Saturday, March 17, 2012

Mencari Banana House-1

Tepat dua minggu tinggal di TPS (Tempat Penampungan Sementara) kami mulai mencari apartemen untuk ditempati ke depan. Ada berbagai pertimbangan yang diambil dalam mencari tempat tinggal baru ini, jarak ke tempat kerja, transportasi, fasilitas, dan akses ke berbagai tempat seperti pasar swalayan, restoran, serta berapa kamar yang tersedia.
 
Awalnya, kami sudah jatuh cinta dengan TPS di Gregory Terrace yang ditempati saat ini, lokasinya yang cukup sentral di Fortitude Valley dan P bisa berjalan kaki ke kantor serta kami bisa berjalan kaki ke pusat kota termasuk Queen Street dan China Town yang hanya berjarak 300m serta tersedianya kolam renang/ jacuzzi/gym yang terasa sangat menyenangkan. Hanya saja, Fortitude Valley adalah salah satu "party area" di Brisbane, di jalan yang kurang dari 500 meter terdapat 3-4 pubs yang memainkan musik yang berdentum keras di telinga terutama di akhir pekan.

The Story Bridge-Brisbane


Sekedar catatan, ketika kami memutuskan berjalan kaki setelah mengikuti acara berbuka bersama dari kedutaan di Dupont Circle menuju stasiun Adam Morgan yang merupakan salah satu "party area di DC yang dipenuhi anak-anak muda gaul, mengamati betapa "excitingnya" anak-anak muda ini berdandan dan berseliweran di pubs-pubs disana, kami berdua paham, "gaul" bukan lagi salah satu prioritas saat ini. Bertahan sampai jam 12 malam saja rasanya sudah luar biasa, sesudah itu, tentunya tak sanggup menanggung pagi yang terasa seperti "jet lagged" yang berlangsung sedikitnya hingga dua hari setelah itu. Ya begadang jangan begadang, kata Bang Oma. Terutama kalau tak lagi punya "stamina".

Musisi memainkan musik "Irish" pada St Patrick Festival di Queen Street.
Minggu lalu adalah saat pertama kalinya melihat apartemen, dengan menenteng catatan kecil dan pulpen, dengan sedikit deg-degan (yang tentunya tidak penting), akhirnya bus yang ditunggu-tunggu berhenti di halte. Berbeda dengan di Maryland/ Washington DC, dimana kita hanya perlu memindai kartu bus sekali saja, saat naik di Brisbane, kartu dipindai saat naik dan turun dari bus, sistim ini lebih mirip dengan menaiki metro (kereta bawah tanah di DC).

Bus segera mengarah ke utara dan berhenti di terminal Brisbane Royal Hospital, terminal yang hanya terdiri dari dua jalur, dengan beberapa kursi kayu bagi penumpang dan layar yang menunjukkan nomor bus dan tujuannya. Terminal bus terlihat sangat bersih, nyaman dan moderen. Beberapa bus terus melaju ketika tak terlihat satu orangpun penumpang yang melambaikan tangan. Ya, terasa cukup lucu karena berdiri di halte saja tidak cukup untuk membuat bus berhenti, calon penumpang harus melambaikan tangan pada bus yang mendekat, sehingga supir menghentikan bus tersebut.

Apartemen yang pertama ini "penampakannya" cukup menjanjikan seperti yang terlihat di laman www.realestate.com.au maupun www.domains.com.au dengan kolam renang di tengah serta modelnya yang menyerupai cottage terlihat menjanjikan, tetapi setelah melihat langsung pencahayaan apartemen ini terasa kurang dan kolam renang yang ada di tengah kompleks sangat kecil tak seperi yang ada digambar.

Perjalanan pulang tak semulus perjalanan pergi, karena ingin sedikit bertualang, saya memutuskan menunggu bus dari jalan yang lain, dan tiba-tiba gerimis mulai melanda, dan bus yang ditunggu lewat padahal jalan pun belum disebrangi. Lumayan juga menunggu bus selanjutnya 20 menit lebih di tengah gerimis. Biasanya di waktu "rush hour" jam pp kerja, frekuensi bus lebih banyak dibanding waktu lainnya.

Pencarian apartemen terus dilanjutkan ditengah kondisi internet yang hidup/matinya hanya operator dan Tuhan saja yang tahu. Kadang nyala sehari penuh, kadang tak ada tandanya sama sekali dan rasanya sudah malas buat mengeluh ke manejer yang noatbene baru dan belum begitu handal menangani keluhan ini.

Akhirnya, weekend ini kami memutuskan menyewa mobil untuk melihat-lihat apartemen yang ingin kami amati lebih dekat. Kami berdua yakin, melihat langsung tempatnya, mengamati lingkungan sekitar dan merasa nyaman adalah salah satu kunci utama saat memutuskan yang mana yang akan di tempati.

Di Australia, seperti halnya di Indonesia, orang menyetir di sebelah kiri. Berbeda dengan Amerika dimana penumpang duduk di sebelah kanan. Dulu selalu ada saja kejadian lucu saat menjadi penumpang disana. Ketika akan bepergian saya selalu mengarah ke pintu depan kiri dan P suka bertanya," mau nyetir ya?" sambil nyengir tentunya. Dan itu tak terjadi sekali saja, ya, kadang susah mengubah kebiasaan yang sudah berlangsung cukup lama itu. Selama tinggal di sana, saya lebih memilih menjadi penumpang, karena malas mengurus learner permit. Mestinya bisa dengan memakai SIM Indonesia, tetapi berhubung SIM saya mati dan saat akan di perpanjang urusannya lumayan berbelit ditambah tak ingin menghabiskan waktu libur untuk mengurusnya, maka dengan sukses saya tak bisa menyetir baik ketika berlibur di kampung halaman maupun ketika tinggal di Rockville.

Saran saya, buat teman-teman yang ingin menyetir di luar, jangan lupa urus SIM internasional, di Ditlantas Jakarta MT Haryono, cukup dengan membawa fotokopi KTP/Paspor dan pas photo serta membayar 250 ribu dan meluangkan waktu 15 menit saja, sudah bisa mendapat SIM Internasional yang bisa digunakan selama beberapa bulan di negara lain, sehingga tetap bisa menyetir sambil menunggu keluarnya SIM baru.

Kembali ke urusan sewa mobil, dengan posisi menyetir di sebelah kiri, akhirnya diputuskan saya yang akan menyetir saudara-saudara! Duh! Deg! Dong! Rasanya....lumayan nano-nano, terutama setelah sukses menjadi penumpang selama bertahun-tahun dan tak pernah menyetir sejak hari pernikahan tahun 2007 silam, akhirnya saya akan kembali di belakang kemudi dan di tempat asing pula ;)

Setelah sukses mengalahkan rasa khawatir, rasa "excited" dan tentunya sambil mengatasi rasa canggung, pelan-pelan saya mengeluarkan mobil mini Hyundai Getz dari kandangnya di lantai dua parkiran. Ternyata jalan yang saya pilih macet dan satu-satunya pilihan adalah mundur ke tanjakan. "Bagaimana bisa??"...seumur-umur kalau mundur ya di jalan rata dong, mestinya sih bisa aja, tetapi rasa canggung benar-benar merajai, akhirnya P menawarkan bantuan dan mengembalikan si mungil ke jalur sebenarnya :)

Tentu saja, salah "exit" tadi bukan satu-satunya petualangan saya hari ini. 300 meter meninggalkan parkiran saya mulai paham bahwa jalan di depan saya mulai menanjak dan ujungnya tidak terlihat, sementara saya masih meraba-raba berusaha memulihkan kemampuan nyetir yang lama tertidur. Akhirnya sukses juga sampai di jalan utama, dan sambil mendengar GPS dan tentunya bantuan "navigator" yang duduk disamping, saya berpikir, ya ikutin saja bus yang di depan, yang sama-sama mengarah ke kiri. Bus berbelok ke kiri lalu mengambil jalur kanan, saya dengan sigap mengikutinya, tak lama saya sadar, ya ampun! Bus kan menuju terminal! Dan tak ada jalan lain, saya dengan senyum malu-malu mengekor di belakang bus (tentunya dengan pandangan aneh penumpang yang menunggu di terminal) dan begitu ada kesempatan saya segera menyerongkan si mungil ke kiri, keluar dari jalur bus secepatnya sebelum ada yang "ngepriiit" tentunya.

Kalaupun dihentikan, saya sudah pasrah, "maaf Pak," saya baru di kota ini dan belum paham jalan, untungnya manuver tadi berlangsung mulus dan perjalanan bisa dilanjutkan. Ternyata tanjakan yang pertama tadi belum seberapa dibandingkan dengan tanjakan-tanjakan sebelumnya. Tentu saja pada saat lampu merah, rasa grogi kembali menyerang, sambil ngedumel "duh kenapa sih mobil yang dibelakang deket banget?"!!!Ga tahu apa sini masih suka mundur kalo berhenti di tanjakan, dan puncaknya, setelah berhenti di salah satu tanjakan si mungil tak bergerak maju sama sekali dan malah...sedikit mundur@$@!@@ padahal gas sudah ditekan sedalam mungkin, sambil menarik napas dan merapal doa-doa, terdengar P berkata, ya kan giginya belum masuk...(saya hanya bisa !@@$%%#@!!!!) dan si mungil kembali melesat.

Akhirnya setelah menyetir nyaris setengah hari, tak terasa memegang kemudi tidak lagi menegangkan seperti beberapa jam sebelumnya, berhenti di tanjakan bukan lagi hal yang menakutkan dan si mungil melesat lebih mulus. Dan beberapa calon "BananaHouse" mulai terlihat. Di Amerika, "unfurnished" apartemen biasanya telah memiliki kompor gas/listrik dan lemari es serta fasilitas "laundry" baik internal maupun sharing, sehingga kita hanya perlu membeli perabotan, disini hanya satu yang pasti, di dapur tersedia kompor gas, terkadang dibarengi dengan dishing machine dan fasilitas "laundry" di beberapa tempat hanya kompor yang tersedia.

Setelah enam jam di jalan dan mengunjungi beberapa area dan berhasil melihat beberapa apartemen, bertanya-tanya pada brokernya serta orang yang tinggal disana dan membuat catatan kecil mengenai beberapa tempat yang menarik perhatian. Kami memutuskan perjalanan hari ini dicukupkan sampai disini, dan berharap tak lama lagi kami memiliki tempat sendiri. Tak lupa, thanks to P yang telah menjadi navigator handal dan sangat sabar hari ini.




Monday, March 12, 2012

Kapan Kita Memulihkan Martabat Penyandang Cacat?

Dulu pertama kali menginjakkan kaki di salah satu negara Eropa, saya tertegun melihat banyaknya orang dengan kursi roda di jalanan. Pikiran naif saya berkata "ada apa dengan negeri ini?" mengapa begitu banyak penderita cacat disini? apakah angka kecelakaan demikian tingginya? atau ada sesuatu dengan "gen" mereka?"

Ternyata di seluruh dunia ada sekitar 600 juta orang menderita cacat baik fisik maupun mental dan 80% diantaranya tinggal di negara berkembang. Lalu kalau merefleksikan balik ke Jakarta misalnya, jarang sekali penderita cacat berkeliaran di jalan-jalan. Padahal sebagai ibu kota negara yang sedang berkembang bisa jadi angka penyandang cacat cukup tinggi di Jakarta.

Lalu setelah dipikirkan lebih jauh tentu saja, penyandang cacat di beberapa negara maju seperti di Amerika dan Eropa lebih "feasible", tak lain dan tak bukan karena tersedianya akses bagi mereka untuk tetap aktif dan tampil di publik.

Penyandang cacat disana mendapat kesempatan untuk bisa hidup layaknya orang normal, diberi perlengkapan dan kemudahan fasilitas untuk mendukung mobilitasnya misalnya tempat di bus ataupun metro yang memungkinkan akomodasi kursi roda, peraturan perusahaan yang memungkinkan mereka bekerja sesuai kemampuannya. Dari menjadi direktur di sebuah lembaga keuangan dunia yang terkenal hingga menjadi petugas pemungut tiket dibioskop-bioskop.

Lalu apa yang terjadi dengan penderita cacat di negara berkembang? dari disembunyikan keberadaannya karena mengundang malu bagi keluarga, diantarkan di tempat lain yang bisa menampungnya atau menghabiskan hari begitu saja dan sepenuhnya bergantung kepada belas kasihan anggota keluarganya. 

Sehingga bisa ditarik segitiga yang menggambarkan hubungan antara kecacatan-kerawanan terhadap kemiskinan dan kemiskinan (presented by ICRC berdasarkan pengalaman di negara konflik di Afrika).

Mungkin sudah saatnya kita membuka mata dan memberi dukungan bagi anggota masyarakat kita yang menjadi penyandang cacat.

Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita mulai dari menggolkan kebijakan publik yang bisa membuat mereka menjadi peserta aktif dan setara  antara lain melalui:

Mengadopsi sepenuhnya UN convention on people with disability dengan menelurkan kebijakan terkait penderita cacat. Indonesia merupakan salah satu negara yg telah menanda tangani konvensi tersebut.(http://www.un.org/disabilities/) 

Penandatangan konvensi merupakan sebuah langkah awal untuk berkomitmen dalam gagasan yang diusung konvensi tersebut, lebih lanjut diperlukan langkah konkrit untuk mewujudkannya.

Salah satu kebijakan yang bisa di ambil adalah dengan mengeluarkan peraturan yang mengakomodir kebutuhan penyandang cacat untuk bisa mendapat akses transportasi yang akan menyokong mobilitas mereka baik untuk keperluan ke sekolah, bekerja, maupun menjalankan aktivitas sehari-hari.

Dengan melibatkan penyandang cacat dalam pembuatan keputusan, maka kita bisa mengharapkan tersedianya fasilitas transportasi, jalan serta kendaraan umum yang mengakomodasi kebutuhan mereka. Tersedianya akses ini akan membuka jalan bagi mereka untuk menjalani kehidupan sebagaimana yang dinikmati penduduk secara umum.

Kebijakan lain adalah dihapuskannya diskriminasi terhadap penyandang cacat untuk bisa bekerja dalam berbagai sektor. Diskriminasi disini tidak berarti dilakukan secara formal, tetapi ada baiknya untuk berbagai pekerjaan yang layak dilakukan dengan kondisi fisik maupun mental yang terbatas, ada persentase yang khusus diberikan bagi penyandang cacat. Di Amerika, misalnya, ada petugas marketing di toko komputer yang bisu namun handal melakukan percakapan lewat layar komputer, atau di beberapa pasar swalayan, sebagian petugas logistik dan kebersihan berasal dari kalangan penyandang cacat. Mungkin pemerintah bisa memberikan "keuntungan" khusus kepada perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan penyandang cacat sebagai stimulan.

Tidak ada seorangpun yang ingin dilahirkan cacat ataupun menderita kecacatan dalam masa hidupnya. Menyembunyikan anggota keluarga yang menderita cacat adalah sesuatu yang tidak bisa diterima lagi di abad yang moderen ini. Tetapi stigma terhadap penderita cacat dan keluarganya masih terus berlangsung hingga sekarang, sudah saatnya berbagai pihak melakukan program advokasi untuk memerangi stigma yang sangat merugikan ini. Setiap orang yang terlahir memiliki bakat tertentu, tak terkecuali dengan mereka yang cacat.

Dengan kebijakan dan program yang inklusif bukan tak mungkin, ke depannya sebagian besar penyandang cacat tidak perlu lagi bergantung dengan keluarga mereka namun bisa hidup mandiri dan bermartabat.

Sunday, March 11, 2012

Semua yang (akan) dirindukan di Washington DC

Setelah melalui proses yang panjang, kami memutuskan untuk melanjutkan petualangan (sedikit terdengar hiperbola) di negara lain. Dari awal kami sadar ada banyak perbedaan selain perbedaan karakter sebagai individu tentunya. Sadar akan ini, kami memutuskan untuk tinggal di tempat baru dengan bahasa yang dapat dimengerti, dengan harapan ini akan memudahkan kami untuk melanjutkan pilihan, minat dan segala sesuatu yang ingin ditekuni.

Ya, semuanya dimulai dari awal lagi. Terkadang, rasanya seperti menulis di buku baru, tetapi tidak semuanya baru tentunya, pengalaman dan memori mengenai hari-hari yang telah dilalui tidak bisa dihapus begitu saja, melekat, membaur, membentur dan menciptakan keseimbangan baru, bagai siklus yang tak pernah berhenti.

Dengan waktu tinggal yang singkat, banyak pengalaman yang tercipta, mengunjungi berbagai tempat, mencoba memahami apa yang dilihat, bertemu teman-teman baru, menciptakan persahabatan di negeri asing, terpapar dengan hal-hal baru dan tentunya mendapat pemahaman yang baru mengenai berbagai hal yang terasa asing sebelumnya.

"Saya akan merindukan berkendara di jalan ini," kata saya pada P yang sedang menyetir. Clara Barton Parkway yang menghubungkan Capital Beltway-495 dengan ibukota Washington DC. Dari arah kami tinggal jalur I-270 di Montgomary County akan tersambung ke I-495 dan keluar pada Exit 40 menuju jalan tersebut, melewati jalan di seputar hutan dan perbukitan disamping sungai Potomac menuju Georgetown. Jalan tersebut merupakan bagian dari George Washington Memorial Parkway yang sebagian besarnya berada di wilayah Virginia, di seberang sungai Potomac. Tak jarang, kami berhenti di beberapa titik untuk sekedar melihat pemandangan alam yang indah di lembah Potomac maupun gedung-gedung tua yang menjulang di perbukitan Georgetown. Maupun bersantai di tepi sungai Potomac pada Minggu petang membawa buku, minuman dan sandwich untuk sekedar menikmati alam.

Georgetown, yang merupakan kota historis yang didirikan tahun 1751 (usianya tentu lebih lama dari Nyonya Meneer yang berdiri sejak tahu 1919 itu ;) merupakan tempat jalan, belanja yang asik, selain menjadi tuan rumah bagi berbagai toko pakaian terkenal, juga tempat asal Georgetown Cupcake yang terkenal, yang sampai saat ini saya belum pernah mencobanya karena malas berdiri di antrian. George town juga memiliki banyak restoran dengan berbagai pilihan dan yang lebih menyenangkan sebagian besar bangunan disana tetap mempertahankan keasliannya termasuk beberapa rumah/ bangunan di sepanjang kanal yang dulu merupakan jalur transportasi utama di kawasan tersebut. Disana juga terletak kedutaan Swedia yang wajib kami kunjungi ketika ada program-program budaya, demi orang Swedia yang ada di rumah kami ;)

Menyusuri Wisconsin Avenue ke arah barat daya Georgetown, tepatnya di 1560 Wisconsin Avenue, terdapat Dolcezza Gelato yang menggugah selera. Gelato dari bahasa Italia yang berarti es krim, yang dijual di sini terasa berbeda, tidak hanya lebih segar karena dibuat sendiri tetapi bahan-bahannya juga memakai produk lokal. Jadi kalau saat berkunjung yang musim buah peach maka akan ada gelato peach, jika saat itu musim berry maka berbagai rasa berry juga akan tersedia. Dolcezza lainnya yang lebih dekat dari tempat tinggal kami terletak di Bethesda.

Bethesda, kota kecil dipinggiran DC cukup sering menjadi tempat nongkrong karena dua hal. Pertama, Penang restoran yang maknyus dan bersuasana Asia serta menjual makanan yang sesuai dengan lidah Melayu. Dari roti canai-nya yang krispi, nasi lemak/ uduk hingga rendang dan laksa. Biasanya kami singgah di tempat ini sebelum maupun sesudah menonton film di teater kesayangan "Bethesda Row Cinema".

Bethesda Row Cinema terasa sangat spesial bagi kami, pecinta film-film independent dari mana saja. Lewat teaternya yang berada di bawah tanah, kami menyaksikan film-film menarik dan bermakna. Dari "Milk" yang dibintangi Sean Penn tahun 2008 yang bercerita mengenai perjuangan kaum gay di San Francisco, The White Ribbon yang menceritakan pergulatan di sebuah desa kecil di Jerman menjelang Perang Dunia-2, (500) Days of Summer yang bercerita tentang dinamika hubungan dua anak muda, The Secret In Their Eyes, film asal Argentina yang memenangkan Oscar 2010, serta Incendies yang menceritakan dua anak kembar yang menyelusuri tanah leluhur mereka di Timur Tengah untuk menguak rahasia masa lalu keluarga. Bethesda Row Cinema menjadi tempat nongkrong nyaris 2-3 kali setiap bulan. Film-film (terutama independen) yang diputar disini sangat berkesan. Alurnya jarang bisa di tebak, bahasanya sederhana, dan setelah selesai menonton, topiknya selalu memicu diskusi yang lebih dalam. Tak jarang penonton yang mayoritas berusia lima puluh tahun keatas, duduk sejenak sekedar bertepuk tangan atau duduk terdiam, berusaha meresap apa yang baru saja mereka saksikan. Dan pada kebanyakan berkesempatan kami berdua terasa sangat muda diantara mereka yang duduk di teater tersebut. Disini juga saya mendapat tips bagi teman-teman yang lajang, terinspirasi dari seorang wanita paruh baya yang duduk di satu kursi dan menaruh tasnya di kursi sebelah, ketika seorang perempuan lain bertanya apakah tempat itu kosong, iya menjawab tidak. Lalu setelah beberapa perempuan lainnya, datanglah seorang lelaki paruh baya yang bertanya hal yang sama, iya segera mengangkat tas-nya dan memberi lelaki itu tempat duduk. Trik yang cerdas! Hahaha!

Salah satu tempat yang paling berkesan lainnya adalah Eastern Market. Yang letaknya tidak jauh dari tempat kerja  di pusat kota DC. Pasar tua yang terletak di 7th street ini merupakan tempat nongkrong wajib di pagi hari tiga kali dalam seminggu. Di samping pasar ini terletak kolam renang kesayangan saya dan mbak Y atau oleh Not-Not teman kami namanya dipanjangkan menjadi MYSarkozy. Hmmm...terdengar pas juga! Pertama kali bertemu ketika ikut rapat hari pertama di kantor, lalu ternyata meja kita bersebelahan. Saya yang sebelumnya tidak pernah bekerja di media/ creative agensi terus terang gagap menjalani pekerjaan yang baru, menyadur berita terasa lebih alami dibanding merekam suara, mencampur dan menimpa dengan suara asal serta proses menyunting, yang membuat keringat dingin bercucuran, apalagi ketika tenggat waktu produksi semakin mendekat. Dengan tenang, cekatan, sabar, tulus, si Mbak telah menjadi guru yang sangat diandalkan di minggu-minggu pertama bekerja. Lalu tercetus ide, berolahraga bareng, ternyata kita sama-sama turunan "ikan pesut" istilah seorang teman bagi pecinta renang. Maka kolam renang Robert H Humprey di Eastern Market menjadi pilihan utama untuk berenang di pagi hari sebelum ke kantor. Berenang yang diawali dari lima, sepuluh hingga akhirnya rata-rata 20-25 laps, bukan karena kami terlalu berdedikasi tetapi karena malas meladeni obrolan opa-opa yang suka sekali mengajak ngobrol. Hingga akhirnya begitu Opa tiba, maka kami terus berenang tak berhenti...hohoho! Maafkan ya Opa!

Kalau dipikir-pikir, persahabatan kami terasa sangat alami,  kebanyakan waktu dihabiskan bersama baik di tempat kerja, sebelum jam kerja, dan terkadang setelah jam kerja kami masih sempat window shopping di seputar Metro Center maupun makan malam di Dupont Circle, tetapi semuanya berjalan mulus, tak ada friksi sedikitpun, dan masih tersisa ruang bagi teman-teman lain untuk berinteraksi. Termasuk Ngeteh sore-sore di kantor dan bercuap-cuap seputar pekerjaan di web. Dan yang lebih parah, sebagai sama-sama food lovers, maka setiap hari ada saja makanan untuk berbagi dan menjadi alasan supaya "mesut" lebih lama lagi keesokan harinya, yeah! Ritual renang dilanjutkan dengan ngupi, ngeteh, ngobrol di Marvelous Cafe membuat kegiatan rutin menjadi terasa lebih menyenangkan. Diselingi candaan segar terhadap rekan-rekan lainnya di dekat cubicle kita, dari MC terbaik di dunia dengan dandanan terbaik, siapa yang akan membuang abu salah seorang editor kita ke Potomac, termasuk gule daun ubi tumbuk dan ikan sale yang digantung ala Mandailing dan bahasa-bahasa ala Medan yang lama tak terdengar di telinga, serta menemani Not-not membeli makan siang sambil bercerita ini-itu.



Dupont Circle, yang menjadi tempat nongkrong, Raku dimana mas-masnya yang baik hati suka memberi kejutan, tempat nongkrong bersama sahabat-sahabat tersayang, Pizzeria Paradisso yang renyah dan konon menjadi tempat makan pizza favorit Obama, Sakana dengan Agedashi Tofu yang maknyus serta tak lupa Teaism yang merupakan kesukaan gurunya, nya-refer to P. Makan malam bersama pada Rabu malam setelah selesai kelas Bahasa di kedutaan selalu menyenangkan. Tentunya karena nongkrong bersama orang-orang yang unik dan maaf "sedikit" gila.

Acara makan-makan bersama ibu-ibu sesekali dipindah ke Dupont Circle. Sebagian besar acara ini diadakan dari rumah ke rumah. Beberapa tahun disini tak terasa kami memiliki keluarga baru, disertai hadirnya ponakan-ponakan baru. Pindah ke tempat yang sama sekali baru bisa membawa rasa sepi apalagi ketika keluarga dan sahabat kita tinggal berjauhan. Dan menjalin persahabatan setelah kita beranjak dewasa rasanya tidak semudah dimasa-masa sebelumnya. Ada yang berdasarkan chemistry, alias pertama kali ngobrol langsung nyambung dan banyak yang menjadi sahabat setelah berkenalan selama beberapa waktu. Demikian halnya ketika saya bertemu sahabat pertama yang dikenalkan oleh teman kami. Tak terasa tiga jam berlalu pada sebuah siang musim dingin dan masih banyak yang ingin kami bicarakan, sementara hari mulai beranjak sore dan si masnya sudah datang menjemput. Ya sejak saat itu, acara nongkrong, memasak, window shopping,  menjadi lebih menyenangkan, terlebih kegiatan yang terakhir. Kami sama-sama mengeluh pergi berbelanja terutama pakaian dengan suami tidak seseru bila pergi bersama sahabat perempuan. Ya wajar saja, mereka tak betah lama-lama di toko pakaian sementara kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam mencoba ini-itu dan (kebanyakan waktu) tak membeli satupun :). Persahabatan kami meluas dan terus meluas dengan hadirnya keluarga-keluarga baru dan disemarakkan dengan acara makan-makan. Sebagian besar acara ini diadakan dari rumah ke rumah. Beberapa tahun disini tak terasa kami memiliki keluarga baru, disertai hadirnya ponakan-ponakan baru.Acara makan biasanya diselingi dengan cerita-cerita terbaru mengenai apa saja, budaya, perjalanan, resep makanan, musik, bahkan agama. Ketika berkumpul, rasanya nyaris seperti "pulang kampung", duduk bersama, ada saja cerita, yang terus mengalir dan rasanya tak ingin beranjak "kalau tak ingat besok hari harus bekerja". Persahabatan kadang sedikit aneh, ada orang yang kita jumpai setiap hari tetapi belum tentu mereka langsung dekat di hati kita, dan ada "mereka" yang kita jumpai di tempat yang jauh bahkan asing, tetapi kita merasa telah saling kenal dalam waktu lama. Ya, seperti kata P, "chemistry", ada misteri di dalamnya.






Wednesday, March 7, 2012

Percakapan di toko Apple

Beberapa bulan lalu, suami dan saya memutuskan mengganti telepon genggam kami . Keinginan tersebut membawa kami bertandang ke toko Apple terdekat. Buat suami, bertandang ke toko elektronik terutama komputer sama halnya seperti seorang anak bermain ke toko yang penuh dengan cokelat dan permen. Mungkin karena ia memiliki sejarah panjang dengan komputer, dari sekedar berkenalan, membuat permainan dan menjadikan adiknya sebagai kelinci percobaan, hingga menjadi bagian yang tak terpisahkan lewat pekerjaan yang ia geluti.

Kami berdua menyukai bagaimana toko Apple ini di tata, rapi, sederhana, meja-meja lebar diatur sedemikian rupa dengan berbagai fitur diatasnya. Kita boleh memandang, mengutak-atik dan bermain sepuas hati dan tidak terintimidasi dengan sapaan staf yang melayani penjualan.

Setelah memutuskan apa yang kami inginkan, seorang staf mendekat dan memberi aba-aba lewat gerakan tangannya untuk mendekat ke komputer terdekat. Setelah beberapa saat saya baru sadar kalau si mbak eh si mas yang cantik dan parasnya sedikit menyerupai Christian Syriano, desainer yang terangkat namanya lewat program televisi "Project Runway" sangat berbeda dari staf penjual umumnya.

Yang lebih menarik lagi, ia sangat percaya diri dengan senyumnya dan matanya yang sangat responsif ketika menanggapi pertanyaan kami. Lalu dengan senyum kami memulai percakapan ini.

A:"Apa anda sudah tahu apa yang diinginkan?"
S:"Ya, kami ingin mengganti versi ini dengan versi xx".
A:"Oh, tapi anda tahu versi terbaru baru saja keluar?", lebih ringan dan ada fitur tambahan."
S:"Ya, tapi saya kurang menyukai modelnya, terlalu maskulin buat saya." (sambil mengernyitkan dahi)
A:"Oh! Sama, saya juga kurang suka," ia tersenyum dan mengeluarkan lipstik dari tas mungilnya dan memasang lipstik di depan kami.
S:"Oh , saya suka warna lipstik itu," dengan cepat saya menyela.
A:"Benarkah? Saya juga suka. Lalu kami sama-sama tersenyum.

Ia selanjutnya menjawab beberapa pertanyaan kami seputar barang yang kami inginkan. Dan memastikan bahwa kami paham akan pilihan kami. Ketika meninggalkan toko itu, suami saya berkata, wah tadi sangat mulus ya percakapannya, sepertinya kalian memiliki "chemistry" alias nyambung. Ya, saya menyukai staf tadi. Terlebih lagi fakta bahwa ia tidak dapat berbicara tidak menghentikannya untuk berkiprah sebagaimana orang lain yang bisa berbicara, terlebih lagi, kebijakan di Amerika yang tidak mendiskriminasi orang yang memiliki kemampuan berbeda untuk mendapat pekerjaan patut diacungi jempol.

Lalu jika ada pertanyaan terlintas, bagaimana orang yang bisu bisa melakukan percakapan diatas, tentu saja, kami berada di toko Apple, percakapan dilakukan di layar MAC komputer ;)