejak Ibrahim, Ismail dan Rasulullah SAW.

Perjalanan panjang dengan Saudi Airlines dimulai dari Jakarta menuju Riyadh lalu setelah menurunkan sebagian penumpang, pesawat mengudara lagi menuju Madinah.

Kesan pertama yang didapat dari maskapai teluk ini adalah pramugari yang sama sekali tidak ramah. Pelayanan yang kurang mengenal customer service. Dengan pengalaman terbang dengan berbagai maskapai sebelumnya dari yang berkelas hingga budget airlines, baru kali ini saya terperangah akan sikap pramugari yang ga ada ramah-ramahnya. Percakapan pramugari dengan penumpang yang duduk di depan membuat kami yang duduk di bangku belakangnya terperangah.

Di awal perjalanan, pramugari menanyakan siapa yang ingin melanjutkan berpuasa maka tidak boleh meminta makanan hingga 14 jam ke depan alias tidak boleh berubah pikiran, "ini agak mirip kamp militer" batin saya. Sementara siapa yg memutuskan membatalkan puasa maka akan di hidangkan makanan sesuai jadwal, ahem! tentunya dengan suara lantang ala-ala Timur Tengah.

Alhamdulillah, sesaat setelah meninggalkan Riyadh waktu berbuka pun tiba, segera perut di ganjal dengan sepotong sandwich dan air minum. Tak berapa lama kami pun menjejakkan kaki di Madinah.

Petugas imigrasi adalah wajah pertama sebuah negeri. Wajah yang pertama kali menyapa pendatang dan memberi kesan pertama. Yang saya lihat, petugas imigrasi di tempat ini terkesan bermain-main dalam melakukan pekerjaan mereka. Bagi yang terlihat necis dan rapi mereka agak ramah tetapi bagi yang kelihatan tak berpunya, ah saya tak tega melihat bagaimana mereka di perlakukan. Di tengah antrian yang ramai, petugas tersebut akan seenaknya mendatangi kubikel rekan-rekannya yang lain dan bercanda bersama, sangat jauh sekali dari kesan profesional. Tak hanya itu, setelah melewati pos imigrasi pun, masih ada saja petugas iseng yang meminta diperlihatkan passpor padahal hanya ingin iseng menyapa.

Untunglah, jauh hari sebelum berangkat, saya diwanti-wanti beberapa teman untuk latihan bersabar selama di tanah suci, niatkan ibadah, dan jika ada kejadian tak mengenakkan ucapkan astaghfirullah dan bersabar, demikianlah persiapan mental tersebut terasa sangat bermanfaat.

Segera setelah mengambil bagasi, kami berjalan keluar bandara menuju bus yang akan membawa ke hotel. Udara sejuk di dalam bandara terasa sangat kontras ketika keluar, suhu lebih dari 45C segera menyapa. Hembusan hawa panasnya terasa menjilat di kulit seperti berada di dekat tungku yang membara.

Tak lama, bus yang kami tumpangi memasuki kota Madinah, dari kejauhan terlihat masjid Nabawi dengan lampunya yang terang benderang di gelapnya malam. Tak terkatakan apa yang saya rasakan saat melihat ke arah masjid, tak terasa air mata meleleh menyadari Almarhum Nabi yang menjadi teladan jutaan orang, manusia dengan ahklak yang paling baik, terkubur disana di bawah salah satu kubahnya. Ada perasaan haru merayap, menyusup di dada, menyadari bahwa Beliau yang selama ini di baca kisahnya, diikuti ajarannya, yang perkataannya dijadikan referensi berdiam di sana, diantara kerlap kerlip lampu masjidil Nabawi.

Madinah diberi julukan kota Nabi, karena sebagian besar hidup Beliau setelah mendapat wahyu dihabiskan disini. Praktis selama seminggu ke depan kami akan berada di kota ini. Hotel kami terletak di bagian belakang Masjid Nabawi, cukup berjalan beberapa menit maka kami akan sampai di pelataran masjid. Masjid Nabawi yang megah telah mengalami perluasan beberapa kali, saat ini juga sedang terjadi perluasan, hotel yang kami tempati akan segera di runtuhkan dalam waktu dekat untuk memperluas pelataran mesjid. Diam-diam saya berharap jika nanti terjadi perluasan, Taman Saqifah yang menjadi tempat historis pemilihan kalifah pertama kali tetap di pertahankan. Berkunjung ke taman ini, membawa ilusi ke masa lampau ketika sahabat-sahabat Rasul berdebat mencari pengganti Nabi tercinta yang telah berpulang, dan berkunjung ke tempat ini seribu tahun lebih setelahnya memberi kesan mendalam.

Demikianlah, seminggu pertama kami habiskan di kota ini. Pada awalnya saya kira, umroh Ramadhan akan terasa berat, terutama di musim panas. Ada kekuatiran apakah saya mampu berpuasa dengan kegiatan yang sedemikian banyak dan cuaca yang begitu panas. Kekuatiran yang ternyata tidak beralasan, pasalnya selama disana alhamdulillah meski cuaca panas, meski tarawih lebih lama dibanding puasa sebelumnya, segalanya lumayan lancar.

#Berbuka puasa di pelataran Masjidil Nabawi
Salah satu hihglight pengalaman saya selama umroh Ramadhan adalah berbuka puasa di pelataran Masjid Nabawi. Saya pernah membaca, memberi makan bagi orang yang berpuasa pahalanya setara dengan beribadah puasa jika dilakukan sendiri. Di kota Nabi ini saya menyaksikan betapa penduduk setempat begitu bergairah menjamu peziarah dengan bermacam-macam hidangan berbuka. Setidaknya di pintu bergang yang biasa kami masuki ada 2 truk besar penuh makanan. Petugasnya membentangkan semacam kanvas memanjang untuk tempat duduk dan di tengah kanvas itu meletakkan plastik panjang untuk alas tempat makanan di taruh. Peziarah tinggal memilih mau duduk dimana. Berbagai macam hidangan mulai dari jus buah, kurma, roti, daging maupun ayam panggang dan nasi menyerupai biryani terhidang. Indah sekali rasanya berbuka puasa dengan berbagai bangsa.

#Itikaf/Tarawih di Masjidil Nabawi dan Mengkonsumsi Air Zam Zam saat Tarawih

Selama bulan puasa otomatis, kebutuhan akan makanan dan minuman tidak sama dengan bulan-bulan lainnya. Otomatis sebagian besar waktu dihabiskan di Masjid, dari melaksanakan shalat wajib, shalat-shalat sunat hingga shalat Tarawih. Rata-rata Tarawih selesai pukul 12:30 dinihari, saatnya bergegas kembali ke hotel untuk tidur sejenak dan sahur lalu kembali lagi ke Masjid pukul 3 dinihari untuk shalat sunat qiyamul lail serta shalat Subuh. Kami memilih untuk berada di Masjid hingga waktu Dhuha dan kembali lagi saat Dhuhur hingga Tarawih.

Terkadang selesah Dhuhur kami menyempatkan diri melihat toko-toko yang ada di sekitar masjid terutama toko-toko yang menjual abaya dengan berbagai kualitas dan harga. Pengamatan saya yang termurah dengan harga sekitar 50 Real, ada di pelataran masjid Quba tetapi kualitasnya sangat biasa. Di sekitar mesjid juga banyak toko oleh-oleh. Tentunya belanja bukanlah fokus yang utama. Tetapi bagi saya membeli oleh-oleh secukupnya di tempat ini membantu saya untuk lebih fokus beribadah saat di Makkah.

Depot air minum tersebar di halaman mesjid, tetapi di dalam mesjid terdapat banyak galon air minum yang berisikan air zam-zam. Jika selama ini air zam-zam yang sejuk hanya di dapat ketika ada keluarga yang kembali dari tanah suci, disini kami bahkan memakainya untuk menyemprot muka (sprayer) ketika cuaca sedang panas. Sudah pasti disela-sela shalat Tarawih yang panjang, maka dahaga terpuaskan dengan air ini.

#Perjuangan memasuki Raudah


Raudah, lazim di sebut sebagai taman surga, adalah sebidang tanah diantara rumah Rasulullah dan mimbar beliau di masjid Nabawi (saat ini adalah area di seputar makam Rasulullah). Dan Beliau pernah bersabda bahwa Raudah adalah salah satu taman di antara beberapa taman surga. Raudah diyakini sebagai salah satu tempat yang multazam, alias jika kita berdoa dengan sungguh-sungguh dan penuh harap, maka doa kita akan di kabulkan. Bagi saya ini adalah pengetahuan baru, setahu saya majlis taklim juga merupakan taman surga.

Demikianlah, ternyata untuk memasuki Raudah perlu perjuangan tersendiri, dengan ukuran yang tidak begitu besar dan ratusan ribu orang yang ingin shalat sunat (dua rakaat) dan berdoa disana, bisa dibayangkan tantangan memasuki Raudah.

Untuk kalangan perempuan Raudah dibuka dari sisi kiri tengah Masjidil Nabawi, oleh petugas jamaah dikelompokkan berdasarkan asal negara. Bagi saya ini sangat masuk akal, jamaah asal Asia Tenggara yang berbadan cenderung kecil akan lebih aman berada diantara sesamanya jika dibandingkan harus berdesarkan dengan jamaah asal negara lain yang lebih besar dan lebih agresif. Terkadang ada saja jamaah yang tidak mematuhi sistim antrian berkelompok ini, sebaiknya kita jangan ikut-ikutan melanggar antrian, karena terus terang berdesakan dengan sesama tubuh Asia jauh lebih ringan dibandingkan dengan yang lainnya. Petugas telah mengatur sedemikian rupa pintu masuk dan pintu keluar tetapi ada saja jamaah yang melanggarnya.

Usahakan untuk membantu teman seperjalanan agar dapat shalat disana dan bergantian menjaga mereka saat shalat terutama karena padatnya jamaah yang keluar masuk Raudah, sampaikan doa yang ingin dipanjatkan dan bersegera meninggalkannya ketika urusan kita sudah selesai, sehingga kita memberi kesempatan kepada orang lain yang ingin bermunajat disana. Ketika terakhir kali mengunjungi Raudah, saya menoleh ke belakang, ada perasaan haru meninggalkan tempat ini, saya berdoa dalam hati suatu saat bisa kembali lagi ke Raudah, memanjatkan doa kepada Ilahi.

Hari terakhir di Madinah dipenuhi dengan tour ke situs-situs bersejarah, dari Masjid Quba, serta beberapa lokasi bersejarah lainnya dan kunjungan ke kebun Kurma, entah mengapa dari semua tempat itu, Masjidil Nabawi dengan segala keteduhannya adalah tempat yang paling berkesan.

Tak terasa, kami memasuki hari terakhir di Madinah, perlahan-lahan bus melaju meninggalkan area Masjid, melewati pemakaman Baqi, dan menara-menara Nabawi terlihat dari kejauhan. Tak terasa, air mata menetes, haru, sedih, rindu bercampur aduk. pelupuk mata terasa hangat ada kesedihan yang syahdu meninggalkan kota ini.

Tips:
-Usahakan hadir satu jam sebelum jadwal shalat wajib untuk mendapatkan tempat di dalam masjidil Nabawi
-Bawa bottle spray (bisa di beli di Bin Dawood supermarket di belakang masjidil Nabawi), isi dengan air zam-zam untuk membantu menyejukkan wajah saat cuaca hangat. Sprayer ini juga bisa dipakai untuk berwudhu jika dibutuhkan.
-Sediakan uang pecahan (jika mampu pecahan besar tentu lebih baik) dan berikan kepada petugas pembersih area mesjid. Mereka tidak menadahkan tangan tetapi berseragam khusus dan berdiri dalam posisi istirahat di area masjid saat mendekati waktu shalat wajib.
-Tanyakan kepada askar (petugas) kapan gerbang Raudah dibuka, sehingga bisa menyesuaikan jadwal ziarah ke Raudah.
-Memakai cadar di cuaca teluk yang panas selain membantu melindungi wajah dari sengatan matahari juga memberi rasa sejuk ketika cadar melambai-lambai dihembus angin.
-Jika ingin membeli abaya, maka di Madinah lebih mudah mencapai toko-tokonya yang berada di seputar Masjid.

Dokumen yang dibutuhkan:
Passport
Akte Lahir
KTP
KK
Buku Nikah (bagi yg sudah berumah tangga)
Pasphoto berwarna (80% wajah)





Tuesday, February 23, 2016

Legacy: apa yang tertinggal setelah kita pergi?

Awal bulan ini, mendapat begitu banyak berita yang membuat hati galau. Kondisi kesehatan si mama yang terus menurun, hasil pemeriksaan dokter yang membuat jantung berdetak lebih kencang: dioperasi dengan segala komplikasi yang ia miliki versus kondisi makin parah jika tak dioperasi, benar-benar ibarat makan buah simalakama. Dengan kondisinya yang dijangkiti berbagai penyakit beberapa tahun belakangan ini, adalah riskan melakukan operasi, ternyata tidak gampang memang, memilih diantara dua pilihan yang beresiko tinggi bagi hidupnya.

Baru kelar urusan berobat, terdengar diujung sana, berpulangnya si bibi, tak seorangpun dari kami berani memberitakan ini kepada mama, karena kuatir kondisi psikologisnya terpengaruh. Maka cukuplah kami sesama sepupu saling menyampaikan pesan, dan memastikan tak ada secuilpun dari berita itu yang sampai kepadanya.

Tak berapa lama, berita kehilangan lainnya, berpulangnya seorang teman SMA dan kakak kelas yang masih bisa dikatakan dalam usia yang cukup muda. Di mata saya keduanya ini adalah orang baik. Si kakak kelas, berjiwa sosial, giat dalam berdakwah. Saking giatnya waktu jaman kuliah dulu sebagian kami, adik binaannya takut jika ketahuan pacaran misalnya. Dan bagi adik yg bandel seperti saya (bandel: tak bisa mengiyakan begitu saja tanpa lewat proses berpikir) maka sudah bisa dipastikan "effort" beliau lebih keras lagi. Entah mengapa kebiasaan untuk tak mau ikut-ikutan instan ini tertanam kuat sejak dulu. Tetapi saya bersyukur, dengan sikap ini, mudah-mudahan apapun yang dilakukan selalu diusahakan dengan sebaik-baiknya, karena di dorong motivasi dari dalam dan untungnya, dengan menjadi diri sendiri tak perlu memasang topeng demi menyenangkan orang lain.

Ah, semoga si kakak mendapat tempat yang baik di sisiNYA, demikian juga teman SMA yg masih lajang ketika kembali. Kami tak terlalu dekat ketika SMA tetapi rutin berkomunikasi terkadang ketika mudik ataupun ketika bercanda di sosial media. Di tengah grup alumni yang mulai puritan, saya merasa mendapat teman ketika membaca komentar beliau. Ketika semuanya terbiasa menjadi homogen, maka pendapat yang berbeda akan dibahas, dihakimi oleh "self made" hakim-hakim itu. Meski tak ikut meramaikan percakapan disana, saya terhibur oleh caranya menanggapi cemoohan sekelompok "homogenous creatures" tadi. Yang terkadang lupa bahwa menjadi pribadi yang baik itu terlihat dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain atau kelompok lain. Sulit mendapat teman seperti ini yang selalu menjaga ucapannya dan tak pernah terdengar menyakiti. Semoga jalanmu lancar teman, menuju keabadian, semoga disanalah kau bertemu jodohmu.

Terus terang, kepergian ketiga orang ini membuat saya berpikir, apa yang kita tinggalkan ketika suatu saat kita pun pergi? Saya tak ingin membahas amalan disini, karena bagi saya amal itu cukuplah kita yang tahu dan saya yakin setiap orang sedikit banyak pasti berusaha memperbaiki amalannya.

Lalu saya teringat tentang menjadi orang baik, penolong, bermanfaat bagi sesama, setidaknya itu bisa menjadi legacy kita. Entahlah belakangan ini saya berpikir bahwa ketiganya itu lebih penting ditujukan bagi yang benar-benar membutuhkan: keluarga, orang terdekat, orang miskin, anak sekolah dari keluarga tak mampu, pengungsi, orang yang tertimpa musibah. Sulit membedakan memang antara mereka yang membutuhkan dan mereka yang ingin "memanfaatkan". Golongan terakhir adalah mereka yang mampu sebenarnya tetapi ketika berhadapan dengan kita, tiba-tiba menjadi kurang mampu. Dan kita diharapkan memenuhi kebutuhannya, jika tidak maka bisa saja kita dituduh tidak berempati, kurang supportive dan lain-lain. Dan biasanya hubungan ini searah, yang satu mencurahkan yg lainnya menampung curahan tersebut.

Menjadi baik, mestinya ikhlas dalam memberi dan memberi bantuan, mestinya tidak menghitung seberapa banyak yang kita kontribusikan, gampang diucapkan tetapi sulit dilakukan. Sulit karena, tidak selamanya kita ada dalam kondisi pemberi sementara mereka yang terbiasa diberi terlanjur berharap, terlebih lagi jika mereka bukan dalam kondisi yang benar-benar membutuhkan pemberian tadi, tetapi hanya terbiasa menerima pemberian dan terus berharap akan situasi yang sama.

Lalu kemarin seorang teman mengirim pesan teduh: teruslah menebar kebaikan, semampu kita, seikhlas kita, karena kita tidak pernah tahu amal yg mana yang akan menjadi berkat kita kelak.