Wednesday, August 19, 2015

Eat, Pray and Swim di Sabang dan Banda Aceh

Lebaran tahun ini, kami memutuskan mudik selama satu bulan. Kerinduan akan suasana Ramadhan di tanah air membuat kami terbang seminggu sebelum lebaran. Berbeda dari pengalaman sebelumnya dimana waktu mudik di sertai dengan perjalanan ke Bali atau Lombok, kali ini kami memutuskan transit di Singapura dan melanjutkan ke Kuala Namu.

Ada insiden menggelikan di airport saat kedatangan, ketika mendekati pos imigrasi, si petugas mengatakan bahwa WNA yang tinggal bersama keluarga selama di Indonesia harus membayar visa. Tetapi jika mereka tinggal di hotel maka akan bebas visa. Pernyataan yg cukup konyol, apalagi di tengah era informasi saat ini dimana pemerintah telah mengeluarkan daftar negara-negara yang penduduknya dibebaskan dari pembayaran visa saat berkunjung ke Indonesia. Bagi saya pribadi, ini bukanlah masalah jumlah uangnya, tetapi komitmen untuk tidak membantu korupsi. Lalu ketika saya meminta surat resmi dari dept imigrasi mengenai ketentuan tersebut, si petugas langsung meminta kami menuju pos kedatangan tempat stempel passpor. Memang, kadang di Medan ini kita perlu agak "parbada" agar tidak mudah tertipu.

Demikianlah, setelah lebaran usai dan satu persatu saudara saya mulai kembali ke kota masing-masing, kami mulai merencanakan perjalanan ke Sabang. Dari Medan, ada dua opsi bagi wisatawan menuju Sabang: opsi pertama dengan pesawat Garuda yang terbang tiga kali dalam seminggu dengan harga tiket dibandrol sekitar lima ratus ribu rupiah, atau lewat jalan darat menuju Banda Aceh, lalu melanjutkan dengan kapal (termasuk kapal cepat) dari pelabuhan Ulee Lee menuju pelabuhan Haloban.

Simpati Star

Kami memutuskan jalan darat dengan menumpang bus Simpati Star, dengan armada bus Scania dari Swedia yang di poles sedemikian rupa dengan bangku 2-1 dan kursi yang lega dan "shiny". Medan-Banda Aceh di bandrol 375 ribu per kursi (harga lebaran) dan di tempuh kurang lebih 7-8 jam. Bus ini dilengkapi wifi tetapi tidak ada colokan listrik. Sepanjang perjalanan bus melaju kencang dan saling kejar-mengejar hingga tiba di Banda. Jalan mulus sepanjang rute ini nampaknya mendukung kebut-kebutan pak supir.

Tiba di Banda, kami menyewa mobil yang mengantarkan kami ke pelabuhan, untuk 6 orang kami membayar dua ratus ribu rupiah. Orang sudah ramai di pelabuhan saat kami tiba, mengejar penyeberangan pagi dengan kapal cepat. Untunglah masih ada tiket yang tersedia, di ruang bagian atas kapal dengan pendingin seharga 105 ribu rupiah per kursi. Gelombang laut lumayan ramah pagi itu, tanpa terasa 45 menit penyebrangan ke Sabang berjalan mulus.

Sebelum berangkat kami mengontak beberapa penginapan, Iboih Inn dan Sumur Tiga sudah penuh hingga dua minggu ke depan, alternatif selanjutnya adalah Yulia's, penginapan di sebelah Iboih Inn ini posisinya paling akhir di teluk Iboih. Ketika tiba di Iboih, staf dari Iboih Inn menjemput kami dari tempat drop off. Dengan cekatan ia menaikkan barang ke atas boat dan dalam waktu lima menit, satu persatu memanjat ke pier Julia inn untuk check in.

Yulia's


Begitu naik ke pier Yulia's, saya memandang takjub ke bawah. Air laut yang jernih terhampar di depan mata, seakan mengundang untuk nyebur saat itu juga. Beberapa turis asing melompat ke dalam air dan mengambang diatas punggung mereka, membuat kami pun ingin bersegera berendam di air.

Cottages Yulia's berjejer di sepanjang bibir pantai diikuti dua baris bungalow di belakangnya, berjejer di perbukitan. Lumayanlah, kasur spring bed, AC, TV dan kamar mandi di dalam, balkoni yang luas dilengkapi hammock. Dengan pemandangan ini saya ga yakin TV tersebut akan bermanfaat dalam liburan ini.

Segera saja, dua keponakan saya, Igor dan Ogu meminta berenang, saya volunteeran menemani mereka, tak berapa lama, sudah ada tiga anak lelaki kecil, yang satu lagi adalah Ammar, putera bungsu pemilik penginapan. Ketiganya tak berhenti melompat, berenang, dan bercengkrama hingga matahari mulai beranjak dan air laut naik. Ketiganya menjadi tak terpisahkan, bermain hingga menjelang tidur dan pagi-pagi sekali Ammar sudah menunggu kedua temannya di balkoni, tak sabar ingin bermain bersama.

Sore itu kami menghabiskan waktu menikmati indahnya langit teluk Sabang saat matahari terbenam. Kegiatan yang nyaris tak terlewatkan selama kami disana selama beberapa hari ke depan, di temani sebuah buku, secangkir kopi dan donat kampung yang di beli di pantai Iboih.

Pantai Iboih


Sekilas kami melihat pantai ini ketika menaiki boat menuju Yulia's. Saya ingat ketika saya ke Iboih beberapa tahun lalu, perahu yang kami sewa untuk snorkeling trip mengantarkan kami ke pantai tersebut untuk makan siang. Pantai kecil berpasir putih, lengkap dengan pepohonan rindang. Persis seperti yang kami idamkan.

Tak sulit untuk menemukan ikan saat snorkelling di Iboih, lion star, nemo dan bermacam ikan dengan mudah di temui di depan Yulia's. Salah seorang tamu bahkan sempat berenang dengan penyu. Sedangkan di pantai iboih, segerombolan ikan dengan ukuran cukup besar bisa dijumpai dari jarak tiga hingga empat meter dari bibir pantai, dengan suara khas yang tercipta ketika mereka menggigit karang mencari makanan.

Entah mengapa, pantai luas memanjang seperti Kuta maupun Surfer Paradise tak menarik buat kami. Sehingga kami selalu memilih mengunjugi pantai-pantai kecil dengan pepohonan tempat berteduh dari teriknya matahari. Lebih afdol lagi kalau di tempat itu ada dijual kelapa muda segar, dijamin deh, berenang, tidur siang sambil membaca buku akan semakin asik!

Cafe Olala


Jika ada yang perlu ditingkatkan di Iboih, saya kira restoran dengan menu yang bervariasi terutama dengan bahan ikan dan seafood adalah jawabnya. Selama beberapa hari praktis kami hanya makan di Yulia's, terkadang di warung makan dekat pantai Iboih dengan menu masakan lokal dan makan malam di Cafe Olala. Menu di Yulia's cukup sederhana bagi lidah kami, kari ikan-nya bisa di rekomendasikan. Sementara di Olala, udang asam pedasnya lumayan enak, tetapi makanan datangnya agak lama mengingat banyaknya wisatawan yang pergi kesini. Kentang goreng baik di Yulia's maupun di Olala sama gurihnya. Seringkali ketika memesan menu, terkadang bahannya tidak tersedia. Saya berharap semoga suatu hari ada restoran khas seafood yang buka di Iboih.

Tak terasa, kami memasuki hari-hari terakhir di Sabang, keponakan dan teman barunya sudah tak terpisahkan, Ammar mengantar mereka yang kembali lebih awal ke pier, di atas boat dia duduk menyendiri, tampaknya tak percaya teman barunya akan segera pergi. Ketika Igo dan Ogu turun dari kapal, Ammar membuang muka, ah! kami pun terharu dibuatnya. Dia masih memilih menyendiri ketika mereka ingin mengucapkan selamat tinggal, saya tak bisa membayangkan berapa kali ia mengalami kejadian seperti ini, berteman dengan anak-anak yang berkunjung ke Yulia's dan bersedih ketika liburan mereka usai, mungkin itu juga yang membuat Ammar yang berusia empat tahun terlihat lebih matang dari usianya.

Banda Aceh


Kami melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh, dengan berat hati tentunya, jernihnya taman air laut Sabang, hammock di Yulia's serta angin sepoi-sepoi di bawah pohon rindang di pantai Iboih membuat kami merasa betah berlama-lama disana. Teman kami, kak Sari seorang dosen di IAIN Banda Aceh membantu mencarikan mobil sewa yang akan mengantar kami berkeliling di Banda Aceh. Tujuan pertama adalah Mesjid Raya, di mesjid yang luas dan bersih ini kami melaksanakan shalat Zuhur dan bercerita tentang Aceh pasca tsunami. Terus terang dulu saya bolak balik ke Banda Aceh ketika bekerja di lembaga internasional humanitarian, tetapi kesibukan saat itu membuat saya tak bisa menapakkan kaki disini, demikian juga ketika sudah sampai di gerbang mesjid beberapa tahun lalu, kami tak diijinkan masuk karena hanya memakai kulot panjang dan tidak mengenakan rok. Demikianlah, jauh-jauh hari saya menyiapkan rok dan memasukkan ke dalam koper, agar bisa mengunjungi masjid Baiturrahman ini.

Museum Tsunami

Kami menyempatkan diri mengunjungi museum tsunami. Dengan lorong gelapnya diperciki air sempat membuat hati ini agak ciut ketika masuk. Terbayang kembali liputan TV di tanah air ketika tsunami melanda, di salah satu sisi terdapat ruangan gelap dengan corong di langit-langitnya bermuarakan kepada tulisan Allah. Nama-nama korban tertulis rapi di dinding ruangan tersebut, begitu syahdunya tempat ini, seketika air mata meleleh mengingat saat-saat mereka bertarung dengan maut dan doa terpanjatkan semoga mereka mendapat tempat kembali yang lebih baik di sisiNYA. Kami juga menelusiri lantai atas yang berisi pengetahuan penting tentang terjadinya gempa dan tsunami serta catatan mengenai lembaga-lembaga humanitarian yang berkiprah di Aceh pasca tsunami. Seketika saya melihat lambang palang merah dan bulan sabit merah di salah satu sudutnya, mengingatkan saya kembali ke situasi di awal tsunami, dimana kami bekerja dalam jam panjang membuat perencanaan, membahasnya dalam rapat, menyiapkan relawan dan bala bantuan, hingga beberapa tahun sesudahnya ketika merampungkan masa-masa pemulihan. 

Rumah Makan Aceh Rayeuk "Hasan III"

 Kak Sari membawa kami ke rumah makan Aceh Rayeuk, segera saja berbagai menu sedap terhidang dalam piring-piring kecil, bebek goreng, ayam tangkap, kuah Pliek U, Ungkot Kemamah, Lobster dan berbagai macam sambal memenuhi meja panjang. Sungguh sedap sekali!

Pantai Lampuuk


Selepas makan, pak supir mengarahkan mobil ke arah pantai Lampuuk, pantai indah berpasir putih dengan gugusan karang di tepinya. Segera saja kami bertiga mengambil posisi nyaman, berbaring di pantai pasir putih tersebut. Sedikit saya menyesali, mengapa dulu terlalu sok serius bekerja sehingga perjalanan tiap minggu ke Banda Aceh dihabiskan di kantor dan penginapan saja. Alangkah beruntungnya warga Banda Aceh memiliki pantai seindah ini! Pada perjalanan pulang kami melewati perkampungan dengan ukuran dan lambang rumah yang seragam, tampaknya bantuan dari pemerintah Turki. Saya bertanya-tanya apakah setiap donor melakukan hal yang sama? meninggalkan logo masing-masing di rumah yang mereka bangun? Menurut kak Sari, dulunya jalanan di perkampungan ini juga memakai nama-nama Turki, namun beberapa tahun kemudian warga mengembalikannya ke nama-nama lokal.

Warung Kopi

Tidak klop singgah ke Banda Aceh tanpa singgah di kedai kopi. Jika pada pagi hari kami sarapan di kedai Solong maka sore harinya sebelum bertolak ke Medan kak Sari membawa kami ke kafe Sada di Lampriet, menunya beragam dari Espresso, Capuccino, Ice Coffee, hingga yang divariasikan dengan cincau. Sungguh nikmat sekali rasa kopinya, kopi gayo lokal di roast dengan sempurna, ditemani dengan camilan pisang goreng, menutup sore itu. Saya membeli dua kantung bubuk kopi untuk di bawa sebagai oleh-oleh. Entahlah setelah menyeruput kopi sada, saya tak tertarik dengan warkop lainnya. Semoga kafe Sada bisa mempertahankan mutu kopinya ke depan. Dan tentunya terima kasih buat kak Sari yang sudah meluangkan waktunya menemani kami.

Demikianlah oleh oleh cerita dari Sabang dan Aceh, kami berharap bisa kembali lagi kesana pada lain kesempatan.

Investasi:
Penginapan di Sabang: Iboih Inn, Yulia's (300 ribu-500 ribu)
Makanan : kurleb 35 ribu per porsi di penginapan; lebih murah di warung lokal
Transport: 75 ribu per orang dari Balohan ke Iboih; 105 ribu per orang kapal cepat Banda Aceh-Balohan, 250.000-500.000 (bus/ pesawat dari Medan), 500 ribu sewa mobil di Banda Aceh