Wednesday, March 26, 2014

Kapan punya anak (?)

Merupakan hal yang biasa, ketika kembali ke tanah air, bertemu keluarga besar atau sekedar bertemu muka maupun bertemu virtual dengan teman-teman lama, pertanyaan,"kapan sih lu punya anak?" terlontar.

Tampaknya ada yang salah, kurang, tak sempurna jika kalau kemana-mana tidak diekori mahkluk mungil yang lucu, menggemaskan sekaligus pengganggu utama "beauty sleep" tersebut. Terutama dimata sekumpulan orang diatas.

Demikianlah, dalam beberapa hari ini ada beberapa kejadian yang memicu tulisan ini. Pertama, dari sahabat di kantor lama, kedua teman di organisasi masyarakat di kota tempat tinggal saat ini, keduanya belum dikarunia anak dan ketiga dari sahabat lama jaman SMA yang sangat getol menanyakan a) Berat Badan; dan b) Anak.

Maka setelah membahas ini-itu, tentang pekerjaan, kegiatan sehari-hari, kesehatan ortu akhirnya kembalilah ke si a) eh salah! b) dulu kali ini.

Q: "Trus lu kapan punya anak?"
A: "Yah, gw nunggu kapan yang Diatas ngasih aja kali ya?"

Q: "Trus lu apa udah nyoba perawatan? ke dokter ato apa gitu?"
A: "Gw so far masih enjoy ya childless status ini, jadi ya ga terlalu pusing juga, lu aja yg pusing kali?"

Q:"Trus nyokap lu bilang apa pas mudik kemarin?"
A: "Ga komentar apa-apa, yg penting kalian hepi aja sih kalo dia mah. Lagian ponakan gw dah banyak, dia mah ga pernah pusing soal ini."

Q: "Trus, suami lu ga pa pa?"
A: "Ya, gak sih...gw dah bahas sama suami gw, kesimpulan kita sih yang penting kita berdua hepi ajalah. Kalo dapat alhamdulillah, kalo engga ya tetap aja alhamdulillah banged!" (Dalem ati, kog nanya suami gw sih, emang ga punya anak cuman beban isteri ya, emang beban?")

A: (...masih blum puas) "kalo mertua lu gimana?"
Q: (asem!) Duh, gimana ya..mertua gw orang bule mak, mana mau mereka nyampurin hal-hal begitu, kita sangat independen loh!". (dalem ati, lagian ntar juga yg nanggung kita kog, kecuali mereka sponsorin rumah dengan kolam renang, 5 nannies, dan warisan jutaan $$$)--->mantu matre"

Setelah mikir..mikir..."bilang ga"...."bilang ga"...akhirnya memberanikan diri, lagian temen baik gw inih--->peace yak!

A: "Nurut gw ya bo'...pertanyaan seputar kapan lo kawin, kapan punya anak, berapa gaji lo? berapa harga rumah ma mobil lo, de-el-el...ga penting banged yak? Anggap deh, misal nanya anak tadi...
Bisa jadi ada tiga skenario...(sambil ngumpulin ide di kepala)...

a) Pasangan yg pengen banged punya anak, udah nyoba berbagai gaya ops! berbagai perawatan dan obat-obat (hingga IVF) ternyata gagal, dan mereka pengeeeeeeen banged. Pas lu tanya kaya gitu, lo bukannya bikin mereka tambah sedih yak?

b) Pasangan yang emang dari sono ga mau ribet ama anak. Trus pas lu tanyain gitu n ngejawab," lo kira karena kita ga ada anak, kita ga hepi? Maaf ya bo' kita hepi banged loh!

c) Kalo misal yg lu tanya kaya gw, yang pasrah kalo dikasih alhamdulillah, kalo engga gw hepi aja ini, trus napa lo rese sih?"

Q: Gubrak...guling-guling icon..bermunculan...

Demikianlah cuplikan pembicaraan tentang anak tersebut. Friends will be friends yak...tapi jangan lupa, please deh....pikir-pikir dulu sebelum bertanya ;)

Friday, March 7, 2014

Oleh-oleh dari Papua: terasing di tanah sendiri



Setelah kurang lebih tiga jam meninggalkan Makassar, pramugari mengumumkan pesawat akan segera mendarat di Sentani. Ini adalah perjalanan pertama saya ke Papua. Bukan untuk liburan tetapi dalam rangka bekerja mengevaluasi proyek LSM internasional yang berkiprah disana.

Saya tak ingat persis kapan terakhir kali saya melihat lautan dibawah sana, sebagian besar dari waktu penerbangan ini saya habiskan untuk tidur, mengingat pagi-pagi sekali saya bergegas menuju bandara di Kuta untuk mengejar sambungan penerbangan dari Makassar setelah sehari sebelumnya mendarat dari Bima, Sumbawa. Yang jelas, sejak saya terbangun beberapa waktu yang lalu, di bawah sana hutan rimbun menutupi permukaan tanah, membentuk kanopi yang luas tak terputus.

Lalu pesawat sedikit demi sedikit menurunkan ketinggian dan danau Sentani terhampar di bawah sana, dan pesawat mendarat dengan mulus di bandara Sentani.



Sekilas, saya melihat ke sekeliling, kebanyakan penumpang yang bergegas mengambil bagasi berwajah Melayu dan hanya dua atau tiga orang berwajah Melanesia. Demikian juga ketika saya berjalan keluar mencari taksi menuju hotel, tak terlihat orang Papua asli menawarkan kendaraan. Sepanjang perjalanan saya berusaha menemukan wajah-wajah penduduk pribumi, tetapi sekali lagi yang terlihat adalah wajah-wajah para pendatang. Memasuki Abepura, kota terlihat lebih ramai, dengan ruko, restoran dan bahkan mall berjejer di sepanjang jalan. Dan satu, dua terlihat wajah-wajah asli menggelar dagangan berupa pinang, ubi-ubian dalam skala yang sangat kecil, yang di gelar di atas tanah di pinggir jalan.

Sangat jelas terlihat, bahwa roda perekonomian umumnya di kuasai oleh pendatang. Demikian juga ketika saya berkunjung ke beberapa sekolah di kota Jayapura, kebanyakan murid-murid berwajah pendatang dan beberapa terlihat berwajah campuran antara penduduk asli dan pendatang.

Dalam perjalanan saat berkendara, saya mengungkapkan keheranan ini kepada teman-teman seperjalanan dan saya mendapat informasi bahwa dengan status otonomi daerah sebenarnya Papua diuntungkan karena mendapat kucuran dana otonomi khusus. Jumlahnya puluhan triliun rupiah dalam satu dekade terkahir. Dengan dana yang begitu besar dan potensi sumber daya alam yang melimpah, dalam kunjungan singkat ini saya melihat sedikit sekali manfaatnya bagi penduduk asli.

Dengan dana yang berlimpah itu sudah sepatutnya banyak yang bisa dilakukan bagi penduduk asli sehingga mereka juga beroleh berkah dan tidak hanya menjadi penonton tetapi juga menjadi aktor perekonomian. Dalam pandangan saya, dengan status otonomi khusus maka tanggung jawab pembangunan sudah berada pada tampuk kepemimpinan lokal, yang notabene di emban putra-putri daerah sendiri. Rasanya kurang relevan menyalahkan pemerintah pusat dengan skema seperti ini. Porsi pemerintah pusat mungkin lebih ditekankan pada fungsi pengawasan kemana dan sejauh mana dana otsus tadi digunakan oleh pemerintah daerah.

Tetapi disisi lain, secara umum infrastruktur disini sudah sangat baik. Jalan-jalan sangat mulus, bahkan hingga ke gang-gang jalanan sudah di beton dan fasilitas air minum tersedia. Untuk ukuran kota yang sekecil ini, SUVs pun berseliweran dimana-mana. Namun siapa pemiliknya, entahlah :)

Keterasingan di tanah sendiri ini tampaknya juga imbas dari program transmigrasi di masa lampau dan juga migrasi yang terjadi karena terbukanya peluang ekonomi di tanah Papua. Berdasar penelitian Jonga dan Dale, 2011 (seperti yang di kutip harian Kompas), perbandingan penduduk asli dan pendatang saat ini 49:51 yang berubah dari angka 96:4 dengan pertumbuhan penduduk asli sebanyak 1.84% pertahun dan penduduk pendatang sebesar 10.82%. Maka tak terelakkan lagi dalam beberapa tahun ke depan, penduduk asli Papua akan semakin terasing di tanah mereka sendiri.