Sunday, August 19, 2012

62 Tahun Merdeka (Kenangan di Atambua)

Haleluya!

Laki-laki dan perempuan menari bersama, larut dalam kebahagiaan. Sesekali Fredrikus Klau tetua di desa itu melantunkan kata-kata dalam bahasa Timor dan semua yang hadir mengulangi kata-kata yang sama, dan kembali larut, bergerak bersama, diikuti lambaian tenun ikat yang mereka kenakan, mengikuti jejak kaki mereka,maju dan mundur bersama, membentuk lingkaran yang terus bergerak menarikan Tarian Bidu.




Hari itu, setelah 62 tahun Indonesia merdeka, masyarakat dusun Beina di kabupaten Belu NTT yang berseberangan dengan Timor Timur mendapat tetesan air yang dialirkan ke desa mereka. Hari ini upacara besar  pun dilakukan, gendang-gendang adat dikeluarkan dan diseka permukaannya di balai desa. Jangan berharap balai disini berupa gedung pertemuan seperti yang kita lihat dikota besar, balai adat desa Beina berupa lapangan yang ditumbuhi pohon beringin besar dan sebuah berugak beratap ilalang.



Para penari telah bersiap-siap dari pagi. Laki-laki mengenakan pakaian kebanggan mereka, hiasan bulu di kepala, lempengan kulit menghiasi pergelangan kaki serta sebuah cemeti. Perempuan mengenakan tenunan ikat terbaik yang mereka miliki dan menabuh gendang berirama. Tak ada gincu, bedak tabur ataupun polesan pensil alis di wajah mereka. Kebahagiaan terpancar dari wajah-wajah alami perempuan ini. Acara diawali dengan tarian likurai.Tarian Likurai adalah tarian perang yang didendangkan ketika menyambut pahlawan yang kembali dari berperang dengan membawa kepala musuh yang telah dipenggal, tentu saja hal yang terakhir ini sudah tak lagi dipraktekkan. Likurai sendiri berarti menguasai bumi, tarian ini sebagai wujud penghormatan kepada mereka yang menaklukan bumi.

Haleluya!! Hari ini kita harus menari, puji syukur kepada Tuhan, hari ini setelah 62 tahun merdeka ada air mengalir ke desa kita!!! Fredrikus meneriakkan haleluya dan disambut oleh yang hadir.
"Hari ini haleluya, oleh karena itu kita semua harus minum, bapa-ibu, semua yang disini harus minum!" Ia mengedarkan gelas yang telah dituangi soppi, minuman arak lokal berasal dari cairan pohon nira. Kita tidak perlu lagi mendaki perbukitan mencari air karena air su datang ke tempat kita, haleluya!!

Hari itu, hati saya tertaut di Beina.

Menyaksikan keindahan tarian nusantara, meminum soppi yang ditawarkan mereka penuh semangat dan saya tak sanggup menolaknya , mendengarkan lantunan indah yang bersahut-sahutan dan menikmati makan siang dengan bumbu yang sangat sederhana:daging kambing bakar, air, garam,cabai dan kacang ijo.

Yang terindah tentunya merasakan ketulusan, ketulusan Beina berbagi dengan kami, senyum tulus dan kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka.

Air tidak hanya meningkatkan higinis pribadi penduduk Beina, tetapi secara tak langsung membuka akses yang lain, bertanam sayur dan bunga bagi ibu-ibu serta berternak ikan air tawar bagi beberapa keluarga. Air sepertinya benar-benar membuka jalan bagi banyak hal di Beina. Semoga air benar-benar memberi manfaat bagi kehidupan mereka sekarang dan di masa depan.

Sebelumnya, dalam perjalanan menuju Beina, di salah satu desa yang kami lewati, anak-anak sekolah dan guru-guru mereka menghentikan laju kendaraan kami, menyanyikan "Padamu Negeri" di tengah cuaca panas, melambaikan bendera "merah putih" kecil dengan tangan-tangan mungil mereka, dan menyampaikan pesan bahwa mereka berharap, suatu saat kami akan membantu desa mereka seperti halnya Beina sehingga mereka bisa mandi, sebelum berangkat sekolah dan tak perlu lagi berjalan beberapa kilometer untuk mendapat air bersih.

Terima kasih kepada semua yang telah berkontribusi kepada palang merah Indonesia sehingga 300 keluarga di Beina tersentuh oleh air bersih dan fasilitas sanitasi, yang selama ini mereka tunggu selama 62 tahun..


      

Brugge Kotanya Orang Flemish

Kenangan ketika berkunjung ke Brugge 2009.

Brugge yang terletak di propinsi West Flander, Flemish Belgia ini adalah salah satu "world sites heritagenya UNESCO".


Kota tua ini dipenuhi bangunan medieval bergaya Gothic dengan ciri khasnya kisi-kisi jendela berwarna merah. Mengunjungi Brugge dan menikmati bangunan tuanya seperti kunjungan ke masa silam.

Kota tua Brugge dulunya adalah kota pelabuhan yang menghasilkan Kain "lace" dan aktif berdagang dengan pelabuhan lainnya baik yang ada di Perancis maupun Venesia. Kota pelabuhan ini sempat tertidur selama 400 tahun karena sungainya mengalami pendangkalan. Dan saat ini Brugge telah bangkit kembali dengan menjual pesona kota tuanya.

Disekitar city hall/ Market square Brugge ada arsitektur tiga jaman dari Gothic ke Barok dan Rennaissance. Fantasi saya terus bergerak ke masa lampau bagaimana jalan-jalan kota ini dipenuhi lumpur dan kereta kuda, Arc Bishop yang berjalan dari city hall ke gerejanya yang ada di sudut city hall serta kapal-kapal perdagangan yang hilir-mudik ke Brugge.

Kaki saya tertatih mengikuti teman yang mengantar saya ke Brugge, menginjakkan kaki di "Basilica of the holy blood" dimana ada relic darah sang Al Masih, wanita yang menjaganya melambaikan tangan kepada kami. Naik ke podium relic tersebut berwarna putih dengan bercak berwarna merah kecoklatan ditutupi tabung plastik. Dia meminta kami satu persatu memegang relic tersebut dan berdoa. 

Kami beruntung sekali pada hari itu, biasanya relic tersebut disimpan rapi di dalam bejana perak dan pada hari itu sedang di keluarkan. Teman saya yang katolik langsung membuat tanda salib dan berdoa dan saya menundukkan kepala sejenak mengheningkan cipta bagi sang Al Masih.

Kami berempat, saya, Yuki, Valo dan si kecil Leo-san terbuai oleh keindahan Brugge. Banyak kebijaksanaan masa lampau yg masih terlihat disini. Salah satunya adalah Beguinage "perkampunagn di tengah kampung" perumahan  disini khusus dibangun untuk para wanita dan janda yang kehilangan kepala keluarga pada masa perang salib. Wanita-wanita itu tinggal di tempat ini menjalani hidup yang mirip biarawati tetapi mereka bukan biarawati. Mereka berkelompok dan membuat kerajinan kain lace. Mereka dilindungi oleh pemerintah setempat dan dengan tinggal di tempat tersebut kesejahteraannya terjamin. Rumah-rumah ini masih terus ditinggali sampai sekarang. Betapa kearifan masa lampau masih bergema sampai saat ini.

Kaki kecil Leo san asik bermain-main di tengah lumpur, sepertinya benak kecilnya juga menikmati tempat ini, kami terus bergerak di lorong-lorong sempit Brugge. Keterangan didinding bangunan memperlihatkan bahwa tempat ini adalah spa dan rumah bordir. Saya tersenyum, bisnis satu ini tak mengalami perubahan berarti dari jaman ke jaman dan mungkin akan terus ada selama manusia ada.

Dari jaman dulu sampai sekarang kemasan rumah bordir tak jauh berbeda. Uniknya peradaban manusia, teknologi berkembang terus menerus dan saat yang sama kita terus memegang teguh nilai-nilai dan kebiasaan yang telah ada selama ribuan tahun

Ah kalau saja orang-orang ditempat asal saya mampu menghargai dan memelihara bangunan bersejarah, setidaknya satu jalan utama di kampung halaman saya akan terlihat seperti kota tua di Eropa.

Dari Perang Melawan Teror ke Perang Meniadakan Tuhan

Peperangan di Gaza yang sedang hangat-hangatnya diberitakan di berbagai media Januari 2009 yang lalu, secara tak langsung membuat saya tak henti-hentinya membaca tentang asal muasal konflik disana. Informasinya bisa diunduh disini :http://en.wikipedia.org/wiki/1948_Arab-Israeli_War, dan http://en.wikipedia.org/wiki/Six-Day_War




Dan secara tak sengaja setelah membaca halaman demi halaman dan meneliti kata kunci sampai juga akhirnya di google video berjudul BBC Politics: The Power of Nightmares, sebuah film dokumenter yang dimandori oleh Adam Curtis. Film ini terdiri dari tiga seri : (1) Baby it's cold out there; (2) the Phantom victory dan (3) The shadows in the cave. Bagi teman-teman yang punya waktu silahkan di google saja judulnya dan bisa menonton film ini dari google video.

Film ini dimulai dari kilas balik tentang dua orang yang kurang lebih berpandangan sama tetapi tidak identik satunya seorang Professor yang menganut paham neo-konservatif dan seorang pelajar Mesir di Amerika yang pulang ke negerinya membawa paham atau gerakan Islam fundamental. 

Kedua-duanya melihat adanya masalah dengan liberalisme. Disatu sisi berkembang Islam yang fundamentalist dan disisi lain neo-konservatif menemui jalannya di perpolitikan Amerika.

Sambil menonton paparan tentang fundamental di film ini saya teringat masa-masa kuliah dulu i.e. masa-masa pencarian jati diri, seorang sahabat saya benar-benar tertarik mendalami masalah agama, baginya tak cukup sesi diskusi seminggu sekali yang di fasilitasi oleh mahasiswa senior tetapi juga kegiatan-kegiatan khusus lainnya yang lebih advance. Hingga suatu saat sahabat yang lain curhat bahwa kami tak cukup Islami sehingga apabila kami berkunjung ke kamar kosnya maka seluruh lantai harus dilap kain basah dan mukena yang dipinjam untuk shalat mesti disucikan kembali. Dan beberapa teman-teman yang lain mengemukakan niatnya berpartisipasi di konflik yang terjadi di Maluku saat itu. Tak jauh berbeda dengan pemikiran orang Mesir iniBisa jadi setelah puluhan tahun, esensi pemikirannya menyebar kemana-mana.

Lalu di Amerika sendiri kaum anti liberal akhirnya memutuskan untuk terjun ke dunia politik dan berkeinginan mengubah Amerika kearah neo konservatif. Dan lambat laun dua gerakan ini berkembang dan menjadi musuh bagi satu sama lain.

Disini perang "kebaikan melawan kejahatan" dimulai. Untuk melindungi rakyat maka musuh harus diciptakan sekaligus ditaklukkan, bermula dari Russia hingga jaringan teroris yang sangat terkenal sekarang ini. Lucunya semuanya berdasarkan asumsi yang dibuat sendiri, dijual sendiri dan dibeli sendiri. Yah, demi keamanan nasional rakyat perlu ditakut-takuti supaya kebijakan yang mau diluncurkan mendapat legitimasi. Disisi lain demi menegakkan pemikiran fundamentalis sesama penganut agama sendiri darahnya menjadi halal. Sungguh mengenaskan mengingat kebanyakan yang menjadi korban adalah saudaranya sendiri. Film ini membuka cakrawala pemikiran baru buat saya. 

Ditengah kemaruknya perang atas nama yang Kuasa, menjelang pelantikan Obama kaum atheist dan agnostic menuntut lembaga kehakiman Amerika supaya sang Presiden tidak mengucapkan kata-kata "Tuhan bantulah saya"

Sepertinya, ada jurang baru yang melebar, tidak hanya antar agama-agama yang ada yang terus saling bertikai dan sulit untuk duduk bersama tetapi juga masuknya pemain-pemain baru yang iklan-iklan mereka meramaikan kendaraan umum yang lalu lalang di beberapa kota di Inggris dan Amerika baru-baru ini yang gencar mempertanyakan "untuk apa percaya dengan Tuhan".

Mungkin sudah saatnya pendidikan agama yang diajarkan disekolah-sekolah tak hanya memisahkan pelajar berdasarkan agamanya tetapi juga memuat sesi-sesi diskusi antar pelajar dengan agama yang berbeda sehingga anak didik bisa mempelajari agama satu dan lainnya, menarik persamaan dan perbedaan dan yang terpenting dengan pemahaman tersebut bisa menumbuhkan toleransi dalam hidup bermasyarakat.

Dengan masuknya pemain baru ini yang mengajak orang meninggalkan keyakinannya, sudah selayaknya bagi mereka yang masih percaya akan kekuatan yang Maha Tinggi untuk duduk bersama dan menjadi teladan, sehingga ketika ada yang mempertanyakan apa yang membuat ajaran agama pantas mendapat tempat, mereka mampu mendapatkan jawabannya.

Tentunya sambil tetap menghormati pilihan  mereka yang nyaman hidup tanpa merasa perlu menganut ajaran-ajaran tersebut.

The Sands is (temporarily) Out of My Shoes (02/09/09)

Catatan lama tentang trust and friendship, ternyata dalam hidup ini "a bunch of  sands out and more to come" :)

Baru-baru ini saya merasa senang dan bersyukur sekali, luka lama yg selama ini terpendam dan saya coba obati sendiri telah berangsur-angsur sembuh. Terlebih lagi ketika seorang teman yang terlibat di dalamnya secara terbuka membicarakan hal itu dan meminta maaf.

Cerita ini dimulai beberapa tahun lalu tepatnya setelah selesai kuliah dan mulai bekerja pertama kali. Euforia kerjaan pertama sungguh luar biasa. Setelah di telpon oleh kantor lama lalu ditempatkan di sebuah pulau eksotis, rasanya doa dan usaha saya digranted.

Bersama beberapa teman sejawat kita mendapat training ttg psiko-sosial secara kita akan menjadi frontline memfasilitasi para pengungsi yang terdampar di belahan timur. Training yang pada akhirnya membuat kita menjadi dekat satu sama lainnya dan menjadi sahabat sampai sekarang.

Ternyata niat dan antusiasme dan profesionalisme saja kadang tak cukup. Berada di lapangan dan bekerja dengan tim lain dengan target yang sama tetapi fokus yang berbeda sesekali memunculkan konflik.

Puncaknya apa saja yang dilakukan selalu salah, performa kerja tak pernah dinilai tetapi close follow up tentang kehidupan personal mendapat porsi yang sangat tinggi. Sungguh mengherankan pada awalnya ditempat yang seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi kemanusiaan justru nilai kemanusiaan terasa hambar. Tak hanya pandangan personal yang bersebrangan terhadap pendekatan yang mesti dilakukan tetapi secara sektoral pola pandang ini juga bersebrangan. Akibatnya jalur komunikasi tak penting dan illegal report ramai seperti jalanan ramai.

Kondisi gerah ini terus terang membuat tak nyaman. Sebagai bagian dari tim pastinya siapa saja ingin dipercaya, diberi kepercayaan, memiliki hubungan yang baik dengan sesama pekerja. Usaha pun ditempuh mengorbankan waktu cuti saya terbang ke kantor induk berusaha mengatasi barrier dengan atasan saya. Komentarnya " ooh gak ada apa-apa. Prestasi kamu bagus kog, keep the good work"

Tetapi ternyata masalahnya adem sekitar dua bulan, saja setelah itu ada insiden kecil pada saat kantor kita mengadakan training. Dengan beberapa teman kita iuran dan menyewa mobil bermaksud pelesiran selama satu hari mengunjungi beberapa tempat. Ternyata ada yang ingin ikutan dan oleh kita diberi tumpangan gratis. Ditengah jalan group baru tersebut meminta itenerary dibelokkan padahal semuanya sudah terencana rapi dan terang saja kita menolak. Sesuatu yang dalam beberapa jam kemudian mentrigger masalah lain lagi, berbagai berita miring muncul, laporan disertai drama tangisan, pokoknya apa saja alasan yang kita kemukakan intinya "kami pihak yang menyewa mobil, memberi tumpangan gratis, yang telah menjelaskan itenerary sebelum berangkat dan disetujui menjadi terdakwa" karena teman lain yang ikut serta memutuskan tak ingin melanjutkan perjalanan bahkan setelah "sedikit dirayu"pun masih saja menolak melanjutkan perjalanan.

Dan tidak hanya itu, pemberitaan semakin melebar kemana-mana, sebagaimana anak muda pada jaman itu berada difield office dan berargument dengan imigran yang lumayan bahlul cukup membuat stress sehingga akhir pekan adalah ajang bertemu teman-teman dan tentu saja mengekspresikan diri. Ps: kalau liat anak-anak Federasi Jogja dan Hepapnya seperti kembali ke masa itu:), berbahagialah mereka dan semoga persahabatan yg terjalin tak lekang oleh waktu.

Puncaknya, ketika kita lolos seleksi beasiswa dan mesti cuti karena ujian diadakan di seberang pulau, saat itu pula teror melanda. Luar biasa sekali perbuatan segelintir oknum ini. Cuti yang sah diganggu dengan panggilan telepon, sedang dimana? bersama siapa? apa yg sedang dikerjakan? dan seabreg pertanyaan lainnya diajukan oleh oknum yang berbeda-beda.Padahal otak kan mesti konsentrasi dengan ujian yg menganut sistem gugur.

Akhirnya saya memutuskan inilah saatnya keluar dari tempat ini. Tempat yang saya sukai karena ini pengalaman tak terlupakan, tempat yang membuat saya lebih berani menghadapi apa saja, bahkan saya tak takut mengancam seorang Bapak berbadan besar dari timur tengah sana yang suka memukuli isterinya, tempat dimana ditengah tekanan demonstrasi, mogok makan, jahit bibir dan segala macem, dan nyaris setiap bulan disorot media tetapi ada juga penghibur disana ada juga sih mas-masnya yang cakep dan berdasi kalo jalan ga tanggung-tanggung cakepnya, bikin konsentrasi menyetir jadi buyar :)

Mendapat lampu hijau ditempat baru saya resmi mengundurkan diri. Seminggu yang terasa lambat dan menyedihkan karena semua pada sedih dan bahkan kita juga menangis.Saya pergi dari tempat itu, tetapi tingkat kepercayaan saya terhadap kolega berkurang, saya memaafkan mereka yang menyebar berita dibelakang dan meminta maaf juga bila ada kesalahan yang telah dilakukan, bagaimanapun untuk bertahan disana bukan lagi sebuah pilihan. Tempat itu berjasa besar, tak hanya membuat saya lebih tegar tetapi juga membuat saya tak lagi sehangat dulu, mampu menjalin pertemanan dengan mudah dan dalam hitungan menit, pengalaman disitu membuat saya trauma dan tak mudah menjalin hubungan akrab dengan semua orang. Lucunya ditempat baru seringkali dalam pertemuan antar lembaga saya bertemu dengan mantan kolega yang sempat membuat dada ini serasa mau pecah. 

Anehnya pertemuan itu tak hanya sekali, awalnya dari colekan di sebuah bandara ketika sama-sama ke daerah tsunami sampai saling memalingkan wajah dimeeting-meeting reguler dan di tahun ketiga, akhirnya saya tak punya jalan lain, saya memaafkan orang itu hanya dengan beginilah saya bisa sepenuhnya menerima diri saya, kekurangan saya dimasa lalu dan menganggap hal itu adalah bagian dari yang sudah terjadi. Akhirnya kita duduk semeja dan mulai berbicara sedikit demi sedikit menertawakan masa itu. 

Lalu beberapa waktu lalu seorang teman lama menghubungi, dia yang jadi bagian dari skenario tersebut mengakui keterlibatannya, menceritakan versi yang ia ketahui dan meminta maaf. Lalu saya menanyakan apa kesalahan saya? Jawabnya singkat "kamu dan teman mu sebenarnya pintar dan ada kans untuk maju" oh la..la..maaf ya ternyata itu menjadi bagian dari masalah:(

Saya bener-bener lega sekarang, walau bagaimanapun menurut saya pribadi hubungan baik itu mutlak diperlukan. Hubungan baik kunci kenyamanan dalam hati. Saya berkata tak perlu minta maaf sebenarnya karena saya telah memaafkan dan menganggap itu adalah phase dalam pembelajaran hanya saja pembelajarannya terlalu keras sehingga membuat saya jadi takut untuk bisa percaya lagi seperti dulu. Tapi siapa tahu dengan berjalannya waktu saya bisa benar-benar pulih dari trauma tersebut.

Tulisan ini saya tujukan buat dua anak manis yg dulu menjadi rekan sejawat di sebuah operasi gempa. Di tengah tekanan akan profesionalitas dan performa sungguh memiliki sahabat memberi kita kekuatan dalam menjalani apa saja. Dan seorang teman yang dengannya banyak hal-hal gila yg dilakukan dari makan malam berkesan di Trawangan sampai insiden ambruk di Leiden, thanks to be true all of these years.

Sekelumit Cerita (KDRT) Diantara Pencari Suaka (01/13/10)

Baru-baru saya terlibat diskusi dengan sahabat saya Kak Sari yg tengah menimba ilmu di Australia. Dia membuat tulisan tentang bagaimana sensitifnya isu budaya diatur oleh pemerintah kota Adelaide. Dimana untuk menjadi relawan bagi imigran muslim diwajibkan berpakaian menutup aurat dan menyesuaikan diri dengan budaya pendatang tersebut.

Tetapi kali ini, saya tidak menulis tentang relawan melainkan tentang pengalaman saya dulu mengurus imigran-imigran ini selama dua tahun. Setelah melalui proses seleksi saya ditempatkan di Lombok dan menangani imigran asal Timur Tengah (Irak, Iran dan Afghanistan) dan belakangan disusul oleh imigran asal Vietnam.

Mendengar nama Afghanistan, saya teringat gambar-gambar kabur di tahun 80, dengan gambar pejuang Mujahidin di Afghanistan memanggul roket melawan Uni Soviet. Dengan jubah dan jenggot lusuh, mereka terlihat seperti pahlawan yg berjuang sangat gigih mengusir pendudukan bangsa asing di tanah airnya. Mungkin image ini membekas kuat disebagian orang melalui berita-berita yg ditampilkan di televisi.

Hari pertama bekerja, saya dihadapkan pada sekeluarga Irak dengan dua anak kecil yang menolak tinggal di kamar yang telah disediakan lembaga internasional tempat saya bekerja dan menuntut untuk pindah ke tempat lain. Ia mengurung anak dan isterinya di dalam kamar dan berbaring diluar kamarnya menutup pintu masuk dan mengancam apabila ia dan keluarganya tidak dipindahkan maka biarlah mereka mati kelaparan. Terus terang saya sedikit bertanya-tanya dengan sikapnya tersebut, sebagai warga Arab yg notabene beragama Islam bukankah sengaja bunuh diri itu dilarang keras dan tak ada yg berhak mengakhiri hidup melainkan Dia yang memberi kehidupan?

Lalu pada saat yang sama, sekumpulan laki-laki Irak ini juga mulai melakukan aksi protes, teman-teman sejawat sedikit merasa tertekan dengan kondisi ini, setiap kami turun kelapangan disambut dengan teriakan-teriakan berbahasa Arab disertai dengan aksi memukul bagian mobil yang kami kendarai, dan tentu saja postur mereka yang rata-rata jauh lebih besar dan tinggi, suaranya yang menggelegar dan tampang lusuh tak mandi mereka cukup menggetarkan hati.

Dibandingkan dengan warga Irak ini, orang-orang Afghanistan sedikit lebih manis. Mereka bertutur kata lembut, lebih ekslusif dan tidak begitu solid seperti halnya orang-orang Irak tersebut dan paras wajahnya campuran dari Arab, Cina dan Pakistan, kelompok ini didominasi suku Hazara dan beberapa orang Pashtun. Mereka juga beragama Islam walau beberapa ada yg berpindah agama setelah beberapa tahun.

Lalu yang ketiga adalah orang-orang Iran, yang menyebut dirinya orang Mandaean, yg percaya bahwa nabi Yahya (John the baptist) adalah sang Messiah. Seperti halnya orang-orang Hazara dari Afghanistan, warga Iran ini juga berbahasa Farsi dan secara umum lebih berpendidikan dan lebih halus tata bahasanya. Alasan utama mereka mencari suaka adalah karena mereka merasa terkekang untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama mereka di negerinya sendiri yang mayoritas Islam aliran Syiah.

Di minggu pertama, saya berkonsentrasi mengurusi warga Irak yg rajin mengamuk pada saat kami kunjungi, keluarga kecil yg melakukan protes telah dipindah ke penampungan lain, dan ini menyulut kecemburuan mereka yg tinggal di tempat yg sama. Cukup sulit berhadapan dengan kelompok yg diwakili kaum lelaki ini. Temperamennya sangat emosional, saat yg satu bicara yg lain juga berbicara dan menyahuti, dan disertai dengan berbagai teriakan-teriakan berbahasa Arab. Dalam hati saya sedikit ada rasa gentar menghadapi mereka, akhirnya saya membuat perjanjian alias aturan main ttg menyampaikan uneg-uneg sehingga bisa di dengar oleh semuanya dan lebih mudah ditanggapi dibandingkan apabila semuanya berbicara di saat yg sama tentunya tak ada yg bisa mendengar, karena tak bisa didengar keluhan mereka tak bisa dicarikan jalan keluar, sepertinya aturan main ini cukup ampuh untuk situasi ini.

Dialog minggu itu cukup berhasil untuk meredam situasi yg memanas, tetapi beberapa hari setelahnya ada kejadian lain, seorang perempuan Syiria berusia sekitar 35 tahun bersuamikan warga Irak yg sudah berumur, menangis dan meminta dipulangkan ke Syiria. Pemulangan tanpa paksaan ini bisa difasilitasi oleh lembaga kami tetapi ada dua hal yg mengganjal, yang pertama adalah kondisi fisiknya yg belum fit karena ia baru melahirkan seminggu yang lalu dan kedua sang suami menentang keras kemauan isterinya tersebut. Ternyata setelah didalami, ia tak tahan karena suaminya minta dilayani "berhubungan" sementara kondisi fisiknya belum pulih. Ini menjadi tanda tanya kedua bagi saya, karena dulu sewaktu belajar di sekolah, jelas sekali dianjurkan bahwa seorang wanita harus memulihkan dahulu kondisinya pasca melahirkan atau selesai masa nifas barulah bisa ia di dekati. Akhirnya setelah beberapa kali konseling, si bapak tua itu akhirnya mau mengerti dan menuruti permintaan isterinya. Walau ia awalnya bersikeras sebgai isteri ia wajib patuh kepada suaminya apapun permintaan yg ia ajukan.

Kasus lain yg cukup meninggalkan rekam jejak adalah kasus KDRT yang dialami perempuan asal Afghanistan. Disini saya baru mengetahui betapa mengenaskan jalan hidup yang mereka alami. Begitu menikah, mereka sepenuhnya menjadi hak milik keluarga suami. Tinggal bersama keluarga besar dan tidak memiliki ruang pribadi melainkan harus berbagi dengan saudara ipar, mertua dan keluarga besar lainnya. Mereka tak pernah mengenal suami tersebut sampai saat mereka menikah, syukur apabila dia dilamar dengan baik-baik, menurut penuturan mereka tak jarang mereka harus menjadi tumbal dari rasa "malu" yg timbul oleh perbuatan saudara laki-laki mereka. Menurut cerita mereka, apabila seorang perempuan berhubungan dengan laki-laki, misalnya berbicara di jalan, hal tersebut akan dianggap penghinaan, untuk membalasnya maka saudara perempuan laki-laki itu diserahkan kepada saudara laki-laki perempuan yg telah didekatinya tersebut untuk dijadikan isteri. Isteri-isteri yang dinikahi dengan cara seperti ini tak jarang mengalami siksaan mental maupun fisik dari keluarga barunya.

Kerapkali perempuan-perempuan ini menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Salah satu kasus yg saya tangani menimpa seorang wanita (R) yang menangis dan merasa tertekan akibat mengalami kekerasan fisik dari suaminya, ia memperlihatkan bilur-bilur merah di beberapa bagian tubuhnya akibat di pukulkan tali pinggang suaminya. Hal yang sama juga menimpa wanita lain yang merasa ketakutan karena ia dipukul oleh suaminya karena lambat menghidangkan makanan. Yang lebih menyedihkan kedua wanita tersebut mengaku bahwa sejak mereka menikah otomatis mereka tidak punya siapa-siapa lagi melainkan anak-anak mereka saja. Praktis mereka tak pernah bertemu dengan keluarganya, oleh berbagai sebab, karena ijin yg tak di berikan, karena peperangan melanda sehingga seringkali terjadi pergerakan domisili dan susah dilacak dan lain sebagainya.

Tingginya angka KDRT ini terus terang meninggalkan pertanyaan besar bagi saya. Observasi saya terhadap kejadian-kejadian tersebut bukan dimaksudkan bahwa budaya mereka mengakomodasi KDRT karena KDRT bisa terjadi dimana saja, yang menjadi pembeda adalah tindakan atau action apa yg tersedia yang bisa menjadi pilihan mereka untuk keluar dari situasi tersebut. Dengan situasi yang demikian terkungkung dan boleh dikatakan tidak memiliki akses ke luar selain keluarga intinya, otomatis tak banyak pilihan yang mereka miliki. Ketergantungan finansial, emosional, tak memiliki pendidikan yang memadai untuk modal bertahan hidup, membuat dunia luar benar-benar tidak ramah bagi mereka.

Terus terang, pengalaman ini membuat saya mempertanyakan, benarkah tempat perempuan hanya di rumah saja? seperti yang seringkali terlontar dari beberapa teman-teman perempuan? karena jika saya tanyakan kepada perempuan pencari suaka tersebut apa yg mereka harapkan bagi anak perempuannya, semuanya menginginkan anak-anaknya termasuk anak perempuan bersekolah yang tinggi, mendapat pendidikan, mampu mengemukakan pendapat dan berargumen dengan cerdas, menjadi partner bagi pendampingnya dan bukan semata-mata menjadi pengikut yang hanya mendengarkan dan wajib mematuhi, menjadi independen sehingga nasib yg saat ini menimpa ibu mereka tidak terulang lagi.

Jika saya membandingkan dengan perempuan Indonesia yg mayoritas muslim, terasa sekali bahwa banyak keberuntungan yang mereka peroleh karena budaya Indonesia secara umum tidak represif terhadap perempuan. Perempuan di Indonesia bebas untuk mengakses pendidikan, terbuka peluangnya untuk memilih profesi yang ia inginkan, baik menjadi ibu rumah tangga, berkarir atau keduanya. Nah, kalau kita seberuntung itu, kadang-kadang saya suka heran mengapa beberapa diantara perempuan memilih untuk membelenggu dirinya sendiri dan berniat bersungguh-sungguh mengadopsi sesuatu diluar kebiasaan yang mungkin kelihatan manis dari luar tetapi bagi yang langsung mengalaminya merupakan pengalaman yang pahit.

Catatan dari Amish County Pennsylvania (03/09/09)

Musim semi yang lalu, saat bepergian ke Chicago di kereta yang saya tumpangi saya berpapasan dengan tiga perempuan muda yg terlihat sangat kontras sekali diantara penumpang lainnya. Ada sesuatu yg khas pada wajah-wajah mereka, ekspresi yang lumayan polos dan cara berpakaian mereka yg sekilas mengingatkan saya akan sosok "Ma" di serial Little House on the Praire.

Ya, ditengah penumpang yg multi gaya, dengan rok panjang, pendek, celana jeans, atasan yg bergaya modern, aksesoris rambut alami, rambut warna warni, yg jelas ketiga perempuan itu menyeruak justru dengan gaya mereka yg lain dari kebanyakan. Ketiganya memakai rok panjang nyaris ke mata kaki, pakaian yg tertutup sepenuhnya dan kap berwarna putih menutupi sanggul di bagian belakang kepala mereka. Melihat ketiga orang ini seolah-olah sedang menonton film dari masa lalu. Ketika balik, dari Indiana saya melihat dua prang penumpang, sepertinya mereka adalah pasangan. Seorang bapak-bapak berumur dan istrinya yg gaya pakaian mereka juga cukup menarik perhatian.

Si lelaki, berpakaian hitam, atas ke bawah, dengan topi hitam, janggut panjang dan wajahnya bersih dari kumis, sementara yang perempuan memakai tutup kepala seperti jilbab, dengan baju dan rok yg menutup sampai ke mata kaki. Ada begitu besar rasa keingintahuan saya terhadap orang-orang ini dan komunitas mereka yg dikenal dengan nama komunitas Amish.

Tapi ternyata saat itu saya tak cukup berani untuk menghampiri dan bertanya, melainkan hanya melihat mereka sekilas-sekilas karena saya pikir mereka juga tak nyaman kalau dipelototi terus menerus. Lalu keingintahuan terhadap orang-orang Amish tersebut membuat saya memulai pencarian informasi ttg mereka.

Ada beberapa komunitas Amish di Amerika, mereka tersebar di Pennsylvania, Ohio dan Indiana. Setelah mengumpulkan beberapa informasi maka kami berdua (dengan suami) meluncur ke utara menuju Lancaster county. Ada sebuah kota kecil bernama Bird in Hand yang menjadi salah satu tujuan kami di Pennsylvania.

Berkendara kira-kira setengah jam dari Central Market Lancaster county, kami akhirnya sampai di tempat yg menyediakan layanan Buggy Ride alias berkendara dengan kereta yg ditarik oleh kuda. Ya, terlalu banyak bayangan yg bermain di kepala saya, mungkin miniatur caravan di museum yg kami kunjungi, serta berbagai macam tenunan, quilts, serta perabot-perabotan buatan komunitas Amish membuat saya semakin penasaran dengan komunitas ini.

Kami disambut oleh pak kusir Amish yg bernama Joe. Sayangnya Joe tak berjenggot panjang dan tak pula berpakaian hitam-hitam, seperti kebanyakan lelaki Amish. Lelaki tua ini menjelaskan program apa saja yg tersedia dan apa saja yang akan kami lihat. Kira-kira beginilah ceritanya:

"Komunitas Amish adalah penganut agama kristen aliran Anna Baptist, aliran ini bermula di Switzerland pada pertengahan abad ke 14. Komunitas Amish ini juga dinamakan Mennonite yg berasal dari pencetus aliran ini Menno Simmons. Komunitas Amish menjalani hidup mereka dengan prinsip sederhana, tak boleh menyombongkan diri dan berserah diri kepada Tuhan.



Pada mulanya dari Swiss mereka menyebar ke utara dan ke barat, kira-kira ke Belanda dan Jerman saat ini, sehingga mereka juga kerap menyebut diri mereka sendiri sebagai Dutch-Amish. Pada masa itu, penduduk suatu kerajaan wajib mengikuti agama yg dianut oleh penguasa, sehingga golongan ini serta merta terancam keberlangsungan beragamanya dan memutuskan pindah ke Amerika.

Ada beberapa hal yg sangat prinsip dianut oleh komunitas ini antara lain bahwa mereka tak terhubung dengan masyarakat luas, sehingga media yg menghubungkan mereka dgn dunia luar serta merta dibatasi atau tidak diperkenankan pemakaiannya dalam lingkungan komunitas ini. Sehingga mereka tak memiliki televisi, jaringan telephone, internet, mobil, dll.

Kereta kuda (buggy ride) yg kami tumpangi memasuki lahan pertanian yg luas dengan rumah-rumah besar di tengah lahan tsb. Kontras sekali melihat bangunan rumah-rumah modern tsb bersanding dengan kereta kuda dihalamannya dan bukannya mobil-mobil seperti layaknya rumah modern, demikian juga kenyataan bahwa tak ada televisi didalamnya. Joe menjelaskan bahwa rumah-rumah tsb memakai teknologi modern seperti mesin cuci, pendingin dll, hanya saja mereka tak memanfaatkan sambungan listrik ataupun sambungan gas. Mereka memanfaatkan energi matahari dan angin dan menjadi mandiri (self sufficient) dalam kebutuhan energinya, ada juga yg memanfaatkan gas prophane (tabung gas individual berukuran besar).



Sejenak imajinasi saya terbang ke desa-desa di pedalaman negeri sendiri, dimana akses terhadap energi ini begitu terbatas bahkan di beberapa kota besar juga mengalami black out, seandainya teknologi matahari berbasis rumah tangga ini bisa kita manfaatkan tentu anak sekolah akan lebih senang belajar dimalam hari dan banyak lagi keuntungan lainnya yg didapatkan.

Baru-baru ini masyarakat Amish diperkenankan memakai cell phone terutama saat mereka bepergian keluar demi alasan keamanan, tetapi cell phone ini harus tinggal di luar saat pemiliknya masuk ke dalam rumah.

Aliran Annabaptist yang mereka anut tidak membolehkan penganut Amish untuk membunuh manusia. Sehingga mereka tak boleh menjadi anggota militer dan lelaki Amish memakai jenggot panjang tetapi tak berkumis, karena konon anggota militer kerapkali memasang kumis :)

Barangkali sesuatu yg paling menarik dari penuturan Joe adalah tradisi Rumpsringa, tradisi dimana remaja Amish yg berumur dari 16 tahun sampai mereka melakukan konfirmasi untuk bergabung dengan komunitasnya atau keluar dari komunitasnya. Berbeda dari agama-agama lainnya dimana konfirmasi terjadi secara otomatis atau turun temurun, komunitas Amish hanya mengakui konfirmasi setelah seseorang dewasa dan mengerti akan pilihan yg dibuatnya. Dalam masa-masa ini remaja-remaja Amish yg beranjak dewasa di perbolehkan mengeksplorasi kehidupan luar dalam istilah mereka kehidupan ala English, tinggal diluar komunitas, berpakaian ala modern "English", mengkonsumsi alkohol, mengendarai kendaraan bermotor, dll. Dari yg melakukan rumpsringa ini hanya sekitar 15% yang benar-benar keluar dari komunitasnya.

Walaupun menolak sebagian dari cara-cara kehidupan modern, anak-anak Amish tetap bersekolah sampai grade 8, setiap kelas dikelola oleh seorang guru dan asistennya yg merupakan anak yg paling cerdas di kelas tsb, selanjutnya si ibu guru akan mengalami masa-masa "courting" alias masa-masa penjajakan dan pengenalan calon pendamping hidupnya dan menikah pada usia 25 tahun. Amish tak mengakui adanya perceraian sehingga setiap pasangan di beri waktu yg cukup lama untuk mengenali calon pendampingnya dan apabila mereka tak merasa sesuai sah-sah saja mencari sosok yg lebih tepat. Ketersediaan pilihan untuk memilih dan mengenali lebih jauh ini menurut pandangan pribadi saya sangat spesial dari komunitas ini, dengan sadar betul akan pilihan yg dibuatnya bisa jadi membuat individual di dalamnya tak sekedar ikut-ikutan tetapi sadar betul akan pilihan yg dibuatnya serta konsekuensi dari pilihan tsb.

Demikian juga untuk urusan kesehatan, mereka tak mengenal istilah asuransi, setiap layanan kesehatan akan dibayar langsung oleh keluarga yg bersangkutan atau ditanggung bersama-sama oleh komunitas ini.

Pertautan dengan komunitas Amish ini terus terang membuat mata saya lebih terbuka terhadap peradaban manusia. Dibalik berbagai warna, agama, lokasi yg berlainan ternyata banyak sekali persamaan-persamaan diantara berbagai peradaban yang ada. Kerapkali kita berpikir seolah-olah kita berbeda sekali dengan yg lain ternyata justru banyak sekali persamaan yg ada yg nyaris tak terpikirkan sebelumnya.

Lain Padang Lain Belalang (26/5/2010)

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, demikian bunyi suatu peribahasa yang saya pelajari saat duduk di bangku SD kelas tiga dulu. Tak perlu menebak-nebak artinya, ya setiap tempat memiliki keunikan tersendiri.

Sudah nyaris dua setengah tahun ini tinggal di negeri orang, selalu saja ada hal-hal baru yang saya pelajari setiap hari. Layaknya bangsa Melayu, dari kecil saya diajari sopan santun, basa basi, ramah tamah, serta aturan-aturan lainnya untuk bertahan di tengah masyarakat baik oleh orang tua, guru maupun ibu-ibu lain para tetangga keluarga saya.

Diantara aturan-aturan tersebut, mungkin basa basi telah mulai berkurang secara drastis, saya sadari dari dulu, basa basi inilah yg paling membingungkan buat saya, misalnya saat ditawari apa saja rasanya sulit menolak kalau memang itu adalah sesuatu yg diinginkan dan tentu saja kalau kita tak menginginkan barang yg ditawarkan gampang sekali menolak, saya bingung mengapa tak boleh berkata iya saat itu juga padahal terus terang itu gampang sekali.

Saya masih ingat beberapa ibu-ibu memberi laporan kepada ibu saya soal anak perempuannya yg satu ini. Rata-rata kakak dan terutama adik saya adalah mahkluk-mahkluk sosial yg ramah melempar sapaan siapa saja yg mereka temui di jalan menuju maupun keluar dari kediaman ini, kecuali seorang anak perempuan kurus dan hitam (katanya) yg lebih suka memandang lurus ke depan atau memandang aspal seraya berjalan cepat seolah-olah ada sesuatu yg di perhatikan di aspal tersebut.

Lalu, sesampainya di rumah, Ibu pun menasehati, "apa sih susahnya menegur orang pada saat lewat?" liat tuh adiknya, dia ramah sekali dan banyak sekali yg suka, fansnya termasuk sepasang suami istri berusia lanjut yg sangat menggandrungi keramahan adik saya.

"Ya, memang ga ada salahnya sih, cuma ga kepikiran aja", jawab saya sejujurnya. "Memangnya apa sih yg dipikirin kalau lagi jalan kaya gitu?" ibu saya bertanya balik. "Hmmm,..ya banyak, kadang sambil jalan sambil ngitung perkalian, kadang ingat ttg bacaan sebelumnya, kadang mikirin sepeda," ya ada aja deh yg berputar di kepala" dan terus terang saya bingung mengapa apa yg saya pikirkan menjadi menarik buat ibu saya.

Ya, begitulah akhirnya. Saya tumbuh menjadi anak yg berwajah cukup serius dan bahkan di perkuliahan oleh sahabat saya suka ditiru mimik seriusnya saat mendengarkan dosen berceloteh di depan kelas. Bahkan oleh seorang teman kerja dan beberapa orang lagi wajah saya dikatakan agak jutek terutama di jam-jam sibuk. Tak lupa driver di kantor lama yg saya temui tahun lalu berujar," wah mbak beda ya sekarang, udah ga jutek lagi" Gleg!@#$%^!@@#

Ah entahlah, saya tak pernah bersungguh-sungguh bermaksud jutek, ekspresi itu memang dari sana datangnya, dan akan semakin jelas terlihat jika ada yg saya pikirkan.

Lalu apa hubungannya dengan lain padang lain belalang? ya terus terang hidup di negeri orang seperti ini, saya tak perlu repot berbasa basi dengan orang-orang di sekitar. Cukup anggukan kepala saat bertemu di lift atau saat dibukakan pintu dan syukur-syukur dibarengi have a good day sudah lebih dari cukup, berbeda sekali dengan pengamatan saya saat tinggal bersama ibu dimana jalan menuju rumah sepanjang 300 meter tersebut banyak sekali orang di kiri kanan yang harus disapa.

Tetapi, ada dua ajaran yg masih melekat sampai saat ini yaitu kalau melihat orang yg jauh lebih tua atau ibu hamil berdiri dan saya menduduki kursi di kendaraan umum, saya harus memberikan kursi tersebut pada mereka. Saya ingat dulu sekali ditahun 1990-an, saya naik bus umum ke Siantar sekitar 2.5 jam perjalanan dari Medan, keluar dari stasiun Amplas mendekati Tg Morawa, bus yg sudah penuh tersebut menaikkan 3 orang penumpang (nyaris 4 sebenarnya), seorang ibu hamil dan dua anaknya yg masih balita. Tak ada penumpang yg beranjak, akhirnya sukseslah saya berdiri sampai tiba di Sinaksak, suatu tempat yg berjarak 10-15 menit dari perhentian terakhir. Nah yang satunya lagi adalah manakala melihat ibu-ibu maupun mereka yang berusia lanjut yg membawa beban yg lumayan merepotkan mbok ya ditawarkan bantuan membawanya, yg belakangan ini lumayan dipraktekan beberapa kali, kecuali tentunya saat berjuang keluar masuk bandara karena saya juga memiliki gembolan sendiri yg tak kalah ukurannya.

Lalu di tempat tinggal yg sekarang ini, ada beberapa senior citizens yg sering berpapasan di lobby, mereka suka sekali berkumpul pada jam-jam tertentu dan membentuk grup sendiri. Suatu hari, saat saya kembali dari gym, saya melihat seorang nenek yg berjalan tertatih-tatih menuju pintu masuk dengan gembolan belanjaan, sungguh tak tega melihatnya berjalan menghabiskan begitu banyak waktu menuju lobby yang hanya bisa ditempuh kurang dari dua menit. Belum lagi dia harus menscreen token dan bergegas membuka pintu yg membutuhkan kecepatan tertentu. Melihatnya, lalu saya menawarkan membawakan barang-barangnya dan kembali ke bagasi mobilnya dan menuntaskan seluruh barang belanjaannya. Ia tak menolak, dan tersenyum mengucapkan terima kasih. Ia tak terlihat sehat saat itu.

Kali berikutnya, saya kembali menjumpainya di parkiran sedang mengeluarkan barang2xnya dari bagasi, saya hampiri dan sekali lagi saya tawarkan bantuan, ia menolak bantuan tersebut.

Merupakan hal yg umum, disini para orang tua hidup mandiri, dalam artian menjalani segala sesuatunya sendiri. Bahkan diusia yg sedemikian senja mereka masih menyetir sendiri kemana-mana, pergy ke gym, dan banyak sekali kegiatan yg mereka lakukan tanpa bantuan orang lain.

Lalu, minggu lalu saat hendak ke Mall, saya naik bus yg lewat di depan kompleks apartemen dimana tujuan terakhirnya adalah Mall tersebut. Seperti biasa, kepala saya mulai mengingat-ingat apa yg ingin saya beli, dimana kira-kira lokasi tokonya, dan apa saja yg ingin saya lihat-lihat kali ini. Tak berapa lama, bus berhenti didepan bangunan besar yg merupakan tempat tinggal senior citizens.

Pada awalnya saya tak melihat siapa yg naik, tetapi karena bus tak kunjung beranjak saya menoleh kearah entrance, yg berjarak 3 meter dari tempat saya duduk. Dua orang nenek naik, dilanjutkan dengan sepasang kaki, sebuah buntalan sleeping bags, dan sebuah tas besar. Ia terlihat kewalahan, menggiring satu persatu barang bawaannya dari satu tangga ke tangga lainnya (walaupun supir bus tersebut telah menyesuaikan tangga tersebut untuk mempermudah ia naik).

Insting saya ingin menolongnya dan bergerak saat itu juga. Tetapi saya di dahului oleh seorang pemuda yg duduk lebih dekat ke arah pintu masuk dan menjulurkan tangannya menawarkan bantuan.

"Oh! Baiklah pikir saya", namun tiba-tiba saya terperanjat dengan teriakan keras," No Thanks!" Dilanjutkan, "You know What?! I am not weak, it just I am slow, I don't need any help!!! Dan mengalirlah banyak sekali kata-kata dari mulut nenek tersebut.

Pemuda tadi beringsut-ingsut kembali ke kursinya seraya mengucap maaf. Ternyata ucapan maaf tersebut tidak cukup, begitu kembali ke bangkunya, sang nenek melanjutkan celotehannya sambil memandang ketus kearah pemuda tersebut, "You see! katanya, you cannot just hand your hand like that! You have to ask first! I remember, 35 years ago, an old lady that I want to carry because she walked so slow told me that! Beberapa penumpang yg kebetulan dapat dihitung jari saling melirik satu sama lain, heran dengan reaksi berlebihan nenek tersebut. Dan dalam hati saya bersyukur dan berterima kasih kepada pemuda tersebut yg telah sukses mendahului saya menawarkan bantuan karena kalau tidak saya pastilah akan menjadi sasaran omelan nenek tersebut.

Ternyata lain lubuk memang lain bener ikannya. Paling tidak, saya belajar ternyata gesture menawarkan bantuan yg sangat lazim di tempat asal saya ternyata tak berlaku di tempat ini.

Sedang kangen; Travel to Lombok, highlight dari ex penduduk lokal

Catatan dari multiply originally posted 3 Dec 2009

Kemenangan Obama dan Inlander Mentality (2008)

Catatan dari lapak multiply-yang akan segera berakhir sehingga dipindah kesini, originally dari 8 November 2008.
Beragam respons terlihat menanggapi kemenangan kubu demokrat baik di US, Kenya, Jepang, maupun Indonesia.

Yang pertama karena baru kali ini seorang kulit hitam mampu menduduki kursi presiden, sehingga konon menurut seorang teman yang bermukim di Chicago, lapangan tempat perayaan kemenangan kubu demokrat di penuhi lautan manusia, dan mayoritas hitam. Lalu dilanjutkan di Daily show dimana John Stewart dan Colbert dengan lelucon mereka bakal digantikan oleh black brothers, sampai-sampai teman saya bercanda kayanya James Bond ntar diganti ama Denzel Washington:). Terus terang menonton televisi dua hari terakhir ini terasa membosankan karena liputan seputar hal yang sama diputar berulang-ulang.

Lalu sekelompok Obama fans di desa Obama dekat Tokyo juga jejingkrakan merayakan kemenangan tersebut dan engga hanya itu model rambut si Lipstick Pitbull aka Sarah Palin juga menjadi trend baru disana.

Tanggapan beragam juga muncul dari tanah air, umumnya memuat harapan akan hubungan yang lebih baik antara dua negara ke depan dan lebih khusus lagi karena masa kecilnya dihabiskan di Indonesia selama empat tahun dari umur 6-10 tahun. 

Beberapa teman mendeskripsikan perasaannya sampai menangis dst, dan menanyakan kapan Indonesia akan punya pemimpin seperti ini? padahal, boleh saja kita turut bahagia dengan pencapaian beliau tetapi jangan berharap yang berlebihan terhadap peran yang dimainkannya terhadap Indonesia. Dan untuk lebih objective, kinerjanya baru akan kita lihat empat tahun dari tahun 2009. Terlebih lagi dengan berbagai permasalahan yang ditinggalkan pendahulunya, si raja perang Bush jr.

Mungkin kita kecewa dengan prilaku pemimpin bangsa yang sulit sekali akur dan saling mendukung, apalagi presiden-presiden jaman reformasi tak bisa duduk akur satu meja membahas kepentingan bangsa, kalau ini bolehlah kita sedikit berkiblat terhadap negrinya Obama, setelah bertempur mati-matian pake pesan positip dampai yg negatif sekali, kalau kalah ya mengaku kalah secara kesatria dan setelah itu memusatkan perhatian bagi persatuan bangsa dan mendukung pemenang. Hal yang masih langka di negara kita.

Lalu beberapa teman lain masgyul dengan fenomena ini, mungkin termasuk saya didalamnya. Mengapa inlander mentality ini begitu menguasai kita? Nah soal inlander ini, dulu kata-kata ini sangat sering kita pakai untuk menertawakan diri sendiri. Misalnya dalam membandingkan "blue blood" dan "common people". Meneer dan inlander yang suka dipakai kalo lagi ledek-ledekan dengan teman-teman peserta pertukaran pemuda satu dekade lalu. Terminologi yang dulu sering disaksikan dengan menonton film-film bertemakan masa penjajahan.

Inlander ini sepertinya terminology yang digunakan pada masa penjajahan dulu untuk mewakili kelompok pribumi. Sayangnya bahkan setelah lebih dari separuh abad kita merdeka, mental inlander ini belum juga hilang dari tindak tanduk kita. 

Dari observasi selama ini berikut ini bisa jadi prilaku inlander yang mencolok: tidak percaya diri dengan kemampuan diri sendiri atau bangsa sendiri. Berpikir seolah-olah bangsa asing lebih manjur dan lebih pintar dibandingkan dengan bangsa sendiri. Akibatnya bisa dilihat diperkantoran yang multinasional , perlakuan terhadap bangsa sendiri menjadi berbeda bila dibandingkan dengan bangsa asing, mulai dari supir, staff admin dan lainnya ramah dan menunduk sedalam-dalamnya kalo ada yg agak kinclong sedikit, entah apa alasannya barangkali bangsa sendiri "kurang bermutu"?

Artinya kemampuan kita dan mereka saling melengkapi untuk bisa mencapai tujuan yang ingin dicapai, karena masing-masing memiliki potensi sendiri tentunya derajat yang satu tak lebih tinggi dari derajat yang lain.

Bukan berarti kita tidak boleh mencontoh bagaimana bangsa lain memajukan masyarakatnya, lewat good governance, kebijakan mereka yang mensejahterakan rakyatnya dsb, tetapi berkelakuan seolah-olah kita adalah pembantu seperti jaman feodal dulu rasanya sudah tidak layak. Bahkan kalau perlu pekerjaan sebagai pembantu pun baiknya kita beri ruang khusus untuk menjaga martabat mereka seperti pembatasan jam kerja, cuti, tugas dan tanggung jawab, dsb.

Sudah saatnya kita memandang sesama sebagai manusia dengan derajat yang sama. Dan mengurangi atau bahkan menghentikan inlander mentality ini, sehingga dengan sendirinya  kita berhenti menjadi (maaf, budak) di negeri sendiri?

Thursday, August 16, 2012

Antara Islam, HAM, Demokrasi dan Pluralisme

Cuplikan tanggapan dalam sebuah diskusi dengan seorang teman Muslim yang mengatakan HAM, Demokrasi dan Pluralisme tak sejalan dengan Islam (informasi di kompilasi dari berbagai sumber), berikut adalah hasil penelusuran saya yang menyatakan sebaliknya.

Ketika Rasulullah wafat, para sahabat berkumpul disertai perwakilan suku-suku dan masyarakatnya,  lalu dipilih Khalifah Abu Bakar. Pemilihan tersebut adalah salah satu asas demokrasi. Islam mengutamakan kesetaraan (termasuk dalam kesejahteraan umat), akuntabilitas seorang pemimpin artinya pemimpin yang bisa dimintai pertanggung jawaban, penghormatan terhadap perbedaan dan perbedaan keyakinan. Nilai-nilai diatas tidak bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme. Setelah Beliau wafat, tidak ada dinasti yang memerintah berdasarkan pertalian darah langsung dengan Beliau melainkan dengan memilih kalifah pengganti.

Dan pada masa-masa kekhalifahan bahkan ketika masa dinasti Islam berkuasa, sistemnya lebih desentralisasi dan ada ruang bagi masyarakat lokal untuk menetapkan aturan mereka sendiri.

Cukup mengherankan mengapa banyak yang mengatakan Islam tidak "compatible" dengan Hak Azasi Manusia (HAM). HAM memiliki beberapa unsur,  diantaranya:

1. Right to life (atau hak untuk hidup)
Hak yang langsung diberikan Allah kepada manusia. Dalam Al Maidah: 32 " Oleh karena itu Kami isyaratkan kepada Bani Israli, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena sebab-sebab yang mewajibkan hukum kisas dan bukan karena membuat kerusuhan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka dia telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya.

Disana disebutkan manusia bukan Muslim bukan pula kafir (non-believers) tetapi manusia.

2. Right to Freedom

Kebebasan pribadi dijamin oleh Qur'an, bahwa tak ada seorang pun yang boleh membatasi hak tersebut melainkan Allah semata. Termasuk siapa yang berhak menghakimi siapa yang benar dan yang salah ( Ash Shura: 21) dan lebih lanjut dalam Ali Imran 3:79 Qur'an dengan jelas mencermati kecendrungan manusia menjadi diktator, serta membuat pemerintahan yang sewenang-wenang. Bahkan di masa itu dimana perbudakan adalah sesuatu yang umum, Qur'an menyerukan supaya hak-hak mereka dihormati. (An-Nisa 36).
Di Qur'an memang tidak menegaskan dihapuskannya perbudakan tetapi aku kira Islam tak menentang dihapuskannya perbudakan.

3. Right to Justice (fair trial)

Dalam Al-Ma'idah: 8, kita dianjurkan untuk semata-mata berdiri tegak karena kebenaran, jangan sampai kebencian terhadap suatu kaum sampai mempengaruhimu untuk berlaku tidak adil, dst dan Dalam An- Nisa': 135 ditekankan persamaan hak dan kewajiban yang merujuk kepada HAM.

Islam mengenal kata-kata adil dan ihsan. Keduanya mengandung sifat terpuji. Adil berarti sama, tidak kurang tidak lebih. Sifat terpuji tidak ditentukan oleh kekayaan, jenis kelamin, agama tetapi oleh "kebenaran" berdasar keyakinan dan tindakan atau amal. Dan dengan ihsan misal dalam An Nahl: 90, kita dianjurkan berbuat adil dan kebaikan (ihsan).

Bahkan Qur'an menjamin hak-hak lainnya yang belum dicakup HAM i antara lain hak untuk dilindungi privasi dan dilindungi dari fitnah seperti dicakup An-Nur: 27-28, 58; Surah Al-Ahzab: 53; Surah 49: Al- Hujurat : 12. Jika merujuk pada ayat-ayat ini, tindakan masyarakat yang memasuki properti milik orang lain untuk mengintip kegiatan mereka yang awam kita baca di berbagai berita tampaknya bertentangan dengan ayat-ayat tersebut.


Juga menjamin hak untuk mendapat kehidupan yang layak seperti dalam Surah Hud:6, setiap manusia bergantung rejekinya pada Allah. Selanjutnya dalam Al-An'am: 165; Al-Mulk:15, dapat diartikan setiap manusia memiliki hak untuk menunjang hidupnya dan bahwa mereka yang memegang kekuasaan ekonomi atau politik tidak memiliki hak untuk mencabut hak orang lain dari kebutuhan hidup dasar dengan menggelapkan atau menyalahgunakan sumber daya yang telah diciptakan oleh Tuhan untuk manfaat kemanusiaan secara umum.

Bahkan Qur'an mengutuk mereka yang menzalimi diri mereka sendiri dengan menolak dunia dan menyiksa diri seperti dalam Al-A'raf 32 dan menegaskan tentang pembelaan HAM di Al-A'raf 33.

Kiranya akan lebih bijaksana kalau kita tidak begitu saja mengiyakan informasi yang sampai pada kita tanpa berusaha mencari tahu terlebih dahulu, dan memandang ketiga terminologi diatas serta merta salah hanya karena mereka diagung-agungkan di Barat.