Tuesday, February 23, 2016

Legacy: apa yang tertinggal setelah kita pergi?

Awal bulan ini, mendapat begitu banyak berita yang membuat hati galau. Kondisi kesehatan si mama yang terus menurun, hasil pemeriksaan dokter yang membuat jantung berdetak lebih kencang: dioperasi dengan segala komplikasi yang ia miliki versus kondisi makin parah jika tak dioperasi, benar-benar ibarat makan buah simalakama. Dengan kondisinya yang dijangkiti berbagai penyakit beberapa tahun belakangan ini, adalah riskan melakukan operasi, ternyata tidak gampang memang, memilih diantara dua pilihan yang beresiko tinggi bagi hidupnya.

Baru kelar urusan berobat, terdengar diujung sana, berpulangnya si bibi, tak seorangpun dari kami berani memberitakan ini kepada mama, karena kuatir kondisi psikologisnya terpengaruh. Maka cukuplah kami sesama sepupu saling menyampaikan pesan, dan memastikan tak ada secuilpun dari berita itu yang sampai kepadanya.

Tak berapa lama, berita kehilangan lainnya, berpulangnya seorang teman SMA dan kakak kelas yang masih bisa dikatakan dalam usia yang cukup muda. Di mata saya keduanya ini adalah orang baik. Si kakak kelas, berjiwa sosial, giat dalam berdakwah. Saking giatnya waktu jaman kuliah dulu sebagian kami, adik binaannya takut jika ketahuan pacaran misalnya. Dan bagi adik yg bandel seperti saya (bandel: tak bisa mengiyakan begitu saja tanpa lewat proses berpikir) maka sudah bisa dipastikan "effort" beliau lebih keras lagi. Entah mengapa kebiasaan untuk tak mau ikut-ikutan instan ini tertanam kuat sejak dulu. Tetapi saya bersyukur, dengan sikap ini, mudah-mudahan apapun yang dilakukan selalu diusahakan dengan sebaik-baiknya, karena di dorong motivasi dari dalam dan untungnya, dengan menjadi diri sendiri tak perlu memasang topeng demi menyenangkan orang lain.

Ah, semoga si kakak mendapat tempat yang baik di sisiNYA, demikian juga teman SMA yg masih lajang ketika kembali. Kami tak terlalu dekat ketika SMA tetapi rutin berkomunikasi terkadang ketika mudik ataupun ketika bercanda di sosial media. Di tengah grup alumni yang mulai puritan, saya merasa mendapat teman ketika membaca komentar beliau. Ketika semuanya terbiasa menjadi homogen, maka pendapat yang berbeda akan dibahas, dihakimi oleh "self made" hakim-hakim itu. Meski tak ikut meramaikan percakapan disana, saya terhibur oleh caranya menanggapi cemoohan sekelompok "homogenous creatures" tadi. Yang terkadang lupa bahwa menjadi pribadi yang baik itu terlihat dengan bagaimana kita memperlakukan orang lain atau kelompok lain. Sulit mendapat teman seperti ini yang selalu menjaga ucapannya dan tak pernah terdengar menyakiti. Semoga jalanmu lancar teman, menuju keabadian, semoga disanalah kau bertemu jodohmu.

Terus terang, kepergian ketiga orang ini membuat saya berpikir, apa yang kita tinggalkan ketika suatu saat kita pun pergi? Saya tak ingin membahas amalan disini, karena bagi saya amal itu cukuplah kita yang tahu dan saya yakin setiap orang sedikit banyak pasti berusaha memperbaiki amalannya.

Lalu saya teringat tentang menjadi orang baik, penolong, bermanfaat bagi sesama, setidaknya itu bisa menjadi legacy kita. Entahlah belakangan ini saya berpikir bahwa ketiganya itu lebih penting ditujukan bagi yang benar-benar membutuhkan: keluarga, orang terdekat, orang miskin, anak sekolah dari keluarga tak mampu, pengungsi, orang yang tertimpa musibah. Sulit membedakan memang antara mereka yang membutuhkan dan mereka yang ingin "memanfaatkan". Golongan terakhir adalah mereka yang mampu sebenarnya tetapi ketika berhadapan dengan kita, tiba-tiba menjadi kurang mampu. Dan kita diharapkan memenuhi kebutuhannya, jika tidak maka bisa saja kita dituduh tidak berempati, kurang supportive dan lain-lain. Dan biasanya hubungan ini searah, yang satu mencurahkan yg lainnya menampung curahan tersebut.

Menjadi baik, mestinya ikhlas dalam memberi dan memberi bantuan, mestinya tidak menghitung seberapa banyak yang kita kontribusikan, gampang diucapkan tetapi sulit dilakukan. Sulit karena, tidak selamanya kita ada dalam kondisi pemberi sementara mereka yang terbiasa diberi terlanjur berharap, terlebih lagi jika mereka bukan dalam kondisi yang benar-benar membutuhkan pemberian tadi, tetapi hanya terbiasa menerima pemberian dan terus berharap akan situasi yang sama.

Lalu kemarin seorang teman mengirim pesan teduh: teruslah menebar kebaikan, semampu kita, seikhlas kita, karena kita tidak pernah tahu amal yg mana yang akan menjadi berkat kita kelak.