Sunday, October 28, 2012

The chronicle of moving around

Percakapan lewat "whatsup"dengan seorang sahabat baru-baru ini menginspirasi saya menulis sedikit refleksi selama hidup berpindah-pindah termasuk tinggal di luar Indonesia.




Meskipun berpindah-pindah bukanlah hal yang baru bagi saya, yang sejak kecil pindah mengikuti ortu dari tempat saya lahir hingga menyelesaikan kelas 2 sekolah dasar ke provinsi tetangga hingga kelar kuliah.

Setelah kuliah, saya memutuskan untuk mencari pekerjaan di tempat lain dan mendarat di Jakarta selama enam bulan diikuti 2 tahun di Lombok dan kembali ke Jakarta selama 3 tahun yang di selingi dengan pekerjaan di pedalaman. Praktis sejak bekerja, saya jadi terbiasa melakukan segala sesuatu sendirian.

Saat ini kepindahan tersebut terasa seperti siklus beberapa tahunan, 3 tahun di Jakarta dilanjutkan dengan 4 tahun tahun di Washington DC yang diselingin dengan kesempatan melanjutkan sekolah di Belanda serta bekerja di DC sebelum akhirnya pindah lagi ke Australia.

Pindah ke tempat baru kadang terasa seperti jaman sekolah dulu, setelah semester selesai, kita akan memiliki buku catatan baru dan menulis lagi dari halaman pertama. Ada hal-hal yang tak berubah dari berbagai kepindahan tersebut, tak jauh berbeda dengan pindah pertama kali ketika masih SD, rasa penasaran dan deg-degan akan tempat baru, bagaimana menjalin persahabatan baru, siapa orang-orang yang akan di temui, dimana mendapatkan barang barang maupun kebutuhan dasar dan sebagainya. Tak ubahnya ketika saya menjejakkan kaki pertama kali di sekolah dasar di tempat baru, semua terasa asing, teman-teman saya tertinggal di tempat lama dan butuh waktu untuk dikenal dan mengenal teman dan guru-guru di tempat yang baru.

Tinggal di tempat/ negara baru otomatis membawa perubahan terhadap pola pikir dan kepribadian. Mau tak mau tempat yang ditinggali, interaksi dengan budaya lokal, sistim yang berlaku membuat kita beradaptasi dengan cara-cara baru dan mendorong terjadinya perubahan baru dalam diri kita. Misalnya basa basi yang umum dalam budaya asal, tidak relevan diterapkan dalam budaya barat. Sehingga lama kelamaan membuat kita terbiasa berbicara "to the point", menolak atau menerima tawaran secara langsung yang kadang mengejutkan ketika dilakukan saat mudik misalnya. Juga semakin kritis ketika menerima informasi, tidak mudah mempercayai segala sesuatu sebelum mengumpulkan bukti-bukti pendukungnya.

Tinggal di negara maju kadang juga membuat tumbuhnya rasa "iri" berkepanjangan. Iri karena kita selalu mempertanyakan mengapa negara ini bisa begini dan begitu mengapa negara saya tidak? Mengapa disini kebersihan terjaga baik? mengapa tak terlihat perumahan kumuh dimana-mana? mengapa semua orang tampak hidup dalam standar hidup yang cukup bermartabat? mengapa transportasinya bagus sehingga orang-orang yang berpenghasilan lebih juga lebih memilih naik bus? mengapa banyak sekali sarana publik sehingga mudah untuk sekedar piknik atau berolahraga? serta sejuta mengapa lainnya yang menggelembungkan rasa iri tadi. Mengapa mereka bisa membangun kelas menengah yang mayoritas, sehingga tak terlihat perbedaan atau kesenjangan yang mencolok antar masyarakatnya?

Dalam pandangan pribadi saya, kecilnya kesenjangan ini juga membangun sikap positif terhadap individu. Orang lebih memandang sesamanya sebagai manusia setara, dibandingkan merasa istimewa karena status atau jabatan yang diemban. Misalnya dekan sekolah dulu, dengan senang hati berbaur bersama mahasiswa saat makan siang di kantin kampus dan kami lebih terkejut lagi melihat ia pergi mengajar bersepeda, demikian juga dengan salah satu dosen laki-laki yag juga berperan sebagai "editor/reviewer" utama salah satu jurnal bergengsi ketika selesai mengajar ia mengambil sepedanya dimana di bangku belakang terpasang kursi kecil untuk anak balitanya, sambil tersenyum ia mengatakan harus buru-buru karena hari itu gilirannya menjemput si anak di tempat penitipan anak. Entah mengapa, keduanya terasa lebih istimewa, di satu sisi mereka sangat ahli di bidangnya terbukti dengan deretan jurnal ilmiah yg mereka keluarkan maupun performanya di kelas saat mengajar dan disisi lain prilaku mereka terasa sangat wajar dan tidak memiliki "mental pejabat" yang berjarak maupun sok berkuasa. (Saya percaya tidak semua pejabat bermental seperti itu)

Hidup di luar kadang membuat kita mempertanyakan kembali hal-hal yg selama ini kita anggap wajar, dan kalau beruntung memberi kesempatan untuk merefleksikan kembali nilai-nilai yang kita anut, yang saat ini terasa sangat kontras karena kita berjarak dari tempat kebiasaan-kebiasaan tersebut berlaku. Mau tak mau terjadi proses "learn-unlearn dan re-learn" secara berkesinambungan.

Namun hidup diluar juga berarti, mau tak mau seiring dengan waktu, di tempat asal kehidupan juga bertumbuh tanpa kita terlibat di dalamnya. Orang tua kita bertambah usianya, sesekali mereka jatuh sakit, saudara-saudara kita memiliki pasangan baru, anggota-anggota keluarga baru bermunculan dan tumbuh, mereka merayakan banyak hal bersama, juga menangisi kepergian orang-orang yang sama-sama kita kasihi, tetapi kita tidak ada disana bersama mereka. Sahabat-sahabat yang dulu sangat dekat mereka tumbuh bersama sesuai bertambahnya usia, berbagi suka duka, memiliki sejarah panjang, tetapi sejarah kita terpotong, terhenti pada suatu masa dan ketika kita kembali, banyak cerita yang tak lagi bersambung meskipun kita sangat bahagia walau bisa berjumpa sebentar saja. Tetapi pembicaraan kadang terasa artifisial, tidak menyentuh hal-hal yang pokok karena jarak tak dapat berdusta, jarak membuat kita tak bisa lagi leluasa berbagi kehidupan seperti dulu.

Hidup diluar dalam pengalaman pribadi saya membuat kita terperangkap akan tempat-tempat di masa yang telah kita lalui dan kerinduan akan tempat asal. Banyak hal-hal baru yang kita temui, banyak kesempatan untuk memperbarui diri, bertemu dengan budaya budaya dan orang-orang yang berbeda, tetapi bagaimanapun kita adalah orang luar bukan warga lokal dan disisi dunia lain, kehidupan juga terus berjalan dan kerinduan kita tidak akan ada habis-habisnya.

Tak jarang, ada masa dimana kita berpikir dan penasaran dengan apa yg sedang terjadi di belahan sana, di tempat asal kita. Mungkin itulah "jebakan berpindah tempat" di benak kita dua dunia bersilangan, di tengah semakin beradaptasinya kita di tempat baru kerinduan akan tempat asal tak pernah berkurang.














Thursday, October 4, 2012

What About Made in Indonesia?

Ada satu hal yang sering saya amati ketika jalan bersama tetangga asal Jepang ketika tinggal di Amerika dulu. Kecintaan mereka terhadap produk asal Jepang.

Ketika pergi ke supermarket, mereka selalu melihat labelnya, dan sangat gembira ketika melihat ada produk negerinya dan dipastikan membeli produk tersebut dibanding produk asal negara lain. Dalam pengamatan saya, mereka sangat loyal terhadap barang-barang produksi dalam negerinya dan selalu mengutamakan membeli produksi dalam negeri dibanding produksi negara lain seperti China yang kadang harganya jauh lebih murah.

Di Australia supermarket dipenuhi produk Australia. Dan tidak itu saja, di masing-masing stan tertulis "Product of Australia" dalam ukuran cukup mencolok dan memang rata-rata bahan kebutuhan yang ada disini di produksi secara lokal, bahkan jika mereka mengimpor produk dari luar dalam kemasan botolnya akan tertulis "Imported by Australian Company". Ada penekanan terhadap aspek "Australia" pada berbagai produk yang dijual disini.

Jika di Jakarta dengan mudah kita menjumpai berbagai toko fashion menengah dari ZARA, H&M, hingga merk-merk papan atas dan disini pasar tampaknya didominasi oleh merk-merk lokal, termasuk oleh toko-toko berukuran kecil dan menengah meskipun toko-toko papan atas juga tersedia dengan lokasi tertentu dan tampaknya terbatas. Bahkan Australia juga memiliki jaringan fast food sendiri seperti "Hungry Jack" yang pada awalnya adalah franchise dari Burger King tersebar di banyak tempat.

Jika dibandingkan dengan supermarket di Jakarta misalnya, beberapa produk buah-buahan berlabel Australia seperti apel, anggur, jeruk dan strawberry maupun produk lain seperti daging sapi dapat kita temui tetapi sejauh ini saya belum pernah mendapati produk buah asal Indonesia dijual di supermarket lokal, seperti mangga misalnya.

Salah satu produk Indonesia yang tersebar ke mancanegara adalah Indomie dari Indofood. Di Amerika bahkan Australia Indomie mejeng di rak-rak supermarket lokal. Dan beberapa produk lain dalam jumlah kecil dijual di Asian Market seperti berbagai bumbu, krupuk, sambal botol tampaknya menyasar komunitas Indonesia yang tinggal di luar negeri.

Saya teringat akan seorang sahabat, Rita, dimana kita berdua dulu sering pergi berbelanja bersama, ketika ia melihat label pakaian "made in Indonesia" dengan seyum lebar ia akan berkata "lihat, ini buatan Indonesia, maka dipastikan ia akan memilih produk tersebut". Saya lupa menanyakan apa yang membuatnya begitu cinta pada produk Indonesia, apakah karena ada kesadaran akan pentingnya membeli produk sendiri atau semata-mata karena rindu pada tanah air?

Saya paham tak semua kebutuhan dapat di suplai dari dalam seperti barang-barang berteknologi tinggi tetapi berbagai kebutuhan dasar mungkin bisa dipenuhi dari dalam tentunya dengan dukungan kebijakan yang tepat.

Bagi pendatang seperti saya, kadang saya berpikir, apa yang terlebih dahulu hadir? kecintaan terhadap produk dalam negeri? kualitas yang bermutu? regulasi pemerintah dalam menjaga mutu ? regulasi  perdagangan? proteksi terhadap pengusaha dan petani lokal?

Atau kesadaran bahwa mengutamakan produk dalam negeri akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat sendiri sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi seperti yang dilontarkan teman saya asal Jepang itu.

Hmmm....saat ini hanya satu kata yg terlintas, "semoga".