Wednesday, November 20, 2013

"Boiling Hot" Hubungan Australia-Indonesia

Hubungan Australia-Indonesia sedikit memanas dalam beberapa hari terakhir. Kejadian ini dipicu oleh bocornya informasi intelijen Australia yang menyadap telepon beberapa tokoh penting Indonesia. Informasi ini pada awalnya diberitakan oleh harian the Guardian dan ABC news.

Di Australia sendiri ada pro dan kontra mengenai tindakan yang harus diambil perdana menteri Abbott terkait masalah ini. Sementara Indonesia meminta penjelasan Australia mengenai aksi ini seperti yang disampaikan oleh Menlu Marty Natalegawa maupun dari akun Twitter presiden SBY. Tetapi PM Abbott masih belum bergeming, jika sebelumnya ia mengatakan sadap-menyadap adalah hal biasa yang dilakukan antar negara, pada prescon (19/11) ia mengatakan penyesalan yang mendalam atas rasa malu yang diderita presiden SBY akibat pemberitaan di media mengenai aksi tersebut.

Sementara di parlemen Australia sendiri, pemimpin oposisi Bill Shorten menyarankan agar perdana menteri meniru langkah yang diambil presiden Obama terhadap kanselir Jerman, Angela Merkel dan berjanji Amerika akan menghentikan kegiatan tersebut. Hal senada disampaikan mantan menlu Australia, Bob Carr, agar pemerintah Australia meminta maaf.

Pernyataan PM Abbott yang kurang sensitif ini bukan baru sekali ini saja terdengar. Pada masa pre-pemilu Agustus-September 2013, ia menggemborkan "buy boat policy" yang ditujukan untuk membeli kapal-kapal sejenis yang biasa digunakan untuk membawa imigran ke Australia untuk dihancurkan serta "turning boat policy" seperti yang diterapkan Australia pada era kepemimpinan PM Howard satu dekade yang lalu. Pesan-pesan yang tampaknya sangat signifikan bagi audiens dalam negeri untuk memenangkan pemilu.

Belum jelas, langkah yang akan diambil PM Abbott, tampaknya ia masih menunggu surat protes resmi yang akan dikirim Presiden SBY dan mengindikasikan bahwa ia akan menanggapi surat tersebut dengan sopan dan sepenuh hati.

Monday, November 4, 2013

Numpang nginap ketika bepergian

Sejak tinggal di luar dalam beberapa tahun terakhir, saya kerap dihubungi orang-orang yang ingin numpang nginap. Terus terang, bagi saya pribadi, numpang nginap ini bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Bahkan untuk menginap di rumah kakak sendiri pun saya akan mikir-mikir dulu, berapa lama akan disana, dan kalau bisa seminimal mungkin sehingga tidak merepotkan. Demikianlah, dulu ketika baru merantau ke Jakarta, begitu saya dapat pekerjaan maka segera berpindah ke kos-kosan.

Kebiasaan ini terus berlangsung hingga kini, biasanya dalam kurun waktu seminggu, saya akan membagi hari dimana saya menginap di tempat penginapan dan beberapa hari di tempat beliau yang lebih karena ingin menghabiskan waktu bersama ponakan tercinta. Entah kenapa, saya juga tidak paham mengapa kegiatan numpang nginap ini semakin berkurang intensitasnya.

Padahal belasan tahun lalu, ketika kembali dari program pertukaran pemuda, saya dan anak-anak lain sekontingen dengan senang hati merepotkan orang tua teman kami dengan tinggal di tempatnya bahkan hingga seminggu lebih, dan bukan hanya satu anak tetapi sekitar selusin :) Dan sebelum mendapat kamar sendiri di tempat kos, sahabat saya menawarkan berbagi kamar dengannya cukup lama hingga saya mendapat kamar sendiri.

Dan, ketika teman-teman dari negara lain berkunjung ke kota saya, dengan senang hati saya menampung mereka dan mengantar berkeliling kota bahkan ke daerah wisata berdekatan. Dan bahkan tempat kos saya dulu nyaris seperti wisma, teman-teman saya menginap disana bahkan ketika saya sedang bepergian.

Belakangan saya sadar, bahwa saya sedikit "teritorial" dalam artian, saya tak keberatan menampung teman-teman yang ingin numpang nginap di tempat saya, tetapi saya sangat sungkan untuk menumpang nginap di tempat mereka. Bahkan dalam sebuah perjalanan terkait kerjaan, saya enggan menginap di rumah kakak tertua saya.

Entah mengapa, rasa sungkan itu begitu besar, apalagi kalau saya sama sekali tidak dekat dengan orang yg ingin diminta tumpangan. Terakhir, ketika berjalan ke Brussel bersama dua teman lainnya, seorang yg dekat dengan kami menyarankan untuk menginap di kenalannya, sesuatu yg saya sangat sungkan untuk melakukan. Tetapi karena berbagai pertimbangan, saya dengan berat hati berjanji untuk mempertimbangkannya. Berat bagi saya menumpang nginap di Indonesia dan terasa lebih berat lagi ketika di luar negeri. Bukan apa-apa,  apartemen kebanyakan berukuran kecil dan terkadang benar-benar pas buat penghuni rumah. Sehingga saya yang agak "teritorial" merasa kurang nyaman ketika tidak memiliki ruang yang cukup untuk menjaga privasi sendiri maupun si tuan rumah.

Kedua, suasana "awkward" karena tidak pernah dekat atau merepotkan orang yg saya tidak kenal dekat terasa berat dilakukan, meski berjanji tak merepotkan, tetap saja sebagai tuan rumah mereka akan mempersiapkan segala sesuatu, yang menurut saya akan membuat repot si tuan rumah. Maka, sebelum berangkat ke Brussel saya mengirim email kepada calon tuan rumah dan menanyakan apakah beliau tidak keberatan menampung saya dan teman-teman? Walhasil, email saya tidak berbalas. Dan saya merasa itu wajar, boleh jadi beliau menampung kami karena segan dengan kenalannya yang menghubungkan kami. Sehingga saya memutuskan untuk mencari penginapan sendiri tentunya dengan harga terjangkau, nah ketika seorang mantan kolega saya memaksa untuk tinggal dengannya, meski sudah banyak alasan saya utarakan, akhirnya saya menyerah. Salah satu pertimbangan saya adalah karena kami sangat dekat, dan nyaris meluangkan waktu untuk ngobrol setiap hari ketika sama-sama bekerja. Maka sebelum berangkat dari kota tempat saya kuliah, saya menyiapkan rendang ayam, roti dan buah sebagai bekal yg bisa dinikmati bersama, sehingga teman saya tidak repot karenanya :). Dan terlebih lagi saya menumpang kereta terakhir yang sampainya malam dan pagi-pagi sekali saya sudah harus ke bandara menuju kota berikutnya.

Syukurlah teman-teman yang menginap di kosan saya dulu pada mandiri, terlebih ada warung padang dan warteg berdekatan sehingga urusan logistik jadi gampang.

Belakangan, ketika tinggal di luar negeri saya kerap mendapat permintaan menumpang nginap termasuk dari orang-orang yang saya sama sekali tidak kenal, atau kenal tetapi tidak dekat. Untuk permintaan semacam ini saya biasanya melakukan banyak pertimbangan. Semakin lama, saya berusaha membuat kriteria ketika mengiyakan mereka yg ingin numpang nginap antara lain:

1. Saya memiliki ruang yang cukup untuk menjaga privasi termasuk privasi mereka.
2.Saya mengenal mereka dalam level "personal", mereka yang pernah berbagi ruang dengan saya pada masa sebelumnya, termasuk sahabat dekat, teman-teman yg dulu sering berdiskusi di cubicle saya, yang pernah bepergian bareng (baik personal maupun keperluan pekerjaan) sehingga kami menjadi dekat.
3. Untuk sahabat-sahabat yang sangat dekat, sudah pasti tempat selalu tersedia, meski hanya tidur di sofa, misalnya.
4. Orang-orang yang jika saya tanya diri sendiri apakah (dengan berat hati) saya akan menginap di tempat mereka, dan jawabannya iya.
5. Dengan pertimbangan bahwa saya tidak lagi hidup sebagai lajang, sudah pasti kenyamanan "my other half" juga menjadi pertimbangan utama.

Maka dengan kriteria-kriteria diatas, dengan berat hati saya mulai menolak permintaan menginap terutama dari orang-orang yang tidak saya kenal dan belum merasa nyaman untuk berbagi ruang privat. Tetapi tentu saja saya dengan senang hati akan meluangkan waktu untuk bertemu dan berbagi kabar ataupun menemani ke tempat-tempat wisata dalam kota ketika memiliki waktu luang.

Bagi saya, tidak menawarkan fasilitas menginap bukan berarti tidak ingin bersilaturahmi atau tak ingin bertemu. Hanya saja saya mempertimbangkan sehingga pertemuan tersebut terasa nyaman bagi kedua belah pihak.