Friday, October 22, 2010

Film Review: The secret in their eyes

Cinta, topik yang tak pernah selesai untuk dibahas dan tak pernah menjadi terlalu membosankan untuk selalu dibicarakan. Di film ini yg bertema ttg pembunuhan yg tak terungkap sang sutradara berhasil menjalin kekuatan cinta justru dengan berbagai ironi yg melingkupinya.
How much would you go for love? Pertanyaan tersebut seringkali menjejeri langkah orang2x yang mengalaminya. Demikian juga dengan pemeran-pemeran di film ini. Seorang suami yg kehilangan isteri yg dicintainya, yg telah berbagi hidup dan menikmati kebiasaan dan rutinitas yg mereka miliki, yg telah begitu beruntung mendapatkan cinta dalam hidupnya, seorang sahabat dari masa kecil yg menyimpan cinta begitu dalam, memendamnya dan kecewa dan berusaha merebutnya dengan cara yg tragis, seorang kolega yg rela berkorban demi menyelamatkan hidup koleganya yg telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kemelut hidupnya, seorang perempuan dan laki-laki yg diam-diam saling mencintai tetapi berada diantara tembok yg tinggi berupa latar belakang keluarga dan status yg memisahkan mereka. Lalu pada suatu titik semuanya bertemu dan berbaur, mencari jalan masing-masing. Waktu mungkin terus berjalan, pikiran kita bisa memanipulasi hasrat akan cinta tetapi, pancaran cinta dari hati yg keluar lewat mata menyimpan rahasia yg terdalam, sekarang atau nanti, melupakan atau terus berjalan, melakukan sesuatu atau justru menyimpannya dalam kenangan, cinta hanya terjadi kalau kita berani mengambil kesempatan untuk mewujudkannya, so how much would you go for love?

Film Review: Vicky Christina Barcelona

Dua sahabat berlibur di Barcelona, Vicky (Rebeca Hill) seorang mahasiswa yang mempelajari Catalan yang memiliki tunangan di New York dan sebentar lagi akan menikah dan yakin sekali bahwa dalam hidupnya ia selalu tahu apa yang ia inginkan bersama sahabatnya Christina (Scarlett Johansson) yang bertolak belakang kepribadian, menjunjung tinggi kebebasan dan selalu menikmati petualangan dalam hidup dan anti kemapanan yang tidak selalu tahu apa yang diinginkan bertemu seorang pria di pameran lukisan.

Pria tersebut, Javier Bardem baru saja bercerai dari istrinya Maria Elena (penelope Cruz), perceraian yang mengundang perhatian karena dikabarkan dia atau istrinya nyaris saling membunuh. Barden yang belakangan bertemu mereka di sebuah restoran mengajak keduanya menghabiskan weekend bersama, jalan-jalan, makan-makan dan bercinta.

Christina sangat antusias terhadap tawaran tersebut tetapi Vicky sewot karena ia tidak merasa nyaman dengan ide tersebut dan ia akan segera menikah. Christina mengiyakan tetapi tidak menjanjikan acara bercinta. Akhirnya demi misi menyelamatkan Christina ketiganya terbang ke pulau yang juga kampung halaman Barden.

Lalu apa yang terjadi dengan Vicky? Bisakah air dan minyak ini akur demi Christina? Sekembalinya dari liburan bersama Christina memutuskan untuk tinggal dengan Barden, sementara Vicky yang menikah "kejutan" di Barcelona dengan tunangannya tetap tidak bisa menghapus kenangan di pulau bersama Barden.

Kejutan lain muncul pada saat Maria Elena datang ke kediaman Barden dan tinggal bersama, jadilah ketiganya, Barden, Christina dan Maria Elena menjadi tiga kekasih yang hidup akur di bawah satu atap. Christina yang menghargai kebebasan justru menjadi perekat hubungan ketiganya, dan mendalami photography hingga suatu hari, ia mempertanyakan nilai yang kini dianutnya? ada sesuatu yang hilang yang ia rasakan, juga pertanyaan-pertanyaan lain yang melanda hatinya akan hubungan yang ia jalani, Barden dan Maria Elena kembali menjadi sepasang kekasih yang too good to live in peace and harmony dan kembali ke jaman "to love is to kill" dan hengkang dari kediaman Barden.

Vicky akhirnya secara terbuka meluapkan isi hatinya kepada Christina dan dibantu oleh saudaranya yang menjadi host mereka di Barcelona bertemu kembali dengan Barden dalam pameran lukisan. Vicky mulai kehilangan arah antara mempertahankan suaminya atau mengikuti Barden yang bohemian, saat keduanya nyaris bercinta di kediaman Barden, beberapa tembakan meletus dari pistol Maria Elena. Lalu apa yang terjadi?

Hehehe kayanya ga seru kalo diceritakan semua yang pasti akting Penelope Cruz sebagai seniman nyentrik di film ini patut diacungi jempol, demikian juga dengan pertanyaan-pertanyaan batin Christina akan pencarian yang tak pernah berakhir dalam hidupnya.

Yang pasti dua sahabat yang berlibur ini sepertinya akan lebih bijaksana sekembalinya mereka dari Barcelona dan bagi sesiapa yang kangen dengan kota ini view Barcelona ala Gaudy disajikan lengkap difilm ini.

Wednesday, October 20, 2010

Perihal menutup aib

Beberapa kali saya membaca tentang anjuran menutupi aib, bahkan beberapa teman berdo'a dalam status mereka di jejaring sosial online supaya aibnya di tutupi. Saya tergerak untuk mengerti lebih dalam tentang aib tsb.

Pencarian saya di google menuntun saya pada blog berikut ini:

http://papafariz.blogspot.com/2007/06/definisi-aib-dan-saudara.html

Pertanyaan yg beliau ajukan dan uraiannya ditulis dengan bagus. Jadi menurut anda apakah aib itu? apakah orang-orang yang melakukan tindak kejahatan seperti mencuri, korupsi, dan lain-lain yang jelas-jelas merugikan orang banyak juga mesti ditutupi? Lalu apa definisi aib sesungguhnya dan bilamana ia harus ditutupi? Mohon pencerahannya.

Monday, October 18, 2010

Pengalaman menjadi relawan di negeri paman Sam.

Menjadi relawan bukanlah hal yang baru buat saya. Terlepas dari apa yang menjadi definisi formal dari relawan tersebut, ingatan saya tentang melakukan sesuatu secara sukarela kembali ke masa kecil, saat dimana saya menemani Ibu saya berkunjung ke rumah kerabat jauhnya yang rata-rata berusia lanjut, yang tinggal lumayan jauh buat kaki kecil saya dari rumah kami. Tak jarang rumah mereka di tempuh dengan berjalan kaki 30 menit dari tempat kami tinggal, menapaki jalan kampung yang menanjak dan melewati areal persawahan.

Ingatan saya yang samar-samar, melihat ibu saya membawa makanan yang telah disiapkannya dari rumah, memindahkan makanan tsb dengan cekatan lalu memandikan kerabatnya tersebut, memotong kuku bahkan rambut mereka, dan membereskan ruangan yg tak seberapa luas sebelum menarik saya beranjak dari sana untuk pulang ke rumah.

Kegiatan tersebut, dilakukannya secara berkala, mengunjugi kerabatnya yg berusia lanjut, sampai akhirnya kami pindah ke kota besar dan ia disibukkan dengan kegiatan mengajar di sekolah.

Pengalaman pertama menjadi relawan adalah saat saya terlibat mengajar anak jalanan di sebuah stasiun bus di kota saya. Lembaga sosial yang menaungi anak-anak tersebut mengijinkan saya dan beberapa teman untuk mengajar mereka hal yang sangat sederhana yaitu membaca dan berhitung. Anak-anak usia sekolah ini menghabiskan waktunya di terminal bekerja apa saja untuk mengumpulkan rupiah. Tak jarang, saat kami sedang berkonsentrasi mengeja sebuah kata, tiba-tiba bus datang beruntun dan mereka berlarian mengejar penumpang menawarkan jasa mereka, sehingga kelas yang tadi penuh oleh anak-anak seketika kosong melompong dan saya hanya bisa menunggu mereka kembali untuk melanjutkan pelajaran tadi.

Sesekali, kami para relawan membawa makanan seadanya untuk dibagi bersama anak-anak tersebut, entahlah ada krisis dalam pikiran saya antara meminta mereka untuk tertib atau membiarkan mereka larut dalam kegembiraan mereka, berlarian kesana kemari mengejar temannya yang melarikan kantung makanan yang kami bawa. Sayang sekali kesibukan mencari kerja setelah menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah menyebabkan kegiatan sukarela ini tak dapat lagi dilanjutkan.

Empat tahun setelahnya, relawan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di dunia kerja. Sebagai bagian dari organisasi kepalangmerahan dunia, partner lokal kami bertumpukan pada relawan dalam setiap kegiatannya. Relawan disini lebih terorganisir, mereka diberi orientasi tentang organisasi, di berikan berbagai macam training serta dukungan biaya sesuai standard yang di terapkan organisasi. Relawan ini juga di latih untuk memiliki spesialisasi tertentu sesuai kebutuhan masyarakat yang mereka layani dan servis yang di berikan organisasi. Dan kebanyakan dari relawan-relawan ini adalah mereka yg masih di bangku sekolah. Dan tak jarang, mereka dikirim ke berbagai pelatihan di berbagai tingkat, mulai dari lokal hingga internasional.

Lalu, di tempat yang baru saya tinggali beberapa tahun ini, saya mulai kembali berkecimpung di dunia kesukarelaan ini. Dengan menjadi relawan di sebuah organisasi yang ada di county tempat tinggal saya. Tak jauh berbeda dengan pengalaman sebelumnya, relawan disini mendapat orientasi selama dua hari di akhir pekan, untuk mengenalkan para relawan terhadap organisasi, misi dan visi yg mereka emban serta servis yang di berikan. Tetapi yang membedakannya adalah, semua kegiatan sepertinya di pusatkan untuk memaksimalkan efisiensi.

Training biasanya dilakukan di akhir pekan, atau dimalam hari setelah jam kerja, dipandu oleh satu atau dua fasilitator yang juga sebagian besar adalah relawan, dan jarang sekali di sediakan makanan/ snacks kalaupun disediakan menunya sangat simple dan sederhana jauh sekali bedanya dari training-training dimana saya pernah terlibat di tempat asal saya.

Dan yang paling menarik dalam training ini adalah bahwa fasilitator bukanlah mutlak sebagai narasumber tetapi ia dengan lihainya menstimulasi peserta untuk berdiskusi dan berbagi pertanyaan, pengalaman serta pemahaman mereka, disini saya kembali mengalami sebuah "students centered learning" yang berpijak pada asas "knowledge construction" sesuatu yang saya pelajari pada saat mendalami studi master beberapa saat yang lalu dan bukan sekedar "rote memory learning", yang berfokus pada mengingat pada apa yg dipelajari. Mereka yang telah menjadi relawan selama dua tahun boleh mengikuti training untuk menjadi fasilitator.

Mengamati sesama relawan, terlihat sekali bahwa tenaga sukarela ini di dominasi oleh para professional di berbagai bidang serta banyak sekali yang berasal dari mereka yg usia pensiun. Tetapi kemampuan mereka dalam bekerja, berdiskusi saat training ataupun pertemuan berkala tak diragukan lagi.

Sesekali, saya terlibat dalam kegiatan advokasi/sosialisai untuk organisasi dalam berbagai acara di komunitas. Biasanya untuk event sepanjang hari terdiri dari dua shift pagi dan siang. Salah satu relawan akan membawa kendaraan organisasi yang telah dilengkapi dengan berbagai material untuk keperluan advokasi maupun sosialisasi. Untuk acara-acara seperti ini, koordinaror program mengirimkan informasi lewat email beserta daftar events/ acara di komunitas yang akan di ikuti oleh organisasi selama 1-2 bulan ke depan dan menyatakan kebutuhan akan relawan termasuk spesialisasinya jika di butuhkan. Mereka yang memiliki waktu luang, tinggal mendaftarkan diri dan beberapa hari sebelum hari H koordinator tadi akan mengirimkan lists yang akan menjadi poin-poin pembicaraan yang akan disampaikan kepada publik yang menghampiri stand organisasi di event-event tsb.

Partisipasi dalam kegiatan-kegiatan ini 100% sukarela, tanpa adanya biaya yang di berikan oleh organisasi, para relawan menanggung sendiri biaya mereka termasuk t'shirt organisasi, biaya perjalanan dari/ke tempat event diadakan termasuk biaya makanan.

Sebuah pengalaman yang berharga buat saya, melihat managemen relawan dari perspektif yang berbeda.