Sunday, March 19, 2017

See you on the other side of life Mum!

 
 September 2016

Tiba-tiba harus kembali mudik berhubung si kakak yang selama ini menjaga si mamak bertemu jodohnya. Long story short ga pakai lama-lama, mengingat usia keduanya sudah tak lagi muda. Padahal baru dua minggu menjejakkan kaki di rumah dan di tengah-tengah house hunting yg bikin wiken hilang begitu saja.

Saat sampai seperti biasa mengucap salam, belok kanan ke kamar si mamak dan say hello. Dia tersenyum lalu kembali menerawang dan berbicara tentang si anu dan si anu, teman dan kenalannya dari tahun 60-an. Masa dimana saya sendiri belum lahir.

Begitu sibuknya weekend itu sehingga, tak banyak waktu yang terluang buat mamak. Untunglah tiga bulan hingga dua minggu sebelumnya saya bolak balik ke rumah dan mengusahakan kembali saat wiken saat ada jadwal ke Indonesia dan memutuskan bekerja dari rumah.

Perubahan fisik dan mental nya terlihat signifikan. Tubuhnya makin ringkih, ingatan terkadang pada saat ini tetapi kebanyakan kembali ke masa lalu. Lalu ketika saya akan ke airport dengan senyum penuh harap di matanya ia berujar," kalau nanti mama sembuh bawa ke Australia ya?".Saya hanya mengangguk kepala dan tersenyum.

Semangat itu. Semangat yang tak pernah padam. Semangat itu pulalah yang tampaknya membuat ia begitu kuat dalam menghadapi penyakitnya. Setidaknya tujuh kali ia keluar masuk ICU terutama dari gula dan kanker thyroid yang akhirnya menyerang ke berbagai organ dalam 12 tahun ini, namun semangat itu tak pernah padam.

Tiga tahun sebelumnya abses menyerang panggulnya dan nyaris mamak tak bisa berjalan selama enam bulan. Keadaan yang sangat ia tak suka karena harus tergantung bahkan untuk ke kamar mandi sekalipun. Lalu tak berapa lama ia bangkit kembali, dan mulai belajar berjalan persis seperti bayi pelan, lalu cepat dan kadang kami yang menyaksikan suka tertawa karena ia sulit mengontrol berhentinya.

Perempuan yang telah melahirkan 7 anak, membesarkan keponakannya, membantu yang lainnya hingga tamat sekolah, menampung anak-anak didiknya yang putus sekolah di rumah kami. Perempuan yang kadang sangat cerewet tetapi berhati lapang, yang rela hidup sederhana asalkan anak-anaknya bisa sekolah atau kursus di tempat yang bagus.

Ia pernah bercerita, kalau keluarganya terpandang di kampung kami. Dan ketika ia mengikuti pendidikan sekolah guru di tahun 60-an si mama ngekos dengan keluarga Cina. Disana ia menyadari terpandang itu tidak ada artinya, banyak orang yang jauh lebih maju, beretika baik, menjalani kehidupan yang baik karena mereka berpendidikan. Tampaknya pengalaman ini memicu semangatnya untuk mengutamakan pendidikan bagi keluarganya sendiri.

Si mamak yang mengajarkan kami bahwa harta, jabatan tidak boleh dijadikan ukuran untuk memperlakukan manusia, bagi dia semua sama saja. Mungkin sikap egaliternya ini tertanam bagi kami hingga sekarang, tidak sungkan terhadap yang diatas juga tidak rendah melihat yang dibawah. Bahwa manusia itu sama saja apapun latar belakangnya. Si mamak yang suka mengundang tukang beca untuk ngeteh sore-sore di teras rumah. Jangan kaget kalau tiba-tiba ada 3-4 beca nangkring di depan rumah karena mereka sedang dijamu teh dan penganan sekadarnya.

Setelah pensiun dari mengajar, mamak memiliki hobi baru berbelanja ke pasar, membeli baju dan dibagikan kepada orang-orang di sekitarnya. Meski berulang kali di ingatkan agar uangnya tidak dihabiskan begitu saja tetap saja ia melakukannya. Terkadang yang membuat gusar, ketika ada yang datang dan mamak akan memanggil kami agar memberi mereka uang seraya mengatakan "mereka orang susah, bantulah".

Demikianlah, ketika kakak menelepon kali ini, bahwa mamak sakit stau persatu kami, anak-anaknya bergegas pulang. Adik saya mengatakan sebaiknya saya memonitor dulu situasinya karena saya jauh dan ia mengupdate saya setiap hari kondisi mamak.

February 2017

Akhirnya saya memutuskan pulang, karena badan berada disini sementara pikiran selalu melayang kesana. Bismillah, saya berdoa kepada Allah agar diberi kesabaran apapun yang terjadi. Saya teringat ketika harus pulang tiga tahun yang lalu menghabiskan 9 jam berurai air mata karena kondisinya yang kritis.

Sampai di bandara saya langsung ke RS, ternyata dokter mengatakan bahwa ia boleh pulang. Maka pagi-paginya kami siap-siap membawanya kembali ke rumah. Semua anak-anaknya berkumpul bergantian menjaga di tempat tidur, mengusap kepalanya, menggenggam tangan seraya mengaji, berdzikir dan berdoa memohon kesembuhan bagi si mamak. Wajahnya terlihat begitu tenang dan bahagia mungkin karena dikelilingi anak-anaknya tetapi bicaranya mulai tidak jelas.

"Itu ada dua orang, mereka membimbing mama", katanya. Seraya menunjuk ke langit-langit kamar. Lalu ia bersyahadat seolah-olah mengikuti mereka. Berulang-ulang disela percakapan kami.

Tak lama ia mengatakan ditinggalkan oleh kakaknya yang sudah berpulang "ah, mungkin jalannya buruk (jelek) ya, makanya ga diajak, tapi kog Siam (kakak satu-satunya yang masih hidup) ga terlihat ya?, makamnya pun ga ada". Deg! Tentu saja karena beliau masih hidup di kampung mereka. Lalu kami berbicara berbagai hal, kebanyakan menanggapi ucapan si mama yang kesana kemari. Setahun belakangan ini kami hanya mengikuti apa yg ia bicarakan karena komunikasi dua arah sudah sulit dilakukan. Dalam jam-jam ini, terkadang ia mengenali kami hanya dalam hitungan 5-10 menit, selebihnya kami adalah dua orang yang saling berbicara tapi seperti baru kenalan.

Kamu kog kamek bana katanya, kamek adalah ungkapan yang digunakan orang Minang untuk mengatakan molek, lovely etc. Dan ia menanyakan saya dari suku apa. Mungkin bagian yang paling sedih adalah bahwa ia tak lagi mengenali anak-anaknya. Dan ketika mengenali dia tersenyum, memonyongkan bibir dan kadang minta dicium. Dia menjangkau adik saya yang berdiri disamping tempat tidur dan mencium kepala si bungsu, lalu menoleh ke kanan dan memberi tanda agar saya mendekat dan menciumnya. Saya membuatkan bubur tetapi ia menolak makan, sudah dua hari ini sejak dari RS ia tak lagi mau makan, maka kami memasukkan makanan lewat IV dan dibantu dua perawat yang datang bergantian memastikan mamak tidak kekurangan asupan makanan.

Pada hari kedua, ia mulai jarang berbicara, hanya tersenyum, tidur dan membuat gerakan tangan seperti memanggil dari tangan kanan dan menolak dari kiri. Ketika kakak saya tiba, ia terjaga dan si kakak bercanda minta uang. Pelan-pelan mamak terlihat membuka tas di atas perutnya, membuka resleting atas, memilah-milah tasnya dan membuka resleting kecil, namun tak ada uang disana. Saya teringat orang mengatakan bahwa ibumu memikirkanmu hingga akhir nafasnya dan takjub menyaksikan sendiri kejadian ini. Saya berhasil memasukkan tiga sendok bubur pada hari itu, disertai candaan "makan ya Ma? kalo ga makan tar lewat loh", dengan gesture tangan dan kepala dan si mamak tersenyum dan memonyongkan bibirnya. Tak seperti alm papa dulu yang memiliki pandangan kosong menjelang kepergiannya, mata si mamak begitu hidup, memandang kami dengan kasih sayang.

Menjelang pagi, ia muntah hebat, dan kakinya semakin bengkak dan warnanya menguning. Meski dokter telah mengatakan bahwa tak banyak yg dapat mereka lakukan lagi kami tetap membawanya ke RS. Paling tidak mereka bisa memberi perawatan yang membuatnya nyaman.

Demikianlah, kami berjaga bertujuh, di satu sisi inilah kesempatan dimana kami berkumpul lagi seperti masa-masa tumbuh kembang dulu, di sisi lain mamak terbaring lemah dan lebih banyak tidur. Saya membisikkan permintaan maaf dari kami atas kebandelan kami, atas kesusahan yang kami timbulkan dan menyebutkan nama kami satu persatu dan mengatakan bahwa kami ridha atas usahanya membesarkan kami dan semoga Allah meridhoinya dan meridhoi kami semua. Ada air mata menetes di pipinya. Kami bergantian mengaji, melafalkan syahadat dan dzikir di sampingnya setiap 3-4 jam, memegang nadinya sambil melafazkan namaNYA seraya memohon jika masih mungkin agar si mamak diberi kesembuhan tetapi jika Allah berkehendak lain semoga ia dijemput dengan kelembutan.

Malam ke dua di RS tangannya sudah tak lagi kuat menggenggam tangan kami, hanya bergerak sedikit, menjelang pagi nafasnya mulai terkonsentrasi di dada dan dokter menyarankan di bawa ke ICU untuk memonitor jantungnya. Ketika kamar kami kosongkan pagi itu, saya terduduk dan tak terasa air mata menetes. Nampaknya akhir hidup mamak sudah semakin dekat, urine nya mulai berhenti sejak kemarin, dan ia dalam keadaan tidur yang dalam.

Terduduk sendiri di kamar itu ingatan saya melayang ke masa kecil, ketika saya mengintip di jendela saat adik bungsu lahir, menangis mencari-cari mamak keliling rumah dan merasa sendiri karena orang-orang bergegas ke kamar melihat si kecil, ingatan samar-samar belajar bacaan shalat dan al fatihah menjelang tidur dan keluar masuk mukena putihnya saat-saat beliau shalat dan meniru gerakannya. Bersembunyi di balik mukena membawa perasaan paling aman saat itu. Mamak yang bagi saya sangat perkasa, membesarkan kami terkadang harus berpisah dari Bapak yang bertugas di kabupaten/kota lain, yang bekerja sekaligus handal mengurus kami dan setiap malam masih mengajar kami dan banyak sekali anak murid nya di rumah. Mamak yang menjadi motivator utama kami anak-anaknya.

30 menit menjelang pukul 6 sore 15 February 2017, suster memanggil kami ke dalam, setengah jam sebelumnya kami keluar dari ruangan agar ia istirahat. Kulit si mamak telah berubah kuning pucat dan jari-jarinya terlihat penuh sehingga kaku dan kulitnya terasa dingin. Alat monitor jantungnya menunjukkan angka menurun. Kami mengelilinginya sambil mengucapkan "Laa ilahaa illalah". 30 menit yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata, antara harapan kesembuhan yang semakin pudar, berserah diri sepenuhnya untuk alternatif lain yang ditetapkanNYA, sejenak kepalanya bergerak dan ia tersenyum dan angka di layar monitor semakin mengecil lalu datar. "Inna lillahi wa inna ilaihi roo'jiuun" orang yang paling kami sayangi seumur hidup, telah pergi, tepat 4 hari setelah hari lahirnya yang ke 79. "Allahhummaghfir lahaa warhamha wa'aafiha wa'fu anha". Semoga Allah memberimu tempat terbaik, menyayangimu sebagaimana kasihmu pada kami dan mempertemukan kita kelak di surgaNYA...

Catatan:

Kematian adalah hal yang tidak dapat dielakkan dan merupakan takdir yang akan menimpa siapa saja. Menyaksikan kepergian si mamak ada beberapa tanda-tanda yang dapat di kenali antara lain yang mungkin bermanfaat:

Tiga bulan menjelang:
Nafsu makan semakin berkurang, semakin mengisolasi dari dunia luar, tidak lagi terlalu peduli ataupun ingin berintaraksi dengan teman, keluarga maupun tamu yang berkunjung. Jika berbicara pun lebih sering tidak menyambung karena lebih cenderung berbicara sendiri tentang masa lalu. Terkadang berbicara akan pergi, akan pulang dan menunjukkan kasih sayang pada keluarga dekat baik lewat ucapan maupun tanda-tanda fisik seperti memandang keluarga penuh kasih sayang, mencium anggota keluarga maupun memberi aba-aba ingin dicium, di sentuh dsb.

Seminggu menjelang:

Nafsu makan berhenti sama sekali. Mengalami halusinasi seperti melihat ada yang menghampiri, atau melihat keluaga (orang tua, saudara) yang telah berpulang datang berkunjung. Gerakan tangan berulang-ulang terkadang memegang ujung kain atau seperti gerakan memanggil sesuatu yg terus menerus, suhu tubuh turun sekitar 1 derajat, perubahan warna kuku dan kulit, berkeringat, tarikan nafas lebih kencang dari biasanya dan terkadang nafas terasa tercekat, diikuti tidur yang panjang.

Beberapa jam menjelang:

Terkadang ada energi untuk sekedar menoleh atau membuka mata, nafas semakin tidak teratur, bibir dan kuku berubah warna semakin memucat, semakin tidak responsive tetapi pendengaran mungkin masih berfungsi, pendengaran diyakini masih berfungsi meskipun dalam kondisi ini, disarankan tetap mendampingi dan berbicara/ berdo'a bersama. Akhirnya nafas akan berhenti demikian juga dengan detak jantung.