Tuesday, September 29, 2015

Melbourne on a weekend (Berakhir pekan di Melbourne)

Perjalanan ke Melbourne is quite unplanned. Bermula dari keinginin mengikuti pre-confrence workshop mengenai monitoring dan evaluasi yang di selenggarakan Asosiasi Evaluator Australia (AEA). Maka saya pun akhirnya menginjakkan kaki di Melboune awal September 15, lalu.

Sky Bus
Dengan penerbangan pagi dari Brisbane,  penerbangan dengan cuaca yg cukup nyaman, pesawat touched down di Tullamarine Airport pukul 9 pagi. Tak sulit untuk mencapai pusat kota (CBD), Sky Bus berwarna merah telah menanti di depan terminal 3 dan dalam waktu 20 menit bus tersebut tiba di kawasan Dockland. Bagi yang senang dengan transportasi lokal pilihan sky bus ini selain ekonomis juga praktis. Karena bus mengantarkan kita langsung ke CBD.

Salah satu yang saya sukai dari Melbourne adalah transportasi gratis selama dalam kawasan CBD. Dan yang lebih menyenangkan lagi ada tram city circle (routes 35) yang mengelilingi CBD selama lebih kurang 45-50 menit yang bisa dipakai buat hop on/off mengunjungi berbagai pusat wisata di kota ini. Bagi wisatawan yang akan ke Melbourne ada baiknya mencermati rute tram ini untuk menyusun itenerary.

Setibanya di Southern Cross terminal, saya berjalan kaki dua blok menunggu tram yang akan membawa saya ke Victoria Market, tetapi dua stasiun sebelumnya saya memutuskan turun dari tram dan menyusuri Elizabeth street CBD yang baru mulai bergeliat di pagi hari. Warung-warung  kopi dan pertokoan baru mulai buka dan aromanya menyesap ke udara. Pada satu toko saya melihat banyak sekali orang yang antri, biasanya ini pertanda makanan enak! Sekilas saya teringat menemukan pizza yang sangat lezat di salah satu jalan kecil di Roma, yang saya cicipi setelah melihat antrian yang panjang. Demikianlah, pagi itu satu cangkir kopi, sepotong gozleme dengan bayam dan keju menyapa perut saya dan membuat perkenalan yang menyenangkan dengan Melbourne.

Setelah bertemu dengan K sahabat lama saya, lalu checked in di apartemennya yang terletak satu blok dari Victoria Market, kami berjalan menuju University of Melbourne, untuk mengecek lokasi workshop keesokan harinya. Meninggalkan Asia Myer Centre, kami melewati toko underground yang menjual pakaian dengan potongan harga. Toko berukuran sedang ini cukup menakjubkan, berbagai fashion label asal Amerika dijual disana dengan potongan harga 40-50%. Bagi yang pernah ke OZ, mungkin paham bahwa disini lebih banyak fashion bermerk lokal yang tersedia. Memasuki toko itu serasa kembali ke Macy's atau Nordstrom, hanya saja dengan jumlah terbatas dan harga miring. Untunglah kami berdua lepas dari jebakan shopping yang pertama ini.

Tak jauh dari toko itu, kami melihat restoran Norsiah di Carlton St, restoran rasa Malaysia yang sangat ramai, iseng kami ikut ngantri ke dalam, ternyata makanan yang familiar dengan lidah kita tersaji dibalik etalase kaca. Maka kamipun menikmati nasi campur dengan rendang dengan merogoh kocek $6 saja. Ciyus! Masih kaget menemukan makanan dengan harga ini di OZ.

Shopping di Richmond
Lalu kami menghabiskan sisa hari di wilayah Richmond. Teman kuliah K menyarankan kami jjs ke tempat ini. Benar saja, begitu turun dari tram, kami langsung kalap melihat begitu banyak toko yang sale di sepanjang jalan. Dan menjadi konsumer terakhir penutup toko dan kembali dengan berbagai jinjingan di tangan :)

Lygon street

Minggu pagi, kami sarapan di Brunetti kafe di Lygon St, jalan ini semacam Little Italy-nya kota Melbourne. Kami juga janjian dengan si uni yang merupakan kenalan lama di Qld. Jadilah pagi itu kami bertiga menikmati kopi, plus salmon baguette buat saya. Ah sekilas, tempat ini mengingatkan akan Paul's di Washington DC, kafe di dekat kantor dulu dengan baguette-nya yang super yummy!

Mengingat satu hari habis terpakai untuk mengikuti workshop dan itenerary yang tidak begitu ambisius kali ini, maka dua hari yang tersisa di Melbourne benar-benar digunakan untuk leyeh-leyeh. Entah mengapa, biasanya saya ambisius dengan daftar tempat yang ingin dikunjungi tetapi kali ini, bertemu K saja rasanya sudah menyenangkan. Selain dulunya sama-sama bekerja di organisasi yang sama, sesekali kami juga travel bersama. Dalam kurun 9 tahun belakangan tak selalu kami dapat bertemu, tetapi jika ada kesempatan meski hanya ngopi satu jam, ngupdate kehidupan terkini terasa lebih dari cukup. Mungkin benar kata banyak orang, persahabatan tidak mesti dilihat dari jumlah waktu yang dihabiskan bersama.

Hosier Lane Street Art
Jika di kebanyakan kota, graffiti di larang, maka di Melbourne seni ini di akomodir. Salah satunya di Hosier lane. Disini dinding dinding bangunan di lorong Hosier di penuhi graffiti dan mural berukuran besar. Tak jauh dari tempat ini di Devgrave st, juga terdapat underpass yang menjadi ajang seniman berekspresi. Di sepanjang Devgrave juga terdapat berbagai tempat ngopi asik.

Victoria Market

Rasanya sudah lama sekali tidak menjajal pusat pasar tradisional. Lokasinya yang berjarak satu blok dari penginapan membuat kami mendatangi Victoria Market pada Minggu pagi. Kami memasuki dari bagian penjualan daging, berbagai macam daging di jual disana, sekilas mengingatkan akan Mercado de Joseph-nya Barcelona. Tetapi jika disana stall-nya dihiasi buah-buahan aneka warna dan cured meats, maka di tempat ini justru butcher-nya yang berjaya. Kami berjalan ke bagian belakang dimana musisi jalanan mulai beraksi, dan beberapa pengunjung larut dalam gerak tubuh mengikuti lantunan irama, sementara yang lainnya antri di warung kopi. Di bagian belakang kami mendatangi stall pakaian kulit, jaket, coat, tas, dompet dan berbagai barang lainnya terpajang disini. Demikian juga sepatu-sepatu dengan harga miring. Dibandingkan membeli di toko-toko di pusat perbelanjaan, harga di Victoria Market jauh lebih ramah. Jacket kulit yg biasanya diharga $300 bisa di dapat disini separuh harga.

Tak banyak tempat yang didatangi kali ini, menjelang sore kami menaiki city circle tram dan membuat mental note, akan tempat-tempat yg perlu didatangi pada kunjungan berikutnya.

Investasi
Tiket pp Brisbane-Melb $300-an
Mamak restoran CBD $6-13
Borek Bakehouse $2-6
Brunetti Cafe $4-$18
Norsiah, Malaysian restaurant $6
Indian Resto Lygon Street $15




Wednesday, August 19, 2015

Eat, Pray and Swim di Sabang dan Banda Aceh

Lebaran tahun ini, kami memutuskan mudik selama satu bulan. Kerinduan akan suasana Ramadhan di tanah air membuat kami terbang seminggu sebelum lebaran. Berbeda dari pengalaman sebelumnya dimana waktu mudik di sertai dengan perjalanan ke Bali atau Lombok, kali ini kami memutuskan transit di Singapura dan melanjutkan ke Kuala Namu.

Ada insiden menggelikan di airport saat kedatangan, ketika mendekati pos imigrasi, si petugas mengatakan bahwa WNA yang tinggal bersama keluarga selama di Indonesia harus membayar visa. Tetapi jika mereka tinggal di hotel maka akan bebas visa. Pernyataan yg cukup konyol, apalagi di tengah era informasi saat ini dimana pemerintah telah mengeluarkan daftar negara-negara yang penduduknya dibebaskan dari pembayaran visa saat berkunjung ke Indonesia. Bagi saya pribadi, ini bukanlah masalah jumlah uangnya, tetapi komitmen untuk tidak membantu korupsi. Lalu ketika saya meminta surat resmi dari dept imigrasi mengenai ketentuan tersebut, si petugas langsung meminta kami menuju pos kedatangan tempat stempel passpor. Memang, kadang di Medan ini kita perlu agak "parbada" agar tidak mudah tertipu.

Demikianlah, setelah lebaran usai dan satu persatu saudara saya mulai kembali ke kota masing-masing, kami mulai merencanakan perjalanan ke Sabang. Dari Medan, ada dua opsi bagi wisatawan menuju Sabang: opsi pertama dengan pesawat Garuda yang terbang tiga kali dalam seminggu dengan harga tiket dibandrol sekitar lima ratus ribu rupiah, atau lewat jalan darat menuju Banda Aceh, lalu melanjutkan dengan kapal (termasuk kapal cepat) dari pelabuhan Ulee Lee menuju pelabuhan Haloban.

Simpati Star

Kami memutuskan jalan darat dengan menumpang bus Simpati Star, dengan armada bus Scania dari Swedia yang di poles sedemikian rupa dengan bangku 2-1 dan kursi yang lega dan "shiny". Medan-Banda Aceh di bandrol 375 ribu per kursi (harga lebaran) dan di tempuh kurang lebih 7-8 jam. Bus ini dilengkapi wifi tetapi tidak ada colokan listrik. Sepanjang perjalanan bus melaju kencang dan saling kejar-mengejar hingga tiba di Banda. Jalan mulus sepanjang rute ini nampaknya mendukung kebut-kebutan pak supir.

Tiba di Banda, kami menyewa mobil yang mengantarkan kami ke pelabuhan, untuk 6 orang kami membayar dua ratus ribu rupiah. Orang sudah ramai di pelabuhan saat kami tiba, mengejar penyeberangan pagi dengan kapal cepat. Untunglah masih ada tiket yang tersedia, di ruang bagian atas kapal dengan pendingin seharga 105 ribu rupiah per kursi. Gelombang laut lumayan ramah pagi itu, tanpa terasa 45 menit penyebrangan ke Sabang berjalan mulus.

Sebelum berangkat kami mengontak beberapa penginapan, Iboih Inn dan Sumur Tiga sudah penuh hingga dua minggu ke depan, alternatif selanjutnya adalah Yulia's, penginapan di sebelah Iboih Inn ini posisinya paling akhir di teluk Iboih. Ketika tiba di Iboih, staf dari Iboih Inn menjemput kami dari tempat drop off. Dengan cekatan ia menaikkan barang ke atas boat dan dalam waktu lima menit, satu persatu memanjat ke pier Julia inn untuk check in.

Yulia's


Begitu naik ke pier Yulia's, saya memandang takjub ke bawah. Air laut yang jernih terhampar di depan mata, seakan mengundang untuk nyebur saat itu juga. Beberapa turis asing melompat ke dalam air dan mengambang diatas punggung mereka, membuat kami pun ingin bersegera berendam di air.

Cottages Yulia's berjejer di sepanjang bibir pantai diikuti dua baris bungalow di belakangnya, berjejer di perbukitan. Lumayanlah, kasur spring bed, AC, TV dan kamar mandi di dalam, balkoni yang luas dilengkapi hammock. Dengan pemandangan ini saya ga yakin TV tersebut akan bermanfaat dalam liburan ini.

Segera saja, dua keponakan saya, Igor dan Ogu meminta berenang, saya volunteeran menemani mereka, tak berapa lama, sudah ada tiga anak lelaki kecil, yang satu lagi adalah Ammar, putera bungsu pemilik penginapan. Ketiganya tak berhenti melompat, berenang, dan bercengkrama hingga matahari mulai beranjak dan air laut naik. Ketiganya menjadi tak terpisahkan, bermain hingga menjelang tidur dan pagi-pagi sekali Ammar sudah menunggu kedua temannya di balkoni, tak sabar ingin bermain bersama.

Sore itu kami menghabiskan waktu menikmati indahnya langit teluk Sabang saat matahari terbenam. Kegiatan yang nyaris tak terlewatkan selama kami disana selama beberapa hari ke depan, di temani sebuah buku, secangkir kopi dan donat kampung yang di beli di pantai Iboih.

Pantai Iboih


Sekilas kami melihat pantai ini ketika menaiki boat menuju Yulia's. Saya ingat ketika saya ke Iboih beberapa tahun lalu, perahu yang kami sewa untuk snorkeling trip mengantarkan kami ke pantai tersebut untuk makan siang. Pantai kecil berpasir putih, lengkap dengan pepohonan rindang. Persis seperti yang kami idamkan.

Tak sulit untuk menemukan ikan saat snorkelling di Iboih, lion star, nemo dan bermacam ikan dengan mudah di temui di depan Yulia's. Salah seorang tamu bahkan sempat berenang dengan penyu. Sedangkan di pantai iboih, segerombolan ikan dengan ukuran cukup besar bisa dijumpai dari jarak tiga hingga empat meter dari bibir pantai, dengan suara khas yang tercipta ketika mereka menggigit karang mencari makanan.

Entah mengapa, pantai luas memanjang seperti Kuta maupun Surfer Paradise tak menarik buat kami. Sehingga kami selalu memilih mengunjugi pantai-pantai kecil dengan pepohonan tempat berteduh dari teriknya matahari. Lebih afdol lagi kalau di tempat itu ada dijual kelapa muda segar, dijamin deh, berenang, tidur siang sambil membaca buku akan semakin asik!

Cafe Olala


Jika ada yang perlu ditingkatkan di Iboih, saya kira restoran dengan menu yang bervariasi terutama dengan bahan ikan dan seafood adalah jawabnya. Selama beberapa hari praktis kami hanya makan di Yulia's, terkadang di warung makan dekat pantai Iboih dengan menu masakan lokal dan makan malam di Cafe Olala. Menu di Yulia's cukup sederhana bagi lidah kami, kari ikan-nya bisa di rekomendasikan. Sementara di Olala, udang asam pedasnya lumayan enak, tetapi makanan datangnya agak lama mengingat banyaknya wisatawan yang pergi kesini. Kentang goreng baik di Yulia's maupun di Olala sama gurihnya. Seringkali ketika memesan menu, terkadang bahannya tidak tersedia. Saya berharap semoga suatu hari ada restoran khas seafood yang buka di Iboih.

Tak terasa, kami memasuki hari-hari terakhir di Sabang, keponakan dan teman barunya sudah tak terpisahkan, Ammar mengantar mereka yang kembali lebih awal ke pier, di atas boat dia duduk menyendiri, tampaknya tak percaya teman barunya akan segera pergi. Ketika Igo dan Ogu turun dari kapal, Ammar membuang muka, ah! kami pun terharu dibuatnya. Dia masih memilih menyendiri ketika mereka ingin mengucapkan selamat tinggal, saya tak bisa membayangkan berapa kali ia mengalami kejadian seperti ini, berteman dengan anak-anak yang berkunjung ke Yulia's dan bersedih ketika liburan mereka usai, mungkin itu juga yang membuat Ammar yang berusia empat tahun terlihat lebih matang dari usianya.

Banda Aceh


Kami melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh, dengan berat hati tentunya, jernihnya taman air laut Sabang, hammock di Yulia's serta angin sepoi-sepoi di bawah pohon rindang di pantai Iboih membuat kami merasa betah berlama-lama disana. Teman kami, kak Sari seorang dosen di IAIN Banda Aceh membantu mencarikan mobil sewa yang akan mengantar kami berkeliling di Banda Aceh. Tujuan pertama adalah Mesjid Raya, di mesjid yang luas dan bersih ini kami melaksanakan shalat Zuhur dan bercerita tentang Aceh pasca tsunami. Terus terang dulu saya bolak balik ke Banda Aceh ketika bekerja di lembaga internasional humanitarian, tetapi kesibukan saat itu membuat saya tak bisa menapakkan kaki disini, demikian juga ketika sudah sampai di gerbang mesjid beberapa tahun lalu, kami tak diijinkan masuk karena hanya memakai kulot panjang dan tidak mengenakan rok. Demikianlah, jauh-jauh hari saya menyiapkan rok dan memasukkan ke dalam koper, agar bisa mengunjungi masjid Baiturrahman ini.

Museum Tsunami

Kami menyempatkan diri mengunjungi museum tsunami. Dengan lorong gelapnya diperciki air sempat membuat hati ini agak ciut ketika masuk. Terbayang kembali liputan TV di tanah air ketika tsunami melanda, di salah satu sisi terdapat ruangan gelap dengan corong di langit-langitnya bermuarakan kepada tulisan Allah. Nama-nama korban tertulis rapi di dinding ruangan tersebut, begitu syahdunya tempat ini, seketika air mata meleleh mengingat saat-saat mereka bertarung dengan maut dan doa terpanjatkan semoga mereka mendapat tempat kembali yang lebih baik di sisiNYA. Kami juga menelusiri lantai atas yang berisi pengetahuan penting tentang terjadinya gempa dan tsunami serta catatan mengenai lembaga-lembaga humanitarian yang berkiprah di Aceh pasca tsunami. Seketika saya melihat lambang palang merah dan bulan sabit merah di salah satu sudutnya, mengingatkan saya kembali ke situasi di awal tsunami, dimana kami bekerja dalam jam panjang membuat perencanaan, membahasnya dalam rapat, menyiapkan relawan dan bala bantuan, hingga beberapa tahun sesudahnya ketika merampungkan masa-masa pemulihan. 

Rumah Makan Aceh Rayeuk "Hasan III"

 Kak Sari membawa kami ke rumah makan Aceh Rayeuk, segera saja berbagai menu sedap terhidang dalam piring-piring kecil, bebek goreng, ayam tangkap, kuah Pliek U, Ungkot Kemamah, Lobster dan berbagai macam sambal memenuhi meja panjang. Sungguh sedap sekali!

Pantai Lampuuk


Selepas makan, pak supir mengarahkan mobil ke arah pantai Lampuuk, pantai indah berpasir putih dengan gugusan karang di tepinya. Segera saja kami bertiga mengambil posisi nyaman, berbaring di pantai pasir putih tersebut. Sedikit saya menyesali, mengapa dulu terlalu sok serius bekerja sehingga perjalanan tiap minggu ke Banda Aceh dihabiskan di kantor dan penginapan saja. Alangkah beruntungnya warga Banda Aceh memiliki pantai seindah ini! Pada perjalanan pulang kami melewati perkampungan dengan ukuran dan lambang rumah yang seragam, tampaknya bantuan dari pemerintah Turki. Saya bertanya-tanya apakah setiap donor melakukan hal yang sama? meninggalkan logo masing-masing di rumah yang mereka bangun? Menurut kak Sari, dulunya jalanan di perkampungan ini juga memakai nama-nama Turki, namun beberapa tahun kemudian warga mengembalikannya ke nama-nama lokal.

Warung Kopi

Tidak klop singgah ke Banda Aceh tanpa singgah di kedai kopi. Jika pada pagi hari kami sarapan di kedai Solong maka sore harinya sebelum bertolak ke Medan kak Sari membawa kami ke kafe Sada di Lampriet, menunya beragam dari Espresso, Capuccino, Ice Coffee, hingga yang divariasikan dengan cincau. Sungguh nikmat sekali rasa kopinya, kopi gayo lokal di roast dengan sempurna, ditemani dengan camilan pisang goreng, menutup sore itu. Saya membeli dua kantung bubuk kopi untuk di bawa sebagai oleh-oleh. Entahlah setelah menyeruput kopi sada, saya tak tertarik dengan warkop lainnya. Semoga kafe Sada bisa mempertahankan mutu kopinya ke depan. Dan tentunya terima kasih buat kak Sari yang sudah meluangkan waktunya menemani kami.

Demikianlah oleh oleh cerita dari Sabang dan Aceh, kami berharap bisa kembali lagi kesana pada lain kesempatan.

Investasi:
Penginapan di Sabang: Iboih Inn, Yulia's (300 ribu-500 ribu)
Makanan : kurleb 35 ribu per porsi di penginapan; lebih murah di warung lokal
Transport: 75 ribu per orang dari Balohan ke Iboih; 105 ribu per orang kapal cepat Banda Aceh-Balohan, 250.000-500.000 (bus/ pesawat dari Medan), 500 ribu sewa mobil di Banda Aceh





Saturday, July 4, 2015

Reason

 Quote by: Adam Lidsay Gordon

There comes a point in your life when you realize:
Who matters,
Who never did,
Who won't anymore,
And who always will.
So don't worry about people from your past, there's a reason why they didn't make it to your future

Tuesday, June 2, 2015

Going back to square one

Recently, enjoying more and more peaceful time by my self or a small crowd. Probably it has been like this all the way but sometimes it's kinda get lost with the circumstances. I remember back then, room mates often spent time chatting together till late at nite, I tried to excuse my self, going to bed and reading a book till the sleep picked me up. It seems this inability to grasp many voices at the same time often makes me confused thus tired.

Most of the time, I have chosen the road less traveled. I remember, old friends complained that I do many thing on my own, I managed daily swim at nearby pool, ate out at restaurant or even went to the movie alone and fully content with it.




I realize, often coming back from a gathering getting tired, very tired. It almost like spending a day in a big mall, with the noise that makes you feel older in few hours. The never ending lingering sounds. The switch of topics from one to the other, it's uneasy to follow.

I just learned being the true you, might disappoint others. But to live your life is not about getting approval nor meet up whatever expectation is cast on you. The less one is concerned about what others think of them, the more relaxed things are going.

And by being you probably will attract similar minds, those who to some extend understand your values, accept your boundaries, appreciate your choices, expect less from you as you are for them, thus having a more balanced relationship. And still the most important things are: realizing, many things will disappoint you but one can always choose how to react and learn to practice kindness without ignoring that you too, has a limit.






Monday, February 16, 2015

To love is to let go

"To love is to let go", demikian saya pernah membaca tulisan itu di tempat yang berbeda. Di dinding sebuah kafe, pada sebuah sticker yang menempel di meja belajar warisan sepupu saya. Sticker yang saya baca ketika berumur sepuluh tahun. Tentu saja dahi saya selalu mengernyit ketika tak sengaja mata saya tertumbuk pada tulisan itu. Ternyata perlu waktu belasan tahun bagi saya untuk paham maksudnya.

Sebagai seorang anak pada masa itu, tentu saja segala sesuatu yang memberi rasa aman adalah kepastian. Bahwa setiap pagi saya akan dibangunkan, lalu sarapan dan mandi kemudian berangkat ke sekolah. Pulang sekolah makan siang, mengerjakan pe-er, bermain, belajar, shalat lalu tidur. Dan orang tua serta saudara-saudara selalu menemani.

Lalu sedikit demi sedikit "kepastian" tadi mengalami gangguan. Pertama kepindahan kami ke kota tetangga di bagian utara pulau Sumatera membuat saya tercerabut dari teman bermain, sepupu, sawah, sungai dan kebun tempat bermain. Kedua, teman-teman yang saya temui di tempat baru dan telah mengalami ikatan erat pun berpisah seiring naiknya kami ke tingkatan selanjutnya. Lucunya, di setiap perpisahan, kami selalu terbawa perasaan dan berjanji akan menjadi orang yang sama bagi satu sama lain. Dan tentu saja puncaknya adalah ketika kehilangan orang-orang terkasih, yang kepergiannya menyisakan lubang pada jiwa dan tak ada yang bisa mengisinya kembali selain waktu, waktu bagi saya adalah obat terampuh untuk menerima situasi apapun.

Seiring berjalannya waktu, saya semakin paham, bahwa yang paling penting adalah bagaimana menghargai setiap momen yang sedang berlangsung. Dari bangun tidur, menikmati tumis jamur diatas roti panggang, percakapan di sela-sela makan malam dengan suami, sesi-sesi memasak bersama teman-teman dan memuji-muji rasa racikan tangan sendiri (memang agak narsis), bersenda gurau diantara batagor dan kopi, menikmati jutaan bintang dilangit di atas tikar di padang rumput tempat berkemah, mendengar ponakan bercerita tentang konstelasi bintang diiringi desir angin malam, hingga bekerja dengan jam-jam yang panjang demi deadline yang harus dipenuhi (sigh). Dan sebisa mungkin berkontribusi untuk menciptakan momen tersebut.

Dan tentunya berusaha berpikir dan fokus ke hal-hal yang positif diantara berbagai masalah yang datang silih berganti. Sehingga ketika melihat ke belakang saya bisa merayakan kebahagiaan yang pernah saya alami saat itu. Dan tentu saja, karena adalah mustahil segala sesuatu akan sempurna, maka ketika berinteraksi sosial berusaha fokus terhadap "kebaikan-kebaikan" yang diterima dibanding sebaliknya.

Begitulah, dengan kesadaran akan hal positip itu juga saya juga mulai berhenti memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang dalam pengalaman sebelumnya sering berimbas sebaliknya, sehingga tak lagi mau untuk"keep things together for the sake of whatever" dan tak lagi berusaha mentolerir hal-hal yang terjadi selama ini yang saya pilih untuk "to look at the other way" dengan berbagai pertimbangan yang menyesakkan dada.

Saya paham bahwa apapun dalam hidup ini bisa berubah setiap saat, perubahan adalah kepastian karena situasi yang berubah dan adaptasi harus terjadi. Sama halnya dengan rambut hitam legam saya yang mulai berangsur-angsur di selingi helai-helai keperakan.

So, to live is to "expect less and to let go", akhirnya saya paham apa maksud sticker yang selalu saya baca belasan tahun silam. Tak banyak berharap, berusaha mandiri semaksimal mungkin, memaafkan berbagai hal yang tak berkenan, berharap tak terperosok ke dalam kesalahan yang sama serta terus melangkah ke depan.














Thursday, February 12, 2015

Ibunda

Demikianlah, akhir-akhir ini saya sering mudik. Jika dulu mudik teratur sekali setahun, saat ini frekuensi agak lebih sering. Mudik karena "field research" buat kerjaan sekaligus mengunjungi ibunda yang mulai sakit-sakitan.

Pertengahan tahun ini, begitu urusan "travel plan" dengan klien di Philipina selesai, termasuk online checked in dengan salah satu maskapai, tiba-tiba telepon berdering. "Mungkin kamu harus pulang," terdengar suara di seberang sana, sedikit dingin tetapi tegas. Tidak biasanya si kakak berkata seperti itu, yang sudah-sudah dia begitu hati-hati meminta saya pulang.

Seketika jantungpun bergetar hebat, dan saya seketika saya merasa lunglai. Memang beberapa hari sebelumnya ibunda menjalani operasi. Saya yang berada jauh, memantau kondisi beliau lewat telepon dan mewanti-wanti keluarga agar mengabarkan jika kondisinya memburuk. "Albumin-nya menurun drastis," jika kondisi terus begini maka akan berbahaya", si kakak melanjutkan.

Saya bertindak cepat, mengabarkan pada partner kerja bahwa saya tak bisa terbang ke Manila esok hari, meminta konsultan pengganti dan membooking pesawat ke Medan. Sepanjang malam, saya tak bisa tidur dan terus berdoa memohon agar ibunda diberi kesembuhan.

Penerbangan malam itu, terasa begitu panjang. Nyaris sama panjangnya dengan perjalanan saya kembali ke rumah dari lokasi KKN ketika mendapat kabar bahwa bapak telah meninggalkan kami. Saya teringat berharap bahwa mobil yang saya tumpangi akan terus berjalan sepanjang malam, kalau perlu sepanjang Sumatera hingga ke Lampung dan tidak berbelok ke rumah dimana tenda dan bendera merah telah terpasang.

Entah berapa banyak orang yg melihat saya menyeka airmata dalam penerbangan malam itu dan saya pun sudah tak peduli. Bahkan saya tak merasa lapar sama sekali dan ingin cepat-cepat tiba di Medan.

Tiba di rumah sakit, ibunda terbaring dengan perban di pangkal paha pasca operasi dan selang makanan yg masih terpasang di hidungnya. Sosoknya yg dulu berisi, sekarang telah jauh susut dibalut tulang. Beliau tak bisa berbiara banyak dan tak berselera makan. Jauh sekali dari pertemuan kami  saat lebaran tahun lalu.

Pasca operasi saya menjaganya selama seminggu di RS, bepergian selama beberapa hari dan menuntaskan pekerjaan dan kembali menjaganya selama dua minggu lagi. Kondisinya sedikit membaik dan terkadang dia mengigau tengah malam, meminta kami (saya dan perawat yang menjaganya) untuk shalat Subuh, meski saya berusaha menjelaskan saat itu tengah malam dan ia berkeras mengatakan waktu Subuh telah tiba.

Sejak enam bulan lalu pula ia tak lagi bisa berjalan sendiri dan melakukan aktivitas sendiri. Harus ada orang lain yang mendampingi setiap saat mulai dari mandi, makan, maupun mendudukkan di tempat tidur. Kursi roda pun tak begitu disenanginya, sehingga hanya di pakai ketika bertemu dokter untuk rawat jalan.

Tetapi banyak sekali perubahannya dalam beberapa hari ini, beliau mulai duduk sendiri di tempat tidur, minta di papah ke teras rumah dan dalam tiga minggu, tiba-tiba ia telah sampai di ruang makan tanpa bantuan siapapun. Kemajuan yg sekaligus membuat kami kuatir, takut ibu terjatuh dan tulangnya patah. Dan alhamdulillah, cerewetnya mulai kembali, memarahi si bibik yang kurang bersih mengelap meja, atau menegur ketika piring kotor masih menumpuk di meja makan.

Menghabiskan waktu bersamanya dalam mudik kali ini membuat saya belajar menjadi tua. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa suatu saat saya pun akan mengalami hal serupa. Memang tak seorangpun bisa mengalahkan waktu, tetapi saya hanya berdoa semoga diberi masa kesehatan, kemandirian yang panjang, bisa bersabar dengan segala keterbasan fisik dan emosional (semoga bisa terus berlatih) ketika tua nanti dan yang penting semoga diberi masa yang lebih lama lagi untuk memiliki ibunda.