Thursday, November 22, 2012

Kapan Menikah Dan Budaya Bertanya yang Kurang Berbudaya Lainnya.


 
Ketika bertemu anggota keluarga besar maupun teman-teman bahkan orang-orang yang baru saja dikenal, tak jarang kita menghadapi berbagai pertanyaan, yang kerap membuat hati sedikit dongkol karena mereka yang menanyakan rasanya tidak sensitif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Yang paling sering menjadi korbannya biasanya adalah para singel, apalagi kalau ia telah mandiri dan belum ada tanda-tanda akan melepas status lajangnya. Tak jarang, pesta-pesta pernikahan akan menjadi ajang ujian kesabaran yang tak ada habis-habisnya bagi mereka yang masih berstatus singel ini. Ya pertanyaan, kapan menikah? sudah punya calon atau belum?

Sementara bagi yang sudah menikah, selalu ditanya, "kog belum ada anak?", " sudah ke dokter belum?",  kadang dilanjutkan dengan, "awas loh nanti suami di samber orang".

Lain lagi kalau reuni dengan teman lama, pertanyaan seperti, "oh sudah punya rumah sendiri?", "maaf ya, itu mobilnya atau rumahnya di beli dengan harga berapa?", dan seterusnya, dan seterusnya...

Saya tidak paham, apa tujuan menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Mungkin bagi sebagian orang, menikah dan punya anak adalah indikator pencapaian dalam hidup mereka, tetapi bagi banyak orang menjadi singel, menikmati masa lajang, ataupun menikah tanpa anak tak berarti menjalani hidup yang tidak bahagia. Dan tentunya ada juga pasangan yang mendamba anak, sudah mencoba berbagai metode pengobatan tetapi belum berhasil, kira-kira apa yang mereka rasakan ketika ditanyakan pertanyaan tadi?

Sama halnya, tidak penting bagi saya menanyakan apakah seorang teman memiliki harta dan materi maupun tidak memilikinya.

Lalu perspektif mana yang harus kita ambil? Dan terlebih lagi, mengapa pertanyaan tadi pantas diajukan?

Tadinya saya pikir, ini hanya umum di Indonesia saja, tetapi baru-baru ini, di tempat volunteeran, saya bertemu dengan perempuan Thailand yang bertanya kepada Teri, teman volunteer asal Taiwan, kebetulan perempuan Thailand ini seorang janda yang memutuskan bercerai karena suaminya berbeda agama. Ia bertanya, apakah kalian dulu pacaran sebelum menikah? lebih lanjut ia bertanya," apakah kalian tidur bareng selama pacaran?".

Teri terlihat mengernyitkan dahinya, lalu ia berkata mengapa kamu menanyakan hal-hal yang bersifat sangat pribadi seperti itu? Ia melanjutkan, saya kira dalam hidup ini ada beberapa hal dimana kamu menjalankan prinsip ,"don't ask, don't tell", lanjutnya.

Ya, pertanyaan-pertanyaan itu tak hanya sangat pribadi tetapi juga memberikan dampak tidak nyaman bagi yang ditanya. Boleh jadi, yang bertanya pun sebenarnya tidak terlalu peduli dengan pertanyaan-pertanyaan tadi, boleh jadi itu hanya timbul dari kebiasaan-kebiasaan sehingga dianggap lazim, tanpa memikirkan apa dampak pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Tetapi alangkah lebih baik, sebelum bertanya, tanyakan dulu pada diri kita, mengapa pertanyaan tadi penting? lalu kalau kita yang ditanyakan pertanyaan serupa, dalam situasi orang yang kita tanya, akankah nyaman bagi kita untuk menjawabnya?

Kalau ternyata tidak nyaman, mungkin lebih baik mencari topik lain yang lebih sesuai, sehingga kita tak harus merusak momen-momen kebersamaan yang semestinya memberi kita energi positif setelah bertemu keluarga dan teman-teman.