Sunday, February 6, 2011

Ketika tua, semoga dapat memilih untuk menjadi orang yang mandiri dan berlapang dada.

Badai salju yang melanda tempat tinggal saya baru-baru ini mengakibatkan listrik mati di beberapa titik. Bisa dibayangkan betapa sulitnya bertahan di tengah cuaca dingin tanpa pemanas sama sekali. Seperti biasa, dalam kondisi yg jatuh dalam kategori bencana seperti ini, Palang Merah di minta oleh pemerintah lokal (county) untuk membuka tempat penampungan (shelter) bagi mereka yg terkena pemadaman listrik.

Saya menghubungi organisasi tsb untuk membantu di tempat penampungan (shelter), kali ini shelter tsb berlokasi di sebuah sekolah sekelas SMA. Saya mendapat shift kedua, yg berlangsung selama 12 jam dari jam 12 malam ke jam 12 siang, tetapi saya memutuskan untuk menambah 1/2 shift lagi, sehingga menjadi 18 jam. Ketika saya sampai di penampungan semua peralatan dan ruang telah di atur sedemikian rupa, dari tempat pendaftaran dimana mereka mengisi formulir, post medis (yg di operasikan oleh perawat-perawat dari county), hall umum beirisi kursi dan meja tempat duduk, meja yg berisi makanan dan minuman berbagai macam serta area untuk tidur yg di atur berdasarkan jenis kelamin serta dipisahkan lagi untuk mereka yang single dan bekeluarga.

Di pos informasi setelah mengisi formulir, mereka di beri orientasi tentang area shelter serta servis apa saja yg tersedia. Selanjutnya mereka di arahkan ke pos medis untuk mendata informasi kesehatan mereka sebelum mereka memasuki hall umum.

Uniknya pada saat shift tersebut adalah 80% dari mereka yg datang adalah para warga senior yg berumur diatas 60 tahun sampai 90 tahun. Dan 95% dari warga senior tsb berasal dari senior homes yg kebetulan sedang terkena pemadaman listrik. Mereka datang difasilitasi oleh senior homes tersebut sedangkan sisanya datang ke shelter dengan menyetir kendaraan mereka sendiri.

Berinteraksi dengan warga senior ini membawa kesan tersendiri. Tapi yg paling berkesan adalah betapa mandirinya mereka. Sebisanya semua dilakukan sendiri, mengambil makanan dan minuman, membersihkan diri, bahkan menyetir ke tempat penampungan juga dilakoni sendiri.

Hal ini berbeda sekali dengan pengamatan saya dalam budaya asal, dimana orang tua biasanya di layani sepenuh hati oleh anak cucu mereka, dan kalau bisa mereka nyaris tak dibiarkan bahkan mengambil minuman mereka sendiri.

Dulu seringkali terdengar, "ah sudahlah kan sudah masuk usia pensiun, ga usah mikir apa-apa lagi, istirahat saja dan sebaiknya hari tua diisi dengan banyak berdo'a dan rajin-rajin ke rumah ibadah".

Entahlah, saya sendiri berpikiran sebaliknya, justru  setiap orang kapan saja mestinya tetap aktif secara fisik dan berusaha menjaga aktivitas fisik tersebut supaya bertahan sehat dalam waktu yg lama bahkan setelah memasuki usia pensiun. Dan lagipula, rasanya kurang sensitif dengan menyuruh mereka banyak berdo'a dan menghabiskan waktu di rumah ibadah, seolah-olah mengingatkan mereka bahwa usia mereka sudah senja dan waktu untuk hidup pun sudah tak lama lagi. Bukankah tanpa perlu diingatkan pun alam kesadaran kita sering sekali membuat kita memikirkan tentang hal tersebut?

Dan saya percaya, kita adalah apa yg kita pikirkan, apabila kita berpikir positif, antusias terhadap kegiatan kita sehari-hari apapun itu termasuk beribadah, ya mudah-mudahan semangat tersebut akan membuat hari lebih ringan untuk dijalani.

Beberapa dari oma dan opa yg datang ke shelter bahkan terlihat sulit untuk berjalan, mereka dibantu oleh alat bantu yg sekilas terlihat seperti meja tanpa dinding, dimana di dua kakinya yang terdalam di sangga roda sedangkan dua kaki terluar seperti kaki meja biasa, untuk memudahkan tubuh mereka bertumpu saat dalam keadaan istirahat.

Seorang nenek yg terlihat uzur sekali memakai alat ini, kami (beberapa relawan) mengamatinya saat ia berusaha berdiri tetapi kaki serta badannya terlihat sulit untuk digerakkan, dan kami akhirnya membantunya untuk mengambilkan minuman. Ia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan menjelaskan kalau kakinya sering "ngadat" belakangan ini. Melihat fisiknya ia sepertinya berumur diatas 85 tahun. Ia seharian duduk di kursi dan terlihat ceria sekali saat dihampiri oleh relawan.

Lalu ada seorang Opa yg memilih untuk begadang nyaris semalaman, ia terlihat penyendiri dan tak mau bergabung dengan siapapun. Di tangannya ia memegang sekantong plastik penuh berisi snacks yg ia kumpulkan dari meja makanan (snacks tersedia sepanjang waktu dan mereka bebas mengambil berapa saja yg mereka mau). Kemana pun ia pergi kantong plastik ini tak lupa dibawa. Dan sesekali ia menggumam kata-kata yg tak jelas.

Saat saya menonton televisi yg berada di hall utama, setelah kebanyakan dari mereka tertidur, si opa tiba tiba mendekat dan menduduki kursi di kanan saya. Ia tersenyum dan mulai menggumam lagi. Ternyata ia mengatakan bahwa ia berdarah Russia dan menceritakan pengalamannya sewaktu ke Jerman. Karena ia berbahasa Jerman, oleh orang yg ditemuinya ia dikira orang Jerman, ia terkekeh-kekeh sendiri dan saya hanya mengangguk-angguk dan setelah mencoba komunikasi dua arah sepertinya ia tak mampu lagi menangkap pembicaraan. Maka saya hanya mendengarkan saja perkataan-perkataannya termasuk ceritanya sekilas tentang orang tuanya.

Si Opa sekilas mengingatkan saya tentang Douwes, seorang penghuni panti jompo di Singapura yg saya temui saat mengikuti program pertukaran pemuda beberapa tahun yang lalu. Douwes yang lahir di Jakarta berdarah campuran Jawa dan Inggris menceritakan masa mudanya menjadi seorang pelaut yg berlayar ke berbagai tempat di dunia, dan begitu tahu saya dari Indonesia, ia membuka identitasnya yg setengah Indo dan rasa kangennya akan Indonesia. Douwes pun sangat antusias dan mandiri walau saat itu usianya diatas 90 tahun, matanya berkaca-kaca saat saya dan teman saya menyanyikan lagu "Bengawan Solo" yg ia minta dinyanyikan. Ah, andaikan saja Douwes ada di kota saya dan bukannya di Singapura bisa jadi saya akan luangkan waktu untuk mengunjunginya.

Tetapi tak semuanya Opa dan Oma ini ceria dan mudah membaur, seorang Oma bahkan terlihat sedikit kasar dan penuh curiga terhadap kami. Ia mengomel karena saat ia datang tak ada yg menyambutnya di meja registrasi (kebetulan saat itu baru istirahat setelah makan siang) sehingga meja registrasi ditinggalkan sejenak. Dan seorang Oma lagi mengeluh dan menuduh petugas kesehatan mental yg memang didatangkan oleh county secara khusus untuk melayaninya sebagai "stalker", beberapa orang mencoba untuk mendekatinya dan tak ada yg sukses kecuali seorang perawat yang memenangkan hatinya.

Setelah menghabiskan satu malam di shelter, listrik kembali menyala di senior homes mereka, dan mereka tak sabar untuk kembali. Kadang tingkah mereka cukup lucu, misalnya satu jam sebelum bus datang mereka sudah mulai antri, seorang Opa bahkan berkeliling dengan kursi rodanya menggoda Oma-Oma yg ada di shelter dan saat antrian panjang tadi siap-siap naik ke bus yg akan membawa mereka pulang, ia tiba-tiba keluar dari antrian dan maju ke depan seraya berteriak kecil yg menggoda," orang yg berkursi roda diutamakan," katanya, yg terus terang membuat keki Oma-oma yg telah antri duluan.

Ah, tak terasa waktu berjalan terasa cepat, shift saya yg awalnya 12 jam akhirnya berakhir 18 jam, saya memutuskan untuk membantu lebih lama di shelter dan ternyata setelah mendekati 18 jam, stamina dan mata saya memutuskan bahwa saatnya untuk istirahat.

Pengalaman hari itu membuat saya berpikir banyak tentang masa tua, "ah, kalau boleh memilih, saya ingin menjadi orang tua yg bijaksana, mandiri serta berlapang dada"